kepada masyarakat. PS memandang KPI dari berbagai sisi, seperti layaknya ia memposisikan dirinya sebagai dosen Ilmu Komunikasi dan seorang praktisi
penyiaran, sehingga tidak heran ia terkadang berpihak pada KPI dan terkadang juga tidak berpihak. Tapi tetap saja, apa yang dikatakan PS bukan semata-mata
pendapatnya secara subjektif tetapi atas dasar kasus dan pengalaman yang dilihat maupun diterimanya.
“Kalau cerita kinerja ya begitulah, masih terus dilakukan oleh KPI, saya yakin orang-orang KPI ini pasti akan selalu berusaha membuah
penyiaran lebih baik lagi. Masalah hasil kan itu cerita terakhir ya, mungkin KPI ini kinerjanya kurang dalam hal sosialisasi, saya kemarin
itu ada baru baca di Analisa itu ada sebuah berita yang menyatakan bahwa laporan pengaduan masyarakat ke KPI itu sedikit dibandingkan
tahun lalu, artinya kan memang kurang sosialisasi komisoner KPI itu kepada masyarakat sebagaimana seharusnya ada lietrasi media
dimana masyarakat harus paham tentang media biar mereka paham mengenai tayangan berkualitas, harus melek terhadap media mana
yang sehat dan tidak sehat. Kan banyak tayangan berkualitas kayak Kick Andy, itu ya harus diteruskan tapi ada tayangan-tayangan yang
kayak Pesbukers, Dahsyat, dulu juga ada YKS, apalah manfaatnya itu ditonton, dulu YKS katanya ratingnya makanya mempengaruhi
pengiklan juga, itu kan jamnya pun jam yang prime time ya dimana banyak orang nonton. Nah, sinetron pun gitu buat apalah, seharusnya
jangan untuk kepentingan pengiklan dan yang punya media saja.”
Berdasarkan beragam pengalaman, status pendidikan, maupun pengamatan yang berbeda dari masing-masing informan memang mejadikan pendapat yang
berbeda-beda meski pun beberapa informan memiliki kesamaan pendapat. Pengetahuan dari ke-enam informan yang berbeda-beda pun menjadi pendukung
mengapa jawaban setiap pertanyaan berbeda-beda, ada yang menanggapi secara kritis yang disertai dengan contoh dan ada pula yang menjawab secara ringkas.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini meliputi pengalaman, keyakinan, informasi, kelakuan, bertindak mau pun berpersepsi sehingga peneliti juga
mengkaitkan hasil wawancara dengan hal-hal tersebut yang sudah juga diungkapkan informan pada sesi wawancara berlangsung.
4.1.3.2 Hukuman yang Diberikan KPI
Pandangan maupun kinerja KPI belum cukup untuk mengungkapkan bagaimana citra KPI di mata publik yang terbagi dalam tiga bagian dalam
penelitian ini, sehingga peneliti juga berusaha untuk menanyakan hal-hal lain berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh KPI menurut para informan
Universitas Sumatera Utara
seperti salah satunya adalah hukuman yang diberikan KPI apakah sudah memiliki efek jera atau belum. Seperti yang diungkapkan MA tersebut:
“Sampai sekarang hukuman yang dibuat KPI itu belum memiliki efek jera, mungkin bagi TV yang bandel nganggapnya gini
‘alah...semut-semut di pasirnya itu,’ paling pun kalau dapat surat dari KPI yaudah mereka mungkin biasa aja kan. Nah kalau hukuman,
biasanya itu yang kena ya hanya stasiunnya biasanya langsung ke program acaranya bukan pelaku di dalamnya langsung. Ya harusnya
itu pelakunya kena biar jadi catatan-catatan hitam. Kayak misalnya program Bukan Empat Mata, pucuknya kasus tersebut siapa? Ya
produser, jadi kalau misalnya dilanggar ya produsernya juga kena. Si produser maupun stasiun TV nya harus kena daftar blacklist, misalnya
si produser ini punya catatan hitam kemudian hal itu bisa menjadi pertimbangan bagi tempat bekerjanya yang lain untuk memakai dia.
Jadi masing-masing orang harus dibangun kesadarannya bahwa orang-orang di dalam TV harus bekerja untuk membangun tayangan
sehat.” MA selaku praktisi penyiaran mengalami langsung bagaimana stasiun televisi
tempatnya bekerja memberikan peringatan bagi pegawainya yang melakukan kesalahan agar tidak melakukan kesalahan lagi, keadaan tersebut membuat MA
sadar sehingga akhirnya melakukan hal-hal yang seharusnya saja demi tercapainya tujuan, hal itu lah yang dinamakan motif. Hal itu hanya lah analogi,
jika dihubungkan pada pemaparan di atas maka efek jera yang diberikan oleh KPI kepada stasiun televisi menurut MA tidak memiliki efek jera karena pelaku
penyiaran yang ada di dalamnya tidak mendapatkan imbasnya sehingga stasiun televisi berulang melakukan kesalahan yang serupa dan efek jeranya tidak ada.
