BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang diajukan sebagai bahan acuan sebagai berikut : Menurut Fatah 2009 Usaha peternakan sapi
potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara
besar dan modern, dengan skala usaha kecilpun akan mendapatkan keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya modern.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diidentifikasi alternatif pola pola pengembangan peternakan rakyat yang mempunyai skala usaha yang
ekonomis yang mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga yang cukup memadai. Dalam perspektif kedepan, usaha
peternakan rakyat harus mengarah pada pengembangan agribisnis peternakan, sehingga tidak hanya sebagai usaha sampingan, namun
sudah mengarah pada usaha pokok dalam perekonomian keluarga. Dengan kata lain, usaha ternak rakyat diharapkan menjadi pendapatan
utama rakyat peternak paling tidak dan dapat memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan
ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan keluarga. Usaha pengembangan ternak sapi potong tidak terlepas dari
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
usaha ternak rakyat. Dirjen Peternakan 1998 melaporkan bahwa potensi besar pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini
dan kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat skala usaha kecil. Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto
2002 yang menyatakan bahwa 94 produksi sapi bakalan dalam negeri dilakukan oleh peternakan rakyat. Sektor pertanian secara nasional, masih
merupakan faktor yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena mayoritas penduduk masih memperoleh pendapatan
utamanya di sektor ini. Peternakan merupakan salah satu sub-sektor yang terkandung didalamnya, memiliki peranan cukup penting dalam
memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara.
Lebih lanjut Santoso 2008, menyatakan bahwa banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah
satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Saat ini di propinsi
Sumetera Barat, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga
memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang
sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus
mengangkat masyarakat ekonomi lemah. Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal. Sistem budi daya ternak sapi
berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu
mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.
Menurut Daslina 2006. Dari karekteristik usaha dapat dikaji rata- rata kepemilikan sapi potong sebanyak 2 - 5 ekor pada skala I kecil, 6 -
10 ekor pada pemeliharaan skala II sedang dan Lebih 10 ekor pada skala III besar. Variasi jumlah kepemilikan sapi potong secara
keseluruhan berkisar antara satu ekor sampai 25 ekor. Tujuan pemeliharaan yang dilakukan peternak terkait dengan cara memelihara
dan komposisi ternak yang dimiliki. Jumlah ternak jantan muda yang dimiliki merupakan indikasi usaha pemeliharaan dengan tujuan
penggemukan fattening dan jumlah induk betina sebagai indikasi usaha pemeliharaan sapi potong bibit dengan tujuan budidaya breeding.
Menurut Suhadji 1990, di Indonesia terdapat 4 empat tipologi usaha peternakan, Yaitu:
1. Peternakan sebagai usaha sambilan di mana peternakan merupakan pendukung pertanian dan hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri
dan pendapatan dari ternak tidak dominan yaitu kurang dari 30 dari total pendapatan usahataninya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
2. Peternakan sebagai cabang usaha di mana peternakan merupakan usaha campuran mix farming dan pendapatan dari ternak belum
merupakan pendapatan utama dan sudah menjurus kepada usaha semi komersial dengan total pendapatan 30 - 70 dari total
pendapatan usahataninya.
3. Peternakan sebagai usaha pokok di mana usaha peternakan sudah merupakan usaha pokok keluarga petani dan komoditinya tunggal
serta sudah bersifat komersial. Pada tipe ini pendapatan dari peternakan sudah dominan pendapatan utama keluarga
4. Peternakan sebagai usaha industri di mana peternakan sudah merupakan bentuk usaha komersil dan komoditasnya sudah
terspesialisasi serta mempunyai tujuan ekonomi tertentu serta pasarnya sudah jelas.
Majalah Poultry Indonesia tahun 1992 melaporkan bahwa dewasa ini telah dikembangkan usaha peternakan inti rakyat PIR di daerah
Lampung yang memperoleh kredit dari bank untuk membeli beberapa ekor sapi biasanya 3 ekor, dan dalam satu kali periode 6 bulan petani dapat
memperoleh penghasilan tambahan yang signifikan untuk pendapatan keluarganya. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Ilham 2001
menunjukkan bahwa peternak di Sumbawa, NTB yang menggunakan pola landbase yaitu peternakan yang dilakukan di padang penggembalaan
yang luas yang tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian umumnya
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
mengusahakan ternak dengan lebih dari 5 ekor 51,6 , sedang kan peternak di Jawa Timur yang menggunakan pola non landbase
mengusahakan ternak dengan skala kepemilikan dibawah 5 ekor, bahkan lebih dari 50 memelihara ternak dibawah 3 tiga ekor.
Hasil penelitian Yusdja, dkk. 2001, di NTB, Jawa Timur dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi merugi
jika seluruh biaya usahatani diperhitungkan dalam analisis, kecuali di Jawa Timur untuk skala usaha 6 ekor. BC ratio di NTB hanya mencapai
0,76 untuk skala pemeliharaan 2 ekor dan 0,91 untuk skala pemeliharaan 4 ekor. Di Jawa Timur mencapai 0,95 untuk skala pemeliharaan 3 ekor
dan 1,06 untuk skala pemeliharaan 6 ekor, sedangkan di Sumatera Utara mencapai 0,68 untuk skala pemeliharaan 1 ekor dan 0,86 untuk skala
pemeliharaan 2 ekor. Keuntungan usahatani dapat dicapai jika hanya didasarkan pada biaya tunai saja.
Kusnadi, dkk 1992, Usaha penggemukan sapi Madura masih menguntungkan walaupun tidak setinggi sapi Bali dan Sapi Ongole
dengan keuntungan bersih perbulan di daerah Transmigrasi Lahan Kering Batumarta masing-masing sapi Madura Rp. 92.717,-, sapi Bali Rp.
93.924,-dan sapi Ongole Rp. 143.365,- , sedangkan menurut Winingsih 2003. Pendapatan peternak dengan sistem semi gaduhan lebih tinggi
yaitu Rp. 152.232,- ekorbulan sedangkan dengan sistem gaduhan Rp. 124.642,-ekorbulan . Kontribusi pendapatan dari usaha penggemukan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber
sapi potong saat ini hanya 10 -15 dari kebutuhan rumah tangga. Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap potong, kontribusi
usaha ini bisa mencapai 30 .
Sapi potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar 94 dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat cow-calf
operation dalam usaha kecil dan terintegrasi dengan kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat komplek dalam menunjang kehidupan
peternak Gunawan, 2003.
2.2 Telaah Pustaka