Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Ekologi

pariwisata bahari sedapat mungkin dihindari dari lokasi-lokasi yang sudah intensiflpadat tingkat industrilisasinya, 2. Jumlah limbah dari kegiatan pariwisata itu sendiri dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan pesisirlaut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan, 3. Bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu Dahuri 1993. Wijaya 2007 menyatakan bahwa pengembangan ekowisata memiliki kriteria khusus. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan pengembangan ekowisata, diantaranya cara pengelolaan, pengusahaan, penyediaan prasarana dan sarana yang diperlukan. Atas dasar itu, sifat dan jenis kegiatan yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kriteria sebagai kawasan ekowisata. Satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah masalah pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ekowisata. Damanik dan Weber 2006 menyatakan sejumlahnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlanjutan yaitu 1. Wisatawan mengkonsumsi produk dan jasa wisata secara selektif dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengekspoitasi secara berlebihan, 2. Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan dan peka terhadap budaya lokal, 3. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan implementasi dan monitoring pengembangan wisata, 4. Masyarakat harus juga memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata, dan 5. Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pariwisata semakin meningkat.

2.10. Analisis A’WOT

Metode A’WOT adalah gabungan integrasi antara AHP Analytical Hierarchy Process dengan analisis SWOT Stengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats yang dikembangkan untuk perencanaan hutan di Filandia oleh Kangas, Pesonen, Kuartilla dan Kajanus 1996. Penggabungan analisis AHP dengan analisis SWOT ini dikarenakan analisis SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berap bobot antara masing- masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antar faktor dalam komponen tersebut, perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang berkompeten. Proses hierarki analitikAHPAnalytical Hierarchy Process pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur kuantitatif maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat judgement maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. AHP Analytical Hierarchy Process ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik Saaty 1993. Proses hierarki analitik atau analisis jenjang keputusan AHPAnalytical Hierarchy Process pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an Susilo 2007. Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan AHPAnalytical Hierarchy Process merupakan salah satu metode MCDM Multy Criteria Multy Decision yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty, dan sangat populer digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan land use allocation. Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana Saaty 1993. Pada dasarnya metode dari AHP Analytical Hierarchy Process ini adalah; i memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; ii menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; iii memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; iv mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut Saaty 1993. Menurut Permadi 1992, kelebihan AHP Analytical Hierarchy Process lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model AHP Analytical Hierarchy Process dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA. AHP Analytical Hierarchy Process merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif. Dalam AHP Analytical Hierarchy Process, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible tidak terukur ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan Saaty 1993. Poerwowidagdo 2003, menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan AHP Analytical Hierarchy Process terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: i menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, ii