Mas Kawin Bagi Orang Karo (Deskripsi Pengetahuan Orang Karo Mengenai Mas Kawin Di Kota Medan)

(1)

MAS KAWIN BAGI ORANG KARO

(Deskripsi Pengetahuan Orang Karo Mengenai Mas Kawin di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapat Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dalam Bidang Antropologi

Disusun Oleh :

Irmayani 010905011

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis memohon ampun kepadaNya jika dalam penulisan skripsi ini pernah melakukan kekhilafan. Sholawat dan salam tidak lupa penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan kesabaran kepada umatnya dalam menghadapi segala cobaan dalam kehidupan.

Perkawinan merupakan salah satu tahapan peralihan yang penting dalam hidup manusia. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian mengenai salah satu unsur penting dalam perkawinan yaitu mas kawin. Penelitian ini mengkhususkan mengenai mas kawin pada orang Karo karena alasan ketertarikan. Mas kawin pada orang Karo yang tidak besar jumlahnya jika dibandingkan dengan mas kawin pada suku-suku bangsa lainnya merupakan pemelihara hubungan kekerabatan.

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama, merupakan pendahuluan dan bagian kedua merupakan gambaran mengenai keberadaan orang Karo di Kota medan. Bagian ketiga adalah deskripsi mengenai jenis, penerima, upacara penentuan dan penyerahan mas kawin. Bagian keempat merupakan analisis yang memberikan jawaban dari pertanyaan mengapa jumlah mas kawin pada orang Karo tidak besar.

Sembah sujud penulis haturkan kepada Ayah (almarhum) dan Mamak yang telah membesarkan dan memberikan kasih sayang serta kesabarannya yang tiada terbatas dalam menghadapi segala kekurangan penulis. Terima kasih penulis ucapkan


(3)

sedalam-dalamnya kepada kakak-kakak dan abang-abang juga adikku satu-satunya, yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Kepada Bapak Pardamean Tarigan yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya untuk membantu penyelesaian skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih. Kepada Zack yang dengan senang hati membantu penulis menerjemah, terima kasih. Juga kepada informan-informan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kerjasamanya.

Terima kasih penulis tujukan kepada Ibu Dra. Sri Alem Sembiring, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak bersabar menghadapi penulis, terima kasih atas segala keluangan waktu dan pikirannya. Terima kasih kepada Bapak Drs. Zulkifli Lubis MA dan Bapak Drs. Irfan Simatupang M. Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Juga kepada Bapak Drs. Agustrisno selaku Dosen Wali dan kepada dosen-dosen Antropologi yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan selama perkuliahan yang penulis jalani.

Kepada semua teman-temanku yang ada di “rumah sederhana” Putri, Wulan, Tika, dan Mira terima kasih atas segala toleransinya. Juga kepada teman-teman satu stambuk 2001 yaitu Kiki Nazira, Mika, Antoni, Roni, Rawi dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Juga kepada Silvi (Antropologi, 2003) yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian, penulis ucapkan terima kasih.


(4)

Terakhir dan terutama penulis ucapkan terimakasih dan rasa sayang kepada Endrix Wijaya yang telah sangat bersabar membantu baik materil maupun tenaga dan selalu mengingatkan penulis agar menyelesaikan skripsi dengan baik, kepadanya skripsi ini kupersembahkan.

Medan, Desember 2007


(5)

ABSTRAK

Irmayani. 2007. Mas Kawin Bagi Orang Karo (Deskripsi Pengetahuan Orang Karo Mengenai Mas Kawin Di Kota Medan): 96 Halaman + 4 Tabel + 7 Gambar + 6 Lampiran + 13 Box.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin. Mengapa mas kawin pada orang Karo tidak besar jumlahnya, dan mengapa semua kelompok kerabat menerima bagian mas kawin. Oleh karena jumlahnya yang tidak besar, mas kawin pada orang Karo memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan mas kawin pada suku-suku bangsa lainnya. Atas dasar hal tersebut penelitian mengenai Mas Kawin Bagi Orang Karo dilakukan. Penelitian dilakukan pada orang Karo di wilayah Kota Medan khususnya di Kecamatan Medan Selayang.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Kognitif. Pendekatan ini memahami kebudayaan sebagai pengetahuan yang tersimpan dalam pikiran manusia dan untuk dapat mengetahuinya menggunakan ‘folk taxonomy’ yaitu klasifikasi menurut istilah-istilah penduduk asli. Dengan ‘folk taxonomy’ penulis dapat memahami cara-cara orang Karo memaknai mas kawin melalui istilah-istilah pada jenis-jenis mas kawin. Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui makna mas kawin bagi orang Karo dan observasi dilakukan untuk mengamati jalannya acara penentuan dan penyerahan mas kawin. Studi dokumen bertujuan mencari informasi tambahan mengenai mas kawin bagi orang Karo. Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif.

Hasil penelitian menemukan ada 21 (dua puluh satu) jenis mas kawin pada orang Karo, dan jenis-jenis tersebut terdapat dalam 7 (tujuh) klasifikasi orang Karo. Dalam setiap klasifikasi terdapat perbedaan dan persamaan dalam jenis dan penerima mas kawin. Penelitian ini menemukan bahwa makna mas kawin bagi orang Karo adalah sebagai tanda peralihan dan juga wujud penghargaan kepada kelompok kerabat baik dari garis ibu maupun garis ayah. Penghargaan tersebut ditujukan atas peran dan tanggungjawab mereka terhadap kehidupan pengantin perempuan dan laki-laki sejak mereka dilahirkan, dewasa, bahkan sampai mereka mati. Penghargaan melalui penyerahan bagian mas kawin merupakan pemelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat sehingga tercipta keharmonisan dalam kehidupan orang Karo.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

DAFTAR BOX ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Lokasi Penelitian ... 10

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Tinjauan Pustaka ... 10

1.6. Metode Penelitian ... 16

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data ... 16

1.6.2. Menentukan Informan Kunci ... 18

1.7. Teknik Analisis Data ... 19

BAB II GAMBARAN UMUM ORANG KARO DI KOTA MEDAN ... 20

2.1. Keadaan Alam dan Lingkungan Fisik Kota Medan ... 20

2.1.1. Letak Geografis dan Iklim Kota Medan ... 20

2.1.2. Fasilitas Umum ... 22

2.2. Orang Karo di Awal Berdirinya Kota Medan ... 25

2.2.1. Perpindahan Suku Karo dari Dataran Tinggi ke Dataran Rendah (awal abad ke 17)... 25

2.2.2. Terbentuknya Kota Medan Oleh Guru Patimpus (1590) ... 26

2.2.3. Perkembangan Kota Medan Sejalan dengan Berkembangnya Perkebunan Tembakau Deli (1863-1915) ... 27

2.3. Persebaran Penduduk di Kota Medan... 29

2.3.1. Jumlah Penduduk di Kota Medan Berdasarkan Suku, Agama dan Jenis Kelamin ... 29

2.3.2. Pembagian Wilayah Kota Medan Menjadi Kecamatan dan Kelurahan ... 31

2.4. Orang Karo di Kota Medan Saat ini ... 33

2.4.1. Persebaran Orang Karo di Wilayah Kecamatan Kota Medan ... 33

2.4.2. Klasifikasi Orang Karo ... 34

BAB III JENIS, PENERIMA, UPACARA PENENTUAN DAN PENYERAHAN MAS KAWIN ... 38

3. 1. Jenis-Jenis Mas Kawin pada Orang Karo ... 38

3. 2. Penerima Mas Kawin pada Orang Karo ... 45

3. 3. Perbedaan dan Persamaan Jenis dan Penerima Mas Kawin BerdasarkKlasifikasi Orang Karo ... 49


(7)

3. 3. 1. Karo Gugung ... 49

3. 3. 2. Karo timur ... 52

3. 3. 3. Karo Jahe... 53

3. 3. 4. Karo Langkat ... 54

3. 3. 5. Singalor Lau ... 55

3. 3. 6. Karo Baluren ... 56

3. 3. 7. Urung Julu ... 57

3. 4. Proses Penentuan Jumlah Mas Kawin ... 58

3. 4. 1. Ertutur ... 60

3. 4. 2. Runggu ... 61

3. 5. Proses Pembagian dan Penyerahan Mas Kawin ... 70

3. 5. 1. Takaran/ Ukuran Mas Kawin ... 70

3. 5. 2. Penyerahan Mas Kawin ... 75

BAB IV ANALISIS MASALAH ... 81

4. 1. Pengertian Mas Kawin Bagi Orang Karo ... 81

4. 2. Makna Mas Kawin Bagi Orang Karo ... 82

4. 2. 1. Mas Kawin Sebagai Tanda Peralihan ... 82

4. 2. 2. Mas Kawin Sebagai Wujud Penghargaan ... 84

4. 2. 3. Mas Kawin Mempererat Hubungan Kekerabatan ... 85

4.3. Makna Mas Kawin Bagi Orang Karo ... 87

BAB V KESIMPULAN ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Persentase Penduduk Menurut Agama Tahun 2006 ... 30

2. Tabel 2 Persentase Penduduk Menurut Suku Bangsa Tahun 2006 ... 31

3. Tabel 3 Kecamatan dan Kelurahan di Kota Medan Tahun 2006 ... 32


(9)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1 Peta wilayah 7 (tujuh) klasifikasi orang karo ... 37 2. Gambar 2 Posisi duduk dalam acara maba belo selambar ... 59 3. Gambar 3 Penyerahan kampil ... 63 4. Gambar 4 Penyerahan kampil oleh pengantin perempuan untuk

memperoleh persetujuan ... 65 5. Gambar 5 Pihak kalimbubu singalo ulu emas menyeberang untuk melakukan

Musyawarah ... 67 6. Gambar 6 Musyawarah pihak kalimbubu singalo ulu emas dengan senina,

Sembuyak dan anakberu pengantin perempuan... 68

7. Gambar 7 Hubungan Kekerabatan Orang Karo dalam Kaitannya dengan Mas Kawin ... 86


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Bagan Kekerabatan Orang Karo 2. Daftar Informan

3. Peta Kota Medan 4. Pengalaman Penelitian 5. Tabel Data BPS


(11)

DAFTAR BOX

1. Box. 1 Pembicaraan Lanjutan Dalam Acara Ertutur. ... 60

2. Box. 2 Pembicaraan Lanjutan Dalam Acara Persentabin ... 62

3. Box. 3 Pembicaraan Lanjutan Dalam Acara Nungkun Kata Kalimbubu ... 64

4. Box. 4 Pembicaraan Lanjutan Dalam Acara Nungkun Kata Kalimbubu ... 66

5. Box. 5 Pembicaraan Lebih Lanjut Dalam Acara Singet-singet gantang tumba ... 67

6. Box. 6 Pembicaraan Lebih Lanjut Dalam Acara Singet-singet gantang tumba ... 69

7. Box. 7 Contoh Pembagian Ulu Emas ... 71

8. Box. 8 Contoh Pembagian Rudang-rudang ... 72

9. Box. 9 Contoh Pembagian Bere-bere ... 73

10. Box. 10 Contoh Pembagian Perkempun ... 73

11. Box. 11 Contoh Pembagian Perkembaren ... 74

12. Box. 12 Pembicaraan Lanjutan Dalam Acara Ngorati Gantang Tumba ... 77


(12)

ABSTRAK

Irmayani. 2007. Mas Kawin Bagi Orang Karo (Deskripsi Pengetahuan Orang Karo Mengenai Mas Kawin Di Kota Medan): 96 Halaman + 4 Tabel + 7 Gambar + 6 Lampiran + 13 Box.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin. Mengapa mas kawin pada orang Karo tidak besar jumlahnya, dan mengapa semua kelompok kerabat menerima bagian mas kawin. Oleh karena jumlahnya yang tidak besar, mas kawin pada orang Karo memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan mas kawin pada suku-suku bangsa lainnya. Atas dasar hal tersebut penelitian mengenai Mas Kawin Bagi Orang Karo dilakukan. Penelitian dilakukan pada orang Karo di wilayah Kota Medan khususnya di Kecamatan Medan Selayang.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Kognitif. Pendekatan ini memahami kebudayaan sebagai pengetahuan yang tersimpan dalam pikiran manusia dan untuk dapat mengetahuinya menggunakan ‘folk taxonomy’ yaitu klasifikasi menurut istilah-istilah penduduk asli. Dengan ‘folk taxonomy’ penulis dapat memahami cara-cara orang Karo memaknai mas kawin melalui istilah-istilah pada jenis-jenis mas kawin. Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui makna mas kawin bagi orang Karo dan observasi dilakukan untuk mengamati jalannya acara penentuan dan penyerahan mas kawin. Studi dokumen bertujuan mencari informasi tambahan mengenai mas kawin bagi orang Karo. Analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif.

