Latar Belakang Optimalisasi Produksi Obat Tradisional pada Taman SYIFA di Kota Bogor, Jawa Barat

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia kaya akan sumberdaya hayati dan merupakan salah satu negara megabiodiversity terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua setelah Brazil yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Indonesia juga dikenal sebagai gudangnya tumbuhan obat herbal sehingga mendapat julukan live laboratory . Sekitar 30.000 jenis tumbuhan obat dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan flora tersebut, Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan obat tradisional yang kualitasnya setara dengan obat modern. Akan tetapi, sumberdaya alam tersebut belum dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan masyarakat. Baru sekitar 1.200 species tumbuhan obat yang dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional. 1 Sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tanaman yang memiliki khasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan. Hal ini terjadi jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-obatan modern dikenal masyarakat. Pengetahuan tentang pemanfaatan tumbuhan obat tersebut merupakan warisan budaya bangsa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun sehingga tercipta berbagai ramuan herbal yang merupakan ciri khas pengobatan tradisional Indonesia. Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap bahan baku dan obat konvensional impor senilai 160 juta USDtahun sehingga perlu disubstitusi 1 Hembing dalam Tanaman Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan Negara RI, 2007 http:johnherf.wordpress.com diakses tanggal 26 Februari 2008 oleh produk dalam negeri Deptan. Maraknya gerakan kembali ke alam back to nature menyebabkan penggunaan bahan obat alami di dunia semakin meningkat. Hal ini dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan obat konvensional impor. Gerakan kembali ke alam back to nature dilatarbelakangi perubahan lingkungan, pola hidup manusia, dan perkembangan pola penyakit. Slogan back to nature menunjukkan minimnya efek negatif yang ditimbulkan dari penggunaan herbal dan juga harga yang ekonomis. Obat yang berasal dari bahan alam memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan obat-obatan kimia, karena efek obat alami bersifat alamiah. Selain itu, pengobatan modern yang memanfaatkan obat-obatan kimia membutuhkan biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu, obat alami yang memanfaatkan kandungan fitokimia dari tanaman obat menjadi alternatif pengobatan yang potensial. Kecenderungan masyarakat dunia untuk kembali ke alam membawa perubahan pada pola konsumsi obat ke obat-obatan yang terbuat dari bahan alami. Berdasarkan data WHO TAHUN 2007, sekitar 80 persen penduduk dunia dalam perawatan kesehatannya memanfaatkan obat tradisional yang berasal dari ekstrak tumbuhan. Meningkatnya kebutuhan akan obat tradisional tersebut merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan budidaya dan agribisnis tumbuhan obat, maupun industri pengolahannya dengan skala yang cukup besar. Saat ini produksi obat tradisional dan fitofarmaka berkembang dengan pesat, sehingga kebutuhan tumbuhan obat untuk bahan baku industri tersebut juga meningkat tajam. Namun sebagian bahan baku obat dari herbal tersebut masih belum banyak dibudidayakan dan pengembangan teknologi budidayanya masih terbatas. Berdasarkan Lampiran 1 diketahui bahwa produksi beberapa tanaman obat yang menjadi bahan baku obat alami mengalami fluktuasi. Hal ini menyebabkan terhambatnya kontinuitas dari ketersediaan bahan baku tanaman obat yang dapat menghambat kegiatan produksi obat yang berbahan baku alami. Fluktuasi produksi dari beberapa tanaman obat yang menjadi bahan baku obat alami dapat disebabkan oleh terjadinya fluktuasi luas lahan untuk menanam. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan luas panen tanaman biofarmaka mengalami penurunan. Fluktuasi luas lahan tanaman biofarmaka di Indonesia tahun 2001-2005 dapat dilihat pada Lampiran 1. Perusahaan-perusahaan banyak yang memanfaatkan tanaman obat sebagai bahan baku obat tradisional. Departemen Kesehatan membagi perusahaan- perusahaan tersebut ke dalam dua industri, yaitu Industri Obat Tradisional IOT dan Industri Kecil Obat Tradsional IKOT. IOT adalah idustri obat tradisional yang memiliki total aset lebih dari Rp 600 juta tanpa memperhitungkan tanah dan bangunan yang dimiliki. IKOT adalah industri obat tradsional yang memiliki total aset kurang dari Rp 600 juta tanpa memperhitungkan tanah dan bangunan yang dimiliki. Konsumsi dalam negeri tanaman obat seperti temulawak, kunyit, kencur, dan jahe oleh IOT, IKOT,dan industri farmasi disajikan pada Tabel 1. Hampir semua komoditas tersebut, sebagian besar pasokan digunakan untuk IKOT dan IOT, sedangkan penggunaan dalam industri farmasi