Citra Komisi Penyiaran Indonesia Dimata Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Citra Komisi Penyiaran Indonesia di Mata Praktisi Penyiaran, Akademisi dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan)

(1)

Bungin, Burhan. (2010). Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Cangara, Hafied. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. Danandjaja. (2011). Peranan Humas dalam Perusahaan. Yogyakarta: Graha Ilmu Denzin & Guba. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Djamal Hidajanto & Fachruddin Andi. (2011). Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: Prenamedia Group.

Kasali, Rhenald. (2008). Manajemen Public Relations. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kriyantono, Rachmat. (2008). Public Relations Writing. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Liliweri, Alo. (2011). Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_________________. (2007). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ruslan, Rosady. (2008). Manajemen Public Relations & Media Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

______________. (2000). Kampanye Public Relations. Jakarta: Raha Grafindo Persada.

_____________. (2010). Public Relations dan Komunikasi. Jakarta:

Rajagrafindo Persada. Severin, Werner & Tankard, James. (2008). Teori Komunikasi. Jakarta: Prenada

Media Group.

Soemirat, Soleh & Ardianto, Elvinaro. (2004). Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suhandang, Kustadi. (2004). Public Relations Perusahaan. Bandung: Nuansa Cendikia.


(2)

Suriasumantri, Jujun. (2005). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Susanto, Phil Astrid. (1986). Filsafat Komunikasi. Bandung: Binacipta

Sutojo, Siswanto. (2004). Membangun Citra Perusahaan: Buliding The Corporate Image. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.

Taher, Alamsyah. (2009). Metode Penelitian Sosial. Banda Aceh: Syiah Kuala University Press.

Wahyudi J.B. (1994). Dasar-Dasar Penyiaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

West, Richard & Turner Lynn. (2009). Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Sumber Lain :

27 November 2015, 03.26

Desember 2015, 23.12


(3)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu memamparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi (Rakhmat, 2007: 24).

Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realitas sosial yang kompleks dan ada di masyarakat (Taher, 2009: 14). Jadi informasi yang diterima pada saat penelitian tidak hanya diterima begitu saja, namun juga dipaparkan dalam bentuk tertulis dan terperinci.

Sementara itu penelitian kualitatif memusatkan diri pada kata-kata dan pengamatan untuk menyatakan kenyataan dan berupa usaha untuk mendeskripsikan orang-orang dalam suatu latar yang alamiah. Unsur kunci dalam hal ini adalah keterlibatan orang-orang dimana pandangannya didorong pada lingkungan yang dibangun. Hal itu dilakukan dengan jalan memperoleh kecenderungan sikap dan persepsi dikembangkan dengan jalan interaksi dengan orang lainnya. Karenanya selama diskusi kelompok berlangsung, pendapat seseorang bisa saja berubah karena pengaruh tanggapan orang lain dan sebaliknya pandangan seseorang itu bisa dikemukakan secara pasti (Taher, 2009: 181).

Pemahaman penelitian kualitatif, sebuah realitas baik realitas alam sekalipun dikonstruksinya secara sosial, yakni berdasarkan kesepakatan bersama. Hasil konstruksi itu dipengaruhi oleh sifat antara hubungan peneliti dengan yang diteliti, serta kendala-kendala situasional di antara keduanya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat interpretif (menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode dalam menelaah masalah penelitiannya (Mulyana dan Solatun, 2003: 4-5) Sehingga hasil pengamatan melalui metode ini lebih berdasarkan kepada kesepakatan peneliti dengan catatan tidak boleh begitu saja mengenyahkan subjektivitas pihak yang diteliti.


(4)

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah sesuatu yang ditetapkan untuk diteliti. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah citra komisi penyiaran indonesia di mata publik eksternal yaitu praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah informan yang diwawancarai berhubungan dengan apa yang hendak diteliti. Adapun subjek dari penelitian ini adalah praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan yang masih berstatus aktif.

3.4 Unit Analisis

Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi dan sosial yang diteliti objek penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini meliputi tiga komponen menurut Spradley (Ruslan, 2010: 236):

1) Place, tempat dimana interaksi berlangsung

2) Actor, pelaku atau orang; yang sesuai dengan objek penelitian

3) Activity, kegiatan yang dilakukan actor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung.

Penelitian ini memakai dua dari tiga komponen yang disebutkan oleh Spardley yaitu aktor dan aktivitas saja. Adapun pelaku atau objek penelitian ini adalah praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan yang masih berstatus aktif dan memiliki banyak pengetahuan seputar KPI.

Unit analisis akan membantu untuk melakukan wawancara sebagai bahan dalam penelitian. Unit penelitian ini adalah bagaimana citra Komisi Penyiaran Indonesia di mata praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Kota Medan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara atau upaya yang ditempuh peneliti dalam mengumpulkan data-data yang relevan dengan masalah penelitian.


(5)

3.5.1 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Metode Wawancara

Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana sang pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2010: 108).

b. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari, dan mengumpulkan data melalui literatur dan sumber bacaan yang relevan untuk mendukung penelitian. Dalam hal ini, penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara membaca atau mencari buku, majalah, surat kabar, jurnal, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.

c. Observasi non Partisipasi

Merupakan gaya penelitian menggunakan analisis isi dengan bahan-bahan tertulis (Taher, 2009: 74). Metode ini tidak melibatkan si peneliti dalam kegiatan yang dilakukan observer, peneliti hanya berlaku sebagai penonton untuk menyelidiki kejadian yang berlangsung.

3.5.2 Keabsahan Data

Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting mengenai pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, (1) subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian ; (2) alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi (apapun bentuknya) mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol; (3) sumber data kualitatif


(6)

yang kurang kredibel akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian (Bungin, 2008: 253). Adapun teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Kehadiran peneliti dalam setiap tahap penelitian kualitatif membantu peneliti untuk memahami semua data yang dihimpun dalam penelitian. Penelitian kualitatif adalah orang yang langsung melakukan wawancara dan observasi dengan informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah peneliti yang memiliki waktu yang lama bersama dengan informan di lapangan, bahkan sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai (Bungin, 2008: 254).

2. Ketekunan Pengamatan

Hal yang perlu dilakukan untuk memperoleh derajat keabsahan yang tinggi adalah meningkatkan ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan panca indra namun juga menggunakan semua panca indera termasuk pendengaran, perasaan, insting peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan makan derajat keabsahan data telah ditingkatkan pula (Bungin, 2008: 256).

3.6 Teknik Analisis Data

Peneliti melakukan pengumpulan data secara terus menerus hingga data terasa jenuh, kemudian menggunakan teknik analisis data dengan model yang disebutkan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2007: 92) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Melakukan reduksi data yaitu merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan hal yang dianggap penting untuk penelitian. Data yang diperoleh di lapangan memiliki jumlah yang cukup banyak sehingga diperlukan analisis data melalui teknik reduksi. Setelah itu akan terlihat jelas gambaran dari penelitian yang bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya bila diperlukan.


(7)

2. Penyajian data yaitu data yang didapatkan dari pengamatan dan metode lainnya akan disajikan dalam bentuk berupa teks naratif, grafik (chart) dan lain sebagainya.

3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada awal didukung oleh data-data yang valid maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan yang valid.


(8)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil

4.1.1 Proses Penelitian

Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian yang telah dijalankan terhadap beberapa informan yang telah ditetapkan, Penelitian ini berlangsung selama lebih kurang tiga bulan dari bulan Februari hingga Mei 2016. Penelitian ini dilakukan terhadap masyarakat di Kota Medan yang terdiri dari bagian praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Langkah pertama yang peneliti lakukan setelah peneliti disetujui untuk terjun ke lapangan adalah mengurus surat riset ke bagian pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Peneliti mulai mencari informan dari ketiga bagian tersebut dan juga sesuai dengan kriteria yang peneliti inginkan. Adapun kriteria dari informan yang akan dijadikan subjek penelitian diantaranya melek terhadap KPI, mengerti tentang KPI serta turut aktif mengikuti perkembangan KPI itu sendiri.

Pembuatan karakteristik informan menjadi tiga bagian karena ada latar belakang masing-masing, seperti praktisi penyiaran sengaja dipilih karena para praktisi dianggap mampu memberikan penilaian dan pandangan tentang citra yang KPI telah tampilkan, apalagi KPI memang saling berhubungan dengan dunia penyiaran terutama televisi. Begitu juga dengan akademisi dikarenakan para orang-orang yang berpendidikan tinggi layaknya akademisi mampu memberikan penilaian dan pandangannya mengenai citra KPI karena akademisi dianggap mampu berpikir kritis mengenai hal tersebut. Sementara itu yang terakhir adalah mahasiswa, pemilihan mahasiswa sebagai informan dikarenakan mahasiswa mampu berpikir lebih kritis terutama mahasiswa/i Ilmu Komunikasi yang memang mempelajari media, dan penyiaran sehingga dapat diyakini bahwa mahasiswa Ilmu Komunikasi mengerti terhadap KPI dan citra yang ditampilkannya.

Setelah itu, peneliti pun memulai serangkaian pelaksanaan penyusunan skripsi. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu melakukan survei pengetahuan peneliti mengenai KPI melalui pengalaman dan bertanya


(9)

kepada teman-teman terdekat calon informan. Peneliti langsung menghubungi beberapa informan yang akan diwawancarai mengenai citra KPI sekaligus melakukan pendekatan agar calon informan bersedia untuk diwawancarai. Kemudian setelah itu peneliti bertanya langsung kepada informan, apakah informan mengetahui secara umum KPI dan mengikuti perkembangan KPI dari waktu ke waktu. Dari hasil tersebut akhirnya peneliti menemukan enam orang informan diantaranya dua orang dari praktisi penyiaran, dua orang dari akademisi dan dua orang dari mahasiswa Ilmu Komunikasi. Informan diperoleh dari hubungan berteman peneliti dan atas rekomendasi teman lainnya.

Proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan keinginan dan jadwal dari informan yang terpilih. Lokasi wawancaranya sendiri dilakukan di FISIP USU dan di kantor masing-masing tempat informan bekerja. Melalui wawancara tersebut, peneliti mendapatkan informasi mengenai pandangan para informan terhadap KPI, gambaran kinerja KPI di mata para informan dan hal-hal lainnya yang kemudian dinilai secara oleh informan melalui pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya.

Proses wawancara berlangsung sesuai pedoman wawancara yang telah peneliti tetapkan, yaitu memberikan pertanyaan kepada informan dan kemudian membiarkan informan memberikan argumennya terhadap pertanyaan yang peneliti ajukan. Dalam proses wawancara, tidak jarang para informan juga memberikan contoh-contoh yang sedang marak terjadi di dunia penyiaran baik televisi maupun radio belakangan ini.

Berdasarkan masing-masing bagian seperti praktisi penyiaran, akademisi maupun mahasiswa memiliki pandangan dan pengetahuan yang berbeda mengenai citra KPI, bahkan terkadang para informan juga bercerita mengenai hal baru yang peneliti belum ketahui. Hal tersebut peneliti simpan sebagai pelengkap informasi untuk kedepannya.

Oleh karena itu peneliti menemukan temuan baru yang mana bisa dijadikan kesimpulan pada akhir penelitian mengenai citra KPI di mata para informan tersebut. Dan bisa pula dijadikan bahan masukan serta intropeksi bagi KPI kedepannya.


(10)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai citra KPI di mata Praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi yang memang sudah mengerti mengenai perkembangan KPI itu sendiri. Setelah wawancara selesai dilakukan, maka penelitian dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu analisis data. Pada tahap ini, peneliti menguraikan hasil wawancara dengan cara merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dan mencari pola serta data hasil wawancara. Kemudian peneliti melakukan penyajian data dan melakukan penarikan kesimpulan.

