Sejarah LSM di Indonesia
17
dan kegiatannya pada pendidikan dan mobilisasi masyarakat terhadap isu yang berkaitan dengan ekologi, Hak Asasi Manusia HAM, status perempuan, hak-
hak warga sipil, hak kepemilikan, serta anak-anak terlantar dan gelandangan. Eldridge Fakih, 1996:120 juga membagi LSM menurut pola gerak dan
pendekatanya. Ada tiga pola pendekatan yang dibagi Eldrige. Pola yang pertama kerjasama dengan pemerintah tingkat tinggi. Kerjasama tingkat tinggi
ini merupakan upaya untuk pembangunan akar rumput grassroots development. LSM yang memiliki pola gerak seperti ini pada prinsipnya
sangat partisipatif. Kegiatannya lebih diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan daripada bersidat advokasi. Kegiatan LSM dengan pola
seperti ini tidak bersinggungan dengan proses politik, namun mereka mempunyai perhatian yang sangat besar untuk mempengaruhi kebijakan
pemerintah. LSM jenis ini umumnya bersifat lokal. Kedua, pola ini disebut juga sebagai politik tingkat tinggi. Pola ini juga
merupakan bentuk mobilisasi akar rumput. LSM yang menerapkan pola pendekatan seperti ini memiliki kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan
politik, menempatkan perannya sebagai pembela masyarakat baik dalam perlindungan ruang gerak maupun terhadap isu-isu kebijakan yang menjadi
wilayah atau fokus geraknya. LSM dalam pola ini secara umum lebih bersifat advokatif, terutama dalam memobilisasi masyarakat guna mendapat tempat
dalam kehidupan politik. Ketiga, adalah pola penguatan akar rumput empowerment at
grassroot. LSM yang menerapkan pola ini mempunyai perhatian dalam
18
peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput akan hak- haknya. Pada umumnya mereka tidak mempunyai niatan yang besar untuk
mengadakan kontak dengan pejabat pemerintah. Mereka mempunyai keyakinan bahwa perubahan akan muncul sebagai akibat dari meningkatnya
kapasitas masyarakat, bukan sesuatu yang berasal dari pemerintah.