Hasil penelitian menemukan ada 21 (dua puluh satu) jenis mas kawin pada orang Karo, dan jenis-jenis tersebut terdapat dalam 7 (tujuh) klasifikasi orang Karo. Dalam setiap klasifikasi terdapat perbedaan dan persamaan dalam jenis dan penerima mas kawin. Penelitian ini menemukan bahwa makna mas kawin bagi orang Karo adalah sebagai tanda peralihan dan juga wujud penghargaan kepada kelompok kerabat baik dari garis ibu maupun garis ayah. Penghargaan tersebut ditujukan atas peran dan tanggungjawab mereka terhadap kehidupan pengantin perempuan dan laki-laki sejak mereka dilahirkan, dewasa, bahkan sampai mereka mati. Penghargaan melalui penyerahan bagian mas kawin merupakan pemelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat sehingga tercipta keharmonisan dalam kehidupan orang Karo.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di dalam hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakatnya ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Menurut Koentjaraningrat (1977:89), tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang disebut ‘stage along the life cycle’ itu adalah masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat-saat peralihan itu biasanya diadakan upacara untuk merayakannya.

Peralihan yang terpenting pada ‘life cycle’ dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja, ke tingkat hidup berkeluarga yaitu perkawinan. Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia berhubungan dengan kehidupan sexnya. Selain itu perkawinan juga memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan. Perkawinan juga memenuhi kebutuhan akan harta dan prestise dalam masyarakat, serta pemelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat (Koentjaraningrat 1977:90).

Oleh sebab itu, pada saat perkawinan berlangsung, selalu diadakan upacara untuk merayakannya. Dalam upacara tersebut setiap pasangan harus melalui tahapan-tahapan dan syarat-syarat tertentu agar perkawinan mereka dianggap syah. Salah satu syarat penting dalam sebuah perkawinan adalah mas kawin atau ‘bride price’. Begitu pentingnya mas kawin dalam mensyahkan sebuah perkawinan, pada sebagian suku


(14)

bangsa di Indonesia pemberian mas kawin dilakukan melalui upacara adat yang rumit, dimana di dalamnya prestise dan hubungan-hubungan antar kerabat ikut mempengaruhi.

Pada mulanya pemberian mas kawin menurut Koentjaraningrat (1977), dimaksudkan sebagai ganti rugi. Hal ini disebabkan karena dalam suatu kelompok manusia terutama kelompok kecil, tiap warga di dalamnya merupakan tenaga potensial yang amat penting bagi kelompok itu. Dengan demikian, bila tiap kali diambil seorang gadis untuk dibawa kawin, maka kelompok sebagai keseluruhan akan menderita kerugian (Koentjaraningrat 1977: 99).

B. Teer Har (dalam Turnip 1978:60) mengatakan bahwa mas kawin bagi orang Batak adalah sebagai alat magis yang melepaskan ikatan seorang wanita dari klen ayahnya ke klen suaminya sehingga tidak menimbulkan gangguan di dalam keseimbangan sosial, dan bagian-bagian mas kawin yang diterima kaum kerabat adalah sebagai balas jasa telah ikut membesarkan calon pengantin wanita.

Akan tetapi dari hasil penelitian Simamora1 pada orang Batak Toba di daerah rantau, ia melihat kecenderungan terjadinya perubahan pada fungsi pemberian mas kawin yaitu sebagai pengukur status sosial seseorang2

1

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Perjuangan pada tahun 1996. 2

Ia menjelaskan perubahan dengan membandingkan pelaksanaan perundingan mas kawin sesuai adat istiadat Batak Toba dimana melibatkan unsur Dalihan Natolu, dan pembicaraan ini pada dasarnya bertujuan sebagai sarana perkenalan antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan (Simamora, 1997:62). Sedangkan apa yang diperoleh dari hasil penelitiannya, telah terjadi perubahan tujuan dalam acara marhata sinamot, apa yang dipertimbangkan dipengaruhi oleh derajat gengsi dan kondisi ekonomi seseorang. Hal ini juga terjadi karena orang-orang yang ikut berunding bukanlah orang-orang yang mengerti adat (Simamora, 1997:103). Seperti yang dijelaskan oleh Bapak J.M. Hutapea (dalam Simamora, 1997:104) :

“….ai anggamarhata sinamot nadi ulahon dison hera tinggal boa-boa namai tu natorop na ro di ulaon i, jala na dohot na sinunga godang ina-ina dohot halak no aturan soi boi dope dohot, dung muse nga goda ngan mamakke ulon martonggo raja. Jala godangan nama nuaeng patuduhon hagabeon dohot hamaraona asa sangap di rohana, ndang be songon na jolo….”


(15)

kondisi masyarakat yang sedang mengalami masa transisi menuju sikap rasionalitas (Simamora 1997:103).

Azami (1978:34-35) dalam tulisannya mengenai mas kawin orang Pariaman di Sumatera Barat, ia menjelaskan mengenai tradisi bajapuik3. Menurut adat tradisional Minangkabau, awalnya bajapuik hanya diberlakukan kepada orang yang terpandang yaitu turunan raja-raja, atau bangsawan yang bergelar Bagindo, Sidi dan

Sutan, tetapi untuk kelompok Mara yang dipandang rendah tidak dijapuik4

Menurut Azami (1978) saat ini terlihat gejala meningkatkan jumlah mas kawin atau uang jemputan. Mas kawin dipandang menurut nilai materinya bukan nilai psikologis seperti masa lalu

. Saat ini hampir setiap perkawinan telah mempunyai uang jemputan. Makin besar uang jemputan makin besar pula prestise keluarga. Oleh karena itu, penetapan besarnya jumlah uang jemputan merupakan masalah rumit yang harus ditempuh oleh keluarga pihak perempuan yang melakukan peminangan. Kerumitan tersebut adalah dalam hal tawar menawar antara kedua belah pihak.

5

Artinya, “…bahwa marhata sinamot yang di lakukan di daerah ini sudah merupakan pemberitahuan dan resepsi, orang yang mengikuti pun banyak ibu-ibu dan orang yang belum pantas ikut, dan sudah banyak yang melakukannya. Banyak yang sudah mengarah kepada prestise…..”

3

Bajapuik adalah mengambil seorang laki-laki untuk dijadikan menantu dengan memberikan barang-barang yang berharga (Amir 1997 dalam Resneita 2005: 83).

4

Pada awalnya tradisi Bajapuik dilakukakan oleh pihak perempuan untuk meningkatkan kastanya. Pada masyarakat Minangkabau terdiri dari kasta yang paling tinggi yaitu Sidi, Bagindo, Sutan dan kasta yang terendah yaitu mara. Kasta Mara adalah orang-orang yang datang ke Pariaman dan tidak mempunyai tanah pusaka, hanya sekedar hidup karena belas kasihan dari masyarakat setempat. Keturunan kasta Mara tidak di Japuik karena dianggap tidak meningkatkan derajat kelurga pihak perempuan (Salim 2002 dalam Resneita 2005:79).

5

Masyarakat mulai berpikir rasional, sebab gelar kebangsawanan tidak akan berdampak pada kesejahteraan keluarga. Sebuah prestise tidak hanya lagi diukur dengan gelar keturunan, akan tetapi sejauh mana gelar keturunan tersebut berimplikasi secara ekonomis. Orang lebih menghargai seorang sarjana daripada seorang Sidi yang pengangguran atau hanya sebagai pedagang kaki lima. Bahkan seorang Mara sekalipun jika ia kaya raya, maka ketika menikah akan dijapuik dengan harga yang tinggi (Resneita 2005:83-84).

. Bahkan semua kelompok baik itu Sidi, Bagindo, Sutan maupun Mara telah dijapuik. Karena itu jumlahnya menjadi tidak terbatas,


(16)

terserah keinginan keluarga pihak laki-laki. Semakin tinggi status sosial dan pendidikan seorang yang akan dijapuik, makin besar pula jumlah mas kawin atau uang jemputan yang diminta oleh pihak laki-laki (Azami 1978:34-35).

Lain halnya dengan mas kawin pada orang Sikka di Nusa Tenggara Timur. Mas kawin pada orang Sikka disebut belis. Belis yang diserahkan pihak pria ini berupa uang hingga Rp. 25 juta, dua perhiasan emas seberat 10 gram, gading gajah utuh dua batang yang harga perbatangnya sekitar Rp. 7,5 juta, dan kuda 25 ekor. Uang dan barang tersebut juga ditambah dengan barang hantaran lain. Barang hantaran tersebut dalam bentuk bahan makanan seperti padi, jagung, pisang, ayam, ikan kering dan ubi-ubian. Jumlah keseluruhannya kurang lebih mencapai ratusan juta rupiah (Suwarna 2005).

Menurut Oscar Pareira Mandalangi (dalam Suwarna 2005), membayar belis

merupakan cara orang Sikka mempererat tali persaudaraan. Belis mendorong gotong-royong, sebab sesungguhnya belis dipikul oleh semua anggota keluarga pihak laki-laki. Tujuan membuat belis yang mahal adalah untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Dengan belis, wanita mempunyai nilai tinggi dan pihak laki-laki akan berpikir untuk melakukan poligami.

