Pendidikan Imam Syafi’i Serta Guru-gurunya
tingginya ia memahami Al-Qur’an sehingga sangat berkesan bagi para pendengarnya.”
42
Beliau sangat tekun mempelajari kaedah-kaedah nahwu saraf dan untuk itu pernah mengembara dan tinggal bersama kabilah Huzail lebih kurang selama
10 tahun. Kabilah Huzail itu terkenal paling baik bahasa Arabnya dan beliau banyak menghafal syair-syair kabilah tersebut.
43
Sejak dini, pada diri dan sifat Imam Syafi’i telah teserlahtampak bakat yang luar biasa untuk menjadi seorang ilmuan. Kecerdasan dan kekuatan
ingatannya yang baik dan tekun dalam belajar, membuatnya selalu berhasil dan berjaya dalam setiap pelajaran, melampaui semua teman sebayanya.
Pendidikannya diawali dengan belajar membaca dan menghafal al- Qur’an diselesaikannya ketika ia masih berusia 7 tahun di Kuttab, lembaga
pendidikan terendah yang ada pada masa itu. Karena ingatannya sangat kuat, ia selalu dapat menghafal setiap pelajaran yang diajarkan oleh gurunya.
44
Setelah selesai mempelajari Al-Qur’an, beliau pergi ke kawasan perdesaan bidayah dan
bergabung dengan Bani Huzai, suku bangsa Arab di kota Makkah yang paling fasih bahasanya. Semasa tinggal di kota Makkah, Imam Syafi’i menuntut ilmu
dan berguru dengan ulama yang ada di kota itu, hingga beliau mendengar adanya
42
Ibid, h. 4
43
Lokman Hakim, Tokoh-Tokoh Islam Dulu Dan Masa Kini, Johor Bahru: Bismi Publishers, August 1989, cet ke2, h. 232
44
Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001 h. 16
seorang Ulama besar, Imam di kota Madinah yaitu Imam Malik. Saat itu, nama besar Imam Malik r.a sedang berada di puncak kemasyhurannya, sehingga banyak
sekali orang yang datang kepadanya. Imam Malik ketika itu telah mencapai tingkat kepakaran dalam masalah ilmu agama terutama dalam bidang Hadits.
Imam Syafi’i berangkat ke kota Madinah dengan membawa sepucuk surat dari wali kota Makkah. Dengan kepergiannya ke kota Madinah, mulailah Imam
Syafi’i mempelajari ilmu fiqh secara total. Sewaktu Imam Malik bertemu dengan Imam Syafi’i beliau dengan firasatnya berkata kepada sang Imam, “Ya
Muhammad, bertakwalah kepada Allah SWT. dan jauhilah maksiat. Sesungguhnya engkau akan tumbuh menjadi seorang yang agung. Allah SWT.
telah menganugerahkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu padam cahaya tersebut dengan maksiat.”
45
Setelah Imam Syafi’i mempelajari kitab al-Muwaththa’ dari Imam Malik, beliau masih tetap tinggal di kota Madinah untuk menimba ilmu kepada Imam
Malik. Beliau membahas dan mempelajari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Malik, berkat dorongan yang diberikan oleh Imam Malik dengan
mengatakan bahwa Allah SWT. telah menyinari hati beliau dengan nur-Nya dan jangan nur itu dipadamkan dengan berbuat maksiat. Imam Syafi’i giat sekali
mempelajari fiqh dan hadits sampai Imam Malik wafat pada tahun 170 H
45
Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i; Biografi Dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik Dan Fiqh,
diterjemahkan oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivia Othman, dari judul asli, Imam Syafi’i : Hayatuhu wa ‘ashruhu ara ‘uhu wa fiqhuhu Jakarta: PT. Lentera Basritama,
2005, h. 27
Meskipun Imam Syafi’i selalu terus menerus menyertai Imam Malik, namun nampaknya beliau tidak pernah merasa puas dengan yang diperolehinya
itu. Seringkali beliau melakukan pengembaraan ke pelbagai penjuru negeri Islam. Dalam perjalanan ini beliau mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman, di
antaranya beliau mengetahui dan memahami karakter manusia, adat istiadat disetiap daerah yang dikunjungi serta kondisi kehidupan sosial masyarakat. Di
dalam pengembaraan tersebut Imam Syafi’i tidak lupa mengunjungi ibundanya tercinta di kota Makkah untuk meminta nasihatnya. Kedekatannya dengan Imam
Malik r.a. tidaklah menjadi penghalang baginya untuk menempuh perjalanan ke Kota lain untuk menimba ilmu dari ulama lain dan kedekatannya tersebut tidak
menjadi menghalang kebebasannya. Adapun metode istidlal yang dipakai oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan
hukum Islam yaitu: a.
Al-Qur’an dan As-Sunnah; b.
Ijma’; c.
Qiyas; d.
Maslahah Mursalah; Inilah metode yang akan dipakai olah Imam Syafi’i dalam menetapkan sesuatu
hukum Islam.
46
46
Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001, h.140
Guru-guru Imam Syafi’i
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji, Mufti Makkah tahun 180 H yang bertepatan
dengan tahun 796 M, ia adalah maula budak Bani Makhzum. 2.
Sufyan bin Uyainah Al-Hilali yang berada di Makkah, ia adalah seorang yang terkenal ke-tsiqah-annya jujur dan adil.
3. Ibrahim bin Yahya, salah seorang ulama Madinah.
4. Malik bin Anas. Syafi’i pernah membaca kitab Al Muwaththa’ kepada
Imam Malik setelah ia menghafalnya di luar kepala, kemudian ia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat tahun 179 H, bertepatan dengan
tahun795 M. 5.
Waki’ bin Jarrah bin Malih Al Kufi. 6.
Hammad bin Usamah Al Hasyimi Al-Kufi. 7.
Abdul Wahab bin Abdul Majid Al Bashri.
47
Kedatangan Imam Syafi’i ke Mesir
Imam Syafi’i datang ke Mesir pada tahun 199 H, atau 814815 M, pada awal masa khalifah Al-Ma’mun. kemudian beliau kembali ke Baghdad dan
bermukim di sana selama sebulan, lalu kembali lagi ke Mesir. Beliau tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H, atau 819820 M.
47
Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab Al-Umm, terjemahan; Mohd Yasir Abd Muthalib Lc, Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2005, Cet Kedua,
h. 4-5