4.1.2 Gambaran Informan dan Hasil Wawancara 4.1.2.1 Deskripsi Informan 1

Inisial : MA

Umur : 24 tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan. Status : Informan Praktisi Penyiaran

Tanggal Wawancara : 22 Maret 2016

Perempuan kelahiran Kuala Lumpur pada 24 Januari 1992 ini adalah sosok yang perduli terhadap media dan perempuan sejak duduk di bangku perkuliahan, tepatnya di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Ia baru saja diwisuda pada Maret 2015 lalu setelah berhasil menyelesaikan skripsi mengenai kasus Kuis Kebangsaan yang tayang di RCTI. Tidak lama setelah wisuda, MA kemudian diterima bekerja di stasiun televisi DAAI TV, Medan. Kini sudah terhitung kurang lebih sembilan bulan lamanya ia mengabdi pada perusahaan televisi tersebut.

Selain bekerja di stasiun televisi, perempuan yang memiliki hobi menonton film, membaca dan menulis ini juga sedang menjalankan usaha handmade yang berbahan tali kur dan dibentuk untuk membuat sebuah kerajinan tangan berupa tas, sarung handphone, sarung laptop, tempat tisu dan banyak lagi lainnya. Selain itu ia juga sedang mengembangkan usaha kuliner seperti cake bersama sang ibu. Kesibukan MA juga diisi oleh beberapa kegiatan, salah satunya kini ia aktif di sebuah Yayasan Perempuan Perkotaan Medan (YP2M), sebuah yayasan yang sudah berdiri sejak tahun 2000 dan bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi


(11)

perempuan. Meski pun bukan berasal dari konsentrasi jurnalistik di kampusnya melainkan public relations justru membuat MA tertantang untuk masuk ke dunia penyiaran karena menurutnya jurnalistik juga telah ia pelajari di Ilmu Komunikasi meski tidak secara intens. Kedekatan MA dengan salah satu dosen di kampus yang memiliki basic jurnalistik yang baik adalah salah satu alasan yang membuat MA akhirnya terjun ke dunia penyiaran khususnya pertelevisian. Menurut MA, ia ingin mengaplikasikan ilmu yang didapatkan kepada sebuah pekerjaan.

Anak kedua dari tiga bersaudara ini mengaku bahwa stasiun televisi tempatnya bekerja sekarang bukanlah seperti stasiun televisi pada umumnya yang harus menayangkan berita politik maupun kriminal tetapi sebatas komunitas, budaya dan lainnya. Hal tersebut membuat MA tertarik pada tempatnya bekerja sekarang. MA juga tertarik dengan isu-isu penyiaran yang sedang berkembang, tidak jarang MA pun membaca berita-berita mengenai tayangan televisi yang bertentangan dan melihat bagaimana upaya KPI setelahnya.

4.1.2.2Deskripsi Informan 2

Inisial : AP Umur : 35 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan KH. Wahid Hasyim No 9, Medan Status : Informan Praktisi Penyiaran

Tanggal Wawancara : 22 Maret 2016

AP merupakan salah satu informan yang peneliti jadikan sebagai bagian dari informan praktisi penyiaran. Memiliki nama asli AS, namun kebanyakan orang mengenalnya dengan nama AP, sebuah nama yang dipakai AP sejak bergabung di dunia penyiaran. AP mengawali karirnya sebagai jurnalis di dunia penyiaran radio pada Tahun 2002, bersamaan dengan tahun dikeluarkannya undang-undang mengenai penyiaran. Sejak saat itulah AP mulai tertarik dengan isu-isu penyiaran dan hal-hal lain yang berhubungan dengan KPI. AP sudah menikah sejak beberapa tahun lalu tetapi pria bersuku minang yang memiliki hobi travelling ini belum dikarunia seorang anak sehingga ia kebanyakan menghabiskan waktunya di luar.


(12)

Pada Tahun 2010, AP pun bergabung dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan dan pada saat itu AP mulai dikenal sebagai salah satu jurnalis yang cukup diperhitungkan sepak terjangnya. Selain itu, untuk mengasah kemampuannya di bidang jurnalistik, manajemen media dan penyiaran, AP juga cukup aktif mengikuti berbagai kegiatan maupun pelatihan baik dari dalam maupun luar negeri seperti IFJ (International Federation of Journalist), USAID, FNV Netherland, Radio Australia dan School for Broadcast Media di Jakarta. Tidak lama setelahnya, AP bahkan dinyatakan lulus dalam Uji Kompetensi Jurnalis yang diadakan oleh AJI Indonesia serta memperoleh sertifikat kompetensi dari Dewan pers untuk jenjang “Wartawan Utama.” Kemudian AP pun mulai aktif di AJI Medan sebagai anggota Divisi Serikat Pekerja pada 2009-2012, lalu menjadi Koordinator Divisi Advokasi pada 2012-2015. Hingga pada akhirnya, AP menjabat sebagai ketua AJI Medan periode 2015-2018 ditengah kesibukannya sebagai Editor In Chief di portal berita KabarMedan.com yang merupakan bagian dari jaringan Kabar Grup Indonesia.

Melihat track record yang dimilikinya, tidak jarang AP diminta kesediannya untuk menjadi pembicara dan trainer seperti acara workshop, seminar, pelatihan, diskusi baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan beberapa kali ia juga dilibatkan oleh KPID dalam berbagai kegiatan, salah satunya sebagai juri KPID Sumut, karenanya peneliti menganggap bahwa AP pantas dijadikan informan dalam penelitian ini.

4.1.2.3Deskripsi Informan 3

Insial : NFS Umur : 22 tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Jamin Ginting, Gang Sarmin, Padang Bulan- Medan Status : Informan Mahasiswi

Tanggal Wawancara : 22 Maret 2016

NFS adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP USU stambuk 2011. Selain sedang sibuk menggarap skripsi, NFS juga bergabung dalam Jurnal Flow dari Pusat pengkajian Komunikasi Massa (P2KM) Departemen Ilmu Komunikasi


(13)

USU. Sebelumnya NFS juga aktif di Pers Mahasiswa PIJAR dan menjabat sebagai pimpinan umum periode 2014-2015.

NFS adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, ia bersuku Jawa dan berasal dari daerah Tarutung-Sumatera Utara. Ketertarikannya pada dunia penyiaran dimulai sejak masuk kuliah pada Tahun 2011, dan itu pula lah yang menjadi alasannya mengambil konsentrasi jurnalistik di Ilmu Komunikasi.

NFS lahir pada 04 April, 22 tahun silam. Pada awal masuk kuliah ia tidak mengenakan hijab, namun seiring perkembangan zaman NFS mulai memakai hijab hingga akhirnya mulai memakai hijab yang lebih lebar saat bergabung di UKMI As-Syiyasah FISIP USU. Ia memiliki hobi membaca, ketertarikannya pada buku sudah sejak lama, hal itu membuatnya betah berlama-lama di toko buku untuk membaca. Kesukaannya akan dunia membaca akhirnya pun menimbulkan kesukaannya pada dunia menulis, termasuk menulis segala hal mengenai kisahnya. Selain itu, NFS juga seorang perempuan yang sangat menikmati kopi dan coklat, kedua hal tersebut menjadi hal yang paling penting baginya. Biru dan abu-abu adalah warna kesukaannya, hal itu NFS tunjukkan lewat fashion dan blog pribadi miliknya.

Berbicara mengenai perkembangan televisi dan program siaran yang ditayangkan, NFS adalah salah satu orang yang peduli terhadapnya. NFS selalu ingin memberikan sumbangsih dan masukan terhadap tayangan televisi yang kurang mendidik belakangan ini membuat NFS turut aktif mengikuti Survei Indeks Kualitas Program Televisi yang diadakan KPI selama lima bulan berturut-turut.

4.1.2.4Deskripsi Informan 4

Insial : RR

Umur : 21 tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Brigjend Katamso, Gang Pemuda No 12 Medan Status : Informan Mahasiswi

Tanggal Wawancara : 30 Maret 2016

RR adalah salah satu informan yang berasal dari Ilmu Komunikasi, ia mengambil konsentrasi jurnalistik pada perkuliahannya dan kini ia sedang


(14)

disibukkan dengan penyusunan skripsi setelah beberapa bulan sebelumnya sudah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Jakarta. Tepatnya Metro TV selama satu bulan dan Media Indonesia selama satu bulan. Beberapa lam PKL di Jakarta cukup merubah pola pikir RR, hal itu terbukti dari wawasannya yang bertambah luas apalagi dua media tempatnya PKL beberapa kali membuatnya terlibat untuk menganlisis kasus secara indvidual. Hal-hal mengenai penyiaran dan KPI cukup menjadi isu penting baginya tidak heran jika beberapa waktu lalu ia juga terlibat selama empat kali menjadi salah satu responden dalam Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh KPI di USU.

Perempuan berdarah Mandailing yang lahir pada 20 Februari 1995 ini cukup berkompeten di bidang jurnalistik dan penyiaraan, karena itu adalah passionnya. Oleh karenanya anak kedua dari tiga bersaudara ini juga ingin sekali mengikuti Program Erasmus Mundus di Eropa pada Tahun 2017, ia juga tercatat sebagai salah satu penyiar di Radio USU Kom, Komunikasi-FISIP USU.


(15)

4.1.2.5Deskripsi Informan 5

Insial : FH

Umur : 35 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Kemiri Raya , Perumnas Simalingkar-Medan Status : Informan Akademisi

Tanggal Wawancara : 31 Maret 2016

FH adalah salah satu pengurus di laboratorium Ilmu Komunikasi FISIP USU dan FH baru saja melahirkan anak pertamanya pada Januari lalu. Selain menyibukkan diri di laboratorium serta menjadi seorang Ibu, anak tunggal yang berasal dari daerah Karo-Sumatera Utara ini juga tercatat sebagai dosen di Ilmu Komunikasi FISIP USU, beberapa mata kuliah dipegang oleh FH termasuk salah satunya mata kuliah Hukum Media Massa saat awal mula mengajar mata kuliah tersebut. FH mulai mengenal dengan baik mengenai KPI itu sendiri, karena mau tidak mau FH harus belajar mengenai KPI dan mengikuti perkembangannya. Meski pun mengaku tidak hapal semua pasal-pasal mengenai KPI, tetapi perempuan kelahiran 21 Februari 1981 ini mengaku paham secara umum meskipun mata kuliah Hukum Media Massa lebih mengarah ke media cetak. Tetapi jika melihat ke belakang menurut FH yang banyak menuai permasalahan adalah penyiaran sehingga mau tidak mau FH juga memaparkan mengenai media penyiaran dan hal-hal yang bersangkutan dengan KPI kepada mahasiswa ajarnya.

4.1.2.6Deskripsi Informan 6

Insial : PS Umur : 47 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Garuda Gang Sudirman 70 A, Sei Sikambing Medan Status : Informan Akademisi

Tanggal Wawancara : 05 April 2016

PS adalah salah satu dosen di Ilmu Komunikasi FISIP USU dan juga di FISIP UMSU sejak Tahun 2008. Selain menjadi dosen PS juga tercatat sebagai


(16)

salah satu wartawan di salah satu stasiun televisi yaitu Metro TV Medan sejak 11 tahun lalu dan juga wartawan surat kabar di Harian Umum Media Indonesia. Pria kelahiran 29 Juni 1968 ini memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam bidang penyiaran, hal itu didukung oleh dua perkerjaannya yang saling berkaitan. PS mengaku ingin sekali bergabung ke KPI karena ingin merubah wajah penyiaran Indonesia menjadi lebih baik lagi karena ia merasa ilmu yang dimilikinya juga ingin ia bagikan dan ia berharap bisa memberikan manfaat bagi kemajuan KPI kedepannya. Hal itu cukup menjadi alasan yang kuat bagi peneliti sehingga memilih PS menjadi salah satu infroman dalam penelitian ini.