Suwarna (2005) mengatakan bahwa, saat ini telah terjadi persepsi yang keliru mengenai belis. Belis dianggap mahal dan menghambat perkawinan sehingga banyak pemuda Sikka yang memilih kawin dengan suku lain agar tidak perlu membayar

belis. Bahkan sebagian menganggap membayar belis berarti membeli perempuan. Turnip (1978:131) juga menjelaskan mengenai mas kawin pada orang Nias, yang disebut böwö. Böwö terdiri dari emas, babi dan beras. Jumlah babi yang


(17)

diserahkan mencapai puluhan ekor, yang harganya hampir puluhan juta rupiah. Besarnya mas kawin yang dibayar pihak laki-laki tergantung dengan status sosial atau bosi orang tua pihak perempuan6

Berbeda halnya dengan mas kawin pada orang Karo yang disebut tukur. Mas kawin pada orang Karo jumlahnya tidak pernah sampai jutaan rupiah. Jumlah mas kawin pada orang Karo biasanya berkisar antara Rp. 300.000 sampai dengan Rp. 600.000. Dari jumlah yang sedikit itu, seluruh pihak kerabat yang termasuk dalam

sangkep sitelu

. Jumlah mas kawin yang besar sering menjadi kendala dalam pernikahan orang Nias. Banyak pemuda Nias yang memilih menikah dengan perempuan di luar suku Nias untuk menghindari membayar mas kawin yang besar. Ada juga sebagian yang menikah akan tetapi mas kawinnya belum dilunasi, yang harus dibayar setelah mereka berumah tangga sehingga menjadi beban keluarga tersebut (Depsos 2005).

7

tetap memperoleh bagian (Prinst 1984:25). Dalam proses perundingan8, ada banyak hal yang mempengaruhi besarnya jumlah mas kawin. Salah satunya adalah pertimbangan berdasarkan jenis dan jumlah yang biasa diterima oleh beru si wanita di daerah asalnya9

6Bosi

merupakan strata dalam masyarakat Nias yang terdiri dari lima tingkatan. Pertama, Bosi Sifitu

atau orang kebanyakan. Kedua, Bosi Siwalu atau kepala adat dalam kampung. Ketiga, Bosi Sisiwa

atau Sanuhe ba Nori. Keempat, Bosi Sifulu atau kepala negeri yang membawahi beberapa desa.

Kelima, Bosi Sifelendrua atau keturunan raja Samono Bauwa Dano (Turnip 1978:131). 7 Sangkep sitelu

disebut juga tungku nan tiga yaitu kalimbubu, senina dan anak beru. Kalimbubu

adalah kelompok/keluarga pemberi gadis, anak beru adalah kelompok/keluarga yang mengambil atau menerima gadis, dan senina adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti (Bangun 1986: 109).

8

Acara perundingan jumlah mas kawin pada orang Karo disebut Maba Belo Selambar yang artinya membawa sirih selembar. Sirih ini dimaksudkan bahwa orang tua pengantin laki-laki melakukan pendekatan secara informal kepada orang tua pengantin wanita agar diketahui maksudnya (Bangun 1986: 48).

9

Contoh Kasus yang terjadi salah satunya yaitu, pernikahan Merry br Tarigan yang berasal dari daerah Langkat. Jumlah tukur yang dibayarkan sebesar Rp. 365.000, jumlah ini di dasarkan pada jumlah tukur yang dibayarkan pada pernikahan terakhir beru Tarigan dalam satu klan keluarga tersebut di daerah tersebut.


(18)

dipertimbangkan, apakah ia menikah dengan orang yang bukan impalnya atau dengan impalnya10

Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti, ada 3 jenis pesta perkawinan pada orang Karo

(Bangun, 1986:20).

11

. Jenis pesta yang dilaksanakan cenderung tidak berhubungan dengan besarnya jumlah mas kawin. Sebuah perkawinan dapat diselenggarakan dengan pesta yang mengeluarkan biaya yang besar akan tetapi jumlah mas kawinnya tidak besar. Sebaliknya dapat saja terjadi jumlah mas kawin besar, akan tetapi pesta yang diadakan tidak memakan biaya yang besar dan hanya diadakan di rumah mempelai laki-laki dan bukan diadakan di jambur12

Penelitian mengenai mas kawin pada saat ini, telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian itu cenderung bertujuan melihat bagaimana jumlah mas kawin yang besar mempengaruhi hubungan dan kedudukan laki-laki dan perempuan maupun keluarganya. LP3A atau Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak (Kompas 2003), menemukan bahwa salah satu penyebab terpenting sikap pasrah istri terhadap suami adalah mas kawin. Semakin tinggi jumlah mas kawin, beban moril yang ditanggung istri juga semakin tinggi. Istri merasa seakan-akan “dibayar mahal”. Karena itu, seluruh jiwa raganya harus dibaktikan untuk melayani seluruh kebutuhan suami, termasuk angota keluarga

.

10Impal

adalah orang yang ideal untuk dinikahi, yaitu anak dari paman atau saudara laki-laki dari ibu pengantin laki-laki (Bangun 1986:46).

11

Jenis pesta pada orang Karo ada 3 yaitu; (1) kerja sintua termasuk pesta besar, dalam pesta ini semua sanak famili jauh dekat diundang. Jumlah beras yang dimasak dalam pesta ini berkisar antara 15-20 kaleng dan harus memotong sapi atau lembu. Pesta biasanya dilaksanakan di balai adat; (2)

kerja sintengah termasuk pesta sedang, dalam pesta ini sanak famili sekampung dan sanak famili terdekat di luar kampung diundang. Jumlah beras yang dimasak sekitar 10 kaleng dan menyediakan daging ayam dan babi sebanyak 30-40 kg. Pesta juga dilaksanakan di balai adat; (3) kerja singuda

termasuk pesta kecil. Kerabat yang diundang hanya kerabat terdekat saja yaitu sangkep sitelu. Beras yang dimasak sekitar 2-3 kaleng dan menyediakan daging ayam dan babi sebanyak 10-15 kg.

12

Jambur adalah balai adat Karo yang biasa digunakan untuk pesta-pesta besar maupun acara kematian.


(19)

suami. Dalam kondisi seperti ini pihak laki-laki merasa mempunyai hak untuk memperlakukan isteri sesuai keinginannya. Hal inilah yang cenderung menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanzania Media Women Association (African Focus 2000)13

Bahkan penelitian ini juga menemukan bahwa menemukan bahwa,

The big amount payment of a bride price is a major cause of gender violence. This results because after a man has married through payment of bride price, he feels like he owns the woman. It also makes it difficult for a woman to seek a divorce if she is living in unhappy or unsafe circumstance, for fear her parents will have to pay back the bride price they had long used’.

“Jumlah pembayaran mas kawin yang besar adalah penyebab utama kekerasan gender. Hal ini dikarenakan setelah menikah dan membayar mas kawin, laki-laki merasa memiliki perempuan tersebut. Hal ini juga menyebabkan seorang wanita sulit untuk meminta cerai jika ia hidup dalam keadaan yang tidak aman dan tidak bahagia, karena takut orang tuanya harus membayar kembali mas kawin yang telah lama mereka gunakan.” (terjemahan bebas oleh penulis)

14

13

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat suku-suku di Afrika Selatan yaitu Tanzania, Zulu dan Swazi. Mas kawin pada orang Tanzania, Zulu dan Swazi disebut loloba. Mas kawin ini dahulu meliputi uang tunai, kepala ternak, domba, kambing, tanah, pakaian dan benda-benda lokal. Tetapi sekarang kebanyakan mereka lebih menginginkan dalam bentuk uang tunai (African Focus 2000). 14

Besarnya jumlah mas kawin sering dimanfaatkan untuk melunasi hutang-hutang keluarga, banyak anak-anak remaja meninggalkan sekolah agar dapat dinikahkan dengan laki-laki yang dapat membayar mas kawin. Karena mereka menikah tanpa didasari rasa cinta, hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ‘marital rape’ atau pemerkosaan dalam rumah tangga (African Focus 2000).

,

‘….many consider bride price as a way of generating income. Some parents depend on bride price to solve some of family problem including food and clothing’ “…..banyak mas kawin dijadikan pemasukan utama. Beberapa orang tua bergantung pada mas kawin untuk mengatasi permasalahan keluarga seperti masalah makanan dan pakaian”. (terjemahan bebas oleh penulis)


(20)

Laporan African Focus (2000) juga menjelaskan bahwa walaupun mas kawin yang besar cenderung mengakibatkan terjadinya kekerasan pada wanita, akan tetapi hal ini sulit dihilangkan karena masyarakat itu sendiri beranggapan bahwa,

the payment of a bride price is crucial for maintaining tradition and customs in legalizing marriages and maintaining respect and dignity of both parties’ “pembayaran mas kawin adalah penting untuk memelihara tradisi dan budaya dalam mensyahkan sebuah perkawinan dan memelihara kehormatan dan martabat kedua belah pihak”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Hmong Cultural Centre (Vang Kao, 2000) menemukan hal yang sama pada orang Hmong di Laos, dengan sedikit perbedaan.

Marriage is recognized in the fullest sense among traditional Hmong custom, only when a big amount of bride price has been passed from the father of the groom to the family of the bride. Any children born by the couple before payment is completed are considered to belong to the bride’s father clan and may remain with this party unless an alternative agreement is reached in which the groom works for his bride’s father for several years in place of a bride price’.

“Perkawinan dianggap sebagai bagian dari kebudayaan tradisional

Hmong, hanya jika jumlah mas kawin yang besar telah diberikan oleh ayah pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan. Anak-anak yang dilahirkan oleh pasangan sebelum mas kawin dibayarkan adalah milik klan ayah pengantin perempuan dan tetap tinggal dalam keluarga ini sampai kesepakatan lain dicapai, dimana pengantin laki-laki bekerja untuk ayah pengantin wanita selama beberapa tahun sebagai pengganti mas kawin”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Situasi seperti ini terjadi jika seorang pria miskin menikah dengan perempuan dari keluarga kaya. Peristiwa seperti ini sebenarnya dianggap memalukan oleh masyarakat Hmong. Oleh sebab itu mereka lebih menganjurkan para pria mencari pasangan dari tingkat sosial ekonomi yang setara (Vang Kao 2000).


(21)

Dengan melihat bagaimana jumlah mas kawin yang besar mempengaruhi kehidupan individu maupun keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin, sehingga mempengaruhi perilaku mereka. Apa sebenarnya pengertian mas kawin bagi orang Karo yang jumlahnya relatif tidak besar, dan apakah mas kawin bagi orang Karo tidak berhubungan dengan status sosial.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah penelitian ini adalah bagaimana pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin. Masalah penelitian ini diuraikan menjadi beberapa pertanyaan penelitian :

1. Apakah pengertian mas kawin bagi orang Karo? 2. Apa kegunaan mas kawin bagi orang Karo?

3. Mengapa jumlah mas kawin yang ditentukan dalam perundingan jumlahnya tidak besar dan bagaimana perhitungan dalam pembagian jumlah mas kawin?

4. Apa saja hal-hal yang mendasari penentuan jumlah mas kawin, dan apakah tidak berhubungan dengan status sosial?

5. Mengapa kelompok kerabat yang termasuk dalam sangkep sitelu berperan dalam menentukan jumlah mas kawin?


(22)

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan khususnya di kecamatan Medan Selayang. Peneliti akan melakukan wawancara dan observasi dalam acara

ngembah belo selambar yang dilaksanakan di jambur-jambur yang berada di kecamatan Medan Selayang kotamadya Medan.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana sebenarnya pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin. Apa sebenarnya pengertian mas kawin bagi orang Karo yang jumlahnya tidak besar, dan cenderung tidak berhubungan dengan status sosial. Kemudian mengapa pihak kerabat, dalam hal ini

sangkep sitelu berhak menerima bagian mas kawin tersebut.

Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah menambah kepustakan Antropologi mengenai mas kawin yang terdapat pada salah satu suku di Indonesia. Sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai makna mas kawin dalam perkawinan suku Karo, khususnya bagi suku Karo itu sendiri dan bagi pembaca di luar suku Karo.

