Cuplikan hal. 151 Cuplikan hal. 156

3.2.4 Ketidakadilan Gender Berupa Violence

Berikut ini adalah masalah ketidakadilan gender dalam bentuk violence atau kekerasan yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

1. Cuplikan hal. 151

Hari pertama, setelah menyelesaikan berkas-berkas pendaftarannya, Ginko melihat sekelilingnya bertanya-tanya apa yang harus dilakukan berikutnya, tapi tak seorang menawarkan bimbingan atau arahan. Ketika dia bertanya kepada staf kantor kemana dia harus pergi, jawabannya hanya”hmm, tidak tahu” yang dingin. Terlihat jelas dari ekspresi mereka bahwa bagi mereka, kehadirannya menodai reputasi sekolah itu. Tanpa pilihan lain, Ginko pergi sendirian untuk melihat-lihat. Sekolah itu hanya terdiri dari gedung berdinding putih, beratap genteng dengan beberapa ruang kelas dan laboratorium berjajar di koridor. Ginko melongok kedalam melalui pintu salah satu kelas, di tempat sejumlah besar mahasiswa berkumpul. Tiba-tiba seseorang berteriak, “Ada boneka” seisi ruangan itu berdiri, bertepuk tangan dan mengentak-entakkan sendal geta kayu mereka di lantai. Ginko buru-buru lari ke luar ruangan itu karena ketakutan, tapi para mahasiswa itu membuntutinya sambil bersiul-siul. “Cantik, ya?” “Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga” Godaan dan hinaan menyerbu Ginko. Analisis: Universitas Sumatera Utara Pada cuplikan diatas terlihat bahwa tokoh Gin mengalami diskriminasi gender secara violence atau kekerasan. “Mm,, dan dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki.” “Dan, melihat mereka telanjang juga” Godaan dan hinaan menyerbu Ginko. Kalimat ini menunjukkan indeksikal ketidakadilan gender berupa kekerasan atau violence yang dialami oleh tokoh Gin. Kekerasan yang dilakukan oleh para laki-laki itu tidak berupa kekerasan fisik, namun berbentuk kekerasan nonfisik. Ketidakdilan gender yang dialami Gin ini termasuk dalam kategori pelecehan seksual, dimana laki-laki yang membuntuti Gin menyampaikan kata-kata yang cukup vulgar dan membuat Gin malu. Ucapan yang disampikan oleh mahasiswa laki-laki tersebut membuat Gin merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitasnya sebagai mahasiswa baru.

2. Cuplikan hal. 156

Pada pertengahan Mei, satu setengah bulan setelah Ginko mulai masuk kuliah, dia bergegas seperti biasa ke kamar mandi pada akhir kuliah tengah hari. Sekitar sepuluh orang laki-laki di depannya, berbaris dan berbicara keras-keras. Ginko mempercepat langkahnya untuk melewati mereka dan menuju ke WC, ketika tiba-tiba salah seorang berbalik menghadapnya. Menyadari gerakan itu, Ginko mendongak dan mendapati laki-laki itu memperlihatkan kemaluannya sendiri. “Oh” Ginko tercekat dengan sendirinya dan menutupi matanya dengan kedua tangannya, berjongkok di tempat. Universitas Sumatera Utara “Tidak, lihatlah Aku laki-laki” Tawa vulgar para laki-laki itu memenuhi seisi kamar mandi. “Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat. Analisis: Pada cuplikan diatas jelas menunjukkan bahwa Gin mengalami diskriminai gender dalam bentuk kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh Gin merupakan kekerasan dalam bentuk nonfisik yang mengarah kekerasan dalam bentuk pornografi. “Oh, lihat, tampaknya benda ini membuat kesal Nona Cendikiawan.” Sambil berkata demikian, dia melambaikan kemaluan di depan wajah dan mata Ginko yang tertutup rapat. Kalimat ini menunjukkan indeksikal adanya kekerasan yang dialami oleh Gin sebagai perempuan. Tindakan mereka yang telah mempermalukan Ginko di dalam toilet dengan menunjukkan kemaluan mereka merupakan tindakan kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan sering terjadi karena adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan seringkali hanya untuk menunjukkan bahwa laki- laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan yang berbasis gender adalah refleksi dari sistem patriarki yang berkembang di masyarakat. Universitas Sumatera Utara

3. Cuplikan hal. 158