(17)

.1.3 Hasil Wawancara

Peneliti melakukan wawancara terhadap enam orang informan di Kota Medan. Empat diantaranya perempuan dan dua orang lainnya laki-laki. Usia informan dalam penelitian ini mulai dari 21 hingga 47 tahun. Masing-masing informan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda tentang KPI. Setelah melakukan wawancara ternyata masing-masing informan pun memiliki persepsi, pandangan, penilaian dan citra yang berbeda pula terhadap KPI disertai dengan alasan yang berbeda satu sama lain.

Proses dalam bab ini, peneliti mendeskripsikan apa yang peneliti temukan di lapangan saat melakukan wawancara dengan beberapa informan, peneliti juga menyertakan kutipan wawancara dari masing-masing informan. Pertanyaan yang peneliti tanyakan adalah seputar kinerja KPI dan bagaimana pandangan para informan terhadap KPI selama ini, beberapa contoh kasus juga diceritakan langsung oleh informan pada penjabaran berikut.

4.1.3.1 Kinerja KPI

Sementara itu, informan yang terdiri dari enam orang dari tiga bagian seperti praktisi penyiaran, akademisi dan mahasiswa Ilmu Komunikasi memiliki pengetahuan yang berbeda-beda tentang kinerja yang telah dilaksanakan oleh KPI. Beberapa orang ada yang menilai berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dan sebagian lagi menilai dari kinerja yang telah dilaksanakan oleh KPI selama ini. Peneliti membiarkan para informan untuk melakukan penilaian sesuai dengan pendapat yang dipaparkan oleh masing-masing informan karena sejatinya peneliti tidak boleh terlibat dalam penilaian yang diberikan oleh informan.

Seperti MA misalnya yang langsung memberikan persentase terhadap kinerja KPI beberapa tahun terakhir semenjak ia benar-benar mengenal KPI, jawaban yang MA berikan selalu disertai dengan contoh-contoh riil seperti berikut :

“Kalau kinerja sendiri mungkin saya bisa kasi hitungan persen buat KPI dalam melaksanakan tugasnya dengan baik, saya rasa mungkin 40% sudah tetapi 60% lagi belum gitu. Sementara itu kalau cerita tentang melindungi masyarakat untuk menerima informasi yang baik, kita lihat saja dari model kerjanya yang masih 40% dilakukan, misalnya nih sampai sekarang sinetron Anak Jalanan masih tayang padahal sinetron itu menurut saya nggak ada hal baiknya yang ngajarin apapun, nilai pendidikannya nggak ada, nilai sosialnya nggak ada ya gitu karena yang terjadi di masyarakat kan nggak kayak


(18)

gitu. Mana ada di dunia ini anak kaya, soleha, keren, bermobil dan segala macam tapi boleh balap di jalanan, kan nggak gitu. Tatanan di masyarakat yang terjadi kan nggak seperti itu tapi mau gimana pun itu tetap tayang. Ini saya nggak tau ya apakah KPI sudah menayangkan surat peneguran atau seperti apa, belum ada ngikutin beritanya sih tapi ya itu masih tayang gitu.”

Melalui penjabaran tersebut, MA mengungkapkan bahwa KPI belum secara penuh bekerja untuk penyiaran yang lebih baik, 40% adalah penilaian yang diberikan MA terhadap kinerja tersebut, begitu pula dengan contoh kasus tayangan-tayangan yang menurut MA tidak mendidik. Seperti sinetron Anak Jalanan tetapi masih tayang sampai detik ini, tayangan-tayangan yang tidak sehat tersebut akhirnya membuat anak-anak yang menonton berpikir bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah se-instan itu, tetapi pada kenyataannya mereka tidak mendapatkan hal yang serupa dan justru menganggap bahwa Tuhan tidak adil pada mereka.

Padahal, itu tidak terjadi hanya saja tontonan tersebut mengubah persepsi anak-anak yang menontonnya menjadi sebegitu ringkasnya. Informasi yang diterima MA cukup kuat apalagi didukung dengan kasus nyata yang diamatinya melalui televisi, MA yakin bahwa tayangan-tayangan tidak tersebut seharusnya ditindaklanjuti oleh KPI karena memang termasuk tayangan yang merusak terutama bagi anak-anak.

AP pun hampir memiliki kesamaan pendapat tentang kinerja yang dilakukan oleh KPI, ungkapan tersebut tentu tidak asal keluar tetapi dijelaskan oleh AP dengan pengalaman yang ia terima sebelumnya dimana AP terlibat langsung dalam kegiatan sosialisasi KPI yang dianggap AP sebagai salah satu alasan mengapa ia memberikan penilaian demikian. AP mengungkapkan langsung bahwa KPI kurang tepat sasaran dalam melakukan kinerjanya, salah satu kinerja tersebut adalah kegiatan sosialiasi yang diberikan KPI hanya kepada orang-orang yang bisa dikatakan berada di atas dan bukan secara langsung kepada masyarakat yang menjadi korban dalam penayangan siaran yang tidak sehat dan memang tidak paham memfilter tayangan mana yang harus ditonton.

“Berbicara kinerja yang baik, undang-undang penyiaran itu kan tidak punya wewenang yang dapat memberikan sanksi sampai kepada katakanlah menutup satu stasiun televisi maupun radio apabila mereka melanggar P3SPS gitu. Okelah ada sanksi administratif gitu tapi tidak bisa sampai mencabut izin, saya pikir itu jadi masalah yang


(19)

menghambat komisi penyiaran sendiri untuk dapat bekerja secara maksimal. Memang iya, yang saya tahu ada wacana amandemen untuk undang-undang penyiaran itu tapi harus kita ketahui bahwa undang-undang penyiaran itu dibentuk tidak lebih dari lobi-lobi para penguasa dan korporasi media di dalamnya, mereka juga punya kepentingan disitu gitu.

“Oke, mungkin KPI akan mengaku selama ini mereka sering memberikan edukasi kepada masyarakat, ya iya tapi masyarakat yang mana? Saya beberapa kali terlibat dalam acaranya KPID kayak sosialisi gitu dimana orang KPI pusat juga terlibat, apa ya sosialisasinya itu nggak menyentuh kalangan masyarakat bawah, kalangan masyarakat awam. Yang diundang malah akademisi, orang kampus, pejabat daerah seperti pemerintah kecamatan atau apa, kan nggak maksimal itu menurut saya ya. Harusnya KPI bisa berjalan dan membikin edukasi tentang literasi media terutama televisi ya gitu ya supaya masyarakat kita tidak mudah terbodohi dengan siaran televisi yang nggak bener gitu.”

AP yakin bahwa segala peraturan yang tertulis seperti undang-undang tidak lain juga memiliki sangkut paut dengan para penguasa lain sehingga membuat KPI tidak bisa bergerak luas, informasi tersebut cukup membuat AP yakin bahwa dalam hal ini masyarakat sangat dirugikan. Sementara itu KPI harus segera menanggulangi hal ini.

Lain halnya dengan NFS, yang justru berpendapat bahwa KPI sudah bekerja secara baik. NFS menjelaskan bahwa KPI saat ini sudah cukup baik dan ia mengapresiasi hal itu, tetapi hal itu lantas tidak membuat KPI harus bekerja seperti ini seterusnya, NFS berharap akan kinerja KPI yang akan terus meningkat di masa yang akan datang. Menurut pandangan NFS citra yang ditampilkan oleh KPI melalui kinerjanya sepertinya belum sampai kepada tahap puncak goal yang diinginkan dimana KPI bertugas mengubah wajah penyiaran menjadi lebih baik. Kepuasan NFS terhadap kinerja KPI memang sudah cukup baik, NFS meyakini bahwa KPI akan mampu berbuat lebih, hal itu membuat NFS ingin selalu mendukung apa yang dilakukan oleh KPI karena peran KPI dalam hal penyiaran adalah membantu agar menjadi lebih baik lagi. Informasi yang diterima NFS mengenai apa-apa yang telah dilakukan oleh KPI pun membuatnya cukup mengapresiasi KPI.

“Pandangan saya terhadap KPI itu apa ya, KPI sudah bekerja lah secara baik, itu lagi lah mereka sudah berusaha ya tapi masih banyak lah yang perlu mereka lakukan karena media kita masih banyak lah yang nyeleneh. Mereka sudah cukup baik untuk sampai saat ini tapi


(20)

belum sampai begitu baik sampai puncak mereka yang harus mengurus nama baik penyiaran dimana masyarakat akan melek media dan medianya akan aman dan baik. Intinya mereka sudah baik sampai saat ini tapi belum..belum apa ya..belum sampai ke tahap puncak dimana goal-nya mereka lah. Mereka akan dan harus membuat baik nama media penyiaran kita lah nanti.”

RR pun mengungkapkan bahwa ia yakin dan percaya KPI sejauh ini melalui kinerjanya sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat penyiaran menjadi lebih baik, tetapi tentu saja kinerja yang dilakukan oleh KPI tidak berjalan mulus dan terdapat beberapa hambatan di dalamnya. Hal itu juga ia ungkapkan berdasarkan informasi yang diterima RR bahwa kepentingan yang ada membuat peraturan yang sudah ditetapkan menjadi bisa disusupi. Sama halnya dengan NFS, RR pun memberikan rate langsung terhadap kinerja KPI yang memang dinilainya sendiri berdasarkan apa yang telah diamatinya beberapa waktu terakhir.

“Untuk saat ini, on going ya kinerja KPI ini sudah baik kayak seperti sudah ada upaya untuk ke arah penyiaran yang lebih baik tapi belum maksimal, belum tercapailah. Memang peraturan yang diberikan KPI sudah baik cuma ada beberapa pasal yang bisa disusupi, ada ceruknya gitu. Jadi, kan kalau media itu nggak boleh ada oligopoli, nggak boleh ada monopoli media gitu kan. Sementara di penyiaran itu kan rentan kek gitu dan emang peraturannya itu engnggak jelas, engnggak spesifik gitu. Sebenarnya peraturannya bagus, tapi masih ada celah-celah yang bisa dipakek sama pemilik media, taulah pemilik media gimana kan. Jadi celah-celah itu bisa dipakek untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya padahal kan itu nggak boleh ya, gitu sih. Mungkin sudah 60-65 persen lah dijalankan dengan baik.”

FH memiliki pendapat yang sama dengan beberapa pendapat informan lainnya mengenai kinerja yang sudah dilakukan KPI sejauh ini, meski pun tetap harus ada hal-hal lain yang perlu dimaksimalkan agar KPI bisa berkembang dan memperbaiki agar KPI bisa se-ideal mungkin.

“Dalam hal di beberapa sisi KPI sudah bekerja, tapi kita tidak bisa harapkan KPI bisa ideal secepat itu, KPI ke depan kan akan terus berkembang, memperbaiki diri dan seterusnya. Di satu sisi mereka bagus dan menjalankan tugasnya tetapi di sisi lain dikhawatirkan mereka tidak punya efek jera yang tidak ditakuti.”

