Pengertian Pernikahan Wanita Hamil Dalam Undang-Undang Keluarga Islam
3 Watie syubhah ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki
dengan seorang perempuan yang bukan isterinya dan persetubuhan itu dilakukan:
b Dalam keadaan yang meragukan dalam mana dia menyangka
bahawa perempuan yang disetubuhinya itu adalah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya; atau
c dalam keadaan yang meragukan dalam mana dia menyangka
perkawinannya dengan perempuan yang disetubuhi olehnya itu adalah sah mengikut Hukum Syarak, sedangkan pada hakikatnya
perkawinannya itu adalah tidak sah.
Kemudian dalam pasal 13 disebutkan bahwa: 1
Jika pesalah yang melakukan zina itu muhsan, maka pesalah itu hendaklah dihukum dengan hukuman rejam, iaitu dilontar dengan batu
yang sederhana besarnya sehingga mati. 2
Jika pesalah yang melakukan zina itu ghairu muhsan, maka pesalah itu hendaklah dihukum dengan hukuman sebat sebanyak seratus kali
sebatan dan sebagai tambahan hendaklah dipenjara selama satu tahun.
Para Ulama bersepakat mengenai kebolehan menikah wanita penzina bagi orang yang menzinahinya. Dengan demikian pernikahan antara lelaki dan wanita
yang dihamilinya sendiri adalah sah dan mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami istri.
87
Ini tidak bertentangan dengan isi surah an-NNr ayat 3 karena status mereka sama-sama penzina.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum menikahinya bagi orang yang bukan menzinahinya. Terjadinya pendapat dikalangan Ulama tersebut
disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami “larangan menikahan penzina” yang terdapat dalam surah an-NNr ayat 3 sebagai berikut:
87
Wahab Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmy wa Adilatuh, Juz VI, Damsyik: Dâr al-Fikr, 1985, h. 148
P q s
h3 SO5f=
3 Gg
v …
fgSA R4›1 [g B v
s h3
•O5f= 3
šI …
œ R4›1 D
•ir ‡
GH P6
MN f 1 . U
M
Artinya:“laki-laki Yang berzina lazimnya tidak ingin berkahwin melainkan Dengan perempuan Yang berzina atau perempuan musyrik; dan
perempuan Yang berzina itu pula lazimnya tidak ingin berkahwin dengannya melainkan oleh lelaki Yang berzina atau lelaki musyrik.
dan perkahwinan Yang demikian itu terlarang kepada orang-orang Yang beriman.”
Q.S.An-NNr:24:3 Tafsiran dari ayat ini adalah:
88
Ayat ini merupakan pemberitaan dari Allah bahwa laki-laki penzina tidak mungkin melakukan hubungan badan terkecuali dengan wanita penzina juga atau
dengan wanita musyrik. Maksudnya, bahwa laki-laki penzina tidak mungkin dapat memperturutkan kehendak hawa nafsunya untuk berzina, terkecuali dengan
wanita penzina yang durhaka atau dengan wanita musyrik yang tidak menyakini keharamannya. Demikian pula wanita penzina tidak mungkin dapat
melampiaskan hawa nafsu zinanya terkecuali dengan laki-laki penzina yang durhaka atau dengan laki-laki musyrik yang tidak menyakini keharamannya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa seorang laki- laki dari golongan mukmin meminta restu dari Nabi untuk menikahi seorang
wanita yang bernama Ummu Mahzul. Ia adalah seorang wanita pelacur dan dia
88
Syaikh Shafiyyur,Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah: Tim Pustaka Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, Juni 2008, Cet, Pertama, h. 319
menyaratkan akan memberikan nafkah dari hasil pekerjaannya kepada suaminya. Laki-laki itu pun meminta izin kepada Rasulullah SAW. atau menceritakan
kepada Rasul tentang calon istrinya itu. Maka Rasulullah SAW. membacakan kepadanya firman Allah, surat An-NNr ayat 3 yang berarti:“laki-laki Yang berzina
lazimnya tidak ingin berkahwin melainkan Dengan perempuan Yang berzina atau perempuan musyrik; dan perempuan Yang berzina itu pula lazimnya tidak
ingin berkahwin dengannya melainkan oleh lelaki Yang berzina atau lelaki musyrik. dan perkahwinan Yang demikian itu terlarang kepada orang-orang
Yang beriman.” Adapun Ahmad Ibn Hanbal yang mengatakan bahwa pernikahan antara
orang yang baik-baik dengan seorang penzina adalah haram mereka memahami
9 B K
merujuk kepada bentuk pernikahannya, sedangkan keharaman perbuatan zina sudah jelas adanya.
Huruf lam naïf baik yang terdapat pada ayat 3 surah an-NNr di atas untuk menunjukkan “ketidakadaan” artinya tidaklah seorang penzina menikah
malainkan dengan seorang penzina, begitu pula sebaliknya, tidaklah orang yang baik-baik menikah malainkan dengan orang-orang yang baik-baik pula.
89
Dari penjelasan di atas akan timbul pertanyaan apakah sah akad nikah yang dilakukan oleh orang baik-baik dengan seorang penzina? Selanjutnya
penulis akan mencoba memaparkan dua perbandingan yaitu Imam Syafi’i dan
89
Ibid, h 321.
Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu mengenai status hukum pernikahan dengan wanita hamil yang dilakukan oleh orang yang bukan menghamilinya.
Sebelum itu penulis akan menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya zina dan kawin hamil.