Bisnis Penggemukan (fattening) Sapi Madura di Kabupaten Pamekasan.

(1)

DI KABUPATEN PAMEKASAN

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS

Diajukan oleh : AHMAD YUDI HERYADI

09640200006

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

SURABAYA

2010


(2)

DI KABUPATEN PAMEKASAN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh:

AHMAD YUDI HERYADI 09640200006

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Ir. Sri Widayanti, MP

Surabaya, Desember 2010 Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Manajemen Agribisnis


(3)

AHMAD YUDI HERYADI 09640200006

Telah dipertahankan di depan Penguji

pada tanggal 15 Desember 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Susunan Dewan penguji

Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji

Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Dr. Ir. H. Sudiyarto, MMA

Pembimbing Pendamping

Dr. Ignatia Martha H, SE, ME

Ir. Sri Widayanti, MP

Ir. Setyo Parsudi, MS

Surabaya, Desember 2010 UPN “Veteran” Jawa Timur Program Pascasarjana Direktur


(4)

(5)

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM selaku Pembimbing Utama, dan: Ir. Sri Widayanti, MP. Selaku Pembimbing Pendamping. Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

2. Direktur beserta staf, dan seluruh Dosen Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya. 3. Rektor Universitas Madura Pamekasan yang telah memberikan ijin

peneliti untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2 di Program Studi Magister Agribisnis Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

4. Dekan Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Madura Pamekasan yang telah memberikan dorongan, semangat dan kerjasamanya selama ini.

5. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan dan peternak penggemukan sapi di kecamatan Pasean Pamekasan yang telah membantu peneliti dalam penyediaan data untuk penelitian ini.

6. Sembah sujud kepada ibunda R. Ay. Hj. St. Hatidjah yang telah mendoakan untuk keberhasilan peneliti.

7. Secara khusus disampaikan kepada isteri peneliti R. Nurul K, SE dan ananda tercinta Rani Nurfitrianti (1989) dan Safira Megantari (1998) yang telah memberikan motivasi untuk keberhasilan peneliti.

Tesis ini masih jauh dari sempurna karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman peneliti, namun demikian peneliti berharap semoga memberikan manfaat dalam pembangunan keilmuan, masyarakat, bangsa dan negara.

Pamekasan, Desember 2010

Peneliti


(6)

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. ii

DAFTAR TABEL ……….. v

DAFTAR GAMBAR ………. vi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. vii

RINGKASAN………. SUMMARY………. ix xi I. PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang ……….. 1

1.2. Perumusan Masalah ………. 7

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 9

2.1. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu ………. 9

2.2. Telaah Pustaka ……… 14

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 42 3.1. Kerangka Pemikiran ……… 42

3.2. Hipotesis ……… 45 ii


(7)

4.3. Pengambilan Data ……….. 47

4.4. Jenis Data ………. 48

4.5. Definisi dan Pengukuran Variabel ………. 49

4.6. Analisa Data……….. 52

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 57 5.1. Gambaran Wilayah Kabupaten Pamekasan ... 57

5.2. Potensi dan Permasalahan Pengembangan Sapi Madura ... 61

5.3. Gambaran Umum Wilayah Eks-Kawedanaan Waru... 64

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 69 6.1. Kondisi Terkini Keragaan Agribisnis Penggemukan Sapi di Kabupaten Pamekasan ... 69 6.2. Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong Skala Rumah Tangga ... 75 6.3. Keberpihakan Pemerintah Daerah dalam Bidang Peternakan Pamekasan... 81 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 102

7.2. Saran ... 103 iii


(8)

(9)

No Halaman 1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan rakyat…..

18 2. UMK Jawa Timur Tahun 2010 ………. 41 3. Luas Wilayah, Ketinggian dari Permukaan Laut, Jumlah Curah

Hujan (CH), Jumlah Hari Hujan (HH) dari masing-masing

Kecamatan di Kabupaten Pamekasan ………... 58 4. Produksi Tanaman Bahan Makanan di sawah dan Ladang…… 60 5. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Pasean.…….. 66 6. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Waru... 67 7. Populasi Sapi Madura (purebred) di Kecamatan Batumarmar... 68 8. Ketersediaan Bahan Pakan Ternak Asal Limbah Pertanian

(ton/tahun)………. 71 9. Daya tamping Pasar Hewan di Kabupaten Pamekasan ………

73 10. Jumlah Pemotongan Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH)

Kabupaten Pamekasan (Bulan Oktober 2010) ……… 74 11. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Madura di Kabupaten

Pamekasan ………... 78 12. Proporsi anggaran Bidang Peternakan Kabupaten Pamekasan

tahun 2010 ……… 88 13. Matrik Keterkaitan antar Faktor Internal dengan Faktor

Eksternal ……… 96 14. Analisis Strategi dan Pilihan (ASAP) / Hubungan Keterkaitan

Strategi dengan Visi, Misi dan Nilai ………... 99 v


(10)

1. Keragaan Agribisnis Peternakan ……… 23 2. Kerangka Penelitian ……… 44

3 Keragaman Agribisnis Penggemukan Sapi di Kabupaten

Pamekasan ……… 69 4. Bagan Perdagangan sapi Potong ………... 72


(11)

2. 3 4.

Penyilangan sapi Madura di Pulau Madura... Tanggapan Pemasukan Sapi ke Pulau Madura... Data Responden Usaha Penggemukan Sapi Madura ………...

108 109 111 5. Data Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Madura...…………. 112 6. Data Biaya Variabel Usaha Penggemukan Sapi Madura ……….. 113 7. Data Biaya Tetap Usaha Penggemukan Sapi Madura ………….. 114 8. Analisa Usaha Persepsi Peternak Penggemukan Sapi Madura ... 115 9. Analisa Usaha Penggemukan Sapi Madura ………. 116 10. Kesimpulan Analisis Factor Internal (KAFI) …………...………… 117 11. Kesimpulan Analisis Faktor Eksternal (KAFE) ..……….. 118 12. Analisis SWOT / Matrik Keterkaitan antar Faktor Internal dan

Eksternal ………. 119 13. Analisa Strategi dan Pilihan (ASAP) / Hubungan Keterkaitan

Strategi dengan Visi, Misi dan Nilai ……… 120


(12)

Tesis ini diperuntukkan kepada :

Isteri dan anakku tersayang


(13)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali tertulis dikutip dalamnaskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Tesis ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Magister) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)

Surabaya, Desember 2010

Ahmad Yudi heryadi


(14)

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM Pembimbing Pendamping : Ir. Sri Widayanti, MP.

Penelitian dilaksanakan atas dasar keprihatian peneliti, melihat keadaan bisnis penggemukan sapi, dimana revolusi bidang peternakan yang penggerak utamanya adalah peningkatan pada sisi permintaan komoditas peternakan. Di satu sisi pemenuhan permintaan ini, 94 % dipenuhi oleh peternakan rakyat, yang merupakan usaha skala rumah tangga, tetapi hasilnya belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui existing condition (keadaan saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan (2) Menganalisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaan (3) Menganalisis keberpihakan pemerintah (political will) khususnya Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam agribisnis sapi potong dan upaya yang perlu dilakukan oleh Dinas Peternakan dalam rangka pemberdayaan peternak melalui usaha peternakan sapi potong.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pamekasan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu daerah sentra sapi potong di Propinsi Jawa Timur. Lokasi penelitian yaitu wilayah Eks-Kawedanaan Waru, yang terdiri dar 3 kecamatan yaitu: Kecamatan Pasean, Kecamatan Waru dan Kecamatan Batumarmar dengan pertimbangan memiliki adaptasi lingkungan cukup baik dan sebagai salah satu daerah sumber bibit di Kabupaten Pamekasan. Responden digunakan 38 petani peternak yang mengusahakan penggemukan sapi Madura di , wilayah Eks-Kawedanaan Waru yang memiliki skala usaha 2 – 5 ekor sapi dengan sistem pemeliharaan yang sama. Serta kepada para pengambil keputusan di Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan. Penentuan lokasi dan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Untuk memperoleh data, baik data primer maupun data sekunder dilakukan dengan cara : Wawancara, secara langsung kepada responden peternak, dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah tersusun dan cara wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner diberikan kepada 12 0rang pemegang keputusan di Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan, Observasi untuk memperoleh data pendahuluan mengenai keadaan daerah yang akan


(15)

ekonomi dengan menggunakan analisis pendapatan peternak, sedangkan kelayakan teknis, manajerial dan kelembagaan dengan analisis deskriptif, dan untuk menganalisis tujuan ketiga ketiga yaitu keberpihakan pemerintah dengan analisis deskriptif sedangkan untuk menganalisis upaya pengembangan agribisnis peternakan termasuk usaha penggemukan sapi, menggunakan analisis SWOT.

Hasil penelitian diperoleh bahwa kinerja sistem agribisnis penggemukan sapi sudah cukup mendukung namun diperlukan dorongan dan fasilitas pemerintah untuk terwujudnya system kelembagaan agribisnis sapi potong melalui asosiasi-asosiasi peternak, industri pakan skala kecil dan menengah di pedesaan yang benar-benar berorientasi komersial dan mampu bersinergi antar subsistem agribisnis yang ada. Pada usaha penggemukan sapi di Kecamatan Pasean, dimana untuk skala usaha 2,84 ekor, dengan lama pemeliharaan 4,52 bulan, menghasilkan keuntungan Rp. 336.850,-, hal ini sangat jauh dari harapan pemenuhan kebutuhan rumah tangga peternak, dengan asumsi kebutuhan pokok keluarga sama dengan Upah Minimal Kabupaten (UMK) Pamekasan sebesar Rp. 900.000,- . Usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Pamekasan layak untuk dikembangkan dari kelayakan teknis dan kelembagaan. Kelayakan manajerial di tingkat peternak belum terpenuhi karena pola beternak yang dipakai masih tradisional demikian juga dengan kelayakan ekonomi belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak tetapi hanya sebagai tambahan penghasilan keluarga. Keberpihakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, sebagai daerah otonom sudah cukup baik, hal ini terlihat dari program-program kerja dan anggaran yang disediakan. Namun dari proporsi anggaran yang dibuat belum banyak yang langsung dapat dirasakan oleh peternak.


