Dengan melihat bagaimana jumlah mas kawin yang besar mempengaruhi kehidupan individu maupun keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itulah
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin, sehingga mempengaruhi perilaku mereka. Apa sebenarnya
pengertian mas kawin bagi orang Karo yang jumlahnya relatif tidak besar, dan apakah mas kawin bagi orang Karo tidak berhubungan dengan status sosial.
1.2. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah penelitian ini adalah bagaimana pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin. Masalah penelitian ini
diuraikan menjadi beberapa pertanyaan penelitian : 1.
Apakah pengertian mas kawin bagi orang Karo? 2.
Apa kegunaan mas kawin bagi orang Karo? 3.
Mengapa jumlah mas kawin yang ditentukan dalam perundingan jumlahnya tidak besar dan bagaimana perhitungan dalam pembagian jumlah mas kawin?
4. Apa saja hal-hal yang mendasari penentuan jumlah mas kawin, dan apakah tidak
berhubungan dengan status sosial? 5.
Mengapa kelompok kerabat yang termasuk dalam sangkep sitelu berperan dalam menentukan jumlah mas kawin?
6. Siapa-siapa saja yang berhak menerima mas kawin?
Universitas Sumatera Utara
1.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan khususnya di kecamatan Medan Selayang. Peneliti akan melakukan wawancara dan observasi dalam acara
ngembah belo selambar yang dilaksanakan di jambur-jambur yang berada di kecamatan Medan Selayang kotamadya Medan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana sebenarnya pengetahuan orang Karo mengenai mas kawin. Apa sebenarnya pengertian mas
kawin bagi orang Karo yang jumlahnya tidak besar, dan cenderung tidak berhubungan dengan status sosial. Kemudian mengapa pihak kerabat, dalam hal ini
sangkep sitelu berhak menerima bagian mas kawin tersebut. Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah menambah kepustakan
Antropologi mengenai mas kawin yang terdapat pada salah satu suku di Indonesia. Sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran yang
jelas mengenai makna mas kawin dalam perkawinan suku Karo, khususnya bagi suku Karo itu sendiri dan bagi pembaca di luar suku Karo.
1.5. Tinjauan Pustaka
Tyler 1969 dalam Robertson 2006 mengatakan bahwa, ‘Cognitive anthropology is an idealist approach to studying the
human condition. Cognitive anthropology study the relation between human cultures and human thought. Cultur are not
regarded as material phenomen, but rather cognitive organizations of material phenomena’.
Universitas Sumatera Utara
“Antropologi kognitif adalah pendekatan idealis untuk mempelajari kondisi manusia. Antropologi kognitif mempelajari
hubungan antara kebudayaan manusia dan pikiran manusia. Kebudayaan tidak dianggap sebagai fenomena material, tetapi
sebagai organisasi kognitif dari fenomena material”. terjemahan bebas oleh penulis
Tyler juga mengatakan bahwa, ‘Cognitive anthropology is an approach that stresses how people
make sense of reality according to their own indigenous cognitive categories, not those of the anthropologist’. ” “Antropologi
kognitif adalah pendekatan yang menekankan bagaimana orang- orang membuat pengertian pada kenyataan berdasarkan kategori
kognitif asli mereka, bukan berdasarkan ahli antropologi”. terjemahan bebas oleh penulis
Menurut Goodenough dalam Spradley 1997: xix budaya bukanlah suatu fenomena material, dia tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi.
Dia adalah sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut, dia adalah sesuatu yang dimiliki dan tersusun dalam pikiran atau ‘mind’ seseorang. Lebih jauh lagi Spradley
1997: xix menjelaskan bahwa cara untuk “mengorek” dan mendeskripsikan apa yang ada dalam “kepala” seseorang adalah melalui ‘folk taxonomy’ yaitu klasifikasi
atau kategori menurut istilah-istilah dalam bahasa penduduk asli. Hubungan diantaranya dapat mengungkapkan sistem makna budaya masyarakat tersebut.
Goodenough dalam Borofsky 1994:263 menjelaskan bahwa, ‘there are observable differences in speech, behavior, social
arrangements, and expression of belief that characterize different populations. The content of speech , behavior, and belief require
description, and similarities and differences in those content need explanation. The terms language and culture are refer to this
content. To describe language and cultures is to create models and schemas of understanding human that have constructed from
their experience’.