PS pun mengungkapkan hal-hal yang hampir serupa dengan informan lainnya, PS berkeyakinan bahwa KPI selalu ingin membuat penyiaran menjadi lebih baik tetapi memang terdapat berbagai hambatan dan halangan atau pun kemauan yang kurang dari personal KPI itu sendiri, PH mengungkapakan melalui informasi yang dilihat yaitu dari kurang maksimalnya sosialisasi yang sampai


(21)

kepada masyarakat. PS memandang KPI dari berbagai sisi, seperti layaknya ia memposisikan dirinya sebagai dosen Ilmu Komunikasi dan seorang praktisi penyiaran, sehingga tidak heran ia terkadang berpihak pada KPI dan terkadang juga tidak berpihak. Tapi tetap saja, apa yang dikatakan PS bukan semata-mata pendapatnya secara subjektif tetapi atas dasar kasus dan pengalaman yang dilihat maupun diterimanya.

“Kalau cerita kinerja ya begitulah, masih terus dilakukan oleh KPI, saya yakin orang-orang KPI ini pasti akan selalu berusaha membuah penyiaran lebih baik lagi. Masalah hasil kan itu cerita terakhir ya, mungkin KPI ini kinerjanya kurang dalam hal sosialisasi, saya kemarin itu ada baru baca di Analisa itu ada sebuah berita yang menyatakan bahwa laporan pengaduan masyarakat ke KPI itu sedikit dibandingkan tahun lalu, artinya kan memang kurang sosialisasi komisoner KPI itu kepada masyarakat sebagaimana seharusnya ada lietrasi media dimana masyarakat harus paham tentang media biar mereka paham mengenai tayangan berkualitas, harus melek terhadap media mana yang sehat dan tidak sehat. Kan banyak tayangan berkualitas kayak Kick Andy, itu ya harus diteruskan tapi ada tayangan-tayangan yang kayak Pesbukers, Dahsyat, dulu juga ada YKS, apalah manfaatnya itu ditonton, dulu YKS katanya ratingnya makanya mempengaruhi pengiklan juga, itu kan jamnya pun jam yang prime time ya dimana banyak orang nonton. Nah, sinetron pun gitu buat apalah, seharusnya jangan untuk kepentingan pengiklan dan yang punya media saja.”

Berdasarkan beragam pengalaman, status pendidikan, maupun pengamatan yang berbeda dari masing-masing informan memang mejadikan pendapat yang berbeda-beda meski pun beberapa informan memiliki kesamaan pendapat. Pengetahuan dari ke-enam informan yang berbeda-beda pun menjadi pendukung mengapa jawaban setiap pertanyaan berbeda-beda, ada yang menanggapi secara kritis yang disertai dengan contoh dan ada pula yang menjawab secara ringkas. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini meliputi pengalaman, keyakinan, informasi, kelakuan, bertindak mau pun berpersepsi sehingga peneliti juga mengkaitkan hasil wawancara dengan hal-hal tersebut yang sudah juga diungkapkan informan pada sesi wawancara berlangsung.

4.1.3.2 Hukuman yang Diberikan KPI

Pandangan maupun kinerja KPI belum cukup untuk mengungkapkan bagaimana citra KPI di mata publik yang terbagi dalam tiga bagian dalam penelitian ini, sehingga peneliti juga berusaha untuk menanyakan hal-hal lain berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh KPI menurut para informan


(22)

seperti salah satunya adalah hukuman yang diberikan KPI apakah sudah memiliki efek jera atau belum. Seperti yang diungkapkan MA tersebut:

“Sampai sekarang hukuman yang dibuat KPI itu belum memiliki efek jera, mungkin bagi TV yang bandel nganggapnya gini ‘alah...semut-semut di pasirnya itu,’ paling pun kalau dapat surat dari KPI yaudah mereka mungkin biasa aja kan. Nah kalau hukuman, biasanya itu yang kena ya hanya stasiunnya biasanya langsung ke program acaranya bukan pelaku di dalamnya langsung. Ya harusnya itu pelakunya kena biar jadi catatan-catatan hitam. Kayak misalnya program Bukan Empat Mata, pucuknya kasus tersebut siapa? Ya produser, jadi kalau misalnya dilanggar ya produsernya juga kena. Si produser maupun stasiun TV nya harus kena daftar blacklist, misalnya si produser ini punya catatan hitam kemudian hal itu bisa menjadi pertimbangan bagi tempat bekerjanya yang lain untuk memakai dia. Jadi masing-masing orang harus dibangun kesadarannya bahwa orang-orang di dalam TV harus bekerja untuk membangun tayangan sehat.”

MA selaku praktisi penyiaran mengalami langsung bagaimana stasiun televisi tempatnya bekerja memberikan peringatan bagi pegawainya yang melakukan kesalahan agar tidak melakukan kesalahan lagi, keadaan tersebut membuat MA sadar sehingga akhirnya melakukan hal-hal yang seharusnya saja demi tercapainya tujuan, hal itu lah yang dinamakan motif. Hal itu hanya lah analogi, jika dihubungkan pada pemaparan di atas maka efek jera yang diberikan oleh KPI kepada stasiun televisi menurut MA tidak memiliki efek jera karena pelaku penyiaran yang ada di dalamnya tidak mendapatkan imbasnya sehingga stasiun televisi berulang melakukan kesalahan yang serupa dan efek jeranya tidak ada.

Lain halnya dengan AP karena beranggapan bahwa efek jera yang tidak terjadi pada lembaga penyiaran dikarenakan peraturannya yang kurang tegas sehingga masih banyak cela yang bisa dimasuki untuk tetap berkuasa.

“KPI memang sudah bekerja, namun sayangnya segala hukuman yang mereka berikan tidak memiliki efek jera karena kita tahu pemilik-pemilik modal dan pemilik-pemilik media adalah orang-orang yang diakui, yang memilki kekuasaan politik. Padahal itu kan nggak boleh. Yang lucunya di negara ini, semua peraturan bisa dicari celanya, harusnya ada peraturan yang menegaskan bahwa seseorang tidak boleh memiliki saham lebih dari 51% dalam satu perusahaan apalagi media karena media terutama TV dan radio kan pake frekuensi publik, walaupun si pemilik modal itu bersiaran di media itu tapi tetap saja frekuensi bukan milik dia tapi milik publik, nah disinilah seharusnya masyarakat dapat memberikan sanggahan. Tapi kenyatannya lihat la, penanam modal itu sengaja menanam modal sebanyak-banyaknya, kalau lah nama dia


(23)

sudah ada dia bisa pake nama anaknya, nama istrinya, biar apa? Biar dia jadi penguasa, iya kan. Pada pratiknya ya semua milik dia dan dia pulak yang mengontrol apalagi orang-orang itu memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan propaganda politik, itu nggak boleh. Kayak kuis kebangsaan, mars perindro yang 15 menit sekali diputar itu nggak boleh apalagi itu bukan lagi masa kampanye, kalau pun lagi masa kampanye itu batas-batasnya. Setau saya ya, kampanye di media itu bolehnya cuma 7 hari dan itu terlaksana 2 minggu sebelum masa pemilihan.”

Begitu juga dengan NFS yang berpendapat bahwa peraturan yang ditetapkan oleh KPI terlalu ringan, hal itu diungkapkan NFS berdasarkan keadaan penyiaran sekarang ini yang sering kali masih tetap bermasalah dan tidak ada efek jeranya.

“Hukuman-hukuman yang diberikan KPI itu belum memiliki efek jera kepada media-medianya ya karena terlalu ringan, balik lagi nih karena kan media lebih memikirkan keuntungan dari iklan dan segala macem, media juga ngelihat yang masyarakat suka seperti apa bukan apa yang masyarakat butuhkan karena masyarakat yang suka program itu pun nggak sadar kalau ternyata mereka nggak dapat manfaat apa-apa dari program itu lo. Jadi, hukuman yang diberikan belum memiliki efek jera lah karena kan buktinya tayangan-tayangan yang kena tegur masih aja siaran kok. “

Sanksi yang diberikan KPI pun sebenarnya sudah mengikuti aturan yang mereka buat tapi kan aturan itu menurut saya perlu diperbaharui kan supaya aturan-aturan yang mereka buat bisa memiliki efek jera kan kayak yang kita bahas tadi agar jera bagi media dan pihak penyiarannya itu. Ya, KPI perlu memberikan sanksi yang lebih tegas supaya yang kemaren-kemaren nggak terulang lagi kita lihat aja pesbukers yang dari beberapa tahun lalu sudah kena surat peringatan berkali-kali, baik media dan pengisi acaranya sudah berkali-kali lah tapi buktinya sampai sekarang masih, nah bahkan acara sejenis pun masih ada sekarang.

Menurut NFS peraturan yang ada harus diperbaharui kembali agar menimbulkan efek jera tersendiri. Dalam proses wawancara NFS juga mengungkapkan bahwa ia ingin sekali bergabung ke KPI agar bisa berkontribusi terhadap dunia penyiaran dengan harapan agar tidak ada lagi permasalahan yang terjadi seperti sekarang ini.

Pendapat yang serupa juga ditegaskan kembali oleh RR, ia menganggap bahwa peraturan yang ada belum begitu kuat sehingga sering kali dilanggar oleh para lembaga penyiaran. Keadaan tersebut membuat RR bertanya-tanya dimana KPI saat ini.

“Hukuman yang dikasi sama pekerjanya medianya pun belum memiliki efek jera, masih banyak soalnya tayangan yang nggak


(24)

bermutu padahal sudah jelas-jelas ada peraturan dibuat KPI tapi jelas-jelas juga dilanggar dan itu saksinya ada 250 juta masyarakat Indonesia yang nonton TV, tapi KPI dimana? Gitu sih.”

FH yang juga mengaku kerap kerap menerima informasi karena mengakses website KPI, ia mengatakan bahwa tidak perlu mengekspos beragam permasalahan dalam penyiaran di website KPI kalau pada akhirnya peringatan yang dilontarkan KPI ke lembaga penyiaran tidak tahu keberadaannya, entah sampai atau tidak. Menurut FH eberapa kali hukuman yang diberikan pun tidak menjadikan jera bagi lembaga penyiaran, hanya ada beberapa kasus yang membuat jera itu pun bukan hukuman yang berasal dari KPI tetapi hukuman yang berasal dari masa.

“Kalau menurut saya sama sekali belum ada efek jeranya, karena masih terus dilakukan pelanggaran, efek jera akan terjadi jika kasus Benyamin Sueb misalnya yang waktu di Caisar di program YKS dihipnotis dan ketika melihat anjing di Caisar menyebutkan bahwa itu Benyamin Sueb. Dan setelah itu mereka mendapat peringatan KPI tapi peringatan itu hanya terjadi dua kali dan ternyata peringatan itu bukan berkaitan dengan Benyamin Sueb tetapi yang lain. Masa yang marah semakin menjadi-jadi saat itu terjadi, maka setelah itu lah cerita itu dihentikan. Itu kan berarti pelaku media lebih takut sama masa dari pada sama KPI. Jadi, nggak ada gunanya ekspos di web KPI kalau kemudian hanya kirim surat ke telvisinya, itu nggak ada manfaatnya, kan nggak tau juga sampek atau enggak peringatannya jangan-jangan begitu sampek langsung dicampakkan ke tong sampah dan selesai tidak ada efek jeranya begitu.”

Jika lima informan sebelumnya mengatakan bahwa hukuman yang diberikan oleh KPI belum memiliki efek jera, PS justru berpendapat lain. Ia mengatakan bahwa hukuman yang diberikan KPI bukan tidak memiliki efek jera tapi belum efektif, hal tersebut diutarakannya berdasarkan pengalaman dan infromasi yang diterimanya dengan bertanya langsung kepada salah satu rekannya yang bekerja di sebuah stasiun televisi. Ia juga meyakini hal tersebut karena juga pernah terjadi pada stasiun televisi tempatnya bekerja.

