Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya

A. Periode Persiapan

52 Persiapan bagi lahirnya Mazhab Syafi’i berlangsung sejak wafatnya Imam Malik r.a. 179 H, sampai dengan kematangannya yang kedua di Baghdad, tahun 195 H, dimana setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat ke Yaman untuk kerja. Dengan demikian, kehidupan keilmuannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan di lapangan. Keberadaan di lapangan menuntut perhatian lebih bila dibanding dengan periode menuntut ilmu. Di sini perhatian tidak mungkin lepas dari beberapa faktor, kondisi, dan stuasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada. Dalam penerapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik kadang- kadang mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat. Selama di Yaman, Imam Syafi’i memperoleh banyak pengalaman yang memperkayakan khazanah keilmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-diskusi dengan tokoh utama Mazhab Hanafi, Muhammad Bin al-Hasan al-Syaibani, ia dapat pula mengenali aliran Ahl al Ra’yi secara dekat, memperluaskan wawasan, serta mematangkan pemikiran dan keperibadiannya.

B. Periode Pertumbuhan

Tahun 195 M, pada saat kedatangan kedua di Baghdad, sampai dengan tahun 199 M, saat ia pindah ke Mesir, bisa disebut sebagai periode pertumbuhan bagi mazhab Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i datang kembali ke Baghdad tahun 195 52 Ibid, h. 35. M, ia datang bukan sebagai penuntut ilmu, melainkan seorang Ulama yang matang dengan konsep serta pemikiran-pemikirannya sendiri. Kini beliau memperkenalkan fiqhnya secara utuh, lengkap dengan kaidah-kaidah umum, dan pokok-pokok pikiran yang siap untuk dikembangkan. Mazhab baru ini digelarnya di Baghdad yang sejak lama telah dikuasai dan dijadikan sebagai pusat pengembangan oleh aliran Ahl al Ra’yi. Pendapat dan fatwa-fatwa fiqh yang dikemukakannya pada periode ini dikenali dengan sebutan Qaul Qadim. Selam kira-kira dua tahun berada di Baghdad, beliau berhasil menyusun dan membuat kitab al-Risalah yaitu dalam bidang Ushul Fiqh dan ah-Hujjah dalam bidang fiqh. Kitab al-Hujjah inilah yang menjadi rujukan bagi Qaul Qadim mazhab Syafi’i yang selanjutnya diiwayatkan oleh beberapa murid yang belajar kepadanya di Baghdad.

C. Periode Kematangan dan Kesempurnaan pada Mazhab al-Jadid

Setelah berhasil memperkenalkan mazhab barunya di Baghdad, Imam Syafi’i kembali lagi ke Makkah dan terus mengajar serta mengembangkan pemikirannya di kota suci Makkah itu. Kemudian pada tahun 198 M sekali lagi ia berada di Baghdad, tetapi tidak lama kemudian berpindah ke Mesir. Masa yang dilalui Imam Syafi’i di Mesir itu relative pendek, tetapi sangat berarti dalam pengembangan mazhabnya. Di sana ia sangat sibuk dengan kegiatan produktif yang menghasilkan temuan ilmiah dan istinbath hokum yang membuat hujjah serta kebesaran peribadi Imam Syafi’i sebagai seorang imam semakin nyata. Karena berbagai alasan ilmiah, ia menyatakan ruju’, meninggalkan beberapa pendapat lama yang dikemukakan di Baghdad dan mengubah dengan fatwa yang baru. Pendapat-pendapat baru qaul Jadid itu dituangkan secara sistematis dalam beberapa buah kitab. D . Periode Pengembangan Periode ini berlangsung sejak wafatnya Imam Syafi’i sampai dengan pertengahan abad kelima atau, bahkan abad ketujuh menurut pendapat sebagian ahli. Para murid dan penerus Imam Syafi’i dari berbagai generasi Thabaqat yang telah mencapai derajad ijtihad dalam keilmuannya terus melakukan istinbath hukum untuk masalah-masalah yang timbul pada masa mereka atau yang ditimbulkan sebagai perandaian masa’il frdliyah. Selain itu, semangat ijtihad yang diwariskan oleh Imam Syafi’i sendiri, mereka juga melakukan tinjauan ulang terhadap fatwa-fatwa Imamnya. Dalam satu permasalahan Imam Syafi’i memberikan dua, atau lebih, fatwa yang berbeda. Mereka melakukan tarjih setelah menelusuri dalilnya masing-masing untuk mendapat pilihan yang kuat. Mereka inilah yang kemudiannya memainkan peran penting dalam membela, melengkapi, dan meyebarkan mazhab Syafi’i sehingga bersaing dengan mazhab-mazhab lainnya yang di seluruh wilayah Islam. Selain ramai dengan kegiatan istinbath, kajian, dan diskusi antara sesamanya atau antara mereka dengan ulama dari mazhab lain, para ulama Syafi’iyyah pada periode ini juga banyak menghasilkan karya tulis. Hampir setiap ulama terkemuka menuangkan