Tinjauan Empiris TINJAUAN PUSTAKA

lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.

2.2 Tinjauan Empiris

Putra 2004, menggunakan analisis shift share untuk menganalsis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi daerah 1994-2002. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa pada masa otonomi daerah tahun 2000 sampai 2002, seluruh sektor-sektor ekonomi Kota Jambi memiliki pertumbuhan yang lambat, sehingga perekonomian Kota Jambi termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat. Irawan 1994, menggunakan analisis shift share untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar wilayah di Provinsi Jawa Barat tahun 1986-1990. berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam pertumbuhan dibeberapa wilayah Dati II Jawa Barat, yaitu Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Cirebon, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan Karawang. Sektor industri dan jasa memegang peranan penting di daerah Bogor, Bandung, Bekasi, Tangerang, Serang, Kota Bandung, dan Kota Cirebon. Kota Sukabumi dan Kota Bogor bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa, sedangkan Kabupaten Indramayu perekonomiannya didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian. Azman 2001, juga menggunakan analisis shift share untuk menganalisis struktur perekonomian Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat Tahun 1995-1999. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan sturuktur perekonomian dari sektor primer pertanian, pertambangan dan penggalian ke sektor sekunder industri dan sektor tersier jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran. Akan tetapi sektor pertanian masih dominan dalam penyediaan lapangan kerja maupun kontribusinya terhadap PDRB. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka analisis shift share dapat digunakan untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian wilayah kabupatenkota yang berada dalam suatu provinsi. Pada penelitian terdahulu hanya menganalisis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi atau pertumbuhan wilayah dalam satu kurun waktu tertentu, sedangkan pada penelitian ini sektor- sektor perekonomian dianalisis pada dua kurun waktu, yaitu sebelum otonomi dan pada masa otonomi daerah. Otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian, otonomi daerah memiliki dampak positif maupun negatif pada penyelenggaraan program pemerintahan dan pembangunan secara keseluruhan. Dampak positif dari penelitian tinjauan terdahulu antara lain: pertama, masyarakat diberi peluang, diberi akses untuk mampu memilih dan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, untuk merangsang serta mendorong daerah agar berpikir kreatif dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya.Kedua, pemerintahan KabupatenKota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat atau ekonomi rakyat Subagyo, 2003. Ketiga, adanya perubahan mendasar di tingkat desa dan kelurahan, khususnya dalam menyikapi program. Terlihat juga tata hubungan antara elite desa Kades, Lurah, LKMD, LMD, BPD, dsb dengan unsur-unsur masyarakat menjadi lebih baik Subagyo, 2003. Kasus suatu BKM Badan Keswadayaan Masyarakat di Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta merupakan salah satu contoh. Badan Keswadayaan Masyarakat BKM Bina Klitren Mandiri, dibentuk pada tanggal 12 Januari 2002 bertempat di Kantor Kelurahan Klitren. Pembentukan BKM ini terkait dengan program pemerintah yang berjudul Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, disingkat P2KP. BKM dibentuk melalui suatu pertemuan yang dihadiri oleh Lurah Klitren, LKMD beserta pengurus, Ketua-ketua RW, dan wakil-wakil warga tokoh. Melalui pertemuan tersebut akhirnya terpilih 9 orang sebagai pengurus BKM. Dalam perjalanannya 4 orang kemudian mengundurkan diri karena kesibukan masing-masing yang kemudian digantikan oleh 3 orang, sehingga sampai sekarang pengurus BKM berjumlah 8 orang. Menarik juga untuk disimak bahwa pengelolaan BKM ini mandiri terlepas dari unsur-unsur pemerintahan kelurahan. Bahkan dalam struktur organisasinya tergambarkan bahwa kedudukan Lurah, LKMD, dan Ketua BKM adalah sejajar. Namun dalam kerjanya nampak saling mendukung. Misalnya dalam hal pinjaman kepada anggota kelompok, BKM secara rutin memberikan laporan tertulis tentang posisi pinjaman anggota, siapa- siapa