Teori-teori Dalam Perumusan Kebijakan

28 j. Teori Sistem Ada tiga komponen dalam teori ini, yaotu input, proses, dan output. Proses formulasi kebijakan berada dalam sistem politik dengan mengandalkan kepada masukan, yang terdiri dari dua hal: tuntutan dan dukungan k. Teori Pengamanan Terpadu mixed-scanning Teori ini merupakan gabungan antara teori rasional dan inkremental. Pada dasarnya, teori ini adalah teori yang sangat menyerhanakan masalah. Pendekatan teori ini ibarat menggunakan dua kamera, wide angle untuk melihat secara keseluruhan dan kamera zoom untuk melihat detail masalah. l. Teori Demokrasi Pada dasarnya teori ini menghendaki agar setiap pemilik hak demokrasi diikut sertakan sebanyak-banyaknya dalam formulasi kebijakan. Teori ini kurang efektif dalam mengatasi masalah-masalah yang kritis, darurat, dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun jika dapat dilaksanakan, teori ini sangat efektif dalam implementasinya, karena semua pihak yang terlibat memiliki kewajiban untuk ikut serta untuk mencapai keberhasilan kebijakan, karena setiap pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan. Teori ini biasanya dikaitkan dengan implementasi good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam pembentukan kebijakan, para konstituten dan pemanfaat diakomodasi keberadaannya. 29 m. Teori Deliberatif Teori deliberatif atau sering disebut dengan musyawarah di mana peran pemerintah lebih pada legalisator dari kehendak publik. Setiap daerah memiliki pilihan masing-masing untuk merumuskan kebijakan pendidikan karena memiliki masalah yang berbeda. Hal ini sah-sah saja mengingat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa sektor pendidikan bukan merupakan sektor yang dikelola oleh pusat Tilaar Riant, 2009: 38. Kebijakan otonomi daerah berdampak pada perumusan kebijakan pendidikan di tiap daerah yang bebas menentukan mekanisme yang sesuai dengan kondisi masing- masing.

2. Proses Perumusan Kebijakan

Pemerintah bukan satu-satunya aktor yang menentukan kebijakan tersebut. Masyarakat, pihak swasta, bahkan lembaga yang mempunyai kepentingan dan tanggung jawab atas kebijakan yang akan dibentuk, memiliki tanggung jawab yang sama Edi Soeharto: 2008. Untuk merumuskan suatu kebijakan, pemerintah harus bisa menyusun sebuah kebijakan dengan sistematis dan logis, hal ini bertujuan agar proses perumusan kebijakana dapat teratur. Meskipun begitu, dalam hal ini pemerintah tidak harus selalu bersifat kaku yang disebut Brigman dan Davis 2004 dengan lingkaran kebijakan. 30 Gambar 1.1. Proses kebijakan menurut Brigman dan Davis Sumber: Edi Soeharto 2008:26 Define the problem Determine evaluation criteria Identify alternative policies Evaluate alternative policies Select preferred policy Implement the preferred policy Gambar 1.2 Proses kebijakan menurut Patton Sawicki Sumber: Tilaar Riant 188 : 2009 1.Isu Kebijakan 2. Agenda Kebijakan 3. Konsultasi 4. Keputusan 5. Implementasi 6. Evaluasi 31 Gambar 1.3 Proses kebijakan menurut Dye Sumber: Tilaar Riant 189 : 2009 Proses kebijakan Evaluasi Kebijakan Proses politik Isu Kebijakan Formulasi Kebijakan Implementasi Kebijakan Kinerja Kebijakan Lingkungan kebijakan Gambar 1.4 Proses kebijakan yang disarankan menurut Tilaar Riant Sumber: Tilaar Riant 189 : 2009 Gambar di atas memperlihatkan bahwa dalam perumusan sebuah kebijakan terdapat proses saling mengembangkan. Dalam hal ini setiap sub- sistem dalam perumusan kebijakan saling mempengaruhi. Misalkan saja, value yang dikreasikan pada tahap formulasi, mempunyai pengaruh besar pada tahap implementasi, begitu juga dengan yang lainnya. Sebagai kebijakan negara, sebuah perumusan kebijakan pada dasarnya diserahkan kepada pejabat publik. Namun dalam beberapa aspek partisipasi warga negara harus diikutsertakan, terlebih dalam memberikan masukan Identification of policy problem Agenda setting Policy formulation Policy legitimati on Policy implementatio n Policy evaluation 32 mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh kebijakan Winarno, 2004: 91.

3. Aktor Kebijakan

Aktor kebijakan adalah siapa-siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Secara garis besar aktor kebijakan dapat digolongkan dalam dua kategori: pemian resmi atau formal dan aktor tidak resmi atau non-formal Winarno, 2004: 91. Aktor kebijakan resmi atau formal, dalam hal ini adalah Presiden, Menteri, pejabat publik, badan-badan administrasi pemerintah, lembaga yudikatif, dan lembaga legislatif. Sedangkan yang termasuk dalam kategori aktor kebijakan non-formal meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warga negara individu. Kelompok-kelompok ini memiliki peran yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan. Hanya saja peran kelompok kepentingan ini tergantung pada sistem pemerintahan suatu negara, apakah negara tersebut demokrasi atau otoriter. Kelompok kepentingan ini mencangkup pegiat dan aktivis organisasi non-pemerintah, media massa, dan lembaga analis atau pemikir kebijakan yang indenden. Istilah lain untuk aktor kebijakan adalah pemangku kepentingan stakeholder. Stakeholder kebijakan bisa mencangkup aktor yang terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik Edi, 2008:24. Stakeholder Putras, 2005 secara garis dibagi menjadi tiga kelompok.