(16)

Advisor: Prof.. Dr. Ir. H. Syarief Imam Hidayat, MM counselor: Ir. Sri Widayanti,MP.

The experiment was conducted on the basis of concerns of researchers, see the state of the business of fattening cattle, farm fields where the revolution was mainly driven by increases in farm commodity demand side. On the one hand the fulfillment of this

request, 94% fulfilled by the farm folk, which is a household-scale effort, but results have not been able to meet the needs of farmer households.

The purpose of this study were (1) To determine the existing condition (the current situation) the performance of agribusiness cattle in Madura, especially in the District Pamekasan (2) analyze the feasibility of scale beef cattle fattening households in terms of economic, technical, managerial and institutional (3) Analyzing government partisanship (political will), especially in agribusiness County Government Pamekasan beef cattle and effort needs to be done by the Animal Husbandry Department in order to empower farmers through farm beef cattle. This research was conducted in the District Pamekasan Pamekasan basis that the District is one of the central areas of beef cattle in East Java Province. Location of the study is the Ex-Kawedanaan Waru, which consisted of 3 sub-districts are: District Pasean, District and Kecamatan Waru Batumarmar with environmental considerations have adapted quite well and as one of the sources of seed in the District Pamekasan. Respondents used 38 farmers who seek fattening cattle ranchers in Madura, Ex-Kawedanaan Waru region that has the scale 2-5 cows with the same maintenance system. As well as to decision-makers at the District Livestock Office Pamekasan. Determining the location and the sample using purposive sampling technique. To obtain data, both primary data and secondary data conducted by: Interview, directly to the respondent farmers, using a list of questions that have been organized and structured interviews using a questionnaire given to the 12 0rang holder of the decision in District Livestock Office Pamekasan, observation for obtain preliminary data about the state of the area to be examined by conducting surveys directly to the location of research and literature studies by searching the literature about the business of fattening beef cattle and institutional patterns. To analyze the first goal by looking at the performance of agribusiness systems (upstream - downstream). Fattening cattle, the second purpose is to analyze the economic feasibility of using the analysis of farmer income, while the technical feasibility, managerial and institutional with descriptive analysis, and to analyze the third goal of


(17)

agribusiness system has enough support but needed encouragement and government facilities for the realization of the institutional system of beef cattle agribusiness through associations of farmers, feed industry of small and medium scale rural real commercially-oriented and able to work together inter-subsystem existing agribusiness. In fattening cattle in the District Pasean, where for 2.84 scale tail, with long maintenance of 4.52 months, making a profit of Rp. 336 850, -, this is very far from fulfilling the needs of farmer households, assuming the same basic needs of families with District Minimum Wage (UMK) Pamekasan Rp. 900.000, -. Fattening beef cattle in the District Pamekasan feasible to develop the technical and institutional feasibility. Managerial feasibility at the farmer level has not been met because the pattern is still used traditional breeding as well as economic feasibility has not been able to meet the needs of farmer households but only as an additional family income. Pamekasan County Government partisanship, as an autonomous region is good enough, it can be seen from the work programs and budgets provided. However, the proportion of the budget are made not much can be felt directly by the breeder.


(18)

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan sub sektor peternakan memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang terus mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan per kapita serta taraf hidup masyarakat. Revolusi hijau di bidang pertanian, dengan mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi pada sisi produksi, seperti penemuan varietas unggul berumur pendek, maka penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi permintaan. Semakin tinggi permintaaan produk ternak didorong oleh pertumbuhan populasi penduduk, peningkatan pendapatan dan urbanisasi (Delgado et al., 2001 dalam Soekardono, 2009).

Pembangunan peternakan Propinsi Jawa Timur selama ini pada dasarnya memegang peranan penting dalam membangun sektor pertanian, khususnya dalam upaya perluasan kesempatan kerja, pemasukan devisa negara, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak dan keluarga petani peternak serta peningkatan konsumsi protein hewani dalam rangka peningkatan kecerdasan bangsa serta perolehan devisa melalui ekspor maupun sumbangan tidak langsung


(20)

seperti penciptaan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubugan sinergis dengan subsektor dan sektor lainnya.

Sapi potong merupakan komoditas strategis dari sub sektor peternakan yang perkembangannya sangat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat, dikarenakan sebagian besar dipelihara dan dikembangkan sebagai usaha ternak rakyat yang diharapkan menjadi pendapatan utama rakyat peternak dan dapat memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan. Pengembangan komoditas sapi potong paling tidak sebagai upaya yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri dari sapi potong lokal atau mengurangi secara betahap kebutuhan produk ternak melalui import. Dirjen Peternakan (1998) melaporkan bahwa potensi besar pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini dan kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat (skala usaha kecil). Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto (2002) yang menyatakan bahwa 94 % produksi sapi bakalan dalam negeri dilakukan oleh peternakan rakyat.

Sapi Madura sebagai salah satu type sapi potong lokal Indonesia mempunyai potensi sangat besar untuk dapat dikembangkan. Beberapa keunggulan dimiliki breed (bangsa) sapi Madura, seperti daya tahan tinggi terhadap stress lingkungan dan penyakit, tingkat kesuburan tinggi,


(21)

kemampuan adaptasi tinggi terhadap kualitas pakan yang rendah, persentase karkas yang tinggi yaitu 48,6 – 51.2%, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah (kurang lebih 4%) dan tahan terhadap parasit internal serta kebutuhan pakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan sapi impor (Siregar, 2006).

Dari data Dinas Peternakan Jatim pada 2009 diketahui, populasi sapi Madura di empat kabupaten di Madura sebanyak 601.795 ekor yang tersebar di empat kabupaten. Seperti di Bangkalan terdapat 142.567 ekor, Sampang 123.438 ekor, Pamekasan 97.899 ekor, dan Sumenep 237.891 ekor. Sapi Madura berkembang secara murni di pulau Madura dan dilindungi keberadaannya dari tahun ke tahun, mutasi keluar pulau terjadi untuk memenuhi kebutuhan daging cukup besar mencapai 24% kebutuhan supply dari Jawa Timur. Peranan sosiobudaya masyarakat Madura terhadap keberadaan sapi Madura disamping pemanfaatan sebagai tenaga kerja, kebutuhan ekonomi dan mampu mendukung perbaikan mutu genetik ternak adalah aspek budaya pemeliharaan secara khusus pada sapi yang terpilih untuk diperlombakan, pajangan dan memberikan kebanggan tersendiri serta memiliki nilai ekonomis tinggi (harga jual tinggi). Pemeliharaan sapi Madura sebagai sapi potong merupakan usaha yang paling banyak dipelihara oleh peternak sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan produksi protein hewani sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan peternak yang memeliharanya, namun dengan skala usaha peternakan rakyat yang


(22)

minimal akan sangat sulit mencapai kedua hal tersebut. Rahmanto (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan dari usaha penggemukan sapi potong saat ini hanya 10 -15 % dari kebutuhan rumah tangga. Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap potong, kontribusi usaha ini bisa mencapai 30 %.

Populasi sapi Madura di Kabupaten Pamekasan pada tahun 2009 tercatat 97.899 ekor dengan kepadatan 1,002 ekor/ha. Jumlah sapi betina lebih banyak dari pada sapi jantan. Populasi tersebut mengalami peningkatan rata-rata 1,3 % pertahun dibandingkan populasi 5 tahun terakhir. Jumlah pemotongan di Rumah Potong Hewan pada tahun 2009 sebanyak 1.120 ekor (jantan 824 ekor dan betina 295 ekor), sedangkan pengeluaran ternak dengan daerah tujuan Surabaya dan sekitarnya serta Jakarta tercatat 18.270 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan, 2009).

Kepadatan ternak di Kabupaten Pamekasan termasuk kategori yang sangat padat dengan areal yang sempit, sumber hijauan makanan ternak (HMT) yang tumbuh di pinggir jalan, pematang, pinggir kali dan sungai serta limbah pertanian dalam jumlah yang sedikit. Dengan kondisi yang demikian pada umumnya mempunyai daya tamping 0,25 ekor/ha.

Kabupaten Pamekasan terdiri dari 13 kecamatan dimana pemetaan dari segi pemeliharaan daerah sumber bibit dan usaha penggemukan tidak begitu jelas. Namun saat ini usaha penggemukan sapi Madura


(23)

sudah hampir merata di semua kecamatan di wilayah utara Kabupaten Pamekasan, yaitu Kecamatan Batumarmar, Kecamatan Pasean, Kecamatan Waru serta di wilayah tengah yaitu Kecamatan Pakong, Kecamatan Pegantenan dan Kecamatan Palengaan. (Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan, 2009).

Mata pencarian penduduk Kabupaten Pamekasan umumnya sebagai petani yang sebagian besar merangkap sebagai peternak. Diperkirakan jumlah peternak di Kabupaten Pamekasan sekitar 65 ribu kepala keluarga dengan kepemilikan 1,7 ekor/keluarga, sehingga jumlah tersebut secara langsung juga merupakan sumber pendapatan yang akan dinikmati oleh 260.000 penduduk. (Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan, 2009).

