Karya-karya Imam Syafi’i

yang masih muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abdur Rahman Bin Al Mahdi di Makkah, karena beliau meminta kepada Imam Syafi’i agar menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an, hal-ihwal yang ada dalam al-Qur’an, naskh dan mansukh serta hadits Nabi SAW. kitab al-Risalah ini akhirnya membawa keagungan dan kemasyhuran nama Imam Syafi’i sebagai pengulas ilmu ushul fiqh dan yang mula-mula memberi asas ilmu ushul fiqh serta yang mengadakan peraturan tertentu bagi ilmu fiqh.

4. Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya

Imam Syafi’i r.a. masih menjadi pengikut fiqh Imam Malik dan sebelum mencetuskan pemikiran fiqh baru, kecuali setelah beliau meninggalkan kota Baghdad dalam perjalanan intelektualnya yang pertama kali menuju kota itu pada tahun 184 H. sebelum masa itu, Imam Syafi’i selalu menyebut dirinya sebagai seorang pengikut mazhab Imam Malik dan selalu membela fiqh Imam malik r.a. Beliau sering kali melakukan dialog dengan para pengikut fiqh ahlul ra’yi, beliau selalu membela fiqh Madinah. Dengan sikapnya yang demikian, akhirnya beliau dikenal dengan gelaran Nashir as-Sunnah Pembela Sunnah. Beliau sangat antusias dalam membela kalangan ulama hadits dan termasuk salah seorang ulama yang paling piawai dalam memaparkan hujjah kalangan ulama hadits. 51 51 Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi’i; Biografi Dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik Dan Fiqh, diterjemahkan oleh Abdul Syukur dan Ahmad Rivia Othman, dari judul asli, Imam Syafi’i : Hayatuhu wa ‘ashruhu ara ‘uhu wa fiqhuhu Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005, h. 30. Setelah Imam Syafi’i menetap di kota Baghdad dalam jangka waktu yang cukup lama, beliau mulai mempelajari fiqh Ulama Iraq dari salah seorang tokohnya yang bernama Muhammad Bin Al-Hasan asy Syaibani r.a. Beliau seringkali melakukan dialog dengan Ulama yang mempunyai corak fiqh Ahlu Ra’yi dan bertukar pendapat dengan mereka. Setelah banyak melakukan dialog, mulailah tumbuh dalam dirinya satu pemikiran untuk mencetus sebuah fiqh yang merupakan penggabungan antara fiqh Ulama Madinah dan Ulama fiqh Iraq. Dan mulai saat itulah Imam Syafi’i mengkaji dan mengoreksi Imam Malik secara kritis dan tidak lagi memposisikan dirinya sebagai pembela fiqh Ulama Madinah yang fanatik. Nampaknya ketelitian beliau dalam menyikapi fiqh Imam Malik membuatnya melihat beberapa kelemahan yang ada dalam fiqh Ulama Madinah tersebut, sebagaimana sikap kritis beliau terhadap fiqh Ulama Iraq telah membuatnya melihat sisi kelebihan dan kelemahan fiqh Ulama Iraq tersebut. Pada tahap inilah, beliau mulai meritis jalan kearah pembentukan mazhab sendiri, suatu mazhab fiqh baru yang mula diperkenalkannya di Baghdad dan akhirnya mendapatkan wujud yang lebih sempurna setelah dikembangkannya di Mesir. Nahrawi membahagikan sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab Syafi’i kepada empat periode: periode persiapan, periode pertumbuhan dengan lahirnya mazhab al-Qadim, periode kematangan dan kesempurnaan pada mazhab al-Jadid, dan periode pengembangan dan pengayaan.

A. Periode Persiapan

52 Persiapan bagi lahirnya Mazhab Syafi’i berlangsung sejak wafatnya Imam Malik r.a. 179 H, sampai dengan kematangannya yang kedua di Baghdad, tahun 195 H, dimana setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat ke Yaman untuk kerja. Dengan demikian, kehidupan keilmuannya beralih dari dunia teori ke dunia penerapan di lapangan. Keberadaan di lapangan menuntut perhatian lebih bila dibanding dengan periode menuntut ilmu. Di sini perhatian tidak mungkin lepas dari beberapa faktor, kondisi, dan stuasi ekonomi, politik, dan sosial yang ada. Dalam penerapan, teori-teori murni yang dalam kajian dinilai terbaik kadang- kadang mengalami semacam penyesuaian demi mendapatkan kemaslahatan umum sebagai tujuan syariat. Selama di Yaman, Imam Syafi’i memperoleh banyak pengalaman yang memperkayakan khazanah keilmuannya. Disamping itu, melalui diskusi-diskusi dengan tokoh utama Mazhab Hanafi, Muhammad Bin al-Hasan al-Syaibani, ia dapat pula mengenali aliran Ahl al Ra’yi secara dekat, memperluaskan wawasan, serta mematangkan pemikiran dan keperibadiannya.

B. Periode Pertumbuhan

Tahun 195 M, pada saat kedatangan kedua di Baghdad, sampai dengan tahun 199 M, saat ia pindah ke Mesir, bisa disebut sebagai periode pertumbuhan bagi mazhab Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i datang kembali ke Baghdad tahun 195 52 Ibid, h. 35.