Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di dalam hampir semua masyarakat manusia di seluruh dunia, hidup individu dibagi oleh adat masyarakatnya ke dalam tingkat-tingkat tertentu. Menurut Koentjaraningrat 1977:89, tingkat-tingkat sepanjang hidup individu yang disebut ‘stage along the life cycle’ itu adalah masa bayi, masa penyapihan, masa kanak- kanak, masa remaja, masa pubertas, masa sesudah nikah, masa hamil, masa tua dan sebagainya. Pada saat-saat peralihan itu biasanya diadakan upacara untuk merayakannya. Peralihan yang terpenting pada ‘life cycle’ dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja, ke tingkat hidup berkeluarga yaitu perkawinan. Perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia berhubungan dengan kehidupan sexnya. Selain itu perkawinan juga memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan. Perkawinan juga memenuhi kebutuhan akan harta dan prestise dalam masyarakat, serta pemelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat Koentjaraningrat 1977:90. Oleh sebab itu, pada saat perkawinan berlangsung, selalu diadakan upacara untuk merayakannya. Dalam upacara tersebut setiap pasangan harus melalui tahapan- tahapan dan syarat-syarat tertentu agar perkawinan mereka dianggap syah. Salah satu syarat penting dalam sebuah perkawinan adalah mas kawin atau ‘bride price’. Begitu pentingnya mas kawin dalam mensyahkan sebuah perkawinan, pada sebagian suku Universitas Sumatera Utara bangsa di Indonesia pemberian mas kawin dilakukan melalui upacara adat yang rumit, dimana di dalamnya prestise dan hubungan-hubungan antar kerabat ikut mempengaruhi. Pada mulanya pemberian mas kawin menurut Koentjaraningrat 1977, dimaksudkan sebagai ganti rugi. Hal ini disebabkan karena dalam suatu kelompok manusia terutama kelompok kecil, tiap warga di dalamnya merupakan tenaga potensial yang amat penting bagi kelompok itu. Dengan demikian, bila tiap kali diambil seorang gadis untuk dibawa kawin, maka kelompok sebagai keseluruhan akan menderita kerugian Koentjaraningrat 1977: 99. B. Teer Har dalam Turnip 1978:60 mengatakan bahwa mas kawin bagi orang Batak adalah sebagai alat magis yang melepaskan ikatan seorang wanita dari klen ayahnya ke klen suaminya sehingga tidak menimbulkan gangguan di dalam keseimbangan sosial, dan bagian-bagian mas kawin yang diterima kaum kerabat adalah sebagai balas jasa telah ikut membesarkan calon pengantin wanita. Akan tetapi dari hasil penelitian Simamora 1 pada orang Batak Toba di daerah rantau, ia melihat kecenderungan terjadinya perubahan pada fungsi pemberian mas kawin yaitu sebagai pengukur status sosial seseorang 2 1 Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Perjuangan pada tahun 1996. 2 Ia menjelaskan perubahan dengan membandingkan pelaksanaan perundingan mas kawin sesuai adat istiadat Batak Toba dimana melibatkan unsur Dalihan Natolu, dan pembicaraan ini pada dasarnya bertujuan sebagai sarana perkenalan antara pihak keluarga laki-laki dengan pihak keluarga perempuan Simamora, 1997:62. Sedangkan apa yang diperoleh dari hasil penelitiannya, telah terjadi perubahan tujuan dalam acara marhata sinamot, apa yang dipertimbangkan dipengaruhi oleh derajat gengsi dan kondisi ekonomi seseorang. Hal ini juga terjadi karena orang-orang yang ikut berunding bukanlah orang-orang yang mengerti adat Simamora, 1997:103. Seperti yang dijelaskan oleh Bapak J.M. Hutapea dalam Simamora, 1997:104 : “….ai angga marhata sinamot nadi ulahon dison hera tinggal boa-boa namai tu natorop na ro di ulaon i, jala na dohot