Dalam upaya pengembangan sapi potong yang dapat memenuhi standar minimal kebutuhan hidup keluarga peternak, khususnya di Kabupaten Pamekasan diperlukan beberapa upaya pemberdayaan peternak yang disesuaikan dengan moto, visi dan misi pembangunan subsektor peternakan sebagai acuan operasional yaitu, Motto: ”Membangun peternakan modern, maju, mandiri dan berkesinambungan”. Intinya adalah membangun dan mengelola usaha peternakan yang berwawasan agribisnis. Visi: ”Terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui pembangunan peternkan tangguh berbasis sumberdaya lokal”. Misi: ”Menyediakan pangan asal ternak yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya ; Memberdayakan sumberdaya


(24)

manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi ; Menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternak ; menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan ; Melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan. Mengacu pada moto, visi dan misi tersebut maka pembangunan subsektor peternakan mengalami perubahan paradigma, yang tadinya hanya terarah pada pembangunan peternakan dalam arti sempit yaitu pada ”budidaya peternakan” dan pencapaiaan sasaran hanya sebatas pada peningkatan produksi semata, maka saat ini berubah kepada pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. Pembangunan peternakan dengan pendekatan sistem agribisnis memperhatikan sinergi, integrasi dan konsistensi dari semua subsitem agribisnis peternakan. Djarsanto (1992) mengatakan bahwa terdapat 4 (empat) aspek yang perlu diperhatikan di dalam cara pandang agribisnis peternakan, yaitu: (1) peternak sebagai subyek harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya, (2) ternak sebagai obyek harus ditingkatkan produksi dan produktifitasnya, (3) lahan sebagai basis ekologi budidaya harus dilestarikan, dan (4) teknologi dan pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi harus selalu dikembangkan dan disesuikan dengan kebutuhan.


(25)

1.2. Perumusan Masalah

Dari urain diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah existing condition (kondisi terkini) dari keragaan agribisnis sapi di Kabupaten Pamekasan?

2. Bagaimanakah kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala usaha rumah tangga ?

3. Dengan bergesernya fungsi dan peran pemerintah yaitu adanya Otonomi Daerah, bagaimanakah political will (keberpihakan) pemerintah dalam bidang peternakan khususnya kebijakan daerah otonom, Peraturan Daerah, proporsi anggaran, program kegiatan peternakan serta manfaat bagi masyarakat di Kabupaten Pamekasan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui existing condition (keadaan saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan 2) Menganalisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala

rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaan


(26)

3) Menganalisis keberpihakan pemerintah (political will) khususnya Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam agribisnis sapi potong dan upaya yang perlu dilakukan oleh Dinas Peternakan dalam rangka pemberdayaan peternak melalui usaha peternakan sapi potong.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1.4.1. Manfaat Teoritis .

1. Sebagai sumbangan informasi tentang existing condition (keadaan saat ini) keragaan agribisnis sapi di Madura khususnya di Kabupaten Pamekasan

2. Sebagai sumbangan pengetahuan tentang kelayakan usaha penggemukan sapi potong skala rumah tangga ditinjau dari aspek ekonomi, teknis, manajerial dan kelembagaaan

3. Sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dan para pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Pamekasan untuk menyusun program pemberdayaan peternak yang sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan.


(27)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 . Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang diajukan sebagai bahan acuan sebagai berikut : Menurut Fatah (2009) Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar dan modern, dengan skala usaha kecilpun akan mendapatkan keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya modern. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diidentifikasi alternatif pola pola pengembangan peternakan rakyat yang mempunyai skala usaha yang ekonomis yang mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga yang cukup memadai. Dalam perspektif kedepan, usaha peternakan rakyat harus mengarah pada pengembangan agribisnis peternakan, sehingga tidak hanya sebagai usaha sampingan, namun sudah mengarah pada usaha pokok dalam perekonomian keluarga. Dengan kata lain, usaha ternak rakyat diharapkan menjadi pendapatan utama rakyat peternak (paling tidak) dan dapat memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan kelurga peternak, seperti pada kegiatan ekonomi keluarga lainnya dan bahkan mengarah pada usaha peternakan keluarga. Usaha pengembangan ternak sapi potong tidak terlepas dari


(28)

usaha ternak rakyat. Dirjen Peternakan (1998) melaporkan bahwa potensi besar pengembangan peternakan Ruminansia di Indonesia hingga saat ini dan kemungkinan di masa mendatang berasal dari peternakan rakyat (skala usaha kecil). Hal ini ditegaskan lagi dengan laporan Dwi Yanto (2002) yang menyatakan bahwa 94 % produksi sapi bakalan dalam negeri dilakukan oleh peternakan rakyat. Sektor pertanian secara nasional, masih merupakan faktor yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena mayoritas penduduk masih memperoleh pendapatan utamanya di sektor ini. Peternakan merupakan salah satu sub-sektor yang terkandung didalamnya, memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara.

Lebih lanjut Santoso (2008), menyatakan bahwa banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Saat ini di propinsi Sumetera Barat, mulai berkembang sistem lain yakni ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga mengembangkan usaha ternak sapi potong ini. Sistem ini dikembangkan karena ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah. Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan


(29)

maupun biaya pembuatan kandang. Karena berskala kecil, pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal. Sistem budi daya ternak sapi berskala rumah tangga ini sudah diterapkan di Kota Sawahlunto, Sumbar sejak 2003. Di mata Pemkot Sawahlunto penerapan sistem ini mampu mendorong pendapatan sebuah rumah tangga hingga berlipat.

Menurut Daslina (2006). Dari karekteristik usaha dapat dikaji rata-rata kepemilikan sapi potong sebanyak 2 - 5 ekor pada skala I (kecil), 6 - 10 ekor pada pemeliharaan skala II (sedang) dan Lebih 10 ekor pada skala III (besar). Variasi jumlah kepemilikan sapi potong secara keseluruhan berkisar antara satu ekor sampai 25 ekor. Tujuan pemeliharaan yang dilakukan peternak terkait dengan cara memelihara dan komposisi ternak yang dimiliki. Jumlah ternak jantan muda yang dimiliki merupakan indikasi usaha pemeliharaan dengan tujuan penggemukan (fattening) dan jumlah induk betina sebagai indikasi usaha pemeliharaan sapi potong bibit dengan tujuan budidaya (breeding).

Menurut Suhadji (1990), di Indonesia terdapat 4 (empat) tipologi usaha peternakan, Yaitu:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan di mana peternakan merupakan pendukung pertanian dan hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan pendapatan dari ternak tidak dominan yaitu kurang dari 30 % dari total pendapatan usahataninya.


(30)

2. Peternakan sebagai cabang usaha di mana peternakan merupakan usaha campuran (mix farming) dan pendapatan dari ternak belum merupakan pendapatan utama dan sudah menjurus kepada usaha semi komersial dengan total pendapatan 30% - 70% dari total pendapatan usahataninya.

3. Peternakan sebagai usaha pokok di mana usaha peternakan sudah merupakan usaha pokok keluarga petani dan komoditinya tunggal serta sudah bersifat komersial. Pada tipe ini pendapatan dari peternakan sudah dominan (pendapatan utama keluarga)

4. Peternakan sebagai usaha industri di mana peternakan sudah merupakan bentuk usaha komersil dan komoditasnya sudah terspesialisasi serta mempunyai tujuan ekonomi tertentu serta pasarnya sudah jelas.

Majalah Poultry Indonesia tahun 1992 melaporkan bahwa dewasa ini telah dikembangkan usaha peternakan inti rakyat (PIR) di daerah Lampung yang memperoleh kredit dari bank untuk membeli beberapa ekor sapi (biasanya 3 ekor), dan dalam satu kali periode (6 bulan) petani dapat memperoleh penghasilan tambahan yang signifikan untuk pendapatan keluarganya. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Ilham (2001) menunjukkan bahwa peternak di Sumbawa, NTB yang menggunakan pola

landbase yaitu peternakan yang dilakukan di padang penggembalaan


(31)

mengusahakan ternak dengan lebih dari 5 ekor ( 51,6 %), sedang kan peternak di Jawa Timur yang menggunakan pola non landbase

mengusahakan ternak dengan skala kepemilikan dibawah 5 ekor, bahkan lebih dari 50% memelihara ternak dibawah 3 (tiga) ekor.

Hasil penelitian Yusdja, dkk. (2001), di NTB, Jawa Timur dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi merugi jika seluruh biaya usahatani diperhitungkan dalam analisis, kecuali di Jawa Timur untuk skala usaha 6 ekor. B/C ratio di NTB hanya mencapai 0,76 untuk skala pemeliharaan 2 ekor dan 0,91 untuk skala pemeliharaan 4 ekor. Di Jawa Timur mencapai 0,95 untuk skala pemeliharaan 3 ekor dan 1,06 untuk skala pemeliharaan 6 ekor, sedangkan di Sumatera Utara mencapai 0,68 untuk skala pemeliharaan 1 ekor dan 0,86 untuk skala pemeliharaan 2 ekor. Keuntungan usahatani dapat dicapai jika hanya didasarkan pada biaya tunai saja.

Kusnadi, dkk (1992), Usaha penggemukan sapi Madura masih menguntungkan walaupun tidak setinggi sapi Bali dan Sapi Ongole dengan keuntungan bersih perbulan di daerah Transmigrasi Lahan Kering Batumarta masing-masing sapi Madura Rp. 92.717,-, sapi Bali Rp. 93.924,-dan sapi Ongole Rp. 143.365,- , sedangkan menurut Winingsih (2003). Pendapatan peternak dengan sistem semi gaduhan lebih tinggi yaitu Rp. 152.232,- /ekor/bulan sedangkan dengan sistem gaduhan Rp. 124.642,-/ekor/bulan . Kontribusi pendapatan dari usaha penggemukan


(32)

sapi potong saat ini hanya 10 -15 % dari kebutuhan rumah tangga. Sebelum adanya kebijakan impor daging atau sapi siap potong, kontribusi usaha ini bisa mencapai 30 %.

Sapi potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian besar (94%) dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat (cow-calf

operation) dalam usaha kecil dan terintegrasi dengan kegiatan lain,

sehingga fungsi sapi potong sangat komplek dalam menunjang kehidupan peternak (Gunawan, 2003).

2.2 Telaah Pustaka

2.2.1. Pengertian Bisnis Sapi Potong

Pengertian Bisnis sapi Potong dapat diketahuai dari pendekatan dengan menelusuri asal kata agribisnis itu sendiri. Soekartawi (1993) mengemukakan bahwa agribisnis berasal dari kata agri dan bisnis. Agri

berasal darai bahasa Inggris, agricultural (pertanian). Bisnis berarti usaha komersial dalam dunia perdagangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007).

Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan

"hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Agribisnis, dengan perkataan lain, adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan


(33)

pangan. Sebagai subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran

Pada mulanya agribisnis didefinisikan secara sempit, hanya menyangkut subsektor masukan (input) dan subsektor produksi (on-farm), namun Downey dan Erickson, (1989) mendefinisikan agribisnis secara luas, tidak hanya subsektor masukan dan produksi, akan tetapi juga menyangkut subsektor pasca produksi, yaitu pemrosesan, penyebaran dan, penjualan baik secara borongan maupun penjualan eceran produk kepada konsumen akhir.

Lebih lanjut definisi agribisnis yang dikemukakan Davis & Golberg (1957) dalam Soehardjo (1997), memberikan suatu konsep dan wawasan yang sangat dalam tentang pertanian modern menghadapi millennium ketiga. Agribisnis merupakan suatu sistem, bila akan dikembangkan harus terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada didalamnya.

Menurut Wibowo, (1994), pengertian agribisnis mengacu kepada semua aktifitas mulai dari pengadaan, prosesing, penyaluran sampai pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu usaha tani atau agroindustri yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian agribisnis dapat dipandang sebagai suatu system pertanian yang memiliki beberapa komponen sub sistem pertanian yang memiliki bahan baku, subsistem pengolahan hasil pertanian dan subsistem pemasaran hasil pertanian.


(34)

Dilain pihak, menurut Soehardjo (1997), persyaratan-persyaratan untuk memiliki wawasan agribisnis adalah sebagai berikut : memandang agribisnis sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem. Sistem tersebut akan berfungsi baik apabila tidak ada gangguan pada salah satu subsistem, setiap subsistem dalam sistem agribisnis mempunyai keterkaitan kebelakang dan kedepan. Agribisnis memerlukan lembaga penunjang, seperti lembaga pertanahan, pembiayaan/keuangan, pendidikan, penelitian dan perhubungan. Agribisnis pelaku dari berbagai pihak baik BUMN, Swasta maupun koperasi dengan profesi sebagai penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir dan lain-lain.

Menurut Saragih (1998), agribisnis merupakan suatu sektor ekonomi modern dan besar dari pertanian primer, yang mencakup paling sedikit empat subsistem, yaitu: (1) sussistem agribisnis hulu (up-stream

agribusiness), seperti kegiatan ekonomi yang menghasilkan (agroindustri

hulu) dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (industri pupuk, obat-obatan, benih/bibit, alat dan mesin pertanian dan lain-lain); (2) subsistem usaha tani (on-farm agribusiness) yang dimasa lalu disebut sector pertanian primer; (3) subsitem agribisnis hilir (down-stream

agribusiness) , yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil pertanian

primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap untuk dimasak atau siap untuk disaji (ready to cook/ready to used) atau siap untuk dimakan


(35)

internasional; dan (4) subsistem jasa layanan pendukung seperti perkreditan, asuransi, transportasi, pergudangan, penyuluhan, kebijakan pemerintah, dan lain-lain.

Menurut PP no. 16/1977 tentang usaha peternakan, di Indonesia terdapat dua macam usaha peternakan, yaitu perusahaan dan peternakan rakyat. Perusahaan peternakan adalah suatu usaha yang dijalankan secara teratur dan terus menerus pada suatu tempat dan dalam jangka waktu tertentu untuk tujuan komerial yang meliputi kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit/ternak potong), telur dan susu serta usaha penggemukan termasuk mengumpulkan, mengedarkan dan memasarkannya, yang untuk tiap jenis ternak melebihi dari jumlah yang ditetapkan untuk tiap jenis ternak pada peternakan rakyat. Peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak diternak ditetapkan oleh Menteri Pertanian, dengan batasan sebagai berikut:

- Sapi perah sekurang-kurangnya 1 ekor - Sapi sekurang-kurangnya 2 ekor

- Kerbau sekurang-kurangnya 2 ekor - Kuda sekurang-kurangnya 2 ekor

- Kambing/domba sekurang-kurangnya 6 ekor - Ayam kampungsekurang-kurangnya 30 ekor


(36)

- Ayam ras petelur/pedaging sekurang-kurangnya 12 ekor

Perusahaan peternakan dan peternakan rakyat tersebut secara sungkat dibedakan menurut beberapa aspek sebagai berikut (tabel 1)

Tabel 1. Perbedaan Perusahaan Peternakan dan Peternakan Rakyat

Aspek Perusahaan Peternakan Peternakan Rakyat 1. Sifat Pokok Sambilan

2. Tujuan Menghasilkan pendapatan pokok dan memaksimumkan keuntungan (komersial)

Menambah

pendapatan rumah tangga

3. Skala Besar Kecil 4. Kedudukan Badan hukum Individual 5. pengelolaan Intensif Tradisional

2.2.2 Pembangunan Masyarakat

Pembangunan masyarakat miskin cenderung lambat terutama disebabkan rendahnya modal sosial yang dimilikinya. Modal sosial adalah norma, kepercayaan, jaringan yang memfasilitasi dalam tindakan kolektif untuk hubungan yang saling menguntungkan. Jika sekilas dibuat gambaran tentang mentalitas miskin, umumnya cenderung gemar menempuh jalan pintas, yang benar adalah kami, asing dengan perubahan, terobosan, inovasi dan cenderung tidak rela orang lain


(37)

mencapai prestasi yang lebih baik. Secara umum dasar-dasar kebudayaan Melayu (Indonesia) adalah tidak memiliki tradisi inovatif, lekas puas dengan tercapainya kebutuhan sederhana, cenderung boros dan senang bergantung (tetapi kemudian berkhianat) kepada mereka yang diasumsikan sebagai yang lebih kuat (Witrianto, 2008).

Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Di suatu komunitas yang memiliki modal sosial rendah, kualitas pembangunan manusianya akan jauh tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan manusia yang sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan berbagai masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat, memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti meningkatkan kesejahteraan, perkembangan anak dan banyak keuntungan lainnya yang dapat diperoleh. Bangsa yang memiliki modal sosial tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya. Bahkan sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari solusi pemecahannya, sehingga masyarakat kurang terlibat dalam setiap tahapan proses pemberdayaan. Akibatnya masyarakat


(38)

kurang memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program tersebut dilakukan. Kondisi ini yangmendorong masyarakat bersikap tidak peduli dan tidak bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan program tersebut. Beberapa contoh program pemberdayaan yang digulirkan pemerintah yang belum menunjukkan manfaat yang signifikan secara berkelanjutan bagi masyarakat dan bahkan hanya menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah adalah Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan), Raskin, Gaskin, dana bergulir, BLT dan sebagainya (Suharto dan Yuliani, 2005).

2.2.3 Pembangunan Peternakan

Pada tahun 1999 hingga 2001 pasokan daging sapi asal impor di Indonesia telah mencapai 15-22% dari kebutuhan daging sapi (Ditjend Bina Produksi Peternakan, 2002). Ketergantungan impor daging dan sapi potong, antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan memenuhi kebutuhan permintaan daging dari pemotongan sapi lokal yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan daging. Pemenuhan permintaan daging sapi bila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi lokal, maka dapat berakibat terjadi pengurasan populasi sapi lokal, karena terjadi pemotongan terhadap sapi muda yang ukurannya masih kecil dan terhadap sapi betina produktif. Kondisi ini sangat berbahaya jika kita mengacu pada keinginan pemerintah untuk berswasembada daging pada tahun 2014. Sapi potong lokal saat ini sangat beragam dan sebagian


(39)

besar (94%) dikelola dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat

(cow-calf operation) dalam skala usaha kecil dan terintegrasi dengan

kegiatan lain, sehingga fungsi sapi potong sangat kompleks dalam menunjang kehidupan peternak (Gunawan, 2003).

Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari ke empat faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan mempengaruhi sub sistem lain. Oleh karena itu dalam penerapan teknologi harus ada keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan. Kelembagaan dalam hal ini tidak saja menyangkut kelembagaan usahatani, melainkan juga peranan kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian yang dapat mendukung pembangunan dan usaha agribisnis.

Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan program-program itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi "klien" dari program-program tersebut. Pentingnya lembaga-lembaga di pedesaan dalam pembangunan pertanian karena; 1) banyak masalah-masalah pertanian hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga; 2) organisasi dapat


(40)

memberi pada usaha-usaha pertanian karena sangat terkait dengan penyebaran dan pengembangan teknologi. Dalam jangka panjang, dalam pembangunan pertanian, kemampuan masyarakat petani untuk bekerjasama sama pentingnya dengan perolehan pengetahuan teknis; dan 3) Pada suatu waktu masyarakat desa akan bersaing dengan dunia luar, sehingga perlu mereka terorganisasi. Lembaga-lembaga tingkat desa dapat menyediakan pengalaman dalam keterampilan yang harus dipelajari masyarakat desa agar dapat mengorganisasikan diri. Ciri-ciri peternakan rakyat yakni skala usaha realtif kecil, merupakan skala rumah tangga, merupakan usaha sampingan, menggunakan teknologi yang sederhana dan bersifat padat karya serta berbasis organisasi kekeluargaan. Usaha peternakan rakyat memiliki posisi yang sangat lemah dan sangat peka terhadap perubahan. Alternatif pengembangan adalah dengan melakukan reformasi modal, penciptaan pasar, sistim kelembagaan dan input teknologi. Tujuannya adalah untuk merubah usaha rakyat menjadi usaha yang maju (Ilham,2004).

Lebih lanjut Ilham (2004) memaparkan Selama ini jika diamati, pengertian membangun peternakan identik dengan tugas pokok dan fungsi dari Departemen Pertanian cq Ditjen Peternakan di tingkat pemerintah pusat atau Dinas Peternakan di tingkat provinsi, yaitu subsektor yang bergerak dalam bidang produksi dengan pendekatan sistem agrobisnis. Namun, realitasnya keberpihakan kebijakan pembangunannya lebih diarahkan untuk memenuhi kepentingan konsumsi


(41)

dan bukan produksi. Sering kali pemerintah cukup "panik" manakala harga produk peternakan membumbung naik. Padahal, seharusnya pemerintah cukup bertindak bijak, yaitu bahwa peningkatan harga akan menyebabkan peningkatan produksi dan penyerapan tenaga kerja sehingga akan mampu meningkatkan daya beli dan pola konsumsi masyarakat pedesaan.