masih terbatas. Hal ini dikarenakan bahan baku utama obat tradisional adalah tanaman yang berkhasiat obat. Tabel 1. Penggunaan Domestik Temulawak, Kunyit, Kencur, dan Jahe Penggunaan Ton Komoditi Konsumsi IOT IKOT Farmasi Total Bahan Baku Temulawak 2.033,70 3.244,01 4.217,21 2.341,10 11.836,02 Kunyit 4.187,46 2.408,84 3.131,49 502,00 10.299,79 Kencur 5.987,71 2.340,31 3.042,40 2.815,00 15.640,83 Jahe 21.641,16 4.197,01 5.456,11 - 31.294,28 Sumber : www.deptan.go.id 2003 Peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer rimpang menjadi produk sekunder simplisia, ekstrak oleh usaha agroindustri primer pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi, merupakan salah satu aspek usaha berdayasaing tinggi di dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri serta peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7-15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar 81- 280 kali Tabel 2. Namun sampai saat ini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpang-rimpangan masih terbatas jumlahnya, padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan. Tabel 2. Harga Berbagai Jenis Produk Temulawak, Kunyit, Kencur, dan Jahe untuk IOT dan IKOT Harga Rpkg Rasio Harga x 100 Komoditi Rimpang Segar Simplisia Kering Ekstrak Simplisia Ekstrak Temulawak 1.500 15.000 174.000 1 : 10 1 : 116 Kunyit 1.000 15.000 280.000 1 : 15 1 : 280 Kencur 5.000 40.000 800.000 1 : 8 1 : 90 Jahe 2.500 17.500 202.000 1 : 7 1 : 80,8 Sumber : www.deptan.go.id 2003 Perkembangan jumlah IOT dan IKOT setiap tahun mengalami peningkatan sehingga kebutuhan tanaman obat sebagai bahan baku juga mengalami peningkatan. Menurut Departemen Kesehatan, jumlah IOT dan IKOT di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 1.023 dan pada tahun 2004 meningkat menjadi 1.118. Saat ini jumlah IOT dan IKOT mencapai 1.247 industri yang terdiri dari 129 IOT dan 1.118 IKOT. Seperti halnya komoditi pertanian lainnya, harga jual produksi tanaman obat sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu Tabel 3. Pada musim-musim panen raya harga jual turun. Petani tanaman obat menjual hasil produksinya dalam bentuk basah, dan tergantung kepada kualitas produk. Pasar yang menyerap produk tanaman obat seperti temulawak, kunyit, kencur, dan jahe adalah 1.035 perusahaan industri obat tradisional yang terdiri dari 118 IOT dan 917 IKOT. 2 Tabel 3. Perkembangan Harga Komoditi Bahan Obat Tradisional 2000-2005 Harga Rpkg Komoditi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Peningkatan Rata-Rata Jahe Gajah 1.700 1.800 2.800 1.500 5.000 6.000 57,94 Jahe Emprit 2.600 3.000 3.200 3.000 5.000 6.000 20,51 Kunyit 1.100 1.200 1.300 1.300 1.000 1.500 18,10 Kencur 2.800 3.000 3.500 3.100 2.500 3.000 10,36 Temulawak 1.000 1.100 1.200 1.200 500 700 0,16 Kapulaga 7.800 7.900 8.100 8.300 6.000 6.500 -2,66 Sumber :www. bi.go.id Berdasarkan Tabel 3, harga semua bahan obat tradisional dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2002 menunjukkan kenaikan, akan tetapi dari tahun 2002 ke tahun 2003 menunjukkan penurunan, kecuali kapulaga dan kunyit. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 semua bahan obat tradisional mengalami kenaikan. Harga semua bahan obat tradisional di tahun 2005 lebih rendah dibandingkan dengan harga di tahun 2003, kecuali Jahe Gajah dan Jahe Emprit yang mengalami kenaikan. Harga tertinggi jahe gajah, jahe emprit, kunyit, kencur, temulawak, dan kapulaga berturut-turut adalah Rp 6.000, Rp 6.000, Rp 1.500, Rp 3.500, Rp 1.200, dan Rp 8.300. Bahan obat tradisional termahal adalah kapulaga bila dibanding 2 Budidaya Tanaman Jamu, 2003 www.bi.go.id diakses tanggal 12 Februari 2008 lima komoditas lainnya. Peningkatan rata-rata harga bahan baku obat tradisional tertinggi adalah jahe gajah sebesar 57,94 persen. Peningkatan rata-rata harga jahe gajah yang tinggi dapat mempengaruhi laba yang diterima oleh para pengusaha obat tradisional. Hal ini dikarenakan jahe merupakan salah satu bahan baku obat tradisional yang sering dimanfaatkan oleh pengusaha obat tradisional. Perkembangan peran UKM yang besar ditunjukkan oleh jumlah unit usaha, kontribusinya terhadap pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2006, jumlah UKM sebesar 48.929.636 unit atau 99,98 persen dari seluruh unit usaha. Kontribusi UKM dalam produk domestik bruto PDB pada tahun 2006 sebesar Rp 2.066,43 triliun. UKM dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 80.933.384 orang Kementrian Koperasi dan UMKM. Taman SYIFA merupakan salah satu industri kecil obat tradisional di Bogor yang memanfaatkan tanaman obat sebagai bahan baku untuk kegiatan produksinya. Industri kecil obat tradisional ini telah berkembang kurang lebih dua tahun. Saat ini obat tradisional yang dihasilkan terdiri dari empat kelompok yaitu ekstrak kapsul, minuman instan, simplisia, dan produk kecantikan.

1.2 Perumusan Masalah