Definisi Perkawinan Definisi, Dasar Hukum, dan Hukum Perkawinan

Kalimat menikahi perempuan yang beriman dalam ayat atas bermaksud kamu mengadakan perkawinan dengan perempuan yang beriman. Ini berpandukan firman Allah selepas itu yang bermaksud: “kemudian kamu ceraikan dia sebelum kamu menyentuhnya”. maksud menyentuh ialah menyetubuhinya. 9 Terdapat banyak definisi perkawinan yang ditetapkan oleh sarjana Islam. Menurut fukaha’. Makna Hakiki Nikah Dalam Syariat Penggunaan makna hakiki nikah sebagai akad dan makna kiasannya sebagai bersetubuh—meskipun kedua makna ini disebutkan dalam Al-Qur’an— disebabkan karena nikah lebih sering digunakan dalam makna akad dan bukan pada bersetubuh, yaitu dengan kita mengatakan: -. ﺏ 01 . 2ﺱ 34 ini adalah zina , dan bukan nikah Sebahagian fukaha mengatakan, ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna sinonim, maka hal ini menunjukan makna kiasannya adalah bersetubuh . Karena itu, makna hakikat nikah dalam syariat adalah akad dan makna kiasannya adalah bersetubuh. 10 Pengertian Pernikahan dalam Perspektif Imam Empat Mazhab sebagai berikut: a. Menurut Imam Abu Hanifah: 9 Ibid, h. 726 10 Muhammad Ibrahim Jannati, Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi, Ja’fari , Jakarta: Cahaya, 2007, Cet Pertama, Rejab 1428HJuli 2007M, h. 301- 302 . 5ﻥ ﺏ 6 7 612ی 9:ﻡ = 6? 11 Artinya:“Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan secara sengaja.” b. Menurut Imam Malik” 1ﻡA ﺏ B 3: =ﻡ A ﻡ C:7 6 7 5ﻥ ﺏ . 12 Artinya:“Nikah adalah suatu akad untuk menikmati sendiri kelezatan dengan wanita.” c. Menurut Imam Syafi’i : 4 =ﻡ Dی ﺕ . ﻥ F2:ﺏ 9:ﻡ GHی 6 7 5ﻥ ﺏ . 13 Artinya:“Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan “wathi” dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain yang menjadi sinonimnya.” d. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal: I ﺱ = ﻡ C:7 Dی ﺕ . ﻥ F2:ﺏ 6 J 4 . 14 Artinya:“Nikah adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin untuk manfaat menikmati kesenangan.” Dari beberapa pengertian yang diberikan para Imam Mazhab di atas dapat disimpulkan bahwa nikah adalah “akad antara lelaki dan wanita untuk saling 11 Abdul Rahman Al Jaziri, Al-Fiqh ’ala Mazhabil Arba’ah Mishr: Maktabah al- Tijariyah, 1979, juz 4, h. 2 12 13 14 memiliki dan bersenang-senang dan menghalalkan pergaulan suami istri dalam membentuk keluarga atau sebuah rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau dengan kata lain yang sama dengan kedua kata tersebut.” Perkawinan adalah suatu ibadah dan suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama yaitu, di antara seorang lelaki dengan seorang wanita, secara sah menurut agama Islam dan membentuk sebuah keluarga yang kasih- mengasihi, yang lebih tepat sebuah keluarga “sakinah mawaddah wa rahmah” yang diidamkan sebuah keluarga. Pernikahan adalah menjadi suatu persoalan kehidupan manusia yang banyak seginya, dan mencakupi seluruh segi dalam kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu di dalam perkawinan ini sangat memerlukan kepastian hukum, yang mana telah diatur dalam agama Islam dan juga Undang-undang Keluarga. Dalam hal ini terjadinya suatu akad perjanjian pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sebagai suatu kemaslahatan yang akan datang, jika terjadi sesuatu perkara yang tidak diinginkan. Selain itu, perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dan suatu sejarah dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan lelaki bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua. Kedua belah pihak, sudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat dalam lingkupnya, karena satu sama lain saling ikut melengkapi demi terciptanya keharmonisan hidup. Oleh karena peristiwa perkawinan mempunyai arti yang begitu penting, kalau di Malaysia bakal mempelai dipanggil sebagai raja sehari. Karena mereka akan mengadakan keramaian pada pasangan mempelai, maka pelaksanaannya senantiasa dimulai dengan akad nikah dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara lengkap dengan adat istiadat yang ada dalam lingkungan tersebut. Peristiwa perkawinan terbahagi tiga buah rentetan yang sakral yang bertujuan menjamin; 15