Dalam agribisnis peternakan, subsistem yang terlibat saling terkait dan saling menentukan (keragaan) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Keragaan Agribisnis Peternakan PEM ASARAN

- Inform asi pasar

- Int elejen pasar

- Kebijakan pasar

BUDIDAYA

SUBSISTEM PENUNJANG

- Penelit ian dan Pengem bangan

- Penyuluhan

- Keuangan/ Perkredit an

- Kesehat an Hew an

- Transport asi dll. AGRIBISNIS HULU

- Usaha bibit - Indust ri pakan - Indust ri farm asi - Indust ri alsinnak

AGRIBISNIS HILIR

- Pem ot ongan hew an

- Indust ri pengolahan susu/ daging/ t elur


(42)

2.2.4 Kelembagaan

Syahyuti (2008) mengatakan ada dua pintu masuk untuk sampai kepada kajian kelembagaan, yaitu melalui “studi kebudayaan” khususnya tentang aspek nilai dan norma, serta cabang ilmu “sosiologi kelompok”. Kedua bidang kajian ini ditekuni oleh para ahli dengan kacamata yang berbeda menghasilkan beberapa batasan tentang apa itu kelembagaan. Pemahaman tentang kebudayaan menyumbangkan sisi dinamis dari kelembagaan (disebut dengan aspek kelembagaan), sedangkan sosiologi kelompok menyumbangkan aspek statis dari kelembagaan (aspek keorganisasian). Didalam masyarakat dapat ditemukan beberapa lembaga yang mempunyai fungsi mengatur sikap dan tingkah laku para warganya yang sekaligus merupakan pedoman bagi mereka dalam melakukan interaksi satu dengan yang lain, dalam kehidupan bersama. Bulu, Sasongko WR dan Puspadi ( 2008), lembaga adalah pola aktivitas yang terbentuk untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Asal mulanya adalah kelaziman yang menjadi adat istiadat yang kokoh, kemudian memperoleh gagasan kesejahteraan sosial dan selanjutnya terbentuklah suatu susunan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi mengenai kelembagaan dapat dirangkum; institusi atau lembaga adalah mencakup sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat, jaringan kerjasama, dan organisasi yang menjalankan tindakan kolektif anggota masyarakat petani.


(43)

Definisi kelembagaan yang berasal dari studi kebudayaan yaitu: “kelembagaan adalah himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia”. Norma merupakan unsur pokok dalam kebudayaan. Satu temuan penting dalam konteks ini adalah konsep“cultural determinism”, dimana segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimilikinya. Sistem norma merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, atau merupakan unsur pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Norma terbentuk lambat laun yang akan dijaga jika dirasakan berguna. Norma memiliki kekuatan mengikat yang berbeda, dan juga sanksi sosial yang berbeda jika dilanggar. Dikenal empat tingkatan dalam norma, yaitu cara (usage), kebiasaan (foklways), tata kelakuan (mores), dan adat-istiadat (custom). Norma diturunkan dari tata nilai yang menjadi inti pokok kebudayaan. Seluruh perilaku manusia berpedoman kepada norma yang hidup dan diakui tersebut (Bulu dkk., 2008).

Pintu masuk kedua adalah sosiologi kelompok. Bidang kajian ini mempelajari kelompok-kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat berupa keluarga, masyarakat desa, masyarakat kota, bangsa dan lain-lain. Kelembagaan berasal dari kata lembaga yang mempunyai arti bakal dari sesuatu, asal mula yang akan menjadi sesuatu atau badan/organisasi yang mempunyai tujuan jelas terutama dalam bidang keilmuan. Difinisi kelembagaan menjadi berkembang tergantung pada tujuan dan aspek yang ingin diperolehdari suatu lembaga. Organisasi sendiri dapat


(44)

diartikan sebagai kesepakatan perencanaan mengumpulkan sumber daya produktif guna mengejar satu atau beberapa tujuan (Djogo dkk. 2003).

Pendifinisian kelembagaan dapat dipilah dalam dua klasifikasi.

Pertama, bila berkaitan dengan proses, maka kelembagaan merujuk

kepada upaya mendesaian pola interaksi antar pelaku ekonomi sehingga mereka dapat melakukan kegiatan transaksi. Kedua, jika berhubungan dengan tujuan, maka kelembagaan berkonsentrasi untuk menciptakan efisiensi ekonomi berdasarkan struktur kekuasaan ekonomi, politik, sosial antar pelakunya. Sehingga, secara umum kelembagaan didifinisikan sekumpulan aturan formal (hukum, kontrak, perjanjian, organisasi dan sebagainya) dan aturan informal (norma, tradisi, kebiasaan, sistim nilai, agama dan kecenderungan sosiologi dan lainnya) yang memfasilitasi koordinasi atau mengelola (governance) hubungan antara individu atau kelompok. Oleh karena, pada dasarnya lembaga menyediakan lebih banyak kepastian dalam interaksi manusia dan juga mempengaruhi perilaku seseorang (Yustika, 2006).

“Kelembagaan” merupakan satu konsep yang tergolong membingungkan, dan dapat dikatakan belum memperoleh pengertian yang mantap dalam ilmu sosiologi. Meskipun belum sepakat, namun dapat diyakini bahwa kelembagaan adalah social form ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang hidup dalam masyarakat. Kata “kelembagaan” menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup


(45)

(constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang. Ia merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Tiap kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma yang sudah disepakati yang sifatnya khas. Kelembagaan adalah kelompok-kelompok sosial yang menjalankan masyarakat. Tiap kelembagaan dibangun untuk satu fungsi tertentu. Karena itu kita mengenal kelembagaan pendidikan, kelembagaan-kelembagaan di bidang ekonomi, agama, dan lain-lain. Jadi, dunia berisi kelembagaan-kelembagaan. Semua manusia pasti masuk dalam kelembagaan. Tidak satu, tapi sekaligus dalam banyak kelembagaan, mulai dari di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dan lain-lain (Syahyuti. 2008).

Merangkum dari berbagai pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan menurut Djogo,Tony, Suharjito, Didik, Martua dan Sirait (2003) adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode


(46)

etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Kelembagaan dibentuk dalam masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Semakin berkembang suatu masyarakat, maka semakin banyak kelembagaan yang dimilikinya. Lebih lanjut Djogo dkk (2003) menggolongkan bahwa jenis-jenis kelembagaan berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, system pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta system teknologi dan peralatan. Berbagai jenis kelembagaan dikelompokkannya ke dalam delapan kebutuhan hidup manusia, yaitu:

1. Kelembagaan yang bertujuan untuk memenuhi hidup kekerabatan (domestic institutions) berupa kelembagaan pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan anak-anak, perceraian dan sebagainya.

2. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan pencaharian hidup

(economic institution) berupa pertanian, peternakan,

pemburuan, feodalisme, industri, barter, koperasi, penjualan, dsb.

3. Kelembagaan untuk pendidikan (educational institutions) berupa pengasuhan anak-anak, pendidikan rakyat, pendidikan menengah, pendidikankeagamaan, perpustakaan, pers, dsb.


(47)

4. Kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia

(scientific institutions) berupa metoda ilmiah, penelitian,

pendidikan ilmiah, dsb.

5. Kelembagaan untuk menyatakan rasa keindahan (aesthetic and

recreational institutions) misalnya seni rupa, seni suara, seni

gerak, kesusasteraan, olahraga, dsb.

6. Kelembagaan untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib

(religious institutions) berupa gereja, doa, kenduri, upacara,

pantangan, ilmu gaib,dsb.

7. Kelembagaan untuk kehidupan berkelompok atau bernegara

(political isntitutions) yaitu sistem pemerintahan, demokrasi,

kehakiman, kepartaian,kepolisian, dll.

8. Kelembagaan untuk mengurus kebutuhan jasmaniah manusia

(somatic isntitutions) misalnya salon, kedokteran, dll.

Kelembagaan tidaklah statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan yang disebabkan karena perubahan nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Ada dua dimensi penyebab terjadinya perubahan kelembagaan, yaitu perubahan konfigurasi antar pelaku ekonomi dan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi. Dengan pemahaman diatas, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya. Sehingga perubahan kelembagaan


(48)

mempunyai kekuatan yang besar dalam mempengaruhi aspek-aspek kehidupan sosial, hukum, ekonomi dan politik serta lainnya. Maksudnya, jika norma interaksi sosial berubah, seluruh pola hubungan sosial dan jaringan sosial yang sudah dikembangkan oleh anggota masyarakat dapat berubah pula.

Lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan menurut North dalam Yustika (2006) adalah :

1. Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan dan kemudian diperkuat oleh kompetisi merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan.

2. Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.

3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis ketrampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki pertukaran maksimum.

4. Persepsi berasal dari kontruksi bangunan mental para pemain/pelaku

5. Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki jalur ketergantungan.


(49)

Ada empat hal yang menyebabkan individu atau kelompok berusaha mengubah kesepakatan kelembagaan, yaitu :

1. Perubahan harga relatif dalam jangka panjang mendorong peningkatan aktivitas ekonomi tertentu atau membuat aktivitas ekonomi baru.

2. Kesempatan teknologi baru dapat menciptakan pendapatan yang potensial, yang hanya dapat ditangkap jika kelembagaan ekonomi yang sedang berjalan dapat diubah.

3. Kesempatan dalam mencari alternatif usaha dapat memicu kelompok kepentingan untuk melakukan perubahan kelembagaan guna menyesuaikan sewa dan retribusi pendapatan sesuai keinginannya.

4. Perubahan dalam sikap kolektif, seperti proteksi lingkungan sapi Madura, pendapatan minimum regional, perubahan cukai rokok dan sebagainya.