“Kalau saya ditanya begitu saya rasa sudah dilakukan secara efektif tapi mungkin belum maksimal, saya juga beberapa kali pernah bertanya kepada orang TV nya katanya mereka memang ada yang tidak ditegur walaupun sudah berbuat kesalahan. Dulu Metro TV pernah memberitakan tentang Tenggalek di Jawa Tengah sana tapi dilarang oleh KPI lebih tepatnya bukan karena Tenggaleknya tapi memang tidak dikasi siaran headline news selama seminggu karena sebelumnya wartawan Metro TV pernah menunjukkan gambar laki-laki dan perempuan yang seolah melakukan hubungan suami istri dan itu tayang


(25)

pada jam 05.00 pagi, bagi kita yang di Medan memang itu masih subuh tapi bagi bagian timur kan itu sudah siang pasti kan sudah banyak yang nonton TV sementara waktu itu gambarnya tidak diblur, itu lah nggak difilter sama editornya padahal itu pornografi. Dan saat itu KPI menegur, nah begitu lah yang bagus dan seharusnya. Selama minggu nggak boleh buat headline news, ya nggak apa namanya hukuman kan.”

“Jadi ya bisa dibilang bukan belum ada efek jera tapi belum efektif aja hukumannya. Kayak yang kasuk blocking time perkawinan artis, kenapa nggak sekalian aja malam pertamanya ditayangkan, itu saya bilang sangkinkan keselnya lah saya, kan nggak efektif kan.”

PS sudah merasakan langsung hukuman yang diberikan oleh KPI, tetapi hukuman tersebut masih belum efektif menurut PS karena belum memiliki efek jera yang begitu kuat. PS juga berpendapat bahwa hal tersebut harus diatur dengan peraturan yang lebih tegas lagi.

Berbicara mengenai citra berarti juga berbicara tentang sikap yang cenderung diperlihatkan oleh seseorang terhadap sesuatu dimana sikap bisa meliputi kecenderungan bertindak, berpersepsi, dan berpikir mengenai suatu situasi atau nilai, dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sikap untuk mengetahui citra yang sebenarnya terdapat pada masing-masing informan.

4.1.3.3 Kepuasan Terhadap KPI dan Dampak Positif bagi Penyiaran

Masing-masing informan pun berpendapat berbeda mengenai kepuasan dan dampak positif KPI terhadap dunia penyiaran, seperti berikut yang diungkapkan MA berikut ini:

“Sebenarnya belum puas, tetapi kita harus tetap apresiasi ya, apresiasi usahanya KPI untuk menunjukkan kinerja terbaik mereka tetapi tolong..tolong...tingkatkan karena masih banyak nih tayangan-tayangan sampah yang sampai kepada masyarakat padahal itu sangat tidak perlu tayang. Dampaknya bagi penyiaran juga ada keliatan, tapi nggak banyak, ada beberapa kasus yang cepat ditangani KPI dan kita harus sangat apresiasi, misalnya nih kayak kemaren masalah bom di Sarinah kan banyak beredar kabar hoax, dan kemudian TV One paling pertama mengabarkan meskipun kabarnya masih simpang siur gitu, tapi mereka pengen jadi yang pertama nih pada saat itu. Nah, disitu keliatan kerja KPI sangat cepat karena besoknya langsung keluar peneguran untuk stasiun TV One karena mereka tidak seharusnya mengabarkan yang punya impact ke banyak orang, karenakan kemarin ceritanya menebarkan teror dan itu ber-impact lo karena statusnya itu isu nasional.”

Meski mengaku belum puas tetapi kenyataannya MA tetap ingin mengapresiasi apa-apa yang telah diusahakan oleh KPI sejauh ini begitu pun MA


(26)

mengapresiasi KPI karena telah memberikan dampak yang cukup baik bagi dunia penyiaran. Sama halnya dengan MA, ternyata AP juga memiliki pendapat yang serupa. Ia mengaku belum puas terhadap kinerja KPI yang sekarang dikarenakan terdapat beberapa hal yang belum maksimal tetapi dampak baik sudah terlihat walau pun tidak banyak.

“Saya pribadi belum puas sama kinerja KPI yang sekarang, kenapa belum puas karena KPI belum bekerja secara maksimal, jadi menurut saya secara kelembagaan baik pusat maupun daerah KPI harus dikuatkan terutama inetrnal kelembagaannya berkaitan juga dengan amandemen undang-undang penyiaran Tahun 2002 itu, Undang-undang itu harus diamandemen karena udah nggak cocok lagi sama perkembangan zaman yang sekarang. Kalau perannya KPI saya rasa sudah baik, sudah ada dampak baiknya seperti mereka yang selalu melakukan publikasi, peduli terhadap program siaran yang melakukan pelanggaran itu sih, meskipun belum maksimal.

AP memang mengungkapkan bahwa ia belum puas terhadap KPI tetapi pada pembahasan sebelumnya AP sudah mengatakan bahwa hal tersebut bukan sepenuhnya kesalahan KPI, ada pihak-pihak yang memang berkuasa ikut campur dalam hal ini sehingga KPI tidak bisa berbuat lebih luas. Begitu pun dengan produk hukum yang tidak kuat sehingga membuat AP terkadang cenderung memihak kepada KPI tapi terkadang juga cenderung tidak memihak.

Berbeda dengan NFS yang menyatakan sudah puas terhadap kinerja KPI, dan beranggapaan bahwa dampak baik sudah kelihatan dari usaha KPI selama ini meski pun masih diperlukan kesadaran masyarakat agar dampaknya lebih besar lagi bagi dunia penyiaran. Usaha-usaha kecil yang telah dilakukan KPI cukup menjadi perhatian NFS sehingga menyatakan bahwa ia puas akan hal tersebut.

“Untuk kinerja KPI yang sekarang emmm saya sudah cukup puas karena peningkatan kinerjanya sudah cepat untuk yang sekarang ini dan yang sebelum-sebelumnya ini nggak keliatan sih. Dampak baiknya sekarang sudah mulai kelihatan informasi yang didapatkan masyarakat saat ini sudah baik, beberapa tayangan sudah kena tegur sih tapi ya gitu lah walau KPI nggak bisa cepat-cepat kali menanganinya tapi sudah lebih cepat dari kemarin-kemarin ajadi lumayan keliatan dampaknya bagi penyiaran.Ya itu akan merubah masyarakatnya juga kalau banyak masyarakat yang mau peduli dan mau mendengarakan informasi itu kan, kenyataannya hanya sedikit bahkan hanya segelintir orang yang ngerti KPI lah yang mau menerima inormasi tentang KPI, mungkin karena orang itu bisa dibilang lebih melek terhadap informasi yang edukatif. Tapi kan,


(27)

masyarakat Indonesia luas lo dan susah kan untuk menjangkau semua masyarakat.”

Selama wawancara berlangsung, NFS masih tetap menunjukkan sikapnya yang cenderung pro terhadap KPI dimana ia pun mempersepsikan KPI secara baik dari awal mula wawancara. Berbeda dengan RR yang mengaku bahwa rate belum puasnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan rate puas yang terdapat di dalam dirinya.

“Sejauh ini 60 % saya belum puas lah sama kinerjanya KPI, dan dampak baiknya memang KPI sudah ada niatan untuk bekerjasama contohnya kayak membuka akses sebanyak-banyaknya untuk kita mengoreksi kinerja mereka karena kan KPI bukan dewa yang nggak bisa dikoreksi karena meskipun begitu banyak juga kok kasus yang ditangani baik oleh KPI. Pun udah nggak ada lagi konten LGBT di TV, saya pikir itu salah satu dampak baiknya juga.”

Meski demikian RR yang cenderung menunjukan sikap belum puasnya terhadap KPI tetap mengapresiasi KPI dalam hal tindakan yang sudah ditangani oleh KPI sepert kasus konten tayangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang sudah diminimalisir sehingga bisa dikatakan hal tersebut merupakan dampak baik bagi nasib penyiaran. Sementara itu, FH justru memberikan sikap dan persepsi yang berbeda terhadap KPI. Ia memposisikan dirinya sebagai orang awam dan juga memposisikan dirinya sebagai akademisi yang masing-masing posisi tersebut memiliki hasil yang berbeda.

“Berbicara puas atau tidak sama kinerja KPI ini susah sih bilangnya terhadap kinerja KPI ini karena gini kalau saya melihat dari sisi orang awam maka saya memang belum melihat langsung dari kinerja KPI kecuali mengenai sensor-sensor padahal tadi juga saya sebutkan bahwa sensornya cukup mengganggu ketika kita nonton televisi selebihnya manfaat yang lain tidak terasa kecuali misalnya berita heboh bebek nungging tapi kemudian yang dihebohkan hanya saat Zaskia minta maaf tapi stasiun televisinya tidak nampak diberi hukuman atau pun sekedar meminta maaf kepada publik atau mislanya sanksi yang di berikan KPI kepada televisinya itu apa, nggak ada terlihat. Jadi sebagai orang awam, kalau dibilang KPI memberikan manfaat kepada masyarakat saya rasa belum terasa manfaatnya. Tapi kalau saya melihat dari sisi akademisi dimana KPI sudah bekerja menangani kasus a, b, c, itu sudah terlihat ada kerjanya begitu.”

“Beberapa tahun undang-undang penyiaran ada tetapi KPi tidak langsung terbentuk ya, kalau dibilang sudah memberikan dampak saya sih nggak merasa ada dampak yang krusial kecuali bagi akademisi yang memang melihat mereka bekerja, karena gini belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa tingkat kekerasan pada anak


(28)

berkurang semenjak kehadiran KPI atau tingkat peniruan semenjak KPI ada atau tidak. Karena untuk masalah dada, punggung dan belahan dimana-mana itu ada perubahan nggak selama KPI ada, kan nggak ada surveynya dan nggak ada penelitian yang melakukan seperti itu. Jadi yang terlihat hanya mereka melakukan sensor dimana-mana.”

Di satu sisi FH memang mengaku tidak puas karena tidak melihat langsung apa yang telah dilakukan oleh KPI tapi di satu sisi ia mengaku sudah puas karena sebagai akademisi ia memiliki pandangan yang berbeda, apalagi ia mengatakan bahwa sudah memberikan manfaat seperti KPI sudah menangani beberapa kasus yang kerjanya bagus. Sementara untuk dampak, FH tidak melihat ada dampak yang krusial terjadi semenjak keberadaan KPI, hal itu dikatakan FH dikarenakan menurutnya belum ada penelitian yang menyatakan bahwa sejak keberadaan KPI sudah ada perubahan yang signifikan.

Jika FH melihat dari dua sisi, PS justru mengatakan dengan tegas bahwa ia belum puas meski pun ia berada di dua pekerjaan yang berbeda. Oleh karena itu dua pekerjaan berbeda yang dilakoninya lantas tak membuatnya memilik pandangan dari dua bagian karena menurutnya dilihat dari sisi mana pun hasilnya tetap sama.

“Belum, pasti belum puas. Saya sudah di TV ya selama 11 tahun dari Tahun 2005, jadi saya tahu sebenarnya ada beberapa tayangan yang dibuat oleh media tempat saya bekerja dan itu harus ditegur sama KPI tapi tidak ada tindakan nyata. Dulu juga sempat sering terjadi penyiaran berita di berbagai media tentang kekerasan pemukulan dan sebagainya, disitu hati nurani saya saja tersentuh melihatnya tapi itu nggak ditegur sama KPI karena memang adegannya tidak pantas untuk ditayangkan dan tidak diblur juga, saya pun nggak bisa berbuat apa-apa kan. Saya kalau berkesempatan mendapa-apat liputan berita kekerasan kadang saya nggak tega juga tapi bagaimana lah karena kan itu maunya TV .”