na sinunga godang ina-ina dohot halak no aturan soi boi dope dohot, dung muse nga goda ngan mamakke ulon martonggo raja. Jala godangan nama nuaeng patuduhon hagabeon dohot hamaraona asa sangap di rohana, ndang be songon na jolo….” . Hal ini di pengaruhi oleh Universitas Sumatera Utara kondisi masyarakat yang sedang mengalami masa transisi menuju sikap rasionalitas Simamora 1997:103. Azami 1978:34-35 dalam tulisannya mengenai mas kawin orang Pariaman di Sumatera Barat, ia menjelaskan mengenai tradisi bajapuik 3 . Menurut adat tradisional Minangkabau, awalnya bajapuik hanya diberlakukan kepada orang yang terpandang yaitu turunan raja-raja, atau bangsawan yang bergelar Bagindo, Sidi dan Sutan, tetapi untuk kelompok Mara yang dipandang rendah tidak dijapuik 4 Menurut Azami 1978 saat ini terlihat gejala meningkatkan jumlah mas kawin atau uang jemputan. Mas kawin dipandang menurut nilai materinya bukan nilai psikologis seperti masa lalu . Saat ini hampir setiap perkawinan telah mempunyai uang jemputan. Makin besar uang jemputan makin besar pula prestise keluarga. Oleh karena itu, penetapan besarnya jumlah uang jemputan merupakan masalah rumit yang harus ditempuh oleh keluarga pihak perempuan yang melakukan peminangan. Kerumitan tersebut adalah dalam hal tawar menawar antara kedua belah pihak. 5 Artinya, “…bahwa marhata sinamot yang di lakukan di daerah ini sudah merupakan pemberitahuan dan resepsi, orang yang mengikuti pun banyak ibu-ibu dan orang yang belum pantas ikut, dan sudah banyak yang melakukannya. Banyak yang sudah mengarah kepada prestise…..” 3 Bajapuik adalah mengambil seorang laki-laki untuk dijadikan menantu dengan memberikan barang- barang yang berharga Amir 1997 dalam Resneita 2005: 83. 4 Pada awalnya tradisi Bajapuik dilakukakan oleh pihak perempuan untuk meningkatkan kastanya. Pada masyarakat Minangkabau terdiri dari kasta yang paling tinggi yaitu Sidi, Bagindo, Sutan dan kasta yang terendah yaitu mara. Kasta Mara adalah orang-orang yang datang ke Pariaman dan tidak mempunyai tanah pusaka, hanya sekedar hidup karena belas kasihan dari masyarakat setempat. Keturunan kasta Mara tidak di Japuik karena dianggap tidak meningkatkan derajat kelurga pihak perempuan Salim 2002 dalam Resneita 2005:79. 5 Masyarakat mulai berpikir rasional, sebab gelar kebangsawanan tidak akan berdampak pada kesejahteraan keluarga. Sebuah prestise tidak hanya lagi diukur dengan gelar keturunan, akan tetapi sejauh mana gelar keturunan tersebut berimplikasi secara ekonomis. Orang lebih menghargai seorang sarjana daripada seorang Sidi yang pengangguran atau hanya sebagai pedagang kaki lima. Bahkan seorang Mara sekalipun jika ia kaya raya, maka ketika menikah akan dijapuik dengan harga yang tinggi Resneita 2005:83-84. . Bahkan semua kelompok baik itu Sidi, Bagindo, Sutan maupun Mara telah dijapuik. Karena itu jumlahnya menjadi tidak terbatas, Universitas Sumatera Utara terserah keinginan keluarga pihak laki-laki. Semakin tinggi status sosial dan pendidikan seorang yang akan dijapuik, makin besar pula jumlah mas kawin atau uang jemputan yang diminta oleh pihak laki-laki Azami 1978:34-35. Lain halnya dengan mas kawin pada orang Sikka di Nusa Tenggara Timur. Mas kawin pada orang Sikka disebut belis. Belis yang diserahkan pihak pria ini berupa uang hingga Rp. 25 juta, dua perhiasan emas seberat 10 gram, gading gajah utuh dua batang yang harga perbatangnya sekitar Rp. 7,5 juta, dan kuda 25 ekor. Uang dan barang tersebut juga ditambah dengan barang hantaran lain. Barang hantaran tersebut dalam