Ruang Lingkup Pembahasan Peminggiran

Gin bahkan saat dia sudah membuka praktik dokter di rumahnya. Dan masih banyak lagi tindakan diskriminasi yang dialami oleh Gin yang akan dibahas di bab tiga. Berdasarkan uraian diatas maka penulis merumuskan masalahnya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender apa saja yang dialami oleh tokoh Gin dalam novel Ginko? 2. Bagaimana ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh Gin dalam novel Ginko yang diungkapkan oleh Jun’ichi Watanabe?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penulis menganggap diperlukan adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan penelitiaan ini. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar masalah tidak terlalu luas dan berkembang jauh dari topik penelitian, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus. Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahannya yakni mengenai masalah diskriminasi gender dalam novel Ginko dan realitas masalah gender di Jepang, khususnya masalah ketidakadilan gender berupa subordinasi, marginalisasi, stereotipe dan violence atau kekerasan terhadap perempuan. Untuk mempermudah dan memperjelas fokus mengenai diskriminasi gender ini, penulis juga akan menjelaskan mengenai setting novel Ginko, biografi Jun’chi Watanabe sebagai pengarang novel Ginko, dan pengertian gender termasuk didalamnya konsep gender, ideologi gender dan ketidakadilan gender. Data Universitas Sumatera Utara utama adalah novel Ginko karya Jun’ichi Watanabe yang berjumlah 462 halaman, dalam edisi bahasa Indonesia.

1.4 Tinjauan Pusataka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Semi dalam Wahyudi 2008: 67,sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastra adalah kekayaan rohani yang dapat memperkaya rohani. Banyak orang yang mendefenisiskan karya sastra dalam satu defenisi yang umum. Padahal selain bersifat umum, karya sastra juga bersifat khusus. Dikatakan bersifat umum karena semua karya sastra seharusnya dapat dibedakan dengan bentuk hasil-hasil seni atau kebudayaan lainnya, seperti seni patung, seni tari, seni lukis, seni rupa, dll. Karya sastra bersifat khusus karena karya sastra dapat dibedakan atas puisi, prosa, dan drama. Prosa dapat dibedakan atas cerpen, novel, novelet, dan cerpen. Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek dari pada roman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996: 694, novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Masalah yang dibahas dalam novel juga tidak begitu kompleks. Novel sebagai salah satu produk karya sastra, merupakan media yang digunakan pengarang dalam menyampaikan gagasannya. Sebagai media, karya Universitas Sumatera Utara sastra menjadi jembatan yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pengarang yang disampaikan kepada pembaca. Seperti karya seni pada umumnya, kesusastraan selalu diciptakan secara kreatif, dalam pengertian bahwa karya sastra selalu diciptakan dalam realitas baru, yang berarti sesuatu yang belum terlintas dan belum tertangkap oleh orang lain. Karya sastra sebagai media untuk merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang diamatinya dilingkungan. Realitas sosial yang terjadi diramu dengan sedemikian rupa menjadi sebuah teks yang nantinya dapat menghadirkan pencitraan yang berbeda dibandingkan dengan realitas empiris. Dengan demikian, realitas sosial yang terjadi di masyarakat dihadirkan kembali oleh pengarang melalui teks cerita dalam bentuk dan pencitraan yang berbeda. Penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat Rampan, 2008: 82. Dalam sebuah karya sastra, hal-hal yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat, fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang terjalin diantara seluruh anggotanya. Menurut Trisakti dan Sugiarti 2008: 4-6 kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, permpuan, atau perbedaan jenis kelamin. Untuk memahami kata gender, harus dibedakan dengan kata sex atau jenis kelamin. Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat setra tidak dapat dipertukarkan. Laki-laki tidak dapat menstruasi, tidak dapat hamil, Universitas Sumatera Utara karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain : kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan dalam arti: memilih atau memisahkan peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan melihat perbedaan yang jelas antara laki- laki dan perempuan, maka dapat dikatakan perbedaan itu terjadi secara kodrati. Gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. Jadi, gender menurut Fakih 2004: 8 adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sementara itu kultur yang ada dalam masyarakat akan mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan berjalannya waktu, maka sifat yang dilekatkan oleh masyarakat juga akan mengalami perubahan dan perkembangan. Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke Universitas Sumatera Utara tempat yang lainnya. Misalnya saja, kultur masyarakat yang berubah dari mulai zaman batu, laki-laki lebih dominan daripada perempuan karena kekuatan fisik yang berbeda, kemudian pada zaman agraris, dimana perempuan tampak lebih mandiri, dan di zaman industri maju dengan teknologi yang canggih saat ini lebih menghargai skill daripada jenis kelamin, yang menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan kaum laki-laki. Struktur sosial dan kondisi sosio-kultural akan mempengaruhi identitas gender.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan pada konsep gender, khususnya pada konsep ketidakadilan gender. Menurut Fakih 2004: 12- 13, diskriminasi atau ketidakadilan gender sering terjadi di dalam keluarga dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu :

a. Peminggiran

Marginalisasi Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi dimana terjadinya peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus pekerjaan utama yang berakibat pemiskinan. Proses marginalisasi yang mengakibatkan pemiskinan sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya, program Universitas Sumatera Utara swasembada pangan atau revolusi hijau green revolution secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjannya sehinggga memiskinkan mereka. b. Anggapan Tidak Penting Subordinasi Subordinasi atau anggapan tidak peting adalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Misalnya saja sejak zaman dahulu perempuan tidak diperbolehkan untuk sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya mereka akan di dapursaja dan mengurus pekerjaan rumah tangga.

c. Pelabelan