“Ya, sedikit-sedikit ada lah, artinya peraturan KPI itu kan mengikat dan siapa yang melawan, melanggar maka Undang-undang penyiaran bisa dikaitkan, karenanya jangan macam-macam, orang KPI itu kan bekerja lewat peraturan dan ada Undang-undang penyiaran yang mendukung. Kayak yang kemarin kasus Tukul, itu kan ditegor sama KPI makanya berubah kalau enggak kan mereka kayak nggak terlihat jati diri bangsanya, kalau kita orang beragama mana mungkin begitu liat aja masa Tukul cipika-cipiki sama tamu perempuannya.”

PS cenderung mengungkapkan dan mempersepsikan bahwa ketidakpuasan tersebut ia ungkapkan secara terang-terangan karena ia sudah merasakannya langsung lewat pengalamannya sebagai praktisi penyiaran dimana KPI tidak


(29)

menegur stasiun tempatnya bekerja meski pun hal itu jelas-jelas salah.Walau pun demikian PS tetap mengakui bahwa terdapat dampak baik dari keberadaan KPI terhadap penyiaran walau pun tidak banyak.

4.1.3.4 Kesadaran Akan Keberadaan KPI

Pada hakikatnya, banyak yang belum menyadari akan keberadaan KPI, terutama bagi masyarakat kalangan bawah yang lebih sering menjadi korban tayangan televisi, yang tidak dapat memfilter tayangan sehat dan tidak sehat serta tayangan seperti apa yang seharusnya mereka tonton. Kebanyakan dari masyarakat kalangan bawah yang tidak mengenyam pendidikan tinggi sudah tentu tidak paham akan penyiaran seperti apa yang sepatutnya diterima, banyak di antaranya yang mengambil pelajaran dari tayangan tidak sehat tersebut dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga televisi dengan bermacam-macam tayangannya diserap begitu saja tanpa memfilter terlebih dahulu.

Masyarakat kebanyakan tidak tahu mengapa mereka harus memfilter tayangan tersebut, masyarakat beranggapan bahwa tayangan yang telah disiarkan di televisi tentu sudah mendapat izin karena tidak sembarang program siaran yang dapat ditayangkan di televisi. Padahal pada kenyataannya tayangan-tayangan tersebut banyak yang juga ditegur oleh KPI karena melanggar norma dan aturan yang berlaku, tetapi masyarakat banyak yang tidak memahami itu. Sinteron, gosip, maupun talkshow cenderung menjadi tontonan masyarakat, jarang di antara mereka yang suka menonton tayangan berita. Oleh karena itu setiap tayangan yang mendapatkan teguran oleh KPI tidak disadari oleh mereka, jika pun ada kebanyakan dari masyarakat tersebut bahkan tidak menyadari peran KPI di dalamnya.

Hal itu juga terjadi karena penyiaran tidak menjadi isu utama dalam kehidupan mereka, yang masyarakat tahu bahwa tontonan adalah hiburan bagi mereka yang ingin beristirahat atau pun yang ingin duduk santai bersama keluarga. KPI pada dasarnya kurang mensosialisasikan keberadaannya kepada masyarakat sehingga banyak yang tidak paham akan fungsi dan kewajiban KPI terhadap dunia penyiaran tersebut.


(30)

Beberapa informan pun beranggapan demikian, ada yang sudah sejak lama sadar akan KPI, ada juga baru beberapa Tahun terakhir, tetapi juga terdapat ungkapan yang menyadari bahwa masyarakat sadar KPI, hal itu terbukti dari pemaparan informan saat peneliti menanyakan hal-hal yang berkaitan. Seperti penuturan MA berikut:

Sebenarnya saya sendiri itu mulai ngikutin KPI ya karena dulunya kuliah di Ilmu Komunikasi, dulu itu isu penyiaran tidak menjadi isu utama dalam diri saya lebih tepatnya bukanlah isu yang saya cari karena dulu lebih sukanya sama isu tentang perempuan, kekerasan dan segala macamnya. Dan kemudian setelah di Ilmu Komunikasi jadi tahu, wah ternyata televisi bisa menjadi medium melakukan kekerasan apalagi terhadap perempuan terutama dari sinteron, kan kita lihat kekerasan dilegalkan pada perempuan hingga akhirnya itu menjadi isu menarik dalam hidup saya. Nah setelah belajar Ilmu Komunikasi lah jadinya belajar tentang media terus belajar tentang KPI, rupanya disitu sadar ada ya komisinya tapi kok masalah di televisi nggak selesai-selesai, gitu.

MA sendiri baru menyadari KPI sejak ia masuk kuliah di Ilmu Komunikasi, menurut MA hingga sekarang tentu banyak yang belum sadar akan keberadaan KPI, karena ia sendiri mengaku bahwa kalau tidak menjadi anak Ilmu Komunikasi mungkin ia tidak secepat itu menyadari keberadaan KPI. Lantas bagaimana dengan mahasiswa lain? Atau bahkan bagaimana dengan masyarakat lain yang bahkan tidak mengenyam pendidikan, darimana mereka sadar bahwa ada KPI yang bertugas mengatur penyiaran di Indonesia. Kemudian MA berpendapat demikian:

“Kesadaran itu yang perlu dibangun, kesadaran bahwa masyarakat butuh tayangan sehat dan kenapa masyarakat butuh tayangan sehat itu.Tapi kenyataannya kesadaran terhadap keberadaan KPI itu belum ada di dalam diri masyarakat, mereka belum sadar nih kalau ada KPI yang ngurusin penyiaran di Indonesia supaya bagus. Masyarakat banyak yang belum sadar karena masyarakat belum tau, banyak yang menjadi isu utama dalam kehidupan mereka. Nah, isu apa itu, misalnya isu ekonomi, besok makan apa, besok naik apa, besok kira-kira hujan apa enggak dan hal-hal sehari-hari gitu. Sementara kan ee..persoalan besok makan apa, susu anak besok kebelik nggak, besok anaknya bisa sekolah nggak, itu adalah hal-hal yang serius dan masih menjadi perhatian utama mereka.”

“Hal itu membuat penyiaran tidak menjadi isu utama dalam kehidupan mereka, sementara TV itu ditonton tiap hari, informasi sampahnya masuk tiap hari siang sampai malam, pengaruh TV ini kan tidak linear ya, jika hari ini kita nonton kekerasan maka tidak


(31)

hari ini juga kita berbuat kekerasan tetapi pikiran tersebut masuk ke otak kita kemudian beradaptasi dan lama-lama kita sudah terbiasa melihat kekerasan dan macem-macemnya yang ada di TV itu. Dan lama kelamaan kita akan mengaplikasikannya pada orang lain gitu, jadi itu masuk secara tidak sadar kan, jadi kena teori kultivasi walaupun di beberapa orang itu tidak terjadi. Tapi bagi anak-anak yang belum bisa memfilter itu bagaimana, kek misalnya lah sinetron harimau-harimau itu, jadi sodara saya ada masih anak-anak..waktu ketemu di arisan saya lihat dia mempraktikkan gaya harimau dan suara-suara harimau gitu, jadi dia merasa saat dia sudah bisa meniru suara harimau maka dia sudah keren. Nah jadi gitu, bagaimana kita menyadarkan kepada masyarakat, bukan kita saja tetapi juga KPI bahwa kita semua butuh tayangan sehat lo buat kita dan buat anak-anak kita nanti supaya mereka juga berpikirnya bener gitu sih.

Lain halnya dengan AP yang sudah menyadari KPI semenjak KPI itu ada di Indonesia. AP memang lebih dahulu tahu akan KPI sehingga ia pun lebih dahulu sadar akan keberadaan KPI dan perannya bagi penyiaran di Indonesia. Tidak heran jika pemaparan AP selalu disertai dengan contoh yang konkrit yang sudah ia dapatkan melalui pengetahuan maupun pengalaman sebelumnya.

“Saya mulai melek KPI ya mulai dari KPI itu ada, KPI pusat lah ya lebih tepatnya hingga akhirnya muncul KPI-KPI yang di daerah, namanya KPID. Kalau dibilang sejauh mana mengenal ya cukup taulah. Setau saya KPI itu ya lembaga pemantauan penyiaran supaya lembaga-lembaga penyiaran itu kayak TV dan radio berpedoman pada P3 SPS, artinya ee...memang KPI tidak sampai melakukan sensorship seperti itu seperti orde baru tetapi mereka sifatnya memantau dan ini salah satu yang harus dimiliki lembaga penyiaran kan harus ada rekomendasi dari komisi penyiaran setempat gitu, artinya kalau dulu mungkin satu stasiun televisi atau radio hanya butuh izin dari balai monitoring, balai monitoring itu kan berada di bawah Kominfo, apa Kominfo tingkat provinsi tapi kan sekarang harus ada juga Izin Prinsip Penyiaran atau IPP.”

Menurut AP, mungkin ia lebih dahulu tahu akan keberadaan KPI tapi sebenarnya jika melihat ke luar khususnya masyarakat kalangan bawah, maka tidak sedikit yang belum sadar akan keberadaan KPI tersebut. Masyarakat belum melek media, menurut AP masyarakat sekarang ini belum mampu memfilter tayangan bagaimana yang seharusnya ditonton.

“Kalau dari segi luar KPI itu belum berperan maksimal untuk bagaimana mengedukasi masyarakat gitu ya untuk bisa, kan ada tindakan edukasi dan reperentif namanya yang kepada masyarakat harus tau bagaimana melihat dan menonton tayangan yang baik. Masyarakat pada nggak sadar nih ada KPI, sosialisasinya mana? Itu yang jarang dilakukan, harusnya intensitasnya harus lebih sering


(32)

begitu sehingga kita tidak lagi dihadapkan dengan masyarakat yang semua-semuanya ditonton dan diserap dari pagi nonton film india sampek malem, enggak lagi melihat acara gosip show yang nggak penting begitu tapi tetap aja masih terjadi seperti itu. Artinya apa, kalau dibilang banyak yang suka kemudian ratingnya banyak ya sorry saya harus bilang kalau masyarakat kita belum melek media, masih gampang dibodohin harusnya menjadi tugasnya KPI juga untuk memberikan pembelajaran dan informasi kepada masyarakat. Tapi kenyataannya, masyarakat itu nggak sadar kalau ada KPI yang ngatur tentang penyiaran ini.”

Sama halnya dengan MA, nyatanya NFS juga sadar akan keberadaan KPI setelah masuk ke Ilmu Komunikasi. Sebelumnya NFS memang sudah mendengar KPI dari berita yang ia dapatkan di media tapi pada saat itu ia tidak begitu mengerti pada KPI beserta tugas-tugasnya, itu artinya keberadaan KPI lebih disadari oleh NFS karena berkaitan dengan ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi.

Kenal KPI udah lama sih, taunya itu dari berita, cuma lebih kenalnya itu pas masuk kuliah karena jurusan sendiri kan Ilmu Komunikasi apalagi konsentrasi saya kan jurnalistik, disitu saya banyak belajar tentang televisi dan KPI juga. Kalau secara umumnya saya kenal KPI itu ya sebuah lembaga independen yang dibiayai oleh APBN ya, dan mereka orang-orang yang di dalam KPI itu bertugas mengawasi penyiaran yang ada di Indonesia. Kalau secara khususnya lagi KPI memiliki andil besar untuk mengawasi penyiaran yang sudah melenceng dari aturan yang ada, kode etik yang ada gitu juga sama undang-undang yang ada. Seperti yang kita ketahui ada beberapa tingkatan hukuman yang diberikan KPI hingga akhirnya KPI bisa memberhentikan program siaran tersebut.