1.5. Tinjauan Pustaka

Tyler (1969 dalam Robertson 2006) mengatakan bahwa,

Cognitive anthropology is an idealist approach to studying the human condition. Cognitive anthropology study the relation between human cultures and human thought. Cultur are not regarded as material phenomen, but rather cognitive organizations of material phenomena’.


(23)

“Antropologi kognitif adalah pendekatan idealis untuk mempelajari kondisi manusia. Antropologi kognitif mempelajari hubungan antara kebudayaan manusia dan pikiran manusia. Kebudayaan tidak dianggap sebagai fenomena material, tetapi sebagai organisasi kognitif dari fenomena material”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Tyler juga mengatakan bahwa,

Cognitive anthropology is an approach that stresses how people make sense of reality according to their own indigenous cognitive categories, not those of the anthropologist’. ” “Antropologi kognitif adalah pendekatan yang menekankan bagaimana orang-orang membuat pengertian pada kenyataan berdasarkan kategori kognitif asli mereka, bukan berdasarkan ahli antropologi”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Menurut Goodenough (dalam Spradley 1997: xix) budaya bukanlah suatu fenomena material, dia tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi. Dia adalah sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut, dia adalah sesuatu yang dimiliki dan tersusun dalam pikiran atau ‘mind’ seseorang. Lebih jauh lagi Spradley (1997: xix) menjelaskan bahwa cara untuk “mengorek” dan mendeskripsikan apa yang ada dalam “kepala” seseorang adalah melalui ‘folk taxonomy’ yaitu klasifikasi atau kategori menurut istilah-istilah dalam bahasa penduduk asli. Hubungan diantaranya dapat mengungkapkan sistem makna budaya masyarakat tersebut.

Goodenough (dalam Borofsky 1994:263) menjelaskan bahwa, ‘there are observable differences in speech, behavior, social arrangements, and expression of belief that characterize different populations. The content of speech , behavior, and belief require description, and similarities and differences in those content need explanation. The terms language and culture are refer to this content. To describe language and cultures is to create models and schemas of understanding human that have constructed from their experience’.


(24)

“Ada banyak perbedaan yang dapat dilihat dalam pembicaraan, tingkah laku dan pengaturan sosial yang merupakan karakteristik populasi yang berbeda. Isi dari pembicaraan, dan kepercayaan membutuhkan deskripsi. Persamaan dan perbedaan dari isi tersebut membutuhkan penjelasan. Istilah bahasa dan kebudayaan digunakan untuk isi tersebut. Untuk menjelaskan bahasa dan kebudayaan adalah membuat model dan skema dari pengertian manusia yang dibangun dari pengalaman mereka”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Goodenough (dalam Borofsky 1994:268) juga mengatakan bahwa,

…with language, people have a means of mapping the subjective record into overt behavioral forms, and thereby they make their experience an object to themselves and to other’. “…dengan bahasa, orang-orang memetakan rekaman subjektif menjadi tingkah laku yang nyata, dengan cara demikian mereka membuat pengalaman mereka menjadi sebuah objek untuk diri mereka sendiri dan orang lain”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Bloch (dalam Borofsky 1994:276) juga menjelaskan hubungan antara bahasa dengan kebudayaan,

…culture is inseparably linked to language, on the ground either that culture is thought and transmitted as a text through language’. “…kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan bahasa, pada dasarnya budaya sebagai sesuatu yang dipikirkan atau disalurkan sebagai teks melalui bahasa”. (terjemahan bebas oleh penulis)

Spradley (dalam Marzali 1997: xx) mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Spradley (1997: 6-7) mengatakan bahwa dengan memahami kebudayaan sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama, tidak menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, atau emosi. Tetapi sekedar mengubah penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi


(25)

penekanan pada makna berbagai fenomena itu. Konsep kebudayaan ini sebagai suatu sistem sosial yang mempunyai makna.

Semua makna budaya menurut Spradley (1997) diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Makna simbol apapun merupakan hubungan simbol itu dengan simbol lain. Oleh karena itu, istilah-istilah penduduk asli mempunyai hubungan satu sama lain. Kebanyakan simbol dalam semua kebudayaan mencakup simbol-simbol yang lain. Ketika simbol-simbol itu dihubungkan dengan cakupan maka kita mengatakannya sebagai kategori. Kategori simbolik apapun yang mencakup kategori-kategori lain adalah sebuah domain (Spradley 1997: 121-124).

Spradley (1997: 126) juga menjelaskan bahwa, semua anggota dari sebuah domain memiliki satu gambaran makna. Dalam proses penemuan domain, dicari berbagai kemiripan yang ada di antara berbagai istilah penduduk asli. Unsur pertama dalam sebuah domain adalah istilah pencakup atau ‘cover term’ dan unsur kedua adalah istilah tercakup. Semua domain memiliki dua istilah tercakup atau lebih. Istilah ini adalah istilah-istilah penduduk asli yang merupakan kategori pengetahuan mereka. Oleh karena itu untuk menjelaskan pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin, maka perlu mendeskripsikan apa yang ada di dalam ‘mind’ mereka. Caranya yaitu dengan mencari bagaimana mereka menjelaskan makna dari berbagai istilah asli melalui bahasa asli mereka, yang kemudian disusun ke dalam kategori-kategori yang sesuai.

Kemudian menurut Spradley, untuk dapat mengungkapkan makna simbol-simbol maka perlu menanyakan kegunaannya. Ketika seorang peneliti menanyakan tentang makna, informan hampir selalu menjawab dengan definisi singkat. Tetapi


(26)

ketika peneliti menanyakan kegunaannya, maka informan akan mengungkapkan hubungan antara satu istilah dengan istilah lainnya (Spradley 1997: 124). Kegunaan mas kawin berbeda pada setiap masyarakat, menurut hasil penelitian Malinowski (dalam Mauss 1992:35), pada masyarakat Trobriand pemberian mas kawin yang dilakukan oleh seorang calon suami kepada calon istrinya haruslah dilihat sebagai “suatu imbalan” atas pelayanan seksual yang akan diberikan. Sebuah pemberian dalam bentuk mas kawin menimbulkan kewajiban pasangannya untuk mengimbangi pemberian itu dengan cara memberikan pelayanan seksual.

Hasil penelitian Keesing (1992:7) pemberian mas kawin pada orang pegunungan New Guinea merupakan “kontrak antara kelompok-kelompok kerabat” dimana diberikan hak-hak kepada kelompok mempelai pria sebagai tukaran karena telah kehilangan tenaga kerja, kehadiran maupun kesuburannya. Dalam kelompok masyarakat yang masih bergantung pada pengelolaan hasil alam, tenaga kerja merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu kehilangan salah satunya merupakan kerugian yang harus diimbangi dengan pemberian mas kawin.

Sedangkan menurut Havilland (1993:51) memberi dan menerima berbagai barang dianggap sebagai bentuk “jaminan sosial atau asuransi”. Sebuah keluarga memberikan bantuan kepada keluarga lain dengan harapan akan menerima bantuan yang sama atau hal lain pada waktu ia membutuhkan. Penelitian ini akan melihat apakah kegunaan mas kawin bagi orang Karo sebagai imbalan, kontrak antarkelompok kerabat, sebagai jaminan sosial atau memiliki kegunaan sendiri yang berbeda menurut istilah-istilah mereka sendiri.


(27)

Peneliti membatasi definisi beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu status sosial, mas kawin atau ‘bride price’, orang Karo dan

sangkep sitelu. Status sosial15

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ‘the degree of honor or prestige attached to one’s position society’ … “derajat kehormatan atau prestise yang dilekatkan pada sebuah posisi dalam masyarakat” (Horton dalam

Mas kawin atau ‘bride price’16 adalah sejumlah uang atau barang berharga yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya sebagai syarat syah sebuah perkawinan (Chulsum 2006: 244). Orang Karo adalah mereka yang termasuk dalam sistem kemasyarakatan orang Karo yang dikenal dengan merga silima17, tutur siwaluh18, dan sangkep sitelu19

15

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, status sosial adalah tingkatan atau kedudukan seseorang atau suatu kelompok dalam hubungannya dengan masyarakat sekelilingnya (Chulsum 2006: 481). Dalam ‘Encyclopedia Britania’ (www.britannica.com), ‘social status is the relative rank that individual holds, with attendant rights, duties, and life style, in a social hierarchy based upon honour or prestige’…..”status sosial adalah tingkatan relatif yang dimiliki individu dengan disertai hak, kewajiban dan gaya hidup, dalam tingkatan sosial berdasarkan kehormatan dan prestise”.

16

Definisi mas kawin dapat berbeda-beda dalam setiap masyarakat, oleh karena itulah maka peneliti membatasi definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diantara definisi itu adalah definisi mas kawin pada masyarakat Indian Igbo yaitu “a payment to acquire rights in the children of the marriage’ … “pembayaran untuk memperoleh hak atas anak dalam sebuah perkawinan” (Schimmer 2000).

17Merga silima

berarti marga yang lima yaitu Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan perangin-angin. Marga-marga ini kemudian mempunyai masing-masing submarga. Marga dalam bahasa Karo disebut merga untuk laki-laki dan beru untuk perempuan. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang (Tarigan 1990: 15).

18Tutur siwaluh

adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo yang berhubungan dengan penuturan. Terdiri dari delapan golongan yaitu (Tarigan 1990 15-16):

(Tarigan 1990: 15).

1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang. 2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu.

3. Senina adalah mereka yang bersaudara karena mempunyai marga atau submarga yang sama. 4. Sembuyak adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama.

5. Senina sipemeren adalah orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung.

6. Senina separibanen adalah orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperistri dari beru-beru yang sama.

7. Anak beru adalah pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. 8. Anak beru menteri adalah anak beru dari anak beru.


(28)

Sangkep sitelu berarti tiga yang lengkap, yaitu kelengkapan hidup orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok yaitu kalimbubu, anak beru dan

senina. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan (Tarigan 1990: 15).

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif20

1.6.1. Teknik Pengumpulan Data

.

Teknik yang digunakan dalam pencarian data antara lain : 1. Teknik Wawancara

Penelitian ini akan menggunakan wawancara mendalam. Dalam wawancara ini pertanyaan-pertanyaan21

19

Sangkep sitelu berarti tiga yang lengkap yaitu kelengkapan hidup orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu kalimbubu, anak beru dan senina (Tarigan 1990: 16).

20

Kualitatif yang bersifat deskriptif maksudnya adalah data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Laporan penelitian ditulis dalam bentuk kata-kata yang diperoleh melalui wawancara, catatan lapangan, foto-foto, dokumen pribadi atau dokumen-dokumen resmi (Moleong 2000: 6).