Koneksi antara lembaga dan perubahan ekonomi menjadi sangat jelas, karena lembaga mempengaruhi penciptaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan dan penghancuran ilmu sejak mereka membentuk visi, interaksi, keputusan dan rutinitas agen-agen ekonomi pada semua level dengan dan di luar organisasi dan pasar, membentuk proses teknis dan perubahan organisasi. North (1987) dalam Kutsiyah (2008) menegaskan bahwa lembaga yang efisien merupakan penyebab utama terjadinya pertumbuhan ekonomi. Karena lembaga meyediakan


(50)

informasi, mengurangi ketidak pastian, memanajemen konflik, konkurensi, menciptakan insentif dan kepercayaan.

Pertumbuhan ekonomi tidak harus bertumpu pada investasi. Tetapi kemajuan teknologi dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi. Ekonomi kelembagaan (institutional economic) merupakan pengontrolan tindakan kolektif, pembebasan dan perkembangan tindakan manusia (collective

action controlling, liberating and expanding human relation). Ekonomi

kelembagaan lebih menekankan pada system ekonomi disusun (structured) dan perubahan struktur akibat responsive tindakan kolektif (Bromley (1993) dalam Kutsiyah (2008). Sehingga lembaga ekonomi mampu mengatasi peningkatan kompleksitas pertukaran, menawarkan lebih banyak kreasi, distribusi dan adaptasi ide baru.

Ada dua jalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yaitu :

a. Meningkatkan jumlah sumber daya (input) dalam proses produksi, dengan sendirinya akan meningkatkan out put atau dikenal dengan pertumbuhan ekstensif.

b. Proses peningkatan poduktifitas sumber daya. Produktifitas yang tinggi dihasilkan dari perbaikan teknologi atau disebut dengan pertumbuhan intensif. Perekonomian dapat bergerak melewati batas kurva pada kuantitas input yang tetap hanya dengan jalan peningkatan teknologi yang dapat dilaksanakan dengan cara :


(51)

2. Mengupayakan agar pasar modal berfungsi dengan baik.

3. Menciptakan lingkungan yang kompetitif sehingga dapat menekan korporasi secara terus menerus dalam memperbaiki produk-produknya atau sanggup mengambil resiko.

Bulu, Sasongko WR dan Puspadi (2008) menguraikan bahwa kelembagaan merupakan salah satu unsur yang memegang peranan penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah-masalah pertanian terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal. Banyak masalah-masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga. Sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor yang saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan yang merupakan faktor penggerak sebagai satu kesatuan sistem dalam pembangunan pertanian. Dalam penerapan teknologi belum ada keseimbangan antara sub sistem sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan kelembagaan.

2.2.5 Deskripsi Sapi Potong

Dari sejarahnya, semua bangsa sapi yang dikenal didunia berasal dari Homacodontidae yang di jumpai pada zaman Pliocene di India, Asia ( Murtidjo, 1994). Banyak ahli yang memperkirakan bahwa breed (bangsa) sapi berasal dari Asia tengah, kemudian menyebar ke Eropa, keseluruh kawasa Asia dan Afrika. Sedangkan Amerika, Australia dan Selandia baru


(52)

yang saat ini merupaka gudang sapi potong dan sapi perah jenis unggul tidak terdapat keturunan asli, melainkan hanya mendapatkan dari Eropa ( Sugeng, 2002). Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Romans et al., (1994) dan Blakely dan Bade, (1992) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Sub class : Theria

Infra class : Eutheria

Ordo : Artiodactyla

Sub ordo : Ruminantia

Infra ordo : Pecora

Famili : Bovidae

Genus : Bos (cattle)


(53)

Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)

Bos indicus (sapi India/sapi zebu)

Bos sondaicus (banteng/sapi Bali)

Dari species sapi diatas, terbagi menjadi 2 (dua) type sapi, yaitu sapi perah dan sapi pedaging yang diusahakan untuk sapi potong. Sapi pedaging adalah sapi-sapi yang sengaja dipelihara untuk tujuan menghasilkan daging yang berkualitas baik, dengan ciri-ciri bentuk tubuh dalam dan besar, bentuk segi empat atau balok, laju pertumbuhan cepat, efisiensi pakan tinggi, cepat mencapai dewasa, dan badan berisi daging. Anggorodi (1979) : Penambahan berat akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukan pertumbuhan murni. Ditinjau dari segi kimiawi : pertumbuhan murni adalah suatu penambahan jumlah protein dan zat-zat mineral yang tertimbun di dalam tubuh

2.2. 6 Usaha Penggemukan sapi

Penggemukan sapi dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara perusahaan dalam skala usaha besar. Namun, ada pula yang mengusahakan penggemukan sapi secara kelompok dalam kandang yang berkelompok pula. Usaha penggemukan sapi merupakan pengembangan dari agribisnis peternakan, karena berawal dari pemikiran para peternak ketika menjual sapi-sapi yang sudah relatif tua dan sudah tidak efektif lagi bila digunakan sebagai bibit, pejantan, tenaga kerja,dan sapi perah. . Sapi-sapi demikian tentu kondisinya relatif kurus dan tidak dapat


(54)

diharapkan untuk menghasilkan daging yang berkualitas baik dan kalau dijual tentu harganya relatif murah. Para peternak sapi umumnya menjual sapi-sapinya kepada pedagang-pedagang ternak yang didasarkan pada kondisi dan bobot badan. Atas dasar itulah maka peternak untuk mengupayakan harga penjualan sapi yang lebih mahal dengan menggemukkannya terlebih dahulu selama beberapa bulan sebelum dijual ke pasar atau kepada pedagang ternak. Penggemukan ini ternyata mendatangkan nilai tambah bagi para peternak karena harga penjualan sapi yang lebih mahal dibandingkan dengan harga penjualan sapi tanpa melalui proses penggemukan terlebih dahulu.

Usaha penggemukan sapi mendatangkan keuntungan ganda berupa keuntungan dari pertambahan bobot badan dan kotoran sapi berupa pupuk kandang. Jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari penjualan sapi yang digemukkan tergantung pada pertambahan bobot badan yang telah dicapai dalam proses penggemukan, lama penggemukan dan harga daging.

2.2.7 Karakteristik Sapi Madura

Morfologi

Sapi Madura merupakan salah satu sapi potong lokal (indigenus) yang berkembang di Indonesia, dan termasuk sapi potong type kecil. Sapi Madura dalam perjalanan perkembangannya merupakan hasil pembauran berbagai bangsa type sapi potong yaitu antara sapi Bali (Bos sondaicus)


(55)

dengan Zebu (Bos indicus). Keunggulan itu antara lain, memiliki kemampuan daya adaptasi yang baik terhadap stress pada lingkungan tropis, mampu hidup dalam keadaan pakan yang kurang baik, tumbuh dan berkembang dengan baik, serta tahan terhadap investasi serangan caplak dan memiliki kualitas karkasnya yang tinggi dan ketahanannya terhadap parasit tertentu. Hingga kini beberapa sumber menyebutkan bahwa sapi madura telah mengalami degradasi produktivitas karena seleksi negatif dan inbreeding (Soehadji,1993).

Upaya untuk memperbaiki pertumbuhan sapi Madura menurut Wijono dan Setiadi (2007), telah dilakukan persilangan dengan pejantan unggul termasuk bangsa Bos taurus antara lain Red Denis, Santa

Gestrudis dan pejantan persilangan antara Shorthorn dengan Brahman

yang kesemuanya memiliki warna merah kecoklatan. Komunitas yang dihasilkan melalui isolasi dan seleksi alamiah yang ketat menghasilkan sapi yang relatif memberikan keseragaman genotipe yang mantap dan berkembang sebagai sapi Madura sekarang ini. Bahkan sapi potong

Limousin juga diperkenalkan sebagai pejantan unggul dalam upaya

meningkatkan produktivitas sapi Madura (Soehadji, 1993 dan Soerjoatmodjo, 2002). Strategi pemasukan genotipe baru tidak jelas kelanjutannya dan merupakan tindakan langkah-langkah jangka pendek atau produksi sesaat, tidak mempunyai arah, sasaran dan target yang jelas yang ingin dicapai maupun permasalahan yang akan timbul dari akibat perkawinan silang.


(56)

Komformasi sapi Madura pada bagian kepala bertanduk yang mengarah dorsolateral, berdasar tanduk besar dan pada sapi jantan memiliki gumba (punuk) sedangkan yang betina tidak tampak adanya punuk (kecil). Warna bulu merah bata–merah coklat, warna sapi jantan dan betina sama sejak lahir sampai dewasa; garis punggung (linea

spinosum) kehitaman-coklat tua masih ditemukan, warna keputih-putihan

pada daerah bawah kaki (metacarpus–phalanx) dan twist/sekitar pantat (Anonimus, 2001).

Populasi sapi Madura di pulau Madura dari tahun ketahun relatif statis dengan kisaran 600.000–700.000 ekor dan populasi tertinggi terjadi pada tahun 1932 sebanyak 735.922 ekor. Populasi sapi Madura di Indonesia hingga tahun 1991 dilaporkan sebanyak 1.279.000 ekor atau sekitar 12% dari populasi sapi potong di Indonesia, sebanyak 691.092 ekor (54%) terdapat di Pulau Madura dengan tingkat pertumbuhan mencapai 1,7% pertahun (Soehadji, 1992). Penyebarannya hampir di seluruh Nusantara, ditemukan mencapai sekitar 18 propinsi yaitu di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan NTB. Pengembangannya di luar pulau Madura, tidak menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan walaupun wilayahnya memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama. (Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004)


(57)

Produktivitas Sapi Madura

Sapi Madura adalah salah satu bangsa sapi asli Indonesia, banyak didapatkan di Pulau Madura. Salah satu kelebihan sapi Madura adalah tahan terhadap kondisi-pakan yang berkualitas rendah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik; serta tahan terhadap infestasi caplak.. Namun ada kecenderungan bahwa mutu sapi Madura menurun produktivitasnya atau terjadi pergeseran nilai (produktivitas) dari waktu ke waktu, yang sampai saat ini penyebabnya belum diketahui dengan jelas ( Soehadji, 2001). Sebagai sapi potong tipe kecil memiliki variasi berat badan sekitar 300 kg dan pemeliharaan yang baik dengan pemenuhan kebutuhan pakan dengan pakan yang baik mampu mencapai berat badan ≥ 500 kg,

ditemukan pada sapi Madura yang menang kontes (Soehadji, 2001).

