“Sejak Tahun 2009,tetapi kalau melihat beberapa petisi yang dibuat oleh masyarakat di change.org bisa dikatakan masyarakat cukup
sadar akan keberadaan KPI. Pada change.org masyarakat mengajukan beberapa petisi seperti soal tayangan “YKS” maupun
“Siaran live pernikahan Rafii Ahmad dan Nagita Slavina” menunjukkan peran serta masyarakat dalam pengawasan program
televisi”
Sama halnya dengan AP, PS juga memiliki pengetahuan yang sama tentang keberadaan KPI, yaitu tepat KPI ada di Indonesia. Begitu juga dengan
masyarakatnya yang sudah tahu tetapi kurang peduli akan keberadaan KPI itu sendiri.
“Sejak dulu, ketika KPI itu pertama kali ada. Saya tidak tahu betul apakah KPI sudah bekerja dengan baik dan akhirnya bisa membuat
masyarakat terjamin untuk dapat informasi yang