Universitas Sumatera Utara
“Ada banyak perbedaan yang dapat dilihat dalam pembicaraan, tingkah laku dan pengaturan sosial yang merupakan karakteristik
populasi yang berbeda. Isi dari pembicaraan, dan kepercayaan membutuhkan deskripsi. Persamaan dan perbedaan dari isi
tersebut membutuhkan penjelasan. Istilah bahasa dan kebudayaan digunakan untuk isi tersebut. Untuk menjelaskan bahasa dan
kebudayaan adalah membuat model dan skema dari pengertian manusia yang dibangun dari pengalaman mereka”. terjemahan
bebas oleh penulis
Goodenough dalam Borofsky 1994:268 juga mengatakan bahwa, ‘…with language, people have a means of mapping the subjective
record into overt behavioral forms, and thereby they make their experience an object to themselves and to other’. “…dengan
bahasa, orang-orang memetakan rekaman subjektif menjadi tingkah laku yang nyata, dengan cara demikian mereka membuat
pengalaman mereka menjadi sebuah objek untuk diri mereka sendiri dan orang lain”. terjemahan bebas oleh penulis
Bloch dalam Borofsky 1994:276 juga menjelaskan hubungan antara bahasa dengan kebudayaan,
‘…culture is inseparably linked to language, on the ground either that culture is thought and transmitted as a text through
language’. “…kebudayaan tidak dapat dipisahkan dengan bahasa, pada dasarnya budaya sebagai sesuatu yang dipikirkan atau
disalurkan sebagai teks melalui bahasa”. terjemahan bebas oleh penulis
Spradley dalam Marzali 1997: xx mendefinisikan budaya sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakan
untuk menginterpretasikan dunia sekeliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekeliling mereka. Spradley 1997: 6-7
mengatakan bahwa dengan memahami kebudayaan sebagai pengetahuan yang dimiliki bersama, tidak menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, atau
emosi. Tetapi sekedar mengubah penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi
Universitas Sumatera Utara
penekanan pada makna berbagai fenomena itu. Konsep kebudayaan ini sebagai suatu sistem sosial yang mempunyai makna.
Semua makna budaya menurut Spradley 1997 diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Makna simbol apapun merupakan hubungan simbol itu
dengan simbol lain. Oleh karena itu, istilah-istilah penduduk asli mempunyai hubungan satu sama lain. Kebanyakan simbol dalam semua kebudayaan mencakup
simbol-simbol yang lain. Ketika simbol-simbol itu dihubungkan dengan cakupan maka kita mengatakannya sebagai kategori. Kategori simbolik apapun yang
mencakup kategori-kategori lain adalah sebuah domain Spradley 1997: 121-124. Spradley 1997: 126 juga menjelaskan bahwa, semua anggota dari sebuah
domain memiliki satu gambaran makna. Dalam proses penemuan domain, dicari berbagai kemiripan yang ada di antara berbagai istilah penduduk asli. Unsur pertama
dalam sebuah domain adalah istilah pencakup atau ‘cover term’ dan unsur kedua adalah istilah tercakup. Semua domain memiliki dua istilah tercakup atau lebih.
Istilah ini adalah istilah-istilah penduduk asli yang merupakan kategori pengetahuan mereka. Oleh karena itu untuk menjelaskan pengetahuan orang Karo mengenai mas
kawin, maka perlu mendeskripsikan apa yang ada di dalam ‘mind’ mereka. Caranya yaitu dengan mencari bagaimana mereka menjelaskan makna dari berbagai istilah
asli melalui bahasa asli mereka, yang kemudian disusun ke dalam kategori-kategori yang sesuai.
Kemudian menurut Spradley, untuk dapat mengungkapkan makna simbol- simbol maka perlu menanyakan kegunaannya. Ketika seorang peneliti menanyakan
tentang makna, informan hampir selalu menjawab dengan definisi singkat. Tetapi
Universitas Sumatera Utara
ketika peneliti menanyakan kegunaannya, maka informan akan mengungkapkan hubungan antara satu istilah dengan istilah lainnya Spradley 1997: 124. Kegunaan
mas kawin berbeda pada setiap masyarakat, menurut hasil penelitian Malinowski dalam Mauss 1992:35, pada masyarakat Trobriand pemberian mas kawin yang
dilakukan oleh seorang calon suami kepada calon istrinya haruslah dilihat sebagai “suatu imbalan” atas pelayanan seksual yang akan diberikan. Sebuah pemberian
dalam bentuk mas kawin menimbulkan kewajiban pasangannya untuk mengimbangi pemberian itu dengan cara memberikan pelayanan seksual.