bentuk bahan makanan seperti padi, jagung, pisang, ayam, ikan kering dan ubi-ubian. Jumlah keseluruhannya kurang lebih mencapai ratusan juta rupiah Suwarna 2005. Menurut Oscar Pareira Mandalangi dalam Suwarna 2005, membayar belis merupakan cara orang Sikka mempererat tali persaudaraan. Belis mendorong gotong- royong, sebab sesungguhnya belis dipikul oleh semua anggota keluarga pihak laki- laki. Tujuan membuat belis yang mahal adalah untuk memberikan perlindungan kepada perempuan. Dengan belis, wanita mempunyai nilai tinggi dan pihak laki-laki akan berpikir untuk melakukan poligami. Suwarna 2005 mengatakan bahwa, saat ini telah terjadi persepsi yang keliru mengenai belis. Belis dianggap mahal dan menghambat perkawinan sehingga banyak pemuda Sikka yang memilih kawin dengan suku lain agar tidak perlu membayar belis. Bahkan sebagian menganggap membayar belis berarti membeli perempuan. Turnip 1978:131 juga menjelaskan mengenai mas kawin pada orang Nias, yang disebut böwö. Böwö terdiri dari emas, babi dan beras. Jumlah babi yang Universitas Sumatera Utara diserahkan mencapai puluhan ekor, yang harganya hampir puluhan juta rupiah. Besarnya mas kawin yang dibayar pihak laki-laki tergantung dengan status sosial atau bosi orang tua pihak perempuan 6 Berbeda halnya dengan mas kawin pada orang Karo yang disebut tukur. Mas kawin pada orang Karo jumlahnya tidak pernah sampai jutaan rupiah. Jumlah mas kawin pada orang Karo biasanya berkisar antara Rp. 300.000 sampai dengan Rp. 600.000. Dari jumlah yang sedikit itu, seluruh pihak kerabat yang termasuk dalam sangkep sitelu . Jumlah mas kawin yang besar sering menjadi kendala dalam pernikahan orang Nias. Banyak pemuda Nias yang memilih menikah dengan perempuan di luar suku Nias untuk menghindari membayar mas kawin yang besar. Ada juga sebagian yang menikah akan tetapi mas kawinnya belum dilunasi, yang harus dibayar setelah mereka berumah tangga sehingga menjadi beban keluarga tersebut Depsos 2005. 7 tetap memperoleh bagian Prinst 1984:25. Dalam proses perundingan 8 , ada banyak hal yang mempengaruhi besarnya jumlah mas kawin. Salah satunya adalah pertimbangan berdasarkan jenis dan jumlah yang biasa diterima oleh beru si wanita di daerah asalnya 9 6 Bosi merupakan strata dalam masyarakat Nias yang terdiri dari lima tingkatan. Pertama, Bosi Sifitu atau orang kebanyakan. Kedua, Bosi Siwalu atau kepala adat dalam kampung. Ketiga, Bosi Sisiwa atau Sanuhe ba Nori. Keempat, Bosi Sifulu atau kepala negeri yang membawahi beberapa desa. Kelima, Bosi Sifelendrua atau keturunan raja Samono Bauwa Dano Turnip 1978:131. 7 Sangkep sitelu disebut juga tungku nan tiga yaitu kalimbubu, senina dan anak beru. Kalimbubu adalah kelompokkeluarga pemberi gadis, anak beru adalah kelompokkeluarga yang mengambil atau menerima gadis, dan senina adalah keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti Bangun 1986: 109. 8 Acara perundingan jumlah mas kawin pada orang Karo disebut Maba Belo Selambar yang artinya membawa sirih selembar. Sirih ini dimaksudkan bahwa orang tua pengantin laki-laki melakukan pendekatan secara informal kepada orang tua pengantin wanita agar diketahui maksudnya Bangun 1986: 48. 9 Contoh Kasus yang terjadi salah satunya yaitu, pernikahan Merry br Tarigan yang berasal dari daerah Langkat. Jumlah tukur yang dibayarkan sebesar Rp. 365.000, jumlah ini di dasarkan pada jumlah tukur yang dibayarkan pada pernikahan terakhir beru Tarigan dalam satu klan keluarga tersebut di daerah tersebut. . Selain itu, status perkawinan juga Universitas Sumatera Utara dipertimbangkan, apakah ia menikah dengan orang yang bukan impalnya atau dengan impalnya 10 Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti, ada 3 jenis pesta perkawinan pada orang Karo Bangun, 1986:20. 