Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kebinasaan. Allah menghendaki hamba-Nya menikmati kebaikan dan dijauhkan daripada keburukan.
1
Firman Allah SWT :
Artinya:“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha penyayang kepada manusia.”
Q.S.Al-Baqarah : 2 : 134 Untuk itulah pendidikan agama dalam keluarga sangat penting, keluarga
muslim adalah komunitas masyarakat Islam dalam sekala yang paling kecil. Sebuah keluarga muslim yang sakinah mawaddah wa rahmah akan menjadi
simbol dan contoh yang bakal terwujudnya masyarakat yang Islami. Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an, idealnya sebuah pernikahan itu terjalin
antara pasangan yang sekufu’, laki-laki yang baik berpasangan dengan wanita yang baik dan laki-laki yang keji berpasangan dengan wanita yang keji pula.
Ukuran baik dan buruk disini adalah dari segi aqidah, akhlaq dan tujuannya. Islam membangun kehidupan keluarga dan masyarakat atas dasar dua
tujuan. Pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Untuk itu, Islam melarang adanya hubungan intim antara lelaki dan perempuan tanpa ikatan sah
sebagaimana disyariatkan Allah SWT. misalnya perzinahan, perselingkuhan, dan mengambil istri yang tidak halal.
1
Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dkk, Kitab Fikih Mazhab Syafie, Undang- undang Kekeluargaan Nikah, Talak, Nafkah, Penjagaan Anak-anak, Penyusuan, Menentukan
Keturunan, Anak Buangan , Kuala Lumpur: Pustaka Salam Sdn Bhd, Disembar 2005, jil. 4, h.
731-732
Firman Allah SWT
: +,
. 1
+ 2
3 1
45671 89:
. = ?
+7 A 895B67C
D E
F 95
1 89:
GH I
? J8:
95 G
1L MN
O,PQ R8 ST
UVNO W + 1 D
.X YZ [4.
\ ]
` a 1 [b [
X cd[b eF
fgh=i X D
h3 e
895B67C .
X J k+lG
] A
1 m [
gh=i SW D
I InSA
o. 7
p. O5
Artinya:“Dan diharamkan juga kamu berkawin dengan perempuan-perempuan istri orang, kecuali hamba sahaya yang kamu miliki. Haramnya Segala
yang tersebut itu ialah suatu ketetapan hukum Allah yang diwajibkan atas kamu, dan sebaliknya. Dihalalkan bagi kamu perempuan-
perempuan yang lain daripada yang tersebut itu, untuk kamu mencari istri. Dengan harta kamu secara bernikah, bukan secara berzina,
kemudian mana-mana perempuan yang kamu nikmati percampuran dengannya setelah ia menjadi istri kamu, maka berikanlah kepada
mereka maskahwinnya dengan sempurna, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan oleh Allah dan tiadalah kamu berdosa mengenai
suatu persetujuan yang telah dicapai bersama oleh kamu suami istri, sesudah ditetapkan maskawin itu tentang cara dan kadar
pembayarannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”
Q.S.An-Nis ’:4:24
Dan tujuan yang kedua ialah untuk mencipta wadah yang bersih sebagai tempat lahirnya sebuah generasi yang berdiri di atas landasan yang kokoh dan
teratur tatanan sosialnya.
2
Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan mensyari’atkan perkawinan ialah lahirnya seorang anak sebagai pelanjut
keturunan, bersih keturunannya, jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya. Dengan demikian jelaslah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dalam
menjaga, membesar, mendidik sehingga ia menjadi anak yang saleh. Karena itu Islam melarang segala perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak
seorang anak, seperti perbuatan zina. Larangan ini terlihat dalam Firman Allah SWT:
h3 ?
Pqirs ?
t uv InSA
fgwO X \
xSB :\ ﺱ
Artinya:“Dan janganlah kamu menghampiri zina, Sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan Yang keji dan satu jalan Yang jahat yang membawa
kerosakan.” Q.S: Al-Isr ’: 17 : 32
Sesungguhnya sangat mengerikan kalau kita melihat pergaulan anak muda pada zaman sekarang. Norma dan aturan Islam hampir semuanya dilanggar. Dan
para orang tua ikut setuju karena tidak mau melarang anak-anaknya dari hal yang demikian. Bahkan di antara orang tua yang kurang paham dalam agama,
2
Abduttawat Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah Poligami Dalam Islam vs MonogamiBarat,
Jakarta : CV. Pedoman Ilmu Jaya. 1993, cet. 1, hal. 8-9
menganjurkan kepada anak-anak mereka agar meniru gaya bergaul orang barat yang hina dan tidak bermoral. Para orang tua banyak yang tidak mendidik anak-
anak dengan pendidikan Islam. Akibat dari pergaulan gaya Barat tersebut adalah tersebarnya perzinahan di mana-mana dan bukan lagi menjadi masalah yang
pantang larang. Kita sering mendengar anak-anak yang terlahir dari hasil hubungan luar nikah. Bahkan untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut
yang dilakukan justru mereka menutupnya dengan maksiat lagi yang berlipat-lipat dan berkepanjangan. Ada yang lari ke Dokter atau ke Dukun bayi untuk
menggugurkan kandungan, dan ada juga yang segera melangsungkan pernikahan dengan pasangan yang menghamilinya atau orang lain sebagai tumbal agar
kehamilan tidak diketahui masyarakat sebagai kehamilan yang sah.