21

Spradley (1997: 78) menjelaskan ada tiga jenis pertanyaan yang dapat diajukan untuk menemukan ‘folk taxonomy’ yaitu: pertanyaan deskriptif Pertama yaitu pertanyaan yang bertujuan untuk memperoleh sampel ungkapan dalam jumlah yang besar dalam bahasa asli informan; pertanyaan struktural yaitu pertanyaan yang memungkinkan peneliti untuk menemukan informasi mengenai domain-domain dalam pengetahuan budaya seorang informan; pertanyaan kontras yaitu Ketiga yaitu pertanyaan yang bertujuan menemukan hal-hal yang dimaksudkan oleh informan dengan istilah-istilah yang digunakan dalam bahasa aslinya. Pertanyaan ini juga memungkinkan peneliti menemukan makna yang dipakai oleh informan untuk membedakan berbagai objek dan peristiwa dalam dunia mereka.

yang saya ajukan diantaranya: “Siapa-siapa saja yang termasuk sangkep sitelu?”; “Siapa-siapa saja yang termasuk dalam tutur siwaluh?”; “Apa arti tukur?”; “Dalam pesta perkawinan apa arti tukur itu?”; “Apa saja


(29)

jenis-jenis tukur?”; “Siapa saja yang menerima tukur?”; Berapa persen bagian yang diterima dari tukur dan batang unjuken? Mengapa demikian?”. Pertanyaan-pertanyaan ini berkembang seiring dengan wawancara yang dilakukan.

Dalam kegiatan wawancara peneliti menggunakan tape recorder (alat perekam) dan catatan lapangan untuk mempermudah menyimpan semua informasi yang diberikan oleh informan. Selain itu, peneliti menggunakan panduan wawancara, sebagai pertanyaan awal untuk menemukan domain-domain yang berkembang seiring dengan wawancara selanjutnya.

2. Teknik Observasi

Teknik observasi atau pengamatan digunakan untuk lebih melengkapi dan memperjelas hasil wawancara dengan informan. Bagian yang di observasi adalah acara penentuan jumlah mas kawin atau maba belo selambar. Observasi pada acara ini dilakukan karena dalam acara inilah dilihat siapa saja kelompok yang menentukan jumlah mas kawin dan juga menerima mas kawin. Dalam acara ini juga ditemukan dasar-dasar penentuan jumlah mas kawin, dan bagaimana perhitungan dalam pembagiannya. Selain itu dapat membantu peneliti dalam menemukan informan kunci dalam penelitian.

3. Studi Dokumentasi

Untuk lebih menyempurnakan data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara, peneliti juga melakukan studi dokumen yaitu mencari informasi lain melalui internet, buku, jurnal, artikel dan lainnya.


(30)

1.6.2. Menentukan Informan Kunci

Informan kunci dalam penelitian ini adalah informan yang mewakili kelompok-kelompok dalam masyarakat Karo. Kelompok-kelompok ini dapat berdasarkan umur atau pendirian mereka mengenai adat-istiadat Karo. Berdasarkan umur, informan harus mewakili kelompok umur tua yaitu usia 50 tahun keatas; sedang yaitu usia antara 30-50 tahun; dan muda yaitu usia antara 18-29 tahun. Sedangkan berdasarkan pendirian mereka mengenai adat, dapat dikelompokkan menjadi konservatif yaitu orang yang memegang teguh aturan-aturan adat; dan modern orang yang menganggap bahwa tidak semua aturan adat perlu dilaksanakan.

Selain itu informan kunci haruslah orang yang mengetahui budaya mereka dengan begitu baik tanpa harus memikirkannya. Mereka melakukan berbagai hal secara otomatis dari tahun ke tahun. Dalam penelitian ini informan yang mungkin mengetahui budaya mereka dengan begitu baik adalah kelompok sangkep sitelu dalam satu keluarga yang menjadi pembicara dalam acara ngembah belo selambar. Kemudian informan kunci haruslah orang yang terlibat secara langsung dalam suasana budaya yang diteliti. Informan kunci yang mungkin dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh masyarakat atau orang-orang Karo yang selalu terlibat dalam proses penentuan jumlah mas kawin.


(31)

1.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Ada beberapa tahap yang akan dilakukan dalam analisis data22. Yang pertama yaitu mengelompokkan berbagai istilah asli yang ditemukan dari jawaban-jawaban pertanyaan dalam wawancara ke dalam kategori-kategori.

Tahap yang kedua yaitu mencari berbagai hubungan diantara berbagai istilah asli informan tersebut. Tahap yang ketiga adalah mencari (perbedaan) diantara berbagai istilah asli yang ditemukan. Tahap yang terakhir yaitu menyusun semua data secara sistematis, sehingga ditemukan hubungan antara istilah-istilah asli tersebut dengan makna kebudayaan secara keseluruhan.

22

Spradley (1997: 120) menjelaskan ada empat jenis analisis yang dapat dipakai untuk mengungkapkan ‘folk taxonomy’ yaitu: analisis domain meliputi penyelidikan terhadap unit-unit pengetahuan budaya yang lebih besar yang disebut domain; analisis taksonomi meliputi pencarian struktur internal domain serta membentuk identifikasi susunan yang bertentangan; analisis komponen meliputi pencarian atribut-atribut yang menandai berbagai perbedaan antara simbol-simbol dalam sebuah domain; analisis tema meliputi pencarian hubungan antara domain dan bagaimana domain-domain itu dihubungkan dengan budaya secara keseluruhan.


(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM ORANG KARO DI KOTA MEDAN

2.1. Keadaan Alam dan Lingkungan Fisik Kota Medan

2.1.1. Letak Geografis dan Iklim Kota Medan

a. Letak Geografis

Kota Medan berada pada letak 3º 30' - 3º 43' lintang utara dan 98º 35' - 98º 44' bujur timur. Kota Medan cenderung miring ke Utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Dengan luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera Utara Kota Medan memiliki jumlah penduduk 2.210.743 jiwa. Secara administratif Kota Medan di sebelah Barat, Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, di sebelah Utara berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu lintas laut paling sibuk di dunia. Secara geografis Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain

Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Sebagai daerah yang berada pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri. Posisi geografis Kota Medan


(33)

ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 (dua) kutub pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat in

Secara geografis Kota Medan juga merupakan jalur sungai. Paling tidak ada 8 (delapan) sungai yang melintasinya, yaitu: Sungai Belawan, Sungai Badra, Sungai sikambing, Sungai Pulih, Sungai Babura, Sungai Deli, Sungai Sulang-Saling/Sei Ker

b. Iklim

Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut Stasiun Polonia berkisar antara 23,2º C - 24,3º C dan suhu maksimum berkisar antara 30,8º C - 33,2º C serta menurut Stasiun Sampali suhu minimumnya berkisar antara 23,3º C - 24,1º C dan suhu maksimum berkisar antara 31,0º C - 33,1º C. Berdasarkan pengukuran stasiun klimatologi Polonia, curah hujan di Kota Medan menurut Stasiun Polonia mencapai rata-rata 3.594 mm dengan hari hujan sebanyak 230 hari serta menurut Stasiun Sampali mencapai rata-rata 2.712 mm dengan hari hujan sebanyak 224 hari

Selanjutnya mengenai kelembaban udara di wilayah Kota Medan rata-rata berkisar antara 84 - 85%. Dan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,48 m/sec sedangkan rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 104,3 mm. Hari hujan di Kota Medan rata-rata per bulan 19 hari dengan rata-rata curah hujan menurut Stasiun Sampali per bulannya 226,0 mm dan pada Stasiun Polonia per bulannya 299,5 mm


(34)

2.1.2. Fasilitas Umum

Medan sebagai sebuah kota, mewadahi berbagai fungsi, yaitu sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat industri, pusat jasa pelayanan keuangan, pusat komunikasi, pusat pendidikan, pusat akomodasi kepariwisataan serta berbagai pusat perdagangan. Tentu saja didukung dengan sarana transportasi yang memadai.

a. Pusat Pemerintahan

Kota Medan dipimpin oleh seorang walikota, yang saat ini dijabat oleh Abdillah (1 April 2000 - sekarang). Unit kerja kota medan dibagi ke dalam 21 Dinas Daerah23

Untuk mendukung sektor industri, Kota Medan memiliki kawasan industri yang dikenal dengan sebutan Kawasan Industri Medan (KIM). Untuk mengantisipasi perkembangan industri dan kebutuhan lokasi berusaha yang lebih besar, pemerintah . Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, penyebutan nama Daerah Tingkat II Kotamadya Medan berubah menjadi Daerah Kota Medan. Pusat pemerintahan berada di Jalan Diponegoro yaitu Kantor Departemen Keuangan dan Kantor Gubernur dan di Jalan Kapten Maulana Lubis yaitu Kantor Walikota dan Kantor DPRD (BPS Kota Medan, 2007).

b. Pusat Industri

23

Dina Dina Kota dan Tata Bangunan, Dinas


(35)

Kota Medan menyediakan kawasan industri baru (KIB) yang terletak di Kecamatan Medan Labuhan. Untuk kegiatan industri kecil disediakan lokasi khusus yaitu Perkampungan Industri Kecil (PIK) yang terletak di Kecamatan Medan Denai

c. Pusat Akomodasi Pariwisata

Industri pariwisata tidak dapat berkembang dengan baik tanpa didukung oleh akomodasi yang memadai. Untuk itu pemerintah kota Medan menyediakan 160 buah hotel yang terdiri dari 30 hotel berbintang dan 130 buah hotel melati. Hotel-hotel berbintang tersebut diantaranya : Hotel Grand Angkasa, Hotel Tiara, Hotel Asean Internasional, Hotel Novotel Soechi, Hotel Quality Suites, Hotel Polonia, Hotel Danau Toba Intl, Hotel Emerald Garden, Hotel Dirga Surya, Hotel Garuda Plaza, Hotel Dharma Deli, Hotel Semarak, Hotel Pardede Intl, dan Sumatera Indah Resort.

Kota Medan juga memiliki beberapa tempat wisata yang dapat dikunjungi. Istana Maimun merupakan salah satu wisata di Medan yang merupakan hasil peninggalan dari jaman penjajahan Belanda dulu. Tempat wisata lainnya yaitu Mesjid Raya yang merupakan perpaduan seni artistik yang tinggi dan megah. Jika ingin menikmati keindahan taman bunga yang hijau sambil melihat air pancur, maka bisa mengunjungi Taman Air Mancur yang berada di jalan Cik Ditiro

d. Pusat Perdagangan

Pusat perdagangan baik tradisional maupun modern telah banyak tersedia di Kota Medan. Pasar-pasar tradisional diantaranya: Pusat Pasar, Pasar Petisah, Kampung Baru, Pajak Lalang, Pasar Monza dan Pajak Simpang Limun. Sedangkan


(36)

pusat-pusat perbelanjaan moderen diantaranya: Brastagi (sebelumnya dikenal dengan nama Mall The Club Store), Deli Plaza, Sinar Plaza, Menara Plaza, Grand Palladium, Hong Kong Plaza, Macan Group, Makro, Plaza Medan Fair, Medan Mall, Medan Plaza, Millenium Plaza, Sun Plaza, Thamrin Plaza, Yuki Simpang Raya, dan Yanglim Pla

e. Pusat Pendidikan

Sarana pendidikan di kota Medan telah mencapai 489 unit sekolah negeri dan 1240 unit sekolah swasta untuk tingkat SD, SMP, SMU. Universitas negeri yang terkenal di Medan yaitu Universitas Sumatera Utara, Universitas Negeri Medan dan Institut Agama Islam Negeri. Sedangkan untuk universitas swasta di Kota Medan terdapat 18 universitas

f. Transportasi

Transportasi sebagai sarana pendukung yang sangat penting, Kota Medan melengkapi diri dengan Jalan Tol Belmera, yang menghubungkan Medan dengan Belawan dan Tanjung Morawa. Jalan Tol Medan-Lubuk Pakam dan Medan-Binjai yang sedang direncanakan pembangunannya. Untuk sarana angkutan di kota Medan diantaranya: becak motor, minibus atau biasa juga disebut angkot, sudako, taksi, toyoko dan kendaraan baru yaitu kancil.