saja yang masih menunggak, serta siapa saja yang pinjamannya lancar. Laporan ini telah dimanfaatkan oleh pihak kelurahan dalam melayani kebutuhan penduduk. Seorang penduduk yang minta pelayanan KTP, tetapi ternyata dari laporan BKM memiliki tunggakan pinjaman, bisa ditegur dan diminta melunasi tunggakannya. Ini menarik mengingat BKM adalah unsur masyarakat, sedangkan kelurahan adalah unsur pemerintah, hal yang sama biasa terjadi untuk memaksa orang membayar PBB. Jelas bahwa ekonomi rakyat memerlukan perhatian, dukungan, dan kepercayaan dari pemerintah agar mampu berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Keempat, dengan otonomi maka daerah akan mendapat kesempatan melakukan deregulasi sendiri untuk menarik investasi Mallarangeng, 2000. Contohnya di RRC. Walau RRC negara sosialis, tetapi dalam realitas kehidupan sehari-hari sudah menerima ide-ide liberalisme. Izin investasi asing cukup sampai di daerah tingkat dua. Liberalisasi ini membuat RRC kebanjiran investasi. Namun, Cina itu sebenarnya juga memiliki problem politik seperti tragedi Tiananmen. Tetapi karena pandai melobi, sehingga menjadi negara penerima investasi terbesar di dunia. Pernah dalam setahun nilai investasi yang masuk mencapai 100 milyar dollar AS. Di Indonesia, salah satu contoh deregulasi dapat dilakukan dengan meringankan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang ada atau misalnya di Batam yakni adanya Tax Holiday, yaitu memberikan kebebasan pajak bagi perusahaan yang baru berdiri selama jangka waktu tertentu. Dampak negatif dengan diterapkannya otonomi daerah, antara lain: pertama, menyuburkan tindakan korupsi dalam arti memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah Sianturi, 2005. Praktik korupsi kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor terutama lembaga eksekutif dan legislatif daerah. Catatan ICW Indonesia Corruption Watch sejak Januari hingga Desember 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan tingkat kerugian yang dialami negara. Dari sekian kasus itu, 124 kasus korupsi melibatkan anggota DPRD dan 83 kasus melibatkan kepala daerah. Otonomi daerah hanya memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah kepala daerah dan legislatif untuk mengelola sumber daya ekonomi yang rawan dengan penyelewengan karena tidak adanya kontrol masyarakat Sianturi, 2005. Kedua, otonomi daerah akan memberikan justifikasi ekonomi yaitu memecah konsentrasi ekonomi Prasetiantono, 2000. Maksudnya dengan adanya otonomi daerah yang dahulu konsentrasi ekonomi tersebut fokus pada satu hal, sekarang menjadi terpecah. Hal ini tentunya berdampak pada daerah otonom. Misalnya di Jakarta. Karena peluang untuk berusaha sangat besar, menyebabkan pengusaha atau investor dari daerah beralih ke Jakarta untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya meningkatnya peredaran uang sebanyak 70 persen di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Sebanyak 70 persen kredit perbankan jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Ini jelas tidak fair karena penduduknya cuma sekitar 15 juta dari 200 juta penduduk di seluruh Indonesia. Daerah tentu saja mengalami kerugian karena dengan berpindahnya pengusaha atau investor ke daerah yang lain menyebabkan pendapatan daerah berkurang. Ketiga, menimbulkan distorsi dan high cost ekonomi Sianturi, 2005. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan Pemda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan cara membuat Perda yang berisi pembebanan pajak-pajak daerah sehingga pengusaha merasa keberatan untuk menanggung berbagai pajak tersebut. Namun ada juga daerah yang sudah memperhatikan hal ini, yakni meringankan para investor dengan mengenakan Tax Holiday bagi perusahaan yang baru berdiri. Keempat, dalam otonomi daerah persaingan justru menjadi tidak objektif dan malah makin memperbesar jurang sosial antara kelompok elite dan rakyat jelata Subagyo, 2003. Hal ini terlihat dimana lembaga perbankan dan otoritas keuangan lainnya, lebih berpihak kepada elite-elite tertentu, sehingga menyulitkan masyarakat biasa untuk mengembangkan usahanya. Kelima, menimbulkan eksploitasi sumber daya mineral dan hutan serta tambang di Indonesia oleh pemodal asing sehingga merugikan rakyat Mallarangeng, 2000. Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.

2.3 Kerangka Pemikiran