Lain halnya dengan AP karena beranggapan bahwa efek jera yang tidak terjadi pada lembaga penyiaran dikarenakan peraturannya yang kurang tegas
sehingga masih banyak cela yang bisa dimasuki untuk tetap berkuasa. “KPI memang sudah bekerja, namun sayangnya segala hukuman
yang mereka berikan tidak memiliki efek jera karena kita tahu pemilik- pemilik modal dan pemilik media adalah orang-orang yang diakui,
yang memilki kekuasaan politik. Padahal itu kan nggak boleh. Yang lucunya di negara ini, semua peraturan bisa dicari celanya, harusnya
ada peraturan yang menegaskan bahwa seseorang tidak boleh memiliki saham lebih dari 51 dalam satu perusahaan apalagi media karena
media terutama TV dan radio kan pake frekuensi publik, walaupun si pemilik modal itu bersiaran di media itu tapi tetap saja frekuensi bukan
milik dia tapi milik publik, nah disinilah seharusnya masyarakat dapat memberikan sanggahan. Tapi kenyatannya lihat la, penanam modal itu
sengaja menanam modal sebanyak-banyaknya, kalau lah nama dia
Universitas Sumatera Utara
sudah ada dia bisa pake nama anaknya, nama istrinya, biar apa? Biar dia jadi penguasa, iya kan. Pada pratiknya ya semua milik dia dan dia
pulak yang mengontrol apalagi orang-orang itu memanfaatkan frekuensi publik untuk kepentingan propaganda politik, itu nggak
boleh. Kayak kuis kebangsaan, mars perindro yang 15 menit sekali diputar itu nggak boleh apalagi itu bukan lagi masa kampanye, kalau
pun lagi masa kampanye itu batas-batasnya. Setau saya ya, kampanye di media itu bolehnya cuma 7 hari dan itu terlaksana 2 minggu sebelum
masa pemilihan.” Begitu juga dengan NFS yang berpendapat bahwa peraturan yang ditetapkan
oleh KPI terlalu ringan, hal itu diungkapkan NFS berdasarkan keadaan penyiaran sekarang ini yang sering kali masih tetap bermasalah dan tidak ada efek jeranya.
“Hukuman-hukuman yang diberikan KPI itu belum memiliki efek jera kepada media-medianya ya karena terlalu ringan, balik lagi nih karena
kan media lebih memikirkan keuntungan dari iklan dan segala macem, media juga ngelihat yang masyarakat suka seperti apa bukan apa yang
masyarakat butuhkan karena masyarakat yang suka program itu pun nggak sadar kalau ternyata mereka nggak dapat manfaat apa-apa dari
program itu lo. Jadi, hukuman yang diberikan belum memiliki efek jera lah karena kan buktinya tayangan-tayangan yang kena tegur masih aja
siaran kok. “ Sanksi yang diberikan KPI pun sebenarnya sudah mengikuti aturan
yang mereka buat tapi kan aturan itu menurut saya perlu diperbaharui kan supaya aturan-aturan yang mereka buat bisa memiliki efek jera kan
kayak yang kita bahas tadi agar jera bagi media dan pihak penyiarannya itu. Ya, KPI perlu memberikan sanksi yang lebih tegas
supaya yang kemaren-kemaren nggak terulang lagi kita lihat aja pesbukers yang dari beberapa tahun lalu sudah kena surat peringatan
berkali-kali, baik media dan pengisi acaranya sudah berkali-kali lah tapi buktinya sampai sekarang masih, nah bahkan acara sejenis pun
masih ada sekarang.