Hasil penelitian Keesing 1992:7 pemberian mas kawin pada orang pegunungan New Guinea merupakan “kontrak antara kelompok-kelompok kerabat”
dimana diberikan hak-hak kepada kelompok mempelai pria sebagai tukaran karena telah kehilangan tenaga kerja, kehadiran maupun kesuburannya. Dalam kelompok
masyarakat yang masih bergantung pada pengelolaan hasil alam, tenaga kerja merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu kehilangan salah satunya
merupakan kerugian yang harus diimbangi dengan pemberian mas kawin. Sedangkan menurut Havilland 1993:51 memberi dan menerima berbagai
barang dianggap sebagai bentuk “jaminan sosial atau asuransi”. Sebuah keluarga memberikan bantuan kepada keluarga lain dengan harapan akan menerima bantuan
yang sama atau hal lain pada waktu ia membutuhkan. Penelitian ini akan melihat apakah kegunaan mas kawin bagi orang Karo sebagai imbalan, kontrak
antarkelompok kerabat, sebagai jaminan sosial atau memiliki kegunaan sendiri yang berbeda menurut istilah-istilah mereka sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Peneliti membatasi definisi beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini yaitu status sosial, mas kawin atau ‘bride price’, orang Karo dan
sangkep sitelu. Status sosial
15
www.wikipedia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ‘the degree
of honor or prestige attached to one’s position society’ … “derajat kehormatan atau prestise yang dilekatkan pada sebuah posisi dalam masyarakat” Horton dalam
.org. Mas kawin atau ‘bride price’
16
adalah sejumlah uang atau barang berharga yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya sebagai
syarat syah sebuah perkawinan Chulsum 2006: 244. Orang Karo adalah mereka yang termasuk dalam sistem kemasyarakatan orang Karo yang dikenal dengan merga
silima
17
, tutur siwaluh
18
, dan sangkep sitelu
19
15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, status sosial adalah tingkatan atau kedudukan seseorang atau suatu kelompok dalam hubungannya dengan masyarakat sekelilingnya Chulsum 2006: 481.
Dalam ‘Encyclopedia Britania’ www.britannica.com, ‘social status is the relative rank that
individual holds, with attendant rights, duties, and life style, in a social hierarchy based upon honour or prestige’…..”status sosial adalah tingkatan relatif yang dimiliki individu dengan disertai hak,
kewajiban dan gaya hidup, dalam tingkatan sosial berdasarkan kehormatan dan prestise”.
16
Definisi mas kawin dapat berbeda-beda dalam setiap masyarakat, oleh karena itulah maka peneliti membatasi definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diantara definisi itu adalah definisi mas
kawin pada masyarakat Indian Igbo yaitu “a payment to acquire rights in the children of the marriage’ … “pembayaran untuk memperoleh hak atas anak dalam sebuah perkawinan” Schimmer
2000.
17
Merga silima berarti marga yang lima yaitu Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan perangin- angin. Marga-marga ini kemudian mempunyai masing-masing submarga. Marga dalam bahasa Karo
disebut merga untuk laki-laki dan beru untuk perempuan. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang Tarigan 1990: 15.
18
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo yang berhubungan dengan penuturan. Terdiri dari delapan golongan yaitu Tarigan 1990 15-16:
Tarigan 1990: 15.
1. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang.
2. Kalimbubu adalah kelompok pemberi istri kepada keluarga tertentu.
3. Senina adalah mereka yang bersaudara karena mempunyai marga atau submarga yang sama.
4. Sembuyak adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama.
5. Senina sipemeren adalah orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung.
6. Senina separibanen adalah orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang
memperistri dari beru-beru yang sama. 7.
Anak beru adalah pihak yang mengambil istri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. 8.
Anak beru menteri adalah anak beru dari anak beru.
Universitas Sumatera Utara
Sangkep sitelu berarti tiga yang lengkap, yaitu kelengkapan hidup orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam
masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok yaitu kalimbubu, anak beru dan senina. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan pertalian darah maupun karena
hubungan perkawinan Tarigan 1990: 15.
1.6. Metode Penelitian