Menurut NFS, sosialisasi yang diberikan KPI kepada masyarakat masih kurang, karena banyak yang tidak menyadari keberadaan KPI itu sendiri. Hal itu menyebabkan masyarakat tidak akan bertindak meski mereka mendapatkan tayangan yang tidak sehat di televisi.

“Masalah penyiaran yang sekarang, khususnya televisi ya KPI harus mendekati keduanya baik masyarakat maupun medianya. Untuk masyarakat apa ya, kayaknya KPI perlu memberikan pemahan literasi media kepada masyarakat-masyarakat bawah supaya mereka sadar nih kalau ada KPI lo yang ngurusin penyiaran dan mereka juga bisa tau yang harus tonton itu seperti apa bukan hanya tayangan yang mau mereka tonton saja tetapi mereka harus tau tontonan yang bermanfaat buat mereka, buat anak-anak mereka kayak tayangan pendidikan. Apalagi masyarakat bawah juga harus lebih realistis, nggak harus liatin artis-artis nggak penting yang ntah ngapain aja dan nggak ada hubungannya dengan mereka. Tapi keknya memang


(33)

masih banyak sih yang belum tau ada KPI, paling yang tau itu ya cuma yang sering nonton berita aja kali ya. Saya sendiri aja sadarnya ketika masuk Ilmu Komunikasi, kalau nggak gitu mungkin sadarnya belakangan, makanya KPI harus lebih sering sosialisasi ke masyarakatnya.”

Sama halnya dengan MA dan NFS, ternyata RR juga mengaku bahwa sejak masuk di Ilmu Komunikasi lah ia sadar bahwa ada KPI yang mengatur khusus mengenai penyiaran. RR berpikir bahwa semua media baik cetak, elektronik maupun siar diatur oleh komisi yang sama, namun akhirnya RR benar-benar sadar dan tertarik pada isu penyiaran dan KPI sejak berada di Ilmu Komunikasi USU.

“Mulai kenal KPI sejak di Komunikasi keknya, ngehnya ada komisi khusus yang mengatur penyiaran. Media kan ada cetak, ada elektronik ada penyiaran, jadi sadarnya ada komisi yang menangani bidang penyiaran itu ya pas di Komunikasi sih, watu pertama-tama masuk kuliah lah.”

RR bercerita bahwa menurutnya banyak yang masih belum mengerti akan literasi media dan keberadaan KPI sehingga kebanyakan dari masyarakat khususnya kalangan bawah tidak sadar bahwa selama ini sudah dibodoh-bodohi oleh tayangan di televisi. Bahkan banyak masyarakat yang tidak paham bahwa jika ada tayangan yang tidak sehat harusnya diadukan ke KPI, tapi mereka justru menerima informasi dari tayangan-tayangan tersebut dan menjadikannya inspirasi dalam kehidupan.

“Mungkin kita dari kalangan mahasiswa sadar ada KPI, tapi enggak sama orang-orang diluaran sana, apa kabar gitu ya, cemana nasib orang-orang yang nggak ngerti sama literasi media? Ya mereka dibodoh-bodohi sama tayangan TV, kalau radio okelah nggak begitu berpengaruh kan. Kayak tayangan reportese investigasilah, orang yang paham akan bilang “oh kek gitu ya, nanti aku kalau beli gorengan kek gini lah, bukan kek gitu.” Tapi bagaimana orang yang tidak mengerti, mereka justru menjadikan itu sebagai inspirasi terutama bagi ekonomi menengah ke bawah, mereka pasti mikir, “oke, berarti aku bisa goreng pakai cara licik kayak gini,” ya gitu kan ya jadi inspirasi. Yah itu tadi, masyarakatnya pun belum sadar ada KPI, cemana mereka mau belajar tentang literasi medianya. Mungkin yang paham ya cuma kita-kita aja yang mahasiswa.”

Berbeda dengan informan lain, FH justru memang baru benar-benar menyadari keberadaan KPI sejak beberapa tahun terbentuknya KPI. Perannya sebagai akademisi lantas tak membuatnya begitu menyadari keberadaan KPI hal itu dinyatakan singkat oleh FH sebagai berikut :


(34)

“Sejak Tahun 2009,tetapi kalau melihat beberapa petisi yang dibuat oleh masyarakat di change.org bisa dikatakan masyarakat cukup sadar akan keberadaan KPI. Pada change.org masyarakat mengajukan beberapa petisi seperti soal tayangan “YKS” maupun “Siaran live pernikahan Rafii Ahmad dan Nagita Slavina” menunjukkan peran serta masyarakat dalam pengawasan program televisi”

Sama halnya dengan AP, PS juga memiliki pengetahuan yang sama tentang keberadaan KPI, yaitu tepat KPI ada di Indonesia. Begitu juga dengan masyarakatnya yang sudah tahu tetapi kurang peduli akan keberadaan KPI itu sendiri.

“Sejak dulu, ketika KPI itu pertama kali ada. Saya tidak tahu betul apakah KPI sudah bekerja dengan baik dan akhirnya bisa membuat masyarakat terjamin untuk dapat informasi yang baik tapi saya rasa KPI tidak tutup mata untuk hal yang satu ini, jadi kalau KPI dalam hal ini diam aja itu yang salah, saya yakin mereka tidak akan diam. Mungkin juga masyarakat pun sadar ada KPI, tapi tidak begitu peduli apalagi masyarakat kalangan bawah yang banyak hal lain harus dipikirkannya. Makanya Literasi media dan sosialiasi harus terus dilakukan”

4.1.3.5 Citra KPI

Banyak yang mengartikan secara berbeda-beda mengenai citra KPI, hal itu didasari dari pengetahuan tentang KPI yang berbeda-beda, ada yang menganggap negatif namun ada juga yang menganggap positif. Pengetahuan tentang KPI sangat penting untuk terciptanya citra yang baik pada KPI itu sendiri. Beberapa informan dalam penelitian ini memiliki jawaban yang berbeda-beda, seperti MA yang menjelaskan demikian:

“Setau saya KPI itu ya lembaga independen, kalau tentang citra sebenarnya gini, semua lembaga kalau misalnya dia bener-bener melakukan peraturan yang sudah diatur itu semua bakalan jalan tapi permasalahannya kan tidak dijalankan, gitu. Kalau misalnya mereka bilang “banyak kerjaan kami, bla-bla-bla,” lah kan mereka memang harus bantu masyarakat, toh mereka juga didanai sama masyarakat gitu kan, ya mau nggak mau ya sebenernya juga butuh dukungan juga ya dari pihak atas ya karena emang ketika media sudah menjadi industri maka tekanannya akan makin berat begitu juga kerja KPI akan semakin berat jadi ya mereka memang butuh dukungan dari masyarakat dan juga dari atas yaitu pemerintah. Misalnya ini KPI disamping kanannya ada pemerintah dan disamping kirinya ada masyarakat, nah KPI butuh dukungan dari kanan dan kiri ini. Dari segi kewenangan KPI nya nih harus dikuatkan gitu, ya karena gini kayak misalnya program Empat Mata yang menampilakan Sumanto makan kodok dan semacamnya, itu ditegur dan berhenti sebentar


(35)

memang tapi kemudian keluar lagi tayangan lain. Hal itu menunjukkan bahwa selain memang stasiun televisinya bandel berarti memang mereka yang mempermainkan KPI, ini kan berarti apa ya, emm kewenangan KPI itu tidak terlalu kuat di mata praktisi penyiaran.”

Menurut MA, citra KPI itu belum begitu terlihat dikarenakan KPI belum begitu terbuka apalagi dengan praktisi penyiaran dan masyarakat. Banyak usaha yang bisa KPI buat untuk mendekatkan diri tapi kenyataannya keterbukaannya belum terlihat nyata. Lain halnya lagi dengan banyaknya televisi yang bandel dan kelihatannya membuat KPI seolah dipermainkan oleh stasiun televisi tersebut. MA mengatakan kewenangan yang belum kuat pada KPI adalah alasan mengapa sampai saat ini banyak praktisi penyiaran yang masih terus-terusan membuat wajah penyiaran menjadi semakin buruk sementara itu KPI tidak bertindak secara tegas sehingga tugas KPI yang harusnya membantu masyarakat untuk mendapat tayangan yang baik seolah tidak pernah terjadi. Dari ungkapan yang disampaikan oleh MA, peneliti beranggapan bahwa MA memiliki kesan yang kurang baik terhadap KPI, hal itu dipersepsikan oleh MA melalui pengalaman dan pandangan yang berasal dari dirinya sendiri.

Begitu pun dengan AP yang memiliki pandangan dan persepsi bahwa sampai sekarang KPI sudah bekerja dengan baik hanya saja belum terlihat maksimal, hal itu dikarenakan tayangan-tayangan yang belum banyak diatasi secara baik oleh KPI, bahkan beberapa stasiun televisi justru seolah mempermainkan KPI dengan membuat kesalahan berulang-ulang. Hal tersebut diungkapkan AP melalui pengamatannya terhadap beberapa tayangan di televisi.

“Kalau saya melihat KPI ini kayak macan tapi macan ompong yang nggak punya gigi, karena apa? Karena KPI tidak bisa sampai melakukan proses. Oke, mungkin hanya bisa sampai ke tahap dimana misalnya ada lembaga penyiaran yang bermasalah, mereka hanya bisa laporkan itu ke polisi karena KPI bukan lembaga penegak hukum yang seperti KPI inginkan, yang bisa melakukan proses saat ada yang melanggar hukum termasuk melanggar undang-undang penyiaran. Jadi saya pikir yang kita lihat sekarang tidak maksimal, saya tidak bilang mereka tidak bekerja dengan bagus ya tapi tidak maksimal begitu karena ada keterbatasan yang ingin ditempuh. Ambil contoh saja, salah satu program siaran TV misalnya yang direkomendasi oleh KPI untuk dihentikan karena melanggar P3 SPS dan segala macam, ya program itu tetap ada tapi ganti nama, gitu kan, ya kayak kasusnya program Tukul Arwana yang talkshow Empat Mata itu yang akhirnya diberikan sempritan oleh KPI , apa namanya...em program itu tetap


(36)

bisa jalan lagi dengan nama yang beda dan konsep yang sama, semuanya sama hanya nama aja yang berganti, kalau saya pikir itu sama aja kayak menghina KPI yakan. Pelaku media penyiaran juga nggak ada sanksi sampai mereka harus kena sanksi pidana, begitu. Oke, kalau masalah perizinan itu mungkin ada sanksinya tapi kalau masalah siaran, masalah konten siaran itu tidak ada sanksi pidanya. Paling pun, paling banter yang bisa dilakukan KPI adalah merekomendasikan agar program itu dihentikan, tapi apakah efektif? Tidak.”

Hal tersebut dijelaskan AP, berdasarkan persepsi yang diterimanya, AP memaknakan sendiri apa yang telah diamatinya sebelumnya. Berbeda dengan MA dan AP, NFS justru memandang KPI dari perspektif yang berbeda. NFS mengungkapkan bahwa KPI tidak seperti pandangan orang-orang lainnya, menurutnya KPI sudah memiliki kinerja yang baik saja hanya saja memang belum maksimal dikarenakan peraturan yang diberikan oleh KPI belum begitu dipandang oleh praktisi penyiaran. Pandangannya terhadap citra KPI yang membaik itu terjadi belakangan, terutama sejak dilaksanakannya survei oleh KPI sehingga membuat penyiaran mendapat perubahan setelahnya.