3
Dalam masyarakat Malaysia, khususnya di Terengganu, pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam keadaan hamil akibat perzinaan,
dan laki-laki itu bukan orang yang menzinahinya, bahawa dikenal dengan perkawinan menutup malu
wanita itu maupun keluarganya. Dan pernikahan itu akan diadakan keramaian secara sederhana.
Ditinjau dari sudut sosiologis, karena merasa malu, maka orang tua yang kebetulan putrinya hamil di luar nikah berusaha supaya kalau cucunya lahir ada
ayahnya. Untuk itu mereka berusaha menikahkan putrinya dengan seorang laki-
3
Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Jakarta : Mawardi Prima, 2001, cet. 1, hal. 86
laki yang menghamilinya atau bukan. Dengan terjadinya pratek-pratek seperti itu, maka sangat relevan untuk dibahas kedudukan Islam dalam masalah ini.
Menikahi wanita hamil karena zina bukanlah merupakan masalah baru, tetapi masalah yang sudah lama berlaku. Karena itu para Ulama berdasarkan
pemahaman mereka, terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, telah berijtihad menetapkan hukumnya.
Perkawinan wanita hamil akibat zina adalah salah satu hal yang menjadi perdebatan di antara para Ulama. Para Ulama Mazhab sepakat mengenai
kebolehan menikahi wanita yang berzina dengan pria yang menzinahinya. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal hukum menikahinya bagi pria yang
bukan menzinahinya. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang kebolehan untuk menggauli istrinya itu sesudah akad nikah tersebut, maka dalam penelitian
ini penulis batasi hanya dalam perspektif Imam Syafi’i dan difokuskan pada Undang-undang Keluarga Islam Negeri Terengganu. Masing-masing Imam
mempunyai hujjah atau dalil-dalil yang menguatkan pendapat mereka. Begitu juga di Malaysia, sekarang ini sudah ada Undang-undang Keluarga Islam disetiap
Negeri untuk menetapkan hukum. Di Malaysia Undang-undang Keluarga Islam pada setiap Negeri mempunyai perbedaan. Penulis begitu tertarik untuk
membahas skripsi ini di Negeri Terengganu karena faktor politik, selepas pertukaran kerajaan Negeri kepada partai Barisan Nasional banyak penegakkan
hukum Islam berkurang. Dan penulis akan dapat mengkaji dengan lebih luas permasalahan ini, dengan cara ini dapat kita ketahui pernahkan terjadinya
pernikahan wanita hamil di Negeri Terengganu dan bagaimana Undang-Undang Keluarga Islam Terengganu menanganinya. Di Negeri Terengganu menggunakan
Enakmen 12 Tahun 1985 Enakmen Tentang Undang-Undang Pentadbiran Keluarga Islam.
Undang-undang Keluarga Islam merinci hukum-hukum kekeluargaan bermula dengan pertunangan, perkawinan – wali, akad nikah, saksi, hak dan
tanggungjawab dalam ikatan perkawinan hingga pada perceraian, nafkah, iddah dan hadanah. Ada hukum yang perlu dipatuhi dalam ikatan perkawinan seperti
zihar, ila’, khiyar dan setelah berlaku perceraian seperti mut’ah dan pembagian
harta, dan apabila berlaku kematian istri atau suami maka wujud hukum yang perlu yang dipatuhi seperti dalam hal perwarisan dan nafkah. Sebenarnya Islam
telah menggariskan peraturan yang lengkap untuk panduan hidup berkeluarga. Pengabaian kepada aturan yang ditetapkan boleh mendatangkan masalah dan
sengketa dalam rumah tangga. Orang-orang Islam di negeri ini telah tunduk kepada Undang-undang
Negara dan Undang-undang Keluarga Islam telah terwujud dengan kedatangan Islam ke negeri ini pada kurun kelima belas. Undang-undang ini bukan saja
ditadbirkan oleh Mahkamah Syariah akan tetapi juga oleh Mahkamah-mahkamah Awam.
4
4
Yaacob Abdul Monir, Md Supi Siti Shamsiah, Manual Undang-Undang Keluarga Islam
, Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Islam Malaysia, 2006, cet-1, h. 1
Berdasarkan latar belakang tersebutlah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut permasalahan ini dalam bentuk penulisan skripsi yang
mungkin dapat menjadi patokan oleh masyarakat. Adapun judul skripsi yang
diangkat oleh penulis adalah “STUDI PERBANDINGAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DALAM PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN
UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM NEGERI TERENGGANU, MALAYSIA.”