Pengaruh nilai sosiobudaya masyarakat Madura terhadap ternak sapi Madura memiliki nilai tersendiri terutama terhadap tradisi sapi betina pajangan yang dikenal sebagai sapi Sonok dan lomba sapi jantan yang dikenal sebagai Kerapan. Sapi yang dilombakan merupakan sapi pilihan yang memiliki tampilan performans yang sangat baik. Selain itu peranan pemeliharaan sapi Madura seperti pemeliharaan sapi potong lainnya yaitu sebagai sumber penghasil daging, tenaga kerja, dan kebutuhan ekonomi. Pola pemeliharaan sapi Madura jantan dari hasil pengamatan Wahyono dan Yusran (1992) sebanyak 94% dimanfaatkan sebagai tabungan yang diharapkan mampu mendukung kebutuhan ekonomi dan nilai jual cepat atau pemeliharaan rearing (pembesaraan) sampai rataan 25,5 bulan.


(58)

2.2.8 Kebutuhan Pokok Keluarga Peternak

Dinsosnakertrans (Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Kabupaten Pamekasan melaporkan bahwa penetapan UMK Pamekasan telah sesuai prosedur dan tertinggi se Madura. Penetapan itu didasarkan pada perhitungan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat Pamekasan yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans, para pengusaha dan serikat pekerja yang ada di kabupaten Pamekasan, yaitu sebesar Rp.900 ribu yang merupakan KHR (Kebutuhan Hidup Rakyat). KHR inilah yang kemudian diusulkan kepada Gubernur Jawa Timur dan Dewan Pengupahan Jawa Timur untuk disyahkan menjadi UMK.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kominfo Jatim, UMK Jatim 2010 yang telah disetujui oleh Dewan Pengupahan Jatim dan diteken Gubernur Jawa Timur, terlihat pada Tabel 2 dibawah ini:


(59)

(60)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan pada bab 2, penelitian ini mempunyai kerangka penelitian sebagai berikut: Kondisi pengembangan sapi potong saat ini , khususnya usaha penggemukan sapi potong didorong oleh permintaan daging yang terus-menerus meningkat dari tahun ke tahun dan timbulnya keinginan sebagian peternak sapi untuk menjual ternaknya dengan harga yang lebih pantas. Perkembangan usaha penggemukan sapi juga tidak terlepas dari upaya pemerintah yang telah berupaya mendukung usaha ini yang salah satunya adalah menyebarkan kredit penggemukan sapi.

Kebutuhan daging sapi nasional setiap tahun setara dengan 2.000.000 ekor sapi hidup, dimana sebanyak 70% telah terpenuhi oleh peternakan sapi rakyat. Sedangkan sisanya 600 – 700 ribu ekor masih diimpor.

Program Swasembada Daging Sapi 2014 adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dari produksi sapi dalam negeri sebesar 90% atau lebih. Program swasembada daging sapi mulai digulirkan tahun 2009 dengan berbagai aktivitasnya. Diawali dengan pembahasan tentang


(61)

tentang kebijakan “stop impor” daging/jeroan dan pembatasan terhadap izin (rekomendasi) impor sapi hidup. Semua kebijakan tersebut temyata menuai kritik terhadap data, cara berpikir, hingga pola kaji tindak para pemangku kepentingan terhadap pemerintah.

Pada tahun 1999 hingga tahun 2001 pasokan daging sapi asal impor di Indonesia telah mencapai 15-22 % dari kebutuhan daging sapi (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2002). Ketergantungan impor daging dan sapi potong antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan memenuhi kebutuhan permintaan daging dari pemotongan sapi lokal yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan daging. Pemenuhan permintaan daging sapi bila hanya dipenuhi melalui pemotongan sapi lokal, maka dapat berakibat terjadi pengurasan populasi sapi lokal karena terjadi pemotongan terhadap sapi muda yang ukurannya masih kecil dan terhadap sapi betina produktif. Kondisi sangat berbahaya jika kita mengacu pada keinginan pemerintah untuk berswasembada daging pada tahun 2014 (Dirjen Peternakan, 2009).

Mengingat sistem peternakan rakyat masih dilaksanakan secara tidak terstruktur dan bersifat “subsisten tradisional”, ukuran yang digunakan pun tidak mengacu kepada orientasi pasar. Akibatnya, bisnis peternakan rakyat akan selalu dihadapkan kepada kerugian bila dihitung secara komersial. Contohnya, peternak rakyat selalu menggunakan sistem taksir dalam menyediakan bakalan dan sarana produksinya. Sementara itu pemasaran dilakukan dengan sistem timbangan karkas atau timbangan


(62)

hidup. Kenyataan ini yang selalu menyulitkan peternak rakyat dalam pemasaran yang tidak memiliki standardisasi dan juga tidak berorientasi ekonomi.

Gambar 2. Kerangka Penelitian

USAHA SAPI POTONG

Usaha Penggemukan Sapi Pot ong

Analisis Usaha: -Biaya

produksi, - Pendapatan Kotor Usaha - Pendapatan Bersih Usaha

Usaha Pembibit an Sapi Pot ong

Kinerja Sistem Agribisnis (hulu – hilir)

Kebijakan Pemerintah

Usaha Pengembangan Sapi Potong Berbasis Agribisnis


(63)

3.2. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu, maka peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga usaha penggemukan sapi Madura belum memanfaatkan sistem agribisnis peternakan yaitu suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas, dimana kegiatan usaha ditunjang oleh kegiatan-kegiatan pertanian lainnya.

2. Diduga pendapatan usaha penggemukan sapi potong skala peternakan rakyat belum bisa memenuhi kebutuhan pokok keluarga petani ternak

3. Peran daerah otonom dalam pengembangan agribisnis peternakan, diduga masih sangat kurang, sampai saat ini untuk program-program pengembangan agribisnis peternakan masih mengandalkan program-program dari pemerintah pusat dan propinsi.


(64)

BAB IV.

METODE PENELITIAN

4.1. Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi secara sengaja (purposive) dilakukan di Kabupaten Pamekasan dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu daerah sentra sapi potong di Propinsi Jawa Timur.

4.2. Penentuan Populasi dan Responden

Populasi dalam penelitian adalah para peternak sapi potong yang ada di Kabupaten Pamekasan dengan populasi ternak sapi potong sebanyak 98.000 ekor yang tersebar di 13 wilayah kecamatan. Penentuan lokasi sampling diambil secara sengaja (purposive) di eks-Kawedanaan Waru yang terdiri dari 3 (tiga) kecamatan yang diwakili 3 (tiga) desa untuk mewakili populasi penelitian, yaitu Desa Dempo Barat Kecamatan Pasean, Desa Waru Barat Kecamatan Waru dan Desa Batu Bintang Kecamatan Batumarmar.

Penentuan lokasi berdasarkan pertimbangan sebagai berikut yaitu (1) Kemudahan monitoring (2) Persediaan pakan diantara dua musim tidak terlalu berbeda dibandingkan daerah lain (3) Sapi bibit yang tersedia cukup banyak (4) Sebagai salah satu daerah sumber bibit di Kabupaten Pamekasan. Menurut Irfan dkk (1996) Potensi hijauan makanan ternak


(65)

(HMT) di Kecamatan Pasean, Waru dan Pakong terdapat surplus HMT, sedangkan di Kecamatan Batumarmar ketersediaan HMT cukup. .

Responden digunakan dalam penelitian ini 38 petani peternak yang mengusahakan penggemukan sapi Madura di Eks-Kawedanaan Waru dari seluruh peternak di lokasi penelitian dengan kriteria sebagai berikut:

• Jumlah kepemilikan ternak 2 – 5 ekor sapi

• Mempunyai sistem dan tatacara pemeliharaan yang sama

• Pengalaman usaha minimal 3 (tiga) tahun

• Usaha dengan modal sendiri

Sedangkan jumlah peternak penggemukan sapi Madura di wilayah ini sebanyak 328 peternak, atau sampel yang diambil sebanyak 12 % dan peternak penggemukan dengan kriteria diatas sebanyak 38 petani peternak atau 100 %. Pengambilan sampel responden ini sesuai dengan pendapat Arikunto (1986) yaitu jika jumlah sampel besar maka dapat diambil sampel 10-15 %.

Untuk data primer lainnya responden yang diambil adalah para pengambil keputusan di Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan.

4.3. Pengambilan Data

Untuk memperoleh data, baik data primer maupun data sekunder dilakukan dengan cara :


(66)

a. Wawancara

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara secara langsung kepada responden peternak, dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah tersusun dan cara wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner diberikan kepada 12 0rang pemegang keputusan di Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan . Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei dan pengamatan langsung di lapangan sambil melakukan wawancara dengan responden yang telah ditentukan. b. Observasi

Metode ini dilakukan untuk memperoleh data pendahuluan mengenai keadaan daerah yang akan diteliti dengan melakukan survei langsung ke lokasi penelitian

c. Studi Kepustakaan

Yaitu dengan cara mencari literatur mengenai bisnis penggemukan sapi potong dan pola kelembagaan.

4.4. Jenis Data

Sedangkan jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu :

1) Data Primer

Yaitu data yang diperoleh dengan wawancara secara langsung pada peternak sampel yang meliputi biaya operasional/produksi, harga


(67)

jual, proses pemasaran, pendapatan peternak, kelembagaan pada tingkat budidaya dan skala pemeliharaan. Sedangkan kuisioner diberikan kepada 12 0rang pemegang keputusan di Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan, yaitu Kepala Dinas, Sekretaris, Kepala Bidang 4 orang, Kepala Balai Peternakan 3 orang, Kepala Pos Kesehatan Hewan, Kepala Laboratorium C, Koordinator Penyuluh Peternakan.

2) Data sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari Kabupaten/ Kecamatan dari instansi terkait yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan. Data yang digunakan antara lain beberapa kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Pamekasan tentang agribisnis peternakan, program kegiatan bidang peternakan, proporsi anggaran bidang peternakan dan manfaat yang diterima peternak.