1. Ketenangan. Dengan adanya ketenangan sebuah

perkawinan yang didasari oleh perasaan suka, cinta tanpa adanya ancaman serta adanya restu dari sekelilingnya masyarakat, maka kedua mempelai tidak perlu merasa takut akan hal-hal yang dapat mengubah kesepakatan mereka dalam menjalankan bahtera rumah tangga. 2. Kebahagiaan, perkawinan pun selalu membawa kebahagiaan di mana suami istri telah dapat hidup dengan lawan jenisnya yang dapat memberikan kebahagiaan kelak, dan 3. Kesuburan, untuk melangsungkan keturunan maka dibutuhkan suatu perkawinan, yang itu dapat dirasakan dengan hadirnya anak, kehidupan yang lebih baik dari hasil setiap perkawinan, yang menandakan akan kesuburan tersebut.

2. Dasar Hukumnya

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an: 4 1 W] = I ‚67ƒ 5 4 21 895O Wv n„ G … ? z f5 J † • hE[e 9: f k 15 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT. Itermassa, 1989, h. 40. f 1 Gg.4 D I P M ‡ GH € =ˆ ‰Š8 † I 5SW= K L M Artinya:“Dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu Wahai kaum lelaki, istri-istri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu suami istri perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan yang menimbulkan kesedaran bagi orang-orang Yang berfikir” Q.S. Al-RNm : 21 : 30 ‹ hE[e 95 4 21 8 5O Wv n„ G … hE[e 95 4 21 9:OeG … MN f fmSW 95n… 21 :rB • D ~E • : :X I f 1 = . [ f 89[b I W5= OP QR : M Artinya:“Dan Allah menjadikan bagi kamu dari diri kamu sendiri pasangan- pasangan istri, dan dijadikan bagi kamu dari pasangan kamu: anak- anak dan cucu-cicit, serta dikurniakan kepada kamu dari benda Yang baik lagi halal; maka Patutkah mereka yang ingkar itu percaya kepada perkara Yang salah penyembahan berhala, dan mereka kufur pula akan nikmat Allah” Q.S. Al-Nahl : 16 : 72 Selain dari Al-Qur’an, terdapat banyak hadits dari Rasulullah SAW. yang menjelaskan lebih lanjut tentang perkawinan dalam Islam di antaranya adalah: G7 6 7 S Gﺏ A= ﻡ T TﺱU S V:ﺹ 51:7 :ﺱ T ی X=ﻡ X Gﻡ I Yی ﻡ 1:Z 5ﻥ Z [J ? : G? 2: Gﻡ Y ی 51:=Z K? ﺏ 5ﻥ Z 5 ﺝ ] U : ﻡ 16 Artinya :“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” HR. Muslim

3. Hukum Perkawinan

Perkawinan mempunyai hukum yang berubah-rubah berdasarkan keadaan individu itu sendiri. Berikut dijelaskan hukum-hukum perkawinan: 17

a. Sunat

Ini berlaku jika individu itu berhajat kepada perkawinan; dengan arti kata lain beliau ingin berkawin, memiliki kemampuan dari segi nafkah, mas kawin serta nafkah kehidupannya dan kehidupan istrinya dan beliau merasakan bahwa beliau tidak akan terjerumus kedalam perkara maksiat zina jika tidak berkawin. Dalam keadaan ini perkawinan adalah sunat karena perkawinan itu dapat melahirkan generasi, menjaga keturunan dan membantu untuk mendatangkan maslahat. Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: 16 Imam Abi al- Husain Muslim Ibn. Hajjaj Qusairy an-Naisabury, Shahih Muslim, Mishr: Darul Fikr,t. th, h. 1018 17 Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- Undang Kekeluargaan Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Membentuk Keturunan, Anak Buangan , Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disember 2005, Jil. 4, h. 733