Menurut NFS peraturan yang ada harus diperbaharui kembali agar menimbulkan efek jera tersendiri. Dalam proses wawancara NFS juga
mengungkapkan bahwa ia ingin sekali bergabung ke KPI agar bisa berkontribusi terhadap dunia penyiaran dengan harapan agar tidak ada lagi permasalahan yang
terjadi seperti sekarang ini. Pendapat yang serupa juga ditegaskan kembali oleh RR, ia menganggap
bahwa peraturan yang ada belum begitu kuat sehingga sering kali dilanggar oleh para lembaga penyiaran. Keadaan tersebut membuat RR bertanya-tanya dimana
KPI saat ini. “Hukuman yang dikasi sama pekerjanya medianya pun belum
memiliki efek jera, masih banyak soalnya tayangan yang nggak
Universitas Sumatera Utara
bermutu padahal sudah jelas-jelas ada peraturan dibuat KPI tapi jelas-jelas juga dilanggar dan itu saksinya ada 250 juta masyarakat
Indonesia yang nonton TV, tapi KPI dimana? Gitu sih.” FH yang juga mengaku kerap kerap menerima informasi karena mengakses
website KPI, ia mengatakan bahwa tidak perlu mengekspos beragam permasalahan dalam penyiaran di website KPI kalau pada akhirnya peringatan
yang dilontarkan KPI ke lembaga penyiaran tidak tahu keberadaannya, entah sampai atau tidak. Menurut FH eberapa kali hukuman yang diberikan pun tidak
menjadikan jera bagi lembaga penyiaran, hanya ada beberapa kasus yang membuat jera itu pun bukan hukuman yang berasal dari KPI tetapi hukuman yang
berasal dari masa. “Kalau menurut saya sama sekali belum ada efek jeranya, karena
masih terus dilakukan pelanggaran, efek jera akan terjadi jika kasus Benyamin Sueb misalnya yang waktu di Caisar di program YKS
dihipnotis dan ketika melihat anjing di Caisar menyebutkan bahwa itu Benyamin Sueb. Dan setelah itu mereka mendapat peringatan KPI
tapi peringatan itu hanya terjadi dua kali dan ternyata peringatan itu bukan berkaitan dengan Benyamin Sueb tetapi yang lain. Masa yang
marah semakin menjadi-jadi saat itu terjadi, maka setelah itu lah cerita itu dihentikan. Itu kan berarti pelaku media lebih takut sama
masa dari pada sama KPI. Jadi, nggak ada gunanya ekspos di web KPI kalau kemudian hanya kirim surat ke telvisinya, itu nggak ada
manfaatnya, kan nggak tau juga sampek atau enggak peringatannya jangan-jangan begitu sampek langsung dicampakkan ke tong sampah
dan selesai tidak ada efek jeranya begitu.”
Jika lima informan sebelumnya mengatakan bahwa hukuman yang diberikan oleh KPI belum memiliki efek jera, PS justru berpendapat lain. Ia mengatakan
bahwa hukuman yang diberikan KPI bukan tidak memiliki efek jera tapi belum efektif, hal tersebut diutarakannya berdasarkan pengalaman dan infromasi yang
diterimanya dengan bertanya langsung kepada salah satu rekannya yang bekerja di sebuah stasiun televisi. Ia juga meyakini hal tersebut karena juga pernah terjadi
pada stasiun televisi tempatnya bekerja. “Kalau saya ditanya begitu saya rasa sudah dilakukan secara
efektif tapi mungkin belum maksimal, saya juga beberapa kali pernah bertanya kepada orang TV nya katanya mereka memang ada yang tidak
ditegur walaupun sudah berbuat kesalahan. Dulu Metro TV pernah memberitakan tentang Tenggalek di Jawa Tengah sana tapi dilarang
oleh KPI lebih tepatnya bukan karena Tenggaleknya tapi memang tidak dikasi siaran headline news selama seminggu karena sebelumnya
wartawan Metro TV pernah menunjukkan gambar laki-laki dan perempuan yang seolah melakukan hubungan suami istri dan itu tayang
Universitas Sumatera Utara
pada jam 05.00 pagi, bagi kita yang di Medan memang itu masih subuh tapi bagi bagian timur kan itu sudah siang pasti kan sudah banyak
yang nonton TV sementara waktu itu gambarnya tidak diblur, itu lah nggak difilter sama editornya padahal itu pornografi. Dan saat itu KPI
menegur, nah begitu lah yang bagus dan seharusnya. Selama minggu nggak boleh buat headline news, ya nggak apa namanya hukuman
kan.” “Jadi ya bisa dibilang bukan belum ada efek jera tapi belum
efektif aja hukumannya. Kayak yang kasuk blocking time perkawinan artis, kenapa nggak sekalian aja malam pertamanya ditayangkan, itu
saya bilang sangkinkan keselnya lah saya, kan nggak efektif kan.”
PS sudah merasakan langsung hukuman yang diberikan oleh KPI, tetapi hukuman tersebut masih belum efektif menurut PS karena belum memiliki efek
jera yang begitu kuat. PS juga berpendapat bahwa hal tersebut harus diatur dengan peraturan yang lebih tegas lagi.
Berbicara mengenai citra berarti juga berbicara tentang sikap yang cenderung diperlihatkan oleh seseorang terhadap sesuatu dimana sikap bisa meliputi
kecenderungan bertindak, berpersepsi, dan berpikir mengenai suatu situasi atau nilai, dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah sikap untuk mengetahui citra
yang sebenarnya terdapat pada masing-masing informan.
4.1.3.3 Kepuasan Terhadap KPI dan Dampak Positif bagi Penyiaran