Akad Nikah – Bila boleh diadakan majlis akad nikah?

2. Setelah surat kebenaran berpoligami diperolehi maka pihak lelaki hendaklah melampirkan surat kebenaran melampirkan surat kebenaran tersebut di dalam borang permohonan kebenaran perkahwinan. 103 Kalau dilihat dari perbahasan di atas, menunjukan bahwa status perkawinan wanita hamil di dalam Undang-undang Keluarga Islam Terengganu, statusnya sama saja dengan pernikahan orang biasa dan pernikahan ini dibenarkan dalam Undang-undang keluarga Islam dan dikira sah di sisi Undang-undang keluarga Islam. Sama ada dengan orang yang menzinahinya ataupun bukan. Maka prosedur pernikahan ini sama saja dengan pernikahan yang lain, dan harus memenuhi kesemua syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang Keluarga Islam.

D. Analisis Penulis

Setelah menelusi pendapat atau pandangan Imam Syafi’i dan Undang- undang Keluarga Islam Terengganu, penulis mencoba menganalisis kedua pendapat tersebut di atas, sama ada di antara kedua pendapat tersebut mempunyai persamaan ataupun tidak. Bahwa Persamaan dalam pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita dalam keadaan hamil ini mempunyai pandangan yang sama, antara Imam Syafi’i dan Undang-undang Keluarga Islam Terengganu, karena sistem Undang-undang Keluarga Islam Terengganu menggunakan Mazhab Syafi’i. Persamaan pendapat 103 Ibid, dari Imam Syafi’i dan UU keluarga Islam terletak pada kebolehan seseorang laki- laki zina dengan perempuan zina dan sebaliknya perempuan zina boleh kawin dengan laki-laki zina. Zina menurut mereka tidak menghalangi sahnya akad nikah perkawinan. Dari pendapat itulah dapat dijelaskan bahwa dengan diperbolehkannya bagi laki-laki zina dengan perempuan zina, maka perkawinan mereka pun sah, karena tidak terdapat larangan yang nyata dalam al-Qur’an dan Hadits mengenai hal itu. Kalau dilihat dari segi sah atau tidaknya menikahi wanita yang sedang hamil dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Menurut Imam Syafi’i, wanita yang sedang hamil dari zina tidak termasuk dari kategori wanita-wanita yang haram dinikahi oleh umat Islam sebagaimana disebut pada surah An-Nis ’ ayat 22-24. Oleh karena itu, wanita yang sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, serta sesudah nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri. Dan dalam UU keluarga Islam pula, perkawinan itu dibenarkan, sama ada dengan orang yang menghamilinya ataupun bukan orang yang menghamilinya. Dan sama saja dengan pandangan Imam Syafi’i karena UU Keluarga Islam Terengganu berpegang pada mazhab Syafi’i. Dan pada pandangan Imam Syafi’i mengenai wanita yang hamil ini mempunyai iddah ataupun tidak. Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai ‘iddah, karena ‘iddah hanya diperuntukkan bagi wanita yang dinikahi secara sah atau melakukan wathi syubhat. Di samping itu, sperma laki-laki yang disiramkan ke rahim wanita secara tidak sah melalui zina, tidak akan menimbulkan hubungan nasab. 104 Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad nikah itu sah dan boleh mencampurinya sebelum perempuan itu melahirkan. Membolehkan atau mengesahkan akad nikah lalu mencampurinya, karena Imam Syafi’i berpendapat bahwa air sperma itu tidak dihargai dan hukumnya tidak boleh dihubungkan dengan nasab. Dan berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban iddah bagi wanita penzina artinya wanita yang telah berzina boleh langsung dinikahi tanpa Iddah baik ia hamil atau tidak hamil dari perzinahan itu. Dan mengenai status anak, akan ditentukan melalui usia perkawinan tersebut sehingga melahirkan. Jika usia perkawinan itu melewati enam bulan ke atas, maka anak itu dinasabkan kepada bapanya. Jika bawah dari enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya dan anak itu akan dibinkan Abdullah, anak itu juga tidak bisa mewarisi harta bapanya itu. 104