Transportasi darat lainnya yaitu kereta api yang menghubungkan Medan dengan Tanjungpura di sebelah Barat Laut, Belawan di sebelah Utara, dan Binjai-Tebing Tinggi-Pematang Siantar dan Binjai-Tebing tinggi-Kisaran-Rantau Prapat di Tenggara. Pelabuhan Belawan terletak sekitar 20 km di Utara kota. Bandara Internasional Polonia yang terletak tepat di jantung kota yang menghubungkan


(37)

Medan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia serta Kuala Lumpur, Penang, Ipoh di Malaysia dan Singapura. Sebuah bandara internasional baru di Kuala Namu di Kabupaten Deli Serdang dalam perencanaan

g. Pusat Komunikasi

Kegiatan perdagangan dan bisnis yang terus menerus meningkat baik lokal maupun regional/internasional dari dan ke Kota Medan dengan seluruh dunia dengan dukungan PT. TELKOM dan Indosat. Sistem telekomunikasi yang ada, difasilitasi dengan berbagai prasarana dan sarana telekomunikasi yang diperlukan seperti Sentral Telepon Otomat (STO), Stasiun Monitor (SM), Sambungan Langsung Internasional (SLI), Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), maupun Telepon Umum (TU). Adanya sistem telekomunikasi yang didukung satelit ini menjadikan Kota Medan dapat berhubungan dengan berbagai fasilitas telekomunikasi apapun, seperti telepon genggam (handphone), internet, faximile, email dan lain-lain

2.2. Orang Karo Di Awal Berdirinya Kota Medan

2.2.1. Perpindahan Suku Karo dari Dataran Tinggi ke Dataran Rendah (awal

abad ke-17)

Di dataran tinggi Karo, pada awal abad ke-17 terjadi gelombang perpindahan berbagai marga dari arah Dairi dan Toba yaitu Barus, Lingga dan Sitepu. Mereka menetap dan membuat perkampungan atau kuta di dataran rendah di wilayah Deli Tua dan Binjai. Marga Tarigan datang dari Dolok dan Simalungun menuju


(38)

Nagasaribu dan Jupar. Marga Ginting dan marga-marga lainnya datang melalui pegunungan Layo Lingga menuju dataran rendah Binjai (Sinar 1998:33-35).

Menurut J.H. Neumann (dalam Sinar 1998: 33-35), perpindahan mereka karena adanya desakan dari orang India Tamil yang datang dari arah Singkel dan Barus yang masuk ke tanah Karo. Hal lain yang mempengaruhi adalah karena tanah di dataran rendah lebih subur daripada di dataran tinggi. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk di dataran rendah mengalami pengurangan akibat peperangan dengan Aceh berkali-kali dalam periode 1539-1640 (Sinar 1998: 33-35).

Kemudian pada masa itu yaitu sekitar tahun 1590 salah seorang suku Karo bermarga Sembiring Pelawi, datang mendirikan sebuah kuta yang sekarang dikenal dengan kota Medan. Dia adalah Guru Patimpus cucu Singa Mahraja yang memerintah Negeri Bakerah di Dataran Tinggi Karo (Sinar 1998: 34).

2.2.2. Terbentuknya Kota Medan Oleh Guru Patimpus (1590)

Kota Medan didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590. Guru Patimpus adalah seorang Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang putri dari Datuk Pulo Brayan. Kata ”medan” sendiri dalam bahasa Karo disebut madan yang berarti ”menjadi sehat” ataupun ” lebih baik”. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Guru Patimpus adalah seorang Tabib dalam pengobatan tradisional Karo

Awal mula terbentuknya kota Medan, dalam buku ”Sedjarah Medan Tempo Doeloe” (Sinar 1998:42-45) ditandai dengan perjalanan Guru Patimpus dalam mencari ilmu. Pada suatu saat dia mendengar bahwa di suatu negeri ada seorang


(39)

Datuk yang sangat tinggi ilmunya yaitu Datuk Kota Bangun. Guru Patimpus sangat ingin menguji kemampuannya, oleh sebab itu dia dan pengikutnya kemudian melakukan perjalanan sampai ke arah hilir Kuala Sungai Sikambing. Dia menetap di sana selama kurang lebih tiga bulan, barulah dia menemui Datuk Kota Bangun.

Setelah bertemu dan ”mengadu” ilmu, Guru Patimpus mengakui kehebatan Datuk Kota Bangun. Kemudian dia dan pengikutnya masuk Islam dan mempelajari agama Islam dengan Datuk Kota Bangun. Saat melakukan perjalanan di kampung Pulo Berayan, yang pada saat itu dipimpin oleh seorang raja bermarga Tarigan. Kemudian Guru Patimpus menikah dengan putri raja tersebut, dan mendirikan kuta

yang ke-12 dari kuta-kuta yang didirikan olehnya yaitu yang dikenal dengan Kota Medan sekarang.

Medan pertama kali ditempati oleh orang-orang Suku Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya yaitu Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah kerajaan Deli mulai berkembang. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit terjadi sebuah perang di Medan. Sejak saat itu yaitu dari tahun 1669-1698, Medan menjadi pembayar upeti kepada Sultan Deli (Prinst 1996: 11).

2.2.3. Perkembangan Kota Medan Sejalan dengan Berkembangnya

Perkebunan Tembakau Deli (1863-1915)

Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa


(40)

memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli

Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik

Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II sekarang

Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan d perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan


(41)

baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun

2.3. Persebaran Penduduk di Kota Medan

2.3.1. Jumlah Penduduk di Kota Medan Berdasarkan Suku, Agama dan Jenis

Kelamin

Jumlah penduduk kota Medan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang berarti. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2006 (BPS Kota Medan 2006), diperoleh laju pertumbuhan penduduk kota medan tahun 1990-2000 (9 tahun 8 bulan) sebesar 0,96% per tahun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk 1980-1990 yang sebesar 2,33% per tahun. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Medan Labuhan yaitu sebesar 5,34% per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah ada di Kecamatan Medan Polonia yang tercatat sebesar – 1,95% per tahun (BPS Kota Medan 2006).

Perbandingan antara banyaknya penduduk laki-laki dan penduduk perempuan dari hasil sensus penduduk tahun 2006 di Kota Medan sebesar 98,71, artinya jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki dengan perbandingan 100 orang perempuan didampingi oleh 98 orang laki-laki. Kecamatan yang memiliki perbandingan di atas 100 yaitu Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan dan Medan Belawan. Kecamatan yang menempati posisi sebagai kecamatan dengan angka perbandingan terendah yaitu Kecamatan Medan Baru (BPS Kota Medan 2006).


(42)

Secara umum, Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Kota Medan yaitu sebesar 67,83 %. Kemudian diurutan kedua dan ketiga menyusul pemeluk agama Protestan dan agama Budha sebesar 18,13 % dan 10,40 %. Presentase penduduk menurut agama tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikut (BPS Kota Medan 2006).

Tabel 1. Persentase Penduduk Menurut Agama Tahun 2006

No. Agama

Penduduk Jumlah (Jiwa) Laki-laki Perempuan

1. Islam 68,11 67,56 67,83 2. Khatolik 2,87 2,91 2,89 3. Protestan 17,95 18,32 18,13 4. Hindu 0,66 0,69 0,68 5. Buddha 10,34 10,45 10,40 6. Lainnya 0,07 0,07 0,07

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan Tahun 2006

Dari data sensus penduduk tahun 2006, penduduk yang bersuku Jawa menjadi suku yang dominan mendiami wilayah Kota Medan sebesar 33,03 %. Kemudian disusul oleh suku Batak Tapanuli/Toba sebesar 19,21 %, Cina sebesar 10,65 %, suku Mandailing/angkola sebesar 9,36 %, suku Minang sebesar 8,60 %, suku Melayu 6,59 % dan suku karo sebesar 4,10 %. Persentase penduduk berdasarkan suku bangsa dapat dilihat pada tabel berikut.


(43)

Tabel 2. Persentase Penduduk Menurut Suku Bangsa Tahun 2006

No. Suku bangsa

Penduduk Jumlah (Jiwa) Laki-laki Perempuan

1. Jawa 33,02 33,03 33,03 2. Batak Toba, Batak Tapanuli 19,06 19,35 19,21 3. Cina 10,65 10,66 10,65 4. Mandailing dan Angkola 9,37 9,36 9,36 5. Minang 8,72 8,48 8,60 6. Melayu 6,57 6,62 6,59 7. Karo 4,01 4,20 4,10 8. Aceh 2,92 2,65 2,78 9. Simalungun 0,68 0,70 0,69 10. Nias 0,80 0,58 0,69 11. Pakpak 0,35 0,34 0,34 12. Lainnya 3,88 4,03 3,95

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Medan Tahun 2006

2.3.2. Pembagian Wilayah Kota Medan Menjadi Kecamatan dan Kelurahan

Wilayah kota medan berdasarkan Surat keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor. 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 dibagi menjadi 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Data mengenai pembagian Kecamatan dan Kelurahan di Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut.


(44)

Tabel 3. Kecamatan dan Kelurahan di Kota Medan Tahun 2006

No. Kecamatan Kelurahan Jumlah penduduk

(Jiwa) 1. Medan Tuntungan Simalingkar B, Simpang Selayang, Tanjung Selamat,

Kuala Bekala.

68.983

2. Medan Johor Pangkalan Mashur, Gedung Johor, Titi Kuning, Kedai Durian.

113.593

3. Medan Amplas Amplas, Bangun Mulia, Harjosari II, Harjosari, Sitirejo, Sitirejo III, Timbang Deli.

111.771

4. Medan Denai Binjai, Medan Tenggara, Teladan Timur, Tegal Sari Mandala III, Teladan Barat, Pasar Merah Barat.

137.690

5. Medan Area Kotamatsum I, Kotamatsum II, Kotamatsum IV, Pandau Hulu II, Pasar Merah Timur, Sei Rengas II, Sei Rengas Permata, Sukaramai II, Sukaramai, Tegal Sari I, Tegal Sari II, Tegal Sari III.

107.558

6. Medan Kota Sei Rengas I, Pusat Pasar, Pandau Hilir, Sidoadi, Aur, Kota, Pasar Baru, Gang Buntu, Tegal Sari Mandala I, Suka Ramai II, Sei Rengas II.

82.982

7. Medan Maimun Darat, Hamdan, Jati, Anggrung, Suka Damai, Kota

Matsum IV.

48.958

8. Medan Polonia Polonia, Sari Rejo, Kampung Baru, Sitirejo I, Siti Rejo II 52.034 9. Medan Baru Babura, Darat, Merdeka, Padang Bulan, Petisah Hulu, Titi

Rante.

43.524

10. Medan Selayang Beringin, Tanjung Sari, Tanjung Selamat, Padang Bulan Selayang I, Padang Bulan Selayang II.

48.208

11. Medan Sunggal Sei Sikambing B, Sunggal, Tanjung Rejo, Simpang Tanjung.

108.496

12. Medan Helvetia Tanjung Gusta, Helvetia Tengah, Helvetia Timur, Dwikora, Cinta Damai, Sei Sikambing C II, Sei Sikambing D.

