pada saat itu Gin hidup di zaman Meiji, yakni zaman dimana Jepang sudah memasuki zaman modernnya, namun kedudukan perempuan belumlah mengalami
perubahan. Dalam kehidupan keluarga Jepang masih ada anggapan bahwa orbit istri adalah rumah tangga dan anak-anaknya. Hal inilah yang membuat kedudukan
wanita tidak bisa setara dengan laki-laki dan mengakibatkan adanya diskriminasi gender secara stereotipe seperti halnya yang terjadi pada Gin.
2. Cuplikan hal. 127
Dalam suasana yang begitu memusuhi pendidikan bagi perempuan, hampir suatu keajaiban bahwa Sekolah Guru, atau yang sekarang disebut sebagai
sekolah pelatihan guru bagi perempuan, akhirnya berhasil didirikan. Namun sekolah itu memang benar-benar dibuka, meskipun pada awalnya tidak memakai
pakaian seragam atau lencana bagi para muridnya dan sebagian besar siswinya masuk sekolah dengan pakaian sehari-hari yang terbuat dari katun atau sutra
biasa dan membawa barang-barang mereka dalam kain pembungkus. Tanpa kecuali, semua perempuan muda yang mendaftar pada tahun –
tahun awal, termasuk Gin, mendapat tentangan dari keluarga mereka. Zaman itu dipuji sebagai zaman peradaban dan pencerahan, tapi hal ini hanya terlihat
dibagian-bagian tertentu masyarakat Tokyo dan Yokohama. Di sepanjang dataran Jepang selain di kedua kota tersebut, cara berpikir lama masih mengakar dengan
kuat. Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti
pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran”
Universitas Sumatera Utara
dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”. Oleh karena itu, sekolah yang melatih pendidik perempuan akan selalu menghasilkan tipe perempuan yang tidak
terpikirkan sampai sekarang. Karena alasan-alasan semacam itulah, gadis-gadis itu melawan keinginan
orang tua mereka dan akibatnya berapa bahkan tidak lagi diakui oleh kelurga mereka.
Analisis:
Sikap mayoritas masyarakat terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti pada ucapan-ucapan seperti “Melahirkan anak perempuan yang suka belajar
membawa aib pada seluruh keluarga”, “Utamakan pelayanan daripada pelajaran” dan “Perempuan seharusnya diam di rumah”, cuplikan ini menunjukkan
indeksikal bahwa memang saat itu perempuan Jepang dilabeli secara negatif oleh masyarakat. Perempuan di zaman itu tidak diperbolehkan untuk menempuh
pendidikan yang tinggi, apalagi pendidikan yang setara dengan laki-laki. Hal tersebut diatas termasuk ketidakdilan gender secara stereotipe.
Pencitraan yang negatif terhadap perempuan berakibat pada pembatasan terhadap perempuan dalam sektor pendidikan, seperti yang dialami oleh Gin dan perempuan
lain yang juga ingin berpendidikan lebih tinggi. Selama masyarakat masih tetap berpegang kepada kepercayaan tradisional bahwa seorang wanita toh akan
menikah, meninggalkan keluarga, bergantung kepada suaminya dan memperoleh kebahagiaan dengan suaminya, maka selama itu sistem pendidikan wanita yang
sekarang berlaku akan tetap demikian.
Universitas Sumatera Utara
3.2.4 Ketidakadilan Gender Berupa Violence