4.5. Definisi dan Pengukuran Variabel

Definisi istilah pengukuran variabel dalam penelitian ini adalah :

a. Agribisnis adalah suatu kesatuan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas, yaitu kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan-kegiatan pertanian.


(68)

b. Sistem adalah satu kesatuan antar subsistem satu dengan yang lain saling berhubungan dan saling terkait.

c. Bisnis penggemukan sapi yaitu usaha untuk menambah bobot badan sapi potong, yang diukur dengan pertambahan bobot badan perhari

d. Kelembagaan adalah aturan main (rules of the game) yang terdiri dari aturan tertulis (organisasi, kontrak) dan aturan tidak tertulis (sistem nilai, tradisi kekuasaan)

e. Biaya bahan variable atau biaya langsung (direct costs) yaitu biaya yang dapat berubah sebanding dengan besarnya produksi, yang diukur dalam nilai rupiah perproses produksi.

f. Biaya tetap yaitu biaya yang dalam keadaan terbatas tidak berubah mengikuti tingkat perubahan aktivitas produksinya. g. Biaya tunai yaitu biaya yang langsung dikeluarkan oleh

peternak seperti pengadaan ternak, konsentrat, transportasi dan pemeriksaan kesehatan yang diukur dalam rupiah per proses produksi.

h. Analisis kelayakan ekonomi yang terdiri dari kelayakan menurut persepsi peternak yang didasarkan pada biaya tunai saja dan kelayakan secara finansial dengan pendekatan cash flow untuk menghitung Pendapatan Bersih Usaha Tani (Net Farm Income = NFI). Pendapatan Bersih


(69)

Usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani. Simbol yang digunakan untuk pendapatan bersih usaha tani dapat ditulis : NFI = GFI – TFC, dimana NFI = net farm income, GFI = gross farm

income dan TFC = total farm cost (biaya total usahatani)

(Soekardono, 2009)

Analisis kelayakan teknis, kelayakan manajerial, dan kelayakan kelembagaan dengan analisis deskriptif, sehingga dapat menjelaskan fakta dan temuan hasil survey. Soekardono (2007) untuk menganalisis kelayakan usaha peternakan rakyat dapat dilihat dari kelayakan ekonomi, kelayakan teknis, kelayakan manajerial dan kelayakan kelembagaan atau organisasi.

4. Analisis SWOT adalah cara sistematik untuk mengidentifikasi faktor internal dan ekternal untuk menyusun strategi.

Untuk pengukuran jawaban responden digunakan skala likert, dimana jawaban untuk pertanyaan positif maupun negatif dibedakan atas empat skala. Untuk pertanyaan positif contoh skor jawaban sebagai berikut :

- Sangat tinggi dengan skor : 5 - Tinggi dengan skor : 4 - Sedang dengan skor : 3 - Rendah dengan skor : 2 - Sangat rendah dengan skor : 1


(70)

Beberapa kelebihan dari penggunaan pengukuran skala Likers antara lain :

1. Mempunyai banyak kemudahan

2. Menyusun sejumlah pertanyaan sifat atau sikap tertentu relatif mudah. Menentukan skor juga mudah karena jawaban diberi bobot berupa angka yang mudah dijumlahkan. Skor yang lebih tinggi taraf atau intensitasnya dibandingkan skor yang lebih rendah.

3. Mempunyai reabilitas tinggi dalam mengurutkan manusia berdasarkan intensitas sikap tertentu.

4. Sangat luwes, lebih fleksibel dari pada teknik pengukuran lainnya. Penelitian ini tingkat pengujiannya pada taraf nyata sebesar 5% artinya

penelitian mengambil resiko salah keputusannya sebanyak-banyaknya 5% (atau benar dalam keputusannya sedikit-sedikitnya 95%) (Sutrisno Hadi, 1995).

4.6. Analisis Data

1. Untuk menganalisis tujuan pertama yaitu existing condition keragaan agribisnis peternakan di kabupaten Pamekasan dengan analisis deskriptif dengan berpedoman pada kinerja sistem agribisnis (hulu – hilir). Analisa deskriptif menurut Nazir (1999) dalam Winingsih (2003) adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi atau sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskripif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara


(1)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Keragaan agribisnis peternakan saat ini di Kabupaten Pamekasan sudah sangat mendukung, diperlukan pemanfaatan secara optimal potensi-potensi yang ada guna meningkatkan kesejahteraan peternak.

2. Usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Pamekasan layak untuk dikembangkan dari kelayakan teknis dan kelembagaan. Kelayakan manajerial di tingkat peternak belum terpenuhi karena pola beternak yang dipakai masih tradisional (subsisten) demikian juga dengan kelayakan ekonomi walaupun sudah mendapatkan keuntungan yaitu sebesar Rp. 100,072,-, namun belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga peternak yang diasumsikan dengan UMK Kabupaten Pamekasan sebesar Rp. 900,000,-.

3. Keberpihakan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, sebagai daerah otonom sudah cukup baik, hal ini terlihat dari program-program kerja dan sarana prasarana yang tersedia. Namun dari proporsi anggaran serta peraturan/perundang yang tersedia belum banyak dapat dirasakan langsung oleh peternak.


(2)

7.2. Saran

1. Untuk meningkatkan pendapatan peternak, usaha penggemukan sapi Madura perlu dibuat sebuah model pengembangan dengan pendekatan sistem agribisnis melalui integrasi, sinergi dan konsistensi dari semua subsistem agribisnis peternakan yang ada. Misalnya dengan memotong mata rantai tataniaga perdagangan sapi potong dan tersedianya usaha pakan ternak tingkat desa atau kecamatan.

2. Perlu dibentuk sebuah kawasan sistem produksi berbasis lahan pertanian (crop-livestock system) yang sesuai dengan kondisi alam Kabupaten Pamekasan, misalnya untuk wilayah utara menjadi kawasan pembibitan dan penggemukan breed sapi Madura (purebred), sedangkan untuk willayah barat, timur dan selatan untuk persilangan sapi Madura dan sapi eksotik (crossbred)

3. Mengacu pada hasil penelitian ini, maka kepada pemerintah daerah otonom Kabupaten Pamekasan disarankan untuk melaksanakan program secara konsisten dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi ternak, teknologi dan petani yang tersedia, sehingga margin keuntungan yang didapat oleh peternak lebih besar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1991. Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yokyakarta.

Anonimous, (tanpa tahun). Usaha Peternakan, Perencanaan Usaha, Analisa dan Pengelolaan. Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Peternakan. Ditjen Peternakan. Jakarta. Anonimous, 2009 Buku Statistik Peternakan, Direktorat Jenderal

Peternakan. Jakarta.

Arikunto, S. 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Rineksa Cipta. Jakarta.

Blakely and Bade. 1998. Ilmu Peternakan. PT. Gramedia. Jakarta.

Bulu, Yohanes G. Sasongko WR dan Puspadi, Ketut.. 2008. Daya Dukung Kelembagaan Dalam Pengembangan Teknologi Pertanian Lahan Kering Kabupaten Lombok Timur. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian (BPTP) NTB.

Daslina. 2006. Thesis. Kajian kelayakan dan skala ekonomi usaha peternakan sapi potong dalam rangka pemberdayaan peternak (studi kasus di kawasan budidaya pengembangan sapi potong kab. Kampar, Propinsi Riau. Magister Bisnis. IPB. Bogor

Dinas Peternakan. 2009. Rencana Strategi Pembangunan Peternakan di Jawa Timur. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. Surabaya. Dinsosnakertrans (Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

kabupaten Pamekasan, 2010. Laporan Penetapan UMK Pamekasan

Ditjend Bina Produksi Peternakan. 2002. Peunjuk Teknis Inseminasi Buatan Pada Sapi Madura. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur. Surabaya.

Djogo, Tony, Sunaryo, Suharjito,Didik. dan Sirait, Martua. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. WORLD AGROFORESTRY CENTRE (ICRAF). Bogor.

Downey, WD dan Erickson, SP. 1992. Manajemen Agribisnis. Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta.


(4)

Gunawan. 1993. Sapi Madura. Kanisius. Yokyakarta.

Gunawan 2003. Budidaya Ternak Sapi Madura. PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta.

Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik. Andi. Yokyakarta.

Ilham, Nyak. 2004. Tinjauan Kebijakan Pengembangan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kutsiyah, Farahdilla. 2008. Analisis Modal Sosial dan Biaya Transaksi Pengembangan Agribisnis di Pesantren (Kasus: Program Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat pada Dua Pesantren di Kabupaten Pamekasan). Disertasi. PascaSarjana Universitas Brawijaya, Malang.

Santoso. 2008. Tata Laksana Pemeliharaan Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siregar AR. 1985. Potensi dan Karakteristik Sapi Madura. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Soehadji, 1993. Kebijaksanaan Pengembangan Ternak Potong di Indonesia. Tinjauan Khusus Sapi Madura. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Proccedings. Soekardono, 2009. Ekonomi Agribisnis Peternakan. Teori dan Aplikasinya.

Akademika Pressindo. Jakarta.

Soekartawi, A. Soeharjo, J.L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta

Suharto dan Yuliani, 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Refika Aditama. Bandung.

Sugeng. 2003. Sapi Potong. PT. Penebar Swadaya. Bogor

Syahyuti. 2008. Konsep dan Strategi Inovasi Kelembagaan dalam Kegiatan Prima Tani. Bogor. Email: syahyuti@yahoo.com. Website pribadi: www.geocities. com/ syahyuti


(5)

Witrianto. 2008. Kelembagaan Sistem Pembibitan untuk Mengembangkan Bibit Sapi Perah FH Nasional. Wartazoa. Bogor.

Wiyono. 2007. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. PT. Palanta. Jakarta. Yusdja, Y , H. Malian, R. Sayuti dan A.S Bagyo. 2001. Analisis Kebijakan

pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Peternakan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Yustika, Ahmad Erani. 2006. Ekonomi Kelembagaan, Definisi Teori dan Strategi. Bayumedia Publishing. Malang.


(6)