142.187

13. Medan Petisah Petisah Tengah, Sei Putih Timur I, Sei Putih Tengah, Sei Putih Timur II, Sei Putih Barat, Sei Sikambing D, Sekip.

67.057

14. Medan Barat Glugur Kota, Karang Berombak, Kesawan, Pulo Brayan Kota, Sei Agul, Silalas.

77.867

15. Medan Timur Pulo Brayan Darat, Pulo Brayan Darat II, Pulo Brayan Kota, Glugur Darat II, Gkugur Kota, Durian, Sidorame Barat II, Sidorame Timur, Tegal Rejo, Indra Kasih, Pulo Brayan Bengkel.

112.108

16. Medan Perjuangan

Sei Kera Hilir, Sei Kera Hilir II, Sei Kera Hulu, Pahlawan, Sidorejo Hilir, Sei Mati, Pandau Hulu, Pandau hulu II, Pandau Hilir.

103.759

17. Medan Tembung Bandar Selamat, Tembung, Bantan, Bantan Timur, Tegal Sari Mandala I, Sukaramai II, Se Rengas II.

139.065

18. Medan Deli Tanjung Mulia Hilir, Titi Papan, Tanjung Mulia, Tanah Enam Ratus, Kota Bangun.

145.714

19. Medan Labuhan Sungai Mati, Labuhan Deli, Kampung Besar, Martubung, Pekan Lahan.

104.829

20. Medan Marelan Rengas Pulau, Terjun, Titi papan, Tanah Enam Ratus, Kampung Besar.

121.716

21. Medan Belawan Belawan Sicanang, Belawan Bahagia, Belawan II, Belawan Bahari, Belawan Pekan Labuhan, Bagan Deli.

94.735

JUMLAH 2.067.288


(45)

2.4. Orang Karo di Kota Medan Saat Ini

2.4.1. Persebaran Orang Karo di Wilayah Kecamatan Kota Medan

Salah satu suku yang mendominasi populasi di kota Medan adalah suku Karo, yang merupakan suku yang mendirikan kota Medan. Persebaran orang Karo di kecamatan-kecamatan kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Persebaran Orang Karo di Kota Medan

No. Kecamatan

Luas Wilayah

(km2)

Jumlah Orang karo (Jiwa)

1. Medan Tuntungan 20.6 21.942

2. Medan Johor 12.81 11.315

3. Medan Amplas 14.58 2.512

4. Medan Denai 11.17 658

5. Medan Area 9.05 607

6. Medan Kota 7.99 623

7. Medan Maimun 5.27 481

8. Medan Polonia 5.52 1.163

9. Medan Baru 5.84 7.985

10. Medan Selayang 9.01 12.511

11. Medan Sunggal 2.98 4.350

12. Medan Helvetia 15.44 5.237

13. Medan Petisah 13.16 1.175

14. Medan Barat 6.82 799

15. Medan Timur 5.33 1.251

16. Medan Perjuangan 7.66 1.063

17. Medan Tembung 4.09 1.357

18. Medan Deli 20.84 781

19. Medan Labuhan 36.67 832

20. Medan Marelan 23.82 111

21. Medan Belawan 26.25 1.376

Jumlah 265.10 78.128


(46)

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa populasi terbesar orang Karo ada di kecamatan Medan Sunggal, yaitu setiap 1 km2 ditempati oleh ±1450 orang, Kecamatan ini meliputi Kalurahan Sei Sikambing B, Sunggal, Tanjung Rejo, Simpang Tanjung. Menyusul kecamatan Medan Selayang, yaitu setiap 1 km2 ditempati oleh ± 1388 orang, Kecamatan ini meliputi KelurahanBeringin, Tanjung Sari, Tanjung Selamat, Padang Bulan Selayang I, Padang Bulan Selayang II.

Kemudian kecamatan Medan Baru yaitu setiap 1 km2 ditempati oleh ± 1367 orang, Kecamatan ini meliputi Kelurahan Babura, Darat, Merdeka, Padang Bulan, Petisah Hulu, Titi Rante. Sedangkan minoritas penduduk suku Karo tinggal di kecamatan Medan Denai, yaitu setiap 1 km2 ditempati oleh 58 orang, Kecamatan ini meliputi KelurahanBinjai, Medan Tenggara, Teladan Timur, Tegal Sari Mandala III, Teladan Barat, Pasar Merah Barat. Pada setiap kecamatan tersebut, didiami oleh banyak variasi orang karo berdasarkan daerah asal mereka yang erat hubungannya dengan adat dan upacara perkawinan.

2.4.2. Klasifikasi Orang Karo

Adanya klasifikasi orang Karo ke dalam 7 (tujuh) kelompok erat kaitannya dengan adat dan upacara perkawinan. Kelompok-kelompok ini dibuat berdasarkan daerah asal usul mereka. Kelompok-kelompok itu diantaranya adalah:

a. Karo Gugung/Teruh Deleng

Karo Gugung atau Teruh Deleng secara bahasa berarti di bawah kaki gunung. Oleh sebab itu disebut juga Karo Gunung, yaitu suku Karo yang berdomisili atau berasal dari wilayah gunung yaitu dari daerah Kuta Buluh, dan Tiga Nderket. Orang


(47)

Karo gugung dianggap paling mengerti dan memahami adat Karo karena dari sanalah awal mula suku Karo berkembang. Salah satu dialek bahasa Karo berasal dari wilayah ini, yang disebut dengan ”Cakap Karo Gunung-gunung” digunakan juga di daerah Munte, Juhar, Tiga Binanga, Kutabuluh dan Mardinding (Bangun, 1990:25).

b. Karo Timur

Karo Timur adalah orang Karo yang tinggal di wilayah timur jika dilihat dari arah mata angin. Wilayah timur ini meliputi daerah Cingkes, Gunung Meriah dan Bangun Purba. Sebagian lagi mengatakan bahwa wilayah Deli Serdang adalah termasuk wilayah Karo Timur.

c. Karo Jahe/Karo Dusun

Istilah Karo Jahe mempunyai makna tersendiri. Pada umumnya mereka tinggal dan berasal dari daerah-daerah kabupaten di sekitar kota Medan, yaitu daerah Lau Cih atau Namo Gajah, Deli Tua dan Sibolangit. Tetapi yang membuat mereka disebut Karo Jahe adalah karena seringkali mereka ini telah dipengaruhi oleh kehidupan non- Karo. Mereka tidak dapat berbahasa Karo dengan baik, oleh karena itu salah satu dialek dalam bahasa Karo berasal dari daerah ini yang disebut ”Cakap Kalak Karo Jahe”, digunakan juga di wilayah Pancur Batu, Biru-biru, Lau Bekerei, Namu Rambe dan daerah Langkat Hulu (Bangun, 1990:25).

d. Karo Langkat

Karo Langkat adalah orang karo yang tinggal di wilayah Kabupaten Langkat yaitu di daerah Nambiki, Sunggal, Tanjung Gusta, dan lain-lain. Orang Karo langkat mayoritas adalah pemeluk agama Islam karena telah banyak terjadi perkawinan


(48)

campur dengan suku melayu. Kebanyakan orang Karo Langkat tidak lagi menjalankan adat secara penuh, hal ini karena pengaruh dari agama Islam.

e. Singalor Lau

Singalor Lau menurut bahasa berarti mengikuti aliran air, oleh sebab itu wilayahnya lebih ke dataran rendah atau di daerah hilir sungai. Daerah-daerah tersebut yaitu Tiga Binanga dan Juhar.

f. Karo Baluren

Secara bahasa baluren berarti lembah, aratinya Karo Baluren adalah orang yang tinggal di Lembah. Sebagian orang Karo Baluren berasal dari Kabupaten-kabupaten di Provinsi Aceh, dan sebagian lagi berasal dari Kabupaten Dairi.

g. Urung Julu

Urung Julu berarti bergerak ke atas atau ke hulu sungai, artinya orang Urung Julu adalah orang Karo yang menetap di wilayah hulu sungai. Wilayah tersebut yaitu daerah Suka, Berastagi dan Sepuluh Dua Kuta. Salah satu dialek bahasa Karo berasal dari daerah ini yang disebut ”Cakap Orang Julu”, digunakan juga di daerah Kabanjahe, Tiga Panah, Barus Jahe, Simpang Empat dan Payung (Bangun, 1990:25)..


(49)

Gambar 1. Peta Wilayah 7 (tujuh) Klasifikasi Orang Karo Keterangan:

I = Karo Gugung II = Karo Timur III = Karo Jahe IV = Karo Langkat V = Singalor lau VI = Karo Baluren VII = Urung Julu


(50)

BAB III

JENIS, PENERIMA, UPACARA PENENTUAN DAN PENYERAHAN

MAS KAWIN

3.1. Jenis-jenis Mas Kawin Pada Orang Karo

Mas kawin pada orang Karo dapat dikelompokkan ke dalam 21 (dua puluh satu) jenis yaitu batang unjuken, tukur, ulu emas, rudang-rudang, senina singakuiranan, bere-bere, perkempun, perbibin, perkembaren, sirembah kulau, bena

emas, inget-inget, sikelang, ciken-ciken, tebus tulan, anakberu silatih, tegun beru,

simajek lape-lape, gamber inget-inget, buka-buka, dan pertudungen. Dari 21 (dua puluh satu) jenis mas kawin tersebut sebagian besar diserahkan kepada kelompok kerabat dari garis keturunan ibu. Sedangkan kelompok kerabat penerima mas kawin dari garis ayah sebagian besar juga diterima oleh pihak perempuan.

Arti dari jenis-jenis mas kawin baik secara harafiah maupun dalam konteks mas kawin menggambarkan posisi dan kedudukan juga tugas dan tanggungjawab pihak-pihak yang menerima mas kawin terhadap kehidupan pengantin perempuan dan laki-laki, bahkan sejak mereka dilahirkan sampai mereka mati. Mas kawin bagi orang Karo diumpamakan dengan tubuh manusia (dalam hal ini tubuh pengantin perempuan) yaitu tulang dan daging. Tulan atau tulang, bagian mas kawin yang tidak dapat dibagi diserahkan kepada keluarga inti karena posisinya yang tidak dapat diganti. Jukut atau daging, bagian mas kawin yang dapat dibagi diserahkan kepada pihak kerabat lainnya sebagai wujud penghargaan. Hal ini menggambarkan bahwa mas kawin diserahkan sebagai pengganti tubuh pengantin


(51)

perempuan yang tidak lagi menjadi bagian keluarganya. Untuk menegaskan bahwa mas kawin diserahkan bukanlah untuk membeli seorang perempuan, maka kata tukur

yang artinya membeli diubah menjadi batang unjuken yang artinya harga pokok, karena kata tukur dianggap kurang pantas untuk menggambarkan mas kawin. Jenis-jenis mas kawin tersebut adalah sebagai berikut.

1. Batang Unjuken

Secara harafiah batang berarti pokok dan unjuken berarti harga. Jadi batang unjuken artinya harga pokok atau harga yang utama. Batang unjuken disebut juga tulan atau tulang oleh sebab itu tidak dapat dibagi, batang unjuken hanya diserahkan kepada sukut23

Secara harafiah Ulu berarti kepala dan emas adalah harta yang paling tinggi nilainya. Ulu emas adalah bagian mas kawin yang diserahkan kepada kelompok saja. Akan tetapi seperti layaknya batang pohon maka

batang unjuken mempunyai cabang-cabang. Bagian-bagian mas kawin yang menjadi cabang tersebut disebut jukut atau daging sehingga dapat dibagi-bagikan.

2. Tukur

Secara harafiah tukur berarti membeli atau harga pembelian. Pada dasarnya

tukur adalah sama dengan batang unjuken. Batang unjuken adalah penghalusan bahasa untuk menyebutkan mas kawin. Kata tukur sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengukur harga barang salah satunya adalah hewan ternak, oleh sebab itu kata tukur dianggap kurang pantas bagi orang Karo.

3. Ulu emas

23


(52)

kerabat dari garis keturunan ibu (kalimbubu) pengantin laki-laki. Kelompok kerabat dari garis keturunan ibu tersebut adalah saudara laki-laki ibu pengantin laki-laki atau disebut juga kalimbubu singalo ulu emas24

Secara harafiah rudang-rudang berarti bunga-bunga, atau bisa juga diartikan keindahan. Rudang-rudang adalah jenis mas kawin yang diserahkan kepada kelompok kerabat dari garis keturunan ibu (kalimbubu) pengantin perempuan. Pihak penerima jenis mas kawin ini disebut kalimbubu sitelu sedalanen

.

4. Rudang-rudang

25

Secara harafiah singakuiranan berarti yang bertanggung jawab. Senina singakuiranan adalah senina

. 5. Senina singakuiranan

26

yang bertanggung jawab menyampaikan kepada

kalimbubu27 hasil keputusan musyawarah dalam maba belo selambar. Oleh karena itu jenis mas kawin ini diserahkan kepada senina sitelu sedalanen28

Bere-bere adalah mas kawin yang diserahkan kepada kelompok kerabat dari garis keturunan ibu yang akan menikah (kalimbubu). Kelompok kerabat dari garis keturunan ibu (kalimbubu) tersebut adalah saudara laki-laki ibu pihak pengantin perempuan atau disebut juga kalimbubu singalo bere-bere

. 6. Bere-bere

29

.

24

Keterangan mengenai kalimbubu singalo ulu emas dapat dilihat di halaman 47. 25

Keterangan mengenai kalimbubu sitelu sedalanen dapat dilihat di halaman 47. 26Senina

adalah kelompok kerabat yang memiliki nenek yang sama, juga kelompok kerabat yang memiliki marga yang sama.

27Kalimbubu

adalah kelompok kerabat yang merupakan penerima dara atau ‘wife takers’. 28

Keterangan mengenai senina sitelu sedalanen dapat dilihat di halaman 48 29


(53)

7. Perkempun

Secara harafiah kata perkempun berasal dari kata dasar kempu yang berarti cucu. Penyebutan cucu dalam hal ini ditujukan kepada pengantin perempuan. Jenis mas kawin perkempun ini diserahkan kepada kakek si pengantin perempuan. Kakek tersebut adalah saudara laki-laki dari nenek pengantin perempuan dari garis keturunan ibu. Dengan demikian pihak penerima disebut dengan

kalimbubu singaloperkempun30

Perbibin artinya bagian yang diterima oleh bibi. Bibi adalah saudara perempuan ibu pengantin perempuan. Pemberian kepada bibi ini dimaksudkan karena jika ibu dari pengantin perempuan meninggal dan ayah menikah lagi maka secara adat bibinyalah yang akan mengurusnya. Pihak penerima jenis mas kawin

perbibin ini disebut kalimbubu singalo perbibin

. 8. Perbibin

31

Secara harafiah sirembah artinya orang yang memikul atau menggendong dan

kulau artinya ke air. Menurut adat tradisional karo ketika seorang anak lahir, maka seorang perempuan (yang disebut bibi) harus membawa anak tersebut ke

. 9. Perkembaren/Perseninaan

Perkembaren/Perseninaan diserahkan kepada kelompok kerabat dari garis keturunan ayah pengantin perempuan. Kelompok kerabat tersebut adalah saudara perempuan ayah pengantin perempuan (anakberu). Anakberu tersebut adalah anakberu yang bekerja dalam pesta atau disebut juga anakberu silatih. 10. Sirembah kulau

30

Keterangan mengenai kalimbubu singalo perkempun dapat dilihat di halaman 47. 31


(54)

sungai (lau) dengan cara menggendongnya untuk dimandikan. Perempuan tersebut adalah saudara perempuan ayah anak tersebut (pengantin perempuan). Oleh karena itu jenis mas kawin sirembah kulau diserahkan kepada saudara perempuan ayah yang disebut juga anakberu ipupus32

Inget-inget diserahkan kepada kelompok kerabat dari garis ayah pengantin perempuan. Kelompok kerabat tersebut adalah saudara perempuan suami adik ayah pengantin perempuan. Jenis mas kawin ini diserahkan dengan tujuan untuk mengingatkan kepada pihak anakberu bahwa impalnya telah menikah dengan laki-laki dari keluarga lain. Kelompok kerabat ini disebut juga anakberu iangkit

. 11. Bena Emas

Secara harafiah bena atau binana berarti pangkal dan emas adalah harta yang utama. Bena emas dan batang unjuken adalah sama, bedanya adalah bena emas

diserahkan jika perkawinan terjadi antara orang-orang yang mempunyai hubungan impal. Karena seorang perempuan dianggap emas dalam keluarga sehingga jika ia menikah dengan impalnya yaitu anak dari pamannya, maka ia merupakan bagian dari harta kekayaan yang hanya berpindah pemilik saja. Sedangkan batang unjuken diserahkan jika perkawinan yang terjadi di luar hubungan impal.

12. Inget-inget

33

.

32

Keterangan mengenai anakberu ipupus dapat dilihat di halaman 48. 33


(55)

13. Sikelang

Secara harafiah sikelang berarti orang yang menjadi perantara. Yang dimaksud perantara adalah kelompok kerabat dari pihak ayah (anakberu) yang menjadi juru bicara dalam musyawarah maba belo selambar. Dia bertugas juru bicara yang menghubungkan pihak keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki dan sebaliknya.

14. Ciken-ciken

Secara harafiah ciken-ciken berarti tongkat. Penerima mas kawin ini adalah kakek dari nini atau nenek pengantin perempuan dari garis ibu. Kakek tersebut adalah saudara laki-laki ibu nenek pengantin perempuan yang disebut juga

kalimbubu singalo ciken-ciken. 15. Tebus tulan

Tebus tulan berarti menebus tulang, yaitu menebus bagian yang seharusnya diterima oleh sukut. Akan tetapi, karena kedua orangtua telah meninggal sedangkan di dalam keluarga tersebut tidak ada anak laki-laki sehingga tidak ada yang meneruskan keturunan maka jenis mas kawin ini diserahkan kepada saudara laki-laki ayah (sembuyak).

16. Anakberu silatih

Anakberu silatih yaitu anakberu yang letih bekerja atau yang berbicara dalam musyawarah. Jenis mas kawin ini diserahkan kepada anakberu tua atau anak beru cekoh baka tutup yang bertanggung jawab dalam pesta.


(1)

A B C D

E F G H

I II

Keterangan:

Sebelum G dan F menikah, kelompok II adalah anakberu kelompok I. setelah G dan F menikah maka kelompok II disebut anakberu ipupus.

A B C D

E F G H

I II

Keterangan: Kelompok II adalah anakberu iangkip dari kelompok I setelah G menikah dengan F.


(2)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Ir. Pardamean Tarigan Usia : 65 Tahun

Agama : Katholik Pekerjaan : Konsultan Kelompok : Karo Baluren 2. Nama : Roland Pinem

Usia : 52 Tahun Agama : Protestan Pekerjaan : Wiraswasta Kelompok : Karo Gugung

3. Nama : Bunga Ria br. Berahmana, S.E. Usia : 46 Tahun

Agama : Protestan Pekerjaan : Pegawai Swasta Kelompok : Karo Urung Julu 4. Nama : Pasti Ginting

Usia : 59 Tahun Agama : Katholik Pekerjaan : Wiraswasta Kelompok : Karo Baluren 5. Nama : Dahlan Ginting

Usia : 85 Tahun Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiun TNI Kelompok : Karo Gugung 6. Nama : Penta br. Karo-karo

Usia : 65 Tahun Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Kelompok : Karo Jahe


(3)

7. Nama : Adnan Sitepu Usia : 73 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Guru

Kelompok : Karo Langkat

8. Nama : Andreas Barus Usia : 39 Tahun Agama : Katholik

Pekerjaan : Pengelola Jambur Kelompok : Karo Timur 9. Nama : Zakaria Ginting

Usia : 20 Tahun Agama : Protestan Pekerjaan : Mahasiswa Kelompok : Karo Gugung 10. Nama : Saud Sebayang

Usia : 67 Tahun Agama : Protestan Pekerjaan : Pedagang Kelompok : Singalor Lau


(4)

(5)

PENGALAMAN PENELITIAN

Adat istiadat Karo merupakan hal yang sangat asing bagi saya yang tidak berasal dari suku Karo. Sehingga untuk memulai penelitian ini adalah memulai memahami adat istiadat karo dari nol. Awalnya memang sulit terutama memahami struktur kekerabatan orang Karo yang seperti “jaring laba-laba”. Buku-buku mengenai adat istiadat Karo khususnya mas kawin pun sangat terbatas, kalaupun tersedia sebagian besar ditulis dalam bahasa Karo. Akhirnya untuk mengatasi masalah keterbatasan kemampuan saya dalam bahasa Karo saya mencari seorang penterjemah yang usianya tidak terlalu jauh dengan saya agar saya bebas bertanya tanpa sungkan. Bahkan untuk mencari seorang penterjemah yang dapat mengartikan sebuah buku berbahasa Karo atau mengartikan pembicaraan dalam bahasa Karo dengan tepat juga sangat susah.

Hal yang paling menyenangkan adalah sambutan yang baik dari para informan atas kesediaan saya meneliti mas kawin bagi orang Karo. Penghargaan mereka tujukan karena saya sebagai “orang luar” bersedia dan perduli kepada adat istiadat mereka. karena sebagai besar generasi muda sudah tidak lagi memahami adat karena kurangnya kepedulian. Bahkan salah satu informan menawarkan untuk membuat buku mengenai adat istiadat Karo secara keseluruhan. Akan tetapi saya juga menjumpai orang-orang yang heran karena saya masih inginmengetahui masalah adat perkawinan yang menurut smereka sangat merepotkan karena harus melalui tahapan-tahapan yang lama dan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tapi saya berkali-kali menegaskan pada informan bahwa saya tertarik karena saya heran mengapa mas kawin pada orang Karo tidak besar dan kenapa pihak kerabat menerima bagian.


(6)

Dari seluruh waktu yang dihabiskan untuk melakukan penelitian ini hal terpenting adalah dapat mengetahui dan memahami walaupun masih dangkal mengenai adat Karo merupakan pengalaman baru yang sangat berharga. Apalagi masalah mas kawin pada orang Karo merupakan hal yang sangat menarik, acara-acara yang berhubungan dengan mas kawin juga merupakan ‘moment’ yang unik untuk diamati. Kesimpulannya adalah meneliti adat istiadat Karo khususnya mas kawin bagi saya sangat menyenangkan.