Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Krisis moneter yang berdampak terhadap iklim usaha ekonomi nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni 1 pendekatan sentralistis, 2 pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralistis mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para birokrat di pusat. Pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembanguan daerah sebagian besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah pemda secara otonom. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, yang memiliki keragaman baik dalam aspek-aspek geografis maupun kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaannya. Kenyataan keanekaragaman ini sudah barang tentu akan terwujud pula dalam keanekaragaman permasalahan dari suatu daerah dengan daerah lainnya sehingga memerlukan pendekatan, strategi, dan kebijakan penanganan yang berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya. Sekalipun dalam konsep otonomi daerah terkandung asas-asas dan prinsip-prinsip yang sama, dalam pelaksanaannya tidak dengan sendirinya harus ada keseragaman. Substansi apa yang dikelola dalam suatu daerah otonom dan bagaimana mengelolanya akan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, kemampuan teknis dan manajerial, tata nilai dan tradisi serta kelembagaan yang mengakar dan berkembang dalam suatu daerah yang kondisinya tidak selalu seragam dibandingkan dengan daerah lain Kartasasmita, 1996. Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut daerah-daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi sektor-sektor perekonomiannya. Pembangunan daerah melalui desentralisasi atau otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik good governance di daerah Saragih, 2003. Artinya, pelaksanaan tugas pemerintahan daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka, dan akuntabel. Dalam UU No 22 tahun 1999 pasal 1 butir h, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah: kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri Pasal 1 butir I. Menurut ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 Pasal 1 bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan jika ada pelimpahan atau pemberian wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah otonom, dalam hal ini pemerintah subnasional. Jadi, dalam otonomi daerah harus ada desentralisasi. Berdasarkan ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 dikatakan, otonomi daerah berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya sendiri berdasarkan pengertian dan substansi dari desentralisasi. Dengan demikian, otonomi daerah dalam desentralisasi merupakan dua sisi dalam satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling memberi arti. Otonomi daerah yang diwujudkan dalam pemberian atau pembagian wewenang pemerintahan kepada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah tidak berarti pemerintahan pusat nasional berlepas tangan dan tidak lagi bertanggung jawab terhadap bidang-bidang pemerintahan yang sudah tidak lagi menjadi kewenangannya. Pusat tetap mempunyai tanggung jawab, misalnya dalam melakukan pengawasan atau dalam hal pembuatan kebijakan yang bersifat strategis. Walaupun kini sebagian besar wewenang sudah diberikan kepada daerah dan tanggung jawab sebagian besar berada pada daerah otonom apakah itu pemerintah Provinsi, kabupatan atau kota, tetapi yang harus dicermati adalah prinsip otonomi daerah tetap dalam kerangka sistem negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, daerah otonom tidak dapat berdiri sendiri tanpa pusat. Hakikat otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan menjalankan sendiri apa yang menjadi bagian atau wewenagnya. Otonomi daerah disini tidak merupakan pendelegasian wewenang, melainkan pemberian atau pelimpahan wewenang Saragih, 2003. Dengan demikian si penerima wewenang mempunyai otoritas penuh untuk mengatur dan menjalankannya sesuai dengan caranya masing-masing. Undang-undang otonomi daerah menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat Pasal 4 ayat 1 sedangkan pembentukan daerah didasarkan atas pertimbangan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah Pasal 5 ayat 1. Kewenangan daerah dalam kerangka otonomi atau desentralisasi telah diatur di dalam UU No 22 tahun 1999 yakni di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, dan 11. dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa kewenangan daerah adalah seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang-bidang berikut, yakni politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia SDM, pendayagunaan sumber daya alam SDA, teknologi tinggi yang strategis dan konservasi, standarisasi nasional. Kewenangan Provinsi sebagaimana diatur dalam PP tahun 2000 adalah 1 Kewenangan pemerintahan yang bersifat lintas kabupatenkota. 2 Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan, alokasi SDM potensial, penelitian, pelabuhan regional, lingkungan hidup, proposi, penanganan penyakit menular dan hama tanaman, perencanaan tata ruang Provinsi. 3 Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilakukan oleh kabupatenkota. 4 Kewenangan Provinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pusat. Inti dari kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, berdasarkan asas desentralisasi, terdapat dalam pasal 9 UU No 22 tahun 1999. Namun jika dikaji secara cermat dan teliti, maka arah dari undang-undang ini adalah bahwa hakekat otonomi daerah adalah pada daerah kabupaten dan kota, bukan Provinsi. Dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sementara dalam ayat 2 disebutkan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom sudah diatur secara jelas di dalam pasal 11 ayat 1 dan 2 UU No 22 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja. Menurut UU No 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Oleh karena itu, ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu, 1 Desentralisasi, 2 Dekonsentrasi, dan 3 Tugas Pembantuan. Adapun pengertian dari masing-masing komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka kesatuan Republik Indonesia, 2 Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah,3 3 Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah memberikan pengertian bahwa bidang dan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom untuk diatur dan diurus sendiri. Tiap jenis daerah otonom memiliki empat kategori tugas dan kewenangan, yaitu tugas dan kewenangan yang sesuai dengan jenis daerah otonom tersebut, tugas dan kewenangan pelayanan publik yang harus ditangani, tugas dan kewenangan yang dari segi efisiensi lebih tepat ditangani, dan tugas dan kewenangan yang bersifat pilihan sesuai dengan karakteristik dan kemampuan daerah, dan permasalahan darurat yang dihadapi daerah bersangkutan. Tabel 2. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945-1999 Tahun Perundang-Undangan Subjek 1945 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1948 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1950 UU Nomor 44 Pemerintah Daerah 1956 UU Nomor 32 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1959 UU Nomor 6 Pemerintah Daerah 1960 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1965 UU Nomor 18 Pemerintah Daerah 1974 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sumber: Saragih, 2003 Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pusat juga tidak serius dalam menjalankan kebijakan otonomi darah yang telah dikeluarkan, yakni UU No 5 tahun 1974. Undang-undang tersebut terbukti gagal mendukung pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Daerah-daerah menjadi tidak mandiri karena semua wewenang dan urusan pemerintahan dipegang oleh pemerintahan pusat. Sejalan dengan tuntutan reformasi, masyarakat di berbagai daerah menuntut diterapkannya otonomi daerah secara sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat. Menanggapi hal tersebut maka pemerintah dibawah kepemimpinan B.J Habibie mengeluarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah. Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah, baik Provinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU No 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut: 1 Penerimaan asli daerah PAD, 2 Bagi hasil pajak dan non pajak, 3 Bantuan pusat APBN untuk daerah tingkat I dan tingkat II, 4 Pinjaman daerah, 5 Sisa lebih anggaran tahun lalu, 6 Lain-lain penerimaan daerah yang sah. Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU tahun 1999 dan pasal 3, 4, 5, dan pasal 6 UU No 25 tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut: 1 Pendapatan asli daerah PAD terdiri dari: a. Pajak daerah, b. Retribusi daerah, c. Bagian pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah BUMN, d. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan. 2 Dana perimbangan, yang terdiri dari: a. Dana bagi hasil, b. Dana alokasi umum, c. Dana alokasi khusus. 3 Pinjaman daerah, 4 Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2.1.2 Konsep Wilayah