“Menurut saya KPI itu sudah bagus, namun sayangnya masyarakatnya sendiri udah nggak percaya sama KPI apalagi yang sekarang kan masyarakat heboh sama urusan sensor menyensor padahal kan bukan tugas KPI untuk itu tapi ada badan sensornya sendiri. Tapi orang kebanyakan mikir itu kerja KPI, kalau lah program KPI itu diketahui oleh masyarakat sebenarnya KPI udah sangat baik tapi banyak orang yang belum sama pengertiannya tentang KPI itu sendiri. Ngomongin citra ya, akhir-akhir ini sih KPI sudah mulai baik kembali citranya, mereka sudah mulai menjalankan programnya secara baik, mereka juga sudah mulai peduli kan apalagi tahun lalu mereka juga melakukan survey yang informannya itu dari berbagai kalangan terutama masyarakat. Disitu KPI ingin melihat masyaraknya itu seperti apa sih dan programnya itu bagaimana. Dan itu saya nilai sudah cukup baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena pada tahun sebelumnya nggak kelihatan sih prestasinya KPI seperti apa. Mungkin mereka kasi teguran ke beberapa televisi yang bermasalah ya tapi masyarakat nggak ada yang tau ya, karena yang tau itu palingan orang-orang yang buka website KPI sementara yang buka websitenya itu nggak banyak. Dan dari beberapa kali survey yang KPI lakukan itu ada hasilnya itu, dikasi tau juga kok ke publik walaupun selera tonton masyarakat setelah itu belum berubah jauh. Padahal kan sebenernya hasil survey itu nunjukkan bahwa nggak semua tayangan-tayangan di televisi itu dimauin sama masyarakat lo misalnya kayak tayangan yang sehat ditonton apalagi sama anak-anak keknya sintetron anak jalanan dan kawan-kawannya itulah sebenarnya kan nggak bagus apalagi banyak


(37)

kekerasan lah terus ngajarkan anak-anak tentang romansa, yang nggak seharusnya mereka tau kan itu berhubungan sama psikologis mereka juga, tingkah laku mereka. Apalagi kan anak-anak dapat dengan mudah menyerap informasi yang mereka terima dari televisi. Memang iya sudah ada teguran sampe ada tayangan yang pindah dari mereka tayangnya pas prime time ke waktu yang sedikit anak-anaknya tapi ujung-ujungnya pindah lagi ke prime time-nya, mungkin lemahnya itu teguran KPI belum dipandang sama mereka.”

Informan selanjutnya adalah RR, ia mengungkapkan kegemasannya terhadap KPI selama beberapa waktu terakhir yang menurutnya kerap bermasalah dengan konten lokal serta tayangan yang tidak mengedukasi, begitu juga dengan pemilik media yang dianggap RR tidak mendengarkan teguran yang dilemparkan oleh KPI. Menurut RR Tayangan-tayangan negatif terus mengisi TV setiap hari sementara hanya ada beberapa TV yang menanyangkan siaran positif, itu pun pada waktu tertentu saja dan selebihnya juga bermasalah.

RR berpandangan bahwa ketidakberpihakan lembaga penyiaran terhadap konten-konten lokal membuatnya tambah gemas, dikarenakan jika pun tersedia konten lokal tetapi ditayangkan pada jam tengah malam sementara menurutnya KPI tidak memberi ketegasan terhadap persoalan yang satu ini, sehingga membuat orang-orang yang berada di daerah menjadi tayangan yang ada menjadi panutan dalam kehidupan, seperti penggunakan kata “gue-elo” di Jakarta yang juga diaplikasikan dalam kehidupan orang-orang Medan yang pada dasarnya menggunakan kata “aku-kau.”

“Satu kata buat KPI “gemes” hahaha. Iya gemes lihat KPI sebenarnya. Kalau lah saya dikasi kesempatan buat ngomong tentang citranya KPI dimata saya maka saya akan bilang KPI selalu bermasalah sama konten lokal, tayangan yang nggak mengedukasi, kesal sama kejengahan mereka juga. Karena gini kita sebagai mahasiswa terutama mahasiswa yang sudah memiliki ilmu tentang literasi media yang baik pasti saat melihat tayangan kayak Pesbukers bisa jadi kita ketawa karena lucu tapi sebenarnya kita sudah sadar kalau tayangan itu nggak baik. Tapi bagi anak-anak, mereka menganggap itu bukan sebagai hiburan tetapi sebagai inspirasi. Nah, itu yang membuat saya gemes, kesal sama KPI, kenapa ya karena yang kek gitu-gitu nggak segera dihentikan gitu ya, memang sih KPI selalu berpandangan bahwa “kalian suka nonton, makanya kami nggak bisa asal cabut buktinya kalian nonton, kalau kami cabut mungkin kalian marah” gitu ya, mungkin itu akan terjadi sama masyarakat-masyarakat menengah ke bawah ya, bisa jadi kalau dicabut sama KPI mereka ya marah, misalnya ya gitu. Pemilik media itu misalnya kena tegur KPI tapi mereka bakalan bilang “kami nggak


(38)

bisa apa-apa, kalau kami cabut mungkin penonton kami akan marah, pendapatan kami akan berkurang dan akan banyak yang diPHK” terus kek gitu pasti mereka bilang. Tapi ya itu tadi, harusnya KPI bisa tegas, kalaulah semua TV tidak diizinkan menayangkan siaran kek gitu, otomatis semua TV akan menayangkan pendidikan setidaknya tayangan-tayangan hal yang positif.”

Citra selalu diartikan berbeda-beda, ada yang memiliki persepsi awal baik namun belakangan terdapat alasan yang lain yang membuat pandangannya seketika berubah. Tapi tetap dengan persepsi yang sama meski pun terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati. Seperti hal-halnya FH yang pada mulanya ingin selalu berpikir dan berpersepsi positif terhadap KPI, baik terhadap citra maupun kinerjanya tetapi tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa kasus yang membuat FH memiliki nilai yang kurang baik, hal itu dikarenakan tayangan-tayangan di televisi yang terus-terusan dianggapnya kurang mendidik masyarakat.

“Sejauh ini saya terus berpikir positif saja terhadap KPI, karena seperti di websitenya mereka juga menyebutkan tayangan yang kena sanksi dan hukumannya apa, itu kan berarti mereka kerja dengan menontoni tayangan televisi sehingga tau pelanggarannya ini dan sesuai pasal yang mana. Tapi di KPI yang belum konsen adalah sanksi yang membikin efek jera, kalau misalnya lah televisi kayak yang saya baca kemarin misalnya tentang Ahmad Dhani yang membuat pelanggaran dan mendapat peringatan, jadi kalau besok buat pelanggaran lagi berarti peringatan lagi. Seolah tidak ada yang ditakuti begitu, jadi bekerja ya bekerja cukup baik cuman tidak semua anggota masyarakat paham ada KPI lo yang melakukan pengawasan terhadap penyiaran televisi dan belakangan sih kayaknya medianya melakukan sensor tapi kemudian sensornya mengganggu karena kan kayak di P3SPS hanya ada aturan tata norma tapi kalau misalnya bajunya rendah dikit langsung kena sensor, hal itu ya ntah medianya yang kebablasan mensensor atau KPI yang terlalu konsen sama hal yang satu itu.”

Lima informan sebelumnya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap KPI, begitu juga dengan informan FH yang memiliki penilaian sendiri, PS selaku dosen sekaligus praktisi penyiaran memiliki tanggapan yang berbeda, hal itu diungkapkannya disertai dengan contoh-contoh yang terjadi di masyarakat dan sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki selama ini. PS tidak secara langsung mengunkapkan bahwa KPI kurang tegas dikarenakan hal itu bukan sepenuhnya salah KPI tetapi ada hal-hal yang membuat KPI dinilai seperti itu oleh PS. Misalnya mengenai blocking time tayangan artis di televisi yang sudah


(39)

mendapatkan teguran dari KPI tetapi justru tidak ditanggapin dan malah diulang kembali.

“Secara operasional KPI itu bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa terlalu berharap kita kepada KPI karena contohnya masih banyak lembaga penyiaran yang menayangkan tayangan-tayangan bermasalah , menyiarakan hal-hal tidak berkualitas begitu tapi ketika ditegor ya lembaga penyiarannya bsia dibilang tidak mengindahkan misalnya tentang blocking time perkawinan artis secara live seperti Raffi-Nagita, Anang-Ashanti. Apalah manfaatnya buat masyarakat, pas Anang-Ashanti lah itu menegorlah KPI tapi bukan Anangnya yang ditegur tapi stasiun televisinya tapi setelah itu nggak sadar juga karena pas Raffi-Nagita itu dibuat lagi, kenapa lah ngnggak mau berubah? Apakah peraturannya kurang tegas atau bahkan KPI nya yang kurang tegas atau bagaimana nggak tau.”

4.2 Pembahasan

Setelah melakukan analisis melalui cara menguraikan hasil wawancara dengan cara merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari pola, maka sekarang peneliti akan membuat membuat hasil wawancara dengan pembahasan mengenai citra KPI menurut informan yang telah peneliti wawancarai pada bulan Maret hingga April lalu.

Peneliti melakukan penelitian terhadap enam orang informan yang masing memiliki pengetahuan dan pengalaman berbeda dengan KPI. Dari masing-masing informan, peneliti memperoleh data yang berbeda tetapi setelah disimpulkan hampir semua informan memiliki penilaian yang sama terhadap citra KPI.

Peneliti mengambil contoh pembahasan mengenai citra KPI melalui berita yang disiarkan di media daring RMOL.COM, pada penyampaian berita tersebut dinyatakan sebagai berikut:

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diminta untuk menjelaskan alasan perubahan sikap Komisi itu dalam merespon akuisisi stasiun televisi Indosiar. Persoalannya citra KPI saat ini dipertaruhkan. Demikian ditegaskan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Teguh Juwarno.

Perubahan sikap KPI selama in patut dipertanyakan dan harus menjelaskannya ke publik," kata Teguh Juwarno ketika dihubungi wartawan sesaat lalu (Jumat, 3/6).

Teguh Juwarno yang juga Wakil Sekjen DPP PAN ini menegaskan kalau dirinya meminta klarifikasi KPI terkait masalah tersebut. DPR mempertanyakan konsistensi KPI terkait akuisisi


(1)

18. Seluruh keluarga Sihombing dan Batubara dimana pun berada. Terima kasih segala kebaikan yang telah diberikan kepada peneliti.

19. Semua pihak yang tanpa peneliti sadari telah ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, peneliti ucapkan terima kasih.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, karenanya atas segala kerendahan hati peneliti menerima saran maupu kritik yang membangun untuk perbaikan skripisi ini. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2016


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah... 1

1.2. Fokus Masalah... 7

1.3. Tujuan Penelitian... 7

1.4. Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Paradigma Kajian... 8

2.2. Kerangka Teori... 9

2.2.1 Komunikasi... 10

2.2.2 Public Relations... 12

2.2.3 Citra... 18

2.2.4 Penyiaran... 28

2.3. Kerangka Pemikiran... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian... 31

3.2. Objek Penelitian... 32

3.3. Subjek Penelitian... 32

3.4. Unit Analisis... 32

3.5. Teknik Pengumpulan Data... 32

3.6. Teknik Analisis Data... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil... 36

4.1.1. Proses Penelitian... 36

4.1.2. Deskripsi Informan... 38


(3)

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN


(4)

DAFTAR GAMBAR

2.1. Proses Pembentukan Citra…... 22 2.2.Model Komunikasi dalam Public Relations... 24 2.3 Proses Pembentukan Citra Komisi Penyiaran Indonesia 30


(5)

DAFTAR TABEL

4.1.Profil Informan... 45 4.2 Citra yang Dihasilkan... 82


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara

2. Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Informan 3. Hasil Wawancara

5. Lembar Catatan Bimbingan Skripsi 6. Biodata Peneliti