BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai
oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia Depkes RI, 2009.
Indonesia saat ini masih tetap menghadapi permasalahan pengendalian penyakit menular dan adanya kecenderungan meningkatnya penyakit tidak menular.
Hal ini menunjukkan telah terjadi transisi epidemiologi penyakit, sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan. Penyakit filariasis termasuk
penyakit yang terabaikan karena tidak adanya kepentingan strategis dari pihak manapun. Perlu diingat penyakit ini terkait dengan masalah gizi, kebersihan
lingkungan, dan kemiskinan dan menyebabkan kerugian sosial, ekonomi dan kecacatan permanen, WHO 2000 menetapkan penyakit ini untuk dieliminasi
didunia Depkes RI, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah
subtropis. Di Indonesia, berdasarkan survey yang dilaksanakan pada tahun 2000 – 2004, terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis elephantiasis
yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular
filariasis dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi Depkes RI, 2009. Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak
filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam 2.359 orang, Nusa Tenggara Timur 1.730 orang dan Papua 1.158 orang. Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah
Bali 18 orang, Maluku Utara 27 orang, dan Sulawesi Utara 30 orang. Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan
merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia. Menurut kabupaten, pada tahun 2009 tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah
Aceh Utara 1.353 kasus, Manokwari 667 kasus dan Mappi 652 kasus. Di Indonesia, 87 kabupaten kota mempunyai kasus klinis filariasis pada range 1-100
kasus, 5,9 kab kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5,2 pada range 101-200 kasus, 1,2 pada range 201-700 kasus dan 0,2 pada range 700 kasus Kemenkes
RI, 2010. Pengendalian berbagai penyakit menular sampai saat ini masih menemui
kendala, salah satunya adalah pengendalian dan pemberantasan penyakit filariasis atau kaki gajah yang harus dilakukan seluas wilayah kabupaten kota. Penanganan
Universitas Sumatera Utara
telah dilakukan namun dikarenakan kendala yang ada mengakibatkan hasilnya belum maksimal. Sehingga sampai dengan tahun 2009 dilaporkan sebanyak 31 propinsi dan
337 kabupaten kota endemis filariasis dan 11.914 kasus kronis Kemenkes RI, 2010. Di Provinsi Aceh, kasus filariasis telah mencapai 236 kasus dan terdapat 5
kasus baru. Berdasarkan data tersebut angka kesakitan filariasis di Aceh adalah 5 per 100.000 penduduk, sedangkan di Kabupaten Pidie pada tahun 2012 terdapat 86 kasus
filariasis dengan angka kesakitan sebesar 22 per 100.000 penduduk Dinas Kesehatan Aceh, 2012.
Kabupaten Pidie merupakan salah satu daerah endemis filariasis karena memiliki angka mikrofilaria rate lebih besar 1 persen sehingga di tetapkan sebagai
daerah endemis filariasis, terhitung sejak tahun 2005 sampai tahun 2011 tercatat 86 penderita kaki gajah kronis dan tidak dapat disembuhkan lagi. Kasus filariasis paling
tinggi di kecamatan Delima 17 kasus, Indra Jaya 15 kasus Padang Tiji 15 kasus, Pidie 8 kasus, Simpang Tiga 7 kasus, Peukan Baro 6 kasus, Kembang Tanjung 5 kasus,
Mila 5 kasus, Geulumpang Baro 3 kasus, Kota Sigli 2 kasus, Teupin raya 1 kasus, Mutiara Barat 1 kasus dan Ujong Rimba 1 kasus, Dinas Kesehatan Pidie, 2012.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syuhada dkk 2012 di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan, dimana hasil penelitiannya menyatakan
bahwa responden yang di ventilasi rumahnya tidak ada kawat kasa mempunyai risiko
3,600 kali untuk terkena Filariasis dibandingkan dengan responden di ventilasi rumahnya ada kawat kasa.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Juriastuti, dkk 2010 di Kelurahan Jati Sampurna, bahwa dari tiga faktor risiko yang diteliti, hanya satu yang
dinyatakan berhubungan secara signifikan dengan kejadian filariasis, yaitu jenis kelamin dimana laki-laki memiliki risiko 4,7 kali lebih besar dibandingkan dengan
perempuan dalam menghadapi penyakit filariasis. Selanjutnya responden yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki peluang 5,4 kali lebih
besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu keluar rumah pada malam hari.
Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Uloli, dkk 2008 menyatakan bahwa peluang terkena risiko 2 sampai 3 kali kali lebih besar pada kondisi
lingkungan yang buruk yaitu pada kasus dengan lingkungan buruk 31, 4 dan lingkungan buruk pada kontrol 17, 1. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
lingkungan buruk rawa sebagai tempat perindukan nyamuk penular dengan jarak terbang nyamuk yang kurang dari 200 m akan sangat memberikan peluang besar
terjadinya filariasis di daerah tersebut. Hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti, ada beberapa faktor risiko
yang sangat berperan pada penularan kasus filariasis ini, antara lain seperti lingkungan yang banyak terdapat rawa dan ditumbuhi oleh tumbuhan air eceng
gondok, faktor perilaku masyarakat yang sering keluar rumah pada malam hari yang hanya sekedar mengobrol dan duduk di warung kopi untuk berinteraksi di masyarakat
dan juga faktor risiko pekerjaan masyarakat seperti petani, pekerja bangunan, berkebun yang menginap dilokasi dihutan dan tempat terbuka selama aktifitas
Universitas Sumatera Utara
berkebun. Ditinjau dari kondisi tempat tinggal penderita filariasis di Kabupaten Pidie, saat ini masih banyak bangunan tempat tinggal yang terbuat dari anyaman bambu dan
bangunan semi permanen lainnya, sehingga dikhawatirkan menjadi pemicu masih tingginya angka filariasis di Kabupaten Pidie.
Sampai saat ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie telah melakukan berbagai upaya terhadap penderita filariasi antara lain dilakukan pengobatan masal,
penanganan kasus klinis filariasis, melakukan evaluasi daerah endemis di Kabupaten Pidie dan promosi kesehatan dalam eliminasi filariasis, namun kasus filariasis di
Kabupaten Pidie masih tetap tinggi walaupun telah dilakukan berbagai upaya.
1.2. Rumusan Masalah