11 . Jenis pesta yang dilaksanakan cenderung tidak berhubungan dengan besarnya jumlah mas kawin. Sebuah perkawinan dapat diselenggarakan dengan pesta yang mengeluarkan biaya yang besar akan tetapi jumlah mas kawinnya tidak besar. Sebaliknya dapat saja terjadi jumlah mas kawin besar, akan tetapi pesta yang diadakan tidak memakan biaya yang besar dan hanya diadakan di rumah mempelai laki-laki dan bukan diadakan di jambur 12 Penelitian mengenai mas kawin pada saat ini, telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian itu cenderung bertujuan melihat bagaimana jumlah mas kawin yang besar mempengaruhi hubungan dan kedudukan laki-laki dan perempuan maupun keluarganya. LP3A atau Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak Kompas 2003, menemukan bahwa salah satu penyebab terpenting sikap pasrah istri terhadap suami adalah mas kawin. Semakin tinggi jumlah mas kawin, beban moril yang ditanggung istri juga semakin tinggi. Istri merasa seakan-akan “dibayar mahal”. Karena itu, seluruh jiwa raganya harus dibaktikan untuk melayani seluruh kebutuhan suami, termasuk angota keluarga . 10 Impal adalah orang yang ideal untuk dinikahi, yaitu anak dari paman atau saudara laki-laki dari ibu pengantin laki-laki Bangun 1986:46. 11 Jenis pesta pada orang Karo ada 3 yaitu; 1 kerja sintua termasuk pesta besar, dalam pesta ini semua sanak famili jauh dekat diundang. Jumlah beras yang dimasak dalam pesta ini berkisar antara 15-20 kaleng dan harus memotong sapi atau lembu. Pesta biasanya dilaksanakan di balai adat; 2 kerja sintengah termasuk pesta sedang, dalam pesta ini sanak famili sekampung dan sanak famili terdekat di luar kampung diundang. Jumlah beras yang dimasak sekitar 10 kaleng dan menyediakan daging ayam dan babi sebanyak 30-40 kg. Pesta juga dilaksanakan di balai adat; 3 kerja singuda termasuk pesta kecil. Kerabat yang diundang hanya kerabat terdekat saja yaitu sangkep sitelu. Beras yang dimasak sekitar 2-3 kaleng dan menyediakan daging ayam dan babi sebanyak 10-15 kg. 12 Jambur adalah balai adat Karo yang biasa digunakan untuk pesta-pesta besar maupun acara kematian. Universitas Sumatera Utara suami. Dalam kondisi seperti ini pihak laki-laki merasa mempunyai hak untuk memperlakukan isteri sesuai keinginannya. Hal inilah yang cenderung menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanzania Media Women Association African Focus 2000 13 Bahkan penelitian ini juga menemukan bahwa menemukan bahwa, ‘The big amount payment of a bride price is a major cause of gender violence. This results because after a man has married through payment of bride price, he feels like he owns the woman. It also makes it difficult for a woman to seek a divorce if she is living in unhappy or unsafe circumstance, for fear her parents will have to pay back the bride price they had long used’. “Jumlah pembayaran mas kawin yang besar adalah penyebab utama kekerasan gender. Hal ini dikarenakan setelah menikah dan membayar mas kawin, laki-laki merasa memiliki perempuan tersebut. Hal ini juga menyebabkan seorang wanita sulit untuk meminta cerai jika ia hidup dalam keadaan yang tidak aman dan tidak bahagia, karena takut orang tuanya harus membayar kembali mas kawin yang telah lama mereka gunakan.” terjemahan bebas oleh penulis 14 13 Penelitian ini dilakukan pada masyarakat suku-suku di Afrika Selatan yaitu Tanzania, Zulu dan Swazi. Mas kawin pada orang Tanzania, Zulu dan Swazi disebut loloba. Mas kawin ini dahulu meliputi uang tunai, kepala ternak, domba, kambing, tanah, pakaian dan benda-benda lokal. Tetapi sekarang kebanyakan mereka lebih menginginkan dalam bentuk uang tunai African Focus 2000. 14 Besarnya jumlah mas kawin sering dimanfaatkan untuk melunasi hutang-hutang keluarga, banyak anak-anak remaja meninggalkan sekolah agar dapat dinikahkan dengan laki-laki yang dapat membayar mas kawin. Karena mereka menikah tanpa didasari rasa cinta, hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ‘marital rape’ atau pemerkosaan dalam rumah tangga African Focus 2000. , ‘….many consider bride price as a way of generating income. Some parents depend on bride price to solve some of family problem including food and clothing’ “…..banyak mas kawin dijadikan pemasukan utama. Beberapa orang tua bergantung pada mas kawin untuk mengatasi permasalahan keluarga seperti masalah makanan dan pakaian”. terjemahan bebas oleh penulis Universitas Sumatera Utara Laporan African Focus 2000 juga menjelaskan bahwa walaupun mas kawin yang besar cenderung mengakibatkan terjadinya kekerasan pada wanita, akan tetapi hal ini sulit dihilangkan karena masyarakat itu sendiri beranggapan bahwa, ‘the payment of a bride price is crucial for maintaining tradition and customs in legalizing marriages and maintaining respect and dignity of both parties’ “pembayaran mas kawin adalah penting untuk memelihara tradisi dan budaya dalam mensyahkan sebuah perkawinan dan memelihara kehormatan dan martabat kedua belah pihak”. terjemahan bebas oleh penulis Hmong Cultural Centre Vang Kao, 2000 menemukan hal yang sama pada orang Hmong di Laos, dengan sedikit perbedaan. ‘Marriage is recognized in the fullest sense among traditional Hmong custom, only when a big amount of bride price has been passed from the father of the groom to the family of the bride. Any children born by the couple before payment is completed are considered to belong to the bride’s father clan and may remain with this party unless an alternative agreement is reached in which the groom works for his bride’s father for several years in place of a bride price’. “Perkawinan dianggap sebagai bagian dari kebudayaan tradisional Hmong, hanya jika jumlah mas kawin yang besar telah diberikan oleh ayah pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan. Anak-anak yang dilahirkan oleh pasangan sebelum mas kawin dibayarkan adalah milik klan ayah pengantin perempuan dan tetap tinggal dalam keluarga ini sampai kesepakatan lain dicapai, dimana pengantin laki-laki bekerja untuk ayah pengantin wanita selama beberapa tahun sebagai pengganti mas kawin”. terjemahan bebas oleh penulis Situasi seperti ini terjadi jika seorang pria miskin menikah dengan perempuan dari keluarga kaya. Peristiwa seperti ini sebenarnya dianggap memalukan oleh masyarakat Hmong. Oleh sebab itu mereka lebih menganjurkan para pria mencari pasangan dari tingkat sosial ekonomi yang setara Vang Kao 2000. Universitas Sumatera Utara Dengan melihat bagaimana jumlah mas kawin yang besar mempengaruhi kehidupan individu maupun keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itulah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin, sehingga mempengaruhi perilaku mereka. Apa sebenarnya pengertian mas kawin bagi orang Karo yang jumlahnya relatif tidak besar, dan apakah mas kawin bagi orang Karo tidak berhubungan dengan status sosial.

1.2. Perumusan Masalah