karena ada titipan politis yang pada praktiknya dimainkan untuk kepentingan politik pula.
Sama halnya dengan RR dan PS yang mempersepsikan bahwa KPI masih kurang tegas menghadapi lembaga penyiaran yang menyiarkan tayangan tidak
sehat dan meminimalisir tayangan kontel lokal, hal itu membuat RR dan PS memaknai kurang baik akan persepsi KPI pada diri mereka sendiri. Berbeda pula
dengan NFS dan FH yang mengaku selalu ingin berpikir positif terhadap KPI melihat usahanya yang sudah cukup banyak.
4.2.1.2 Kognisi
Proses selanjutnya adalah kognisi yang terdapat di dalam diri individu atau dalam hal ini informan, keenam informan memiliki keyakinan yang berbeda
terhadap usaha yang telah KPI lakukan selama ini, informasi-informasi yang berasal dari luar baik itu dari sosialisasi maupun seminar cukup memberikan
masukan kepada informan untuk memenuhi stimulus informan dan mempengaruhi kognisinya.
4.2.1.3 Motif
Melihat kasus yang terjadi pada KPI membuat dua orang informan diantaranya ingin sekali melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dimana kegiatan
tersebut dinamai dengan motif, dua orang informan memiliki motif untuk bergabung ke KPI suatu waktu kelak agar dapat memperbaiki wajah penyiaran
maupun merubah persepsi orang terhadap KPI. Sementara empat orang lainnya memiliki motif yang sederhana yaitu terus mengikuti perkembangan KPI dari
waktu ke waktu, begitu juga untuk terus memahami KPI dalam proses sepak terjangnya yang lebih jauh.
4.2.1.4 Sikap
Sikap sebagai suatu kecenderungan dalam bertindak dalam menghadapi objek juga berbeda di antara enam informan, ada yang memiliki sikap pro dan ada pula
yang memiliki sikap kontra sementara itu juga disertakan dengan beberapa alasan yang terkadang membuat pendapat menjadi bsia diperteguh ataupun diubah oleh
masing-masing informan. Rangsangan dalam pembentukan citra cukup berjalan efektif karena prosesnya
pembentukan citra berjalan sesuai dengan langkah-langkah yang sesuai sehingga
Universitas Sumatera Utara
pada akhirnya terbentuk sikap setuju dan tidak setuju di diri masing-masing informan. Jika dilihat dari model komunikasi dalam public relations yaitu yang
berawal dari sumber, komunikator, pesan, komunikasi dan efek maka citra yang dibentuk oleh KPI telah menghasilkan sikap, pendapat, tanggapan dan perilaku
pada masing-masing informan. Hal itu berdasarkan oleh internal KPI dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh KPI sehingga akhirnya menimbulkan
citra tertentu di mata informan atau publik. Kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan oleh KPI tersebut menimbulkan citra
pada diri masing-masing informan. Seperti MA yang mempersepsikan KPI sebagai lembaga yang kurang baik dikarenakan wewenang dan kinerjanya yang
belum maksimal, juga AP yang beranggapan bahwa KPI seolah sedang dipermainkan oleh lembaga penyiaran dan kewenangan pada KPI yang tidak kuat,
hal itu menghambat jalannya kerja KPI sehingga akhirnya tidak bisa maksimal. RR pun merasa demikian dikarenakan konten lokal yang belum diatur oleh KPI
dan KPI tidak mengatur kepentingan para penguasa dan pemilik media di dalam lembaga penyiaran tidak diatur di dalam undang-undang, hal itu membuat RR
gemes pada KPI. PS juga memiliki pandangan yang serupa yaitu ia memandang KPI kurang tegas dalam menyikapi permasalahan dan pelanggaran. Lain halnya
dengan NFS dan FH yang selalu berusaha untuk mempersepsikan secara positif segala hal tentang KPI, hal tersebut diyakini oleh keduanya karena mereka telah
melihat usaha yang ditempuh KPI selama ini, meski pun pada akhirnya masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya.
Biasanya citra selalu berlandaskan terhadap citra yang berakar dari nilai-nilai kepercayaan yang diberikan individu terhadap apa yang dipersepsikannya. Hingga
pada akhirnya citra akan membentuk opini publik yang lebih luas dan abstrak. Begitu pun dengan penilaian dan tanggapan dari publik akan berkaitan dengan
munculnya rasa hormat, kesan-kesan yang baik dan di satu sisi dapat menguntungkan citra perusahaan.
Seorang public relations dalam sebuah lembaga perusahaan harusnya mampu menciptakan pemahaman mutual understanding antara perusahaan dan
publiknya tetapi dalam hal ini banyak publik yang tidak sepaham pemikirannya dengan KPI. Beberapa informan diantaranya misalnya memberikan penilain
Universitas Sumatera Utara
tentang KPI hanya melalui pengetahuan dan pengalamannya semata tanpa ada konfirmasi khsus maupun diskusi dengan pihak lain sehingga pada akhirnya tidak
terdapat kesamaan makna. Cita korporat yang ingin dibangun akhirnya menimbulkan kesan yang kurang baik karena opini publik yang belum terstruktur
dengan baik. Hal itu juga dilihat dari goodwill maupun kerjasama yang telah dibangun KPI, seolah tidak menampakkan perubahan apa-apa.
4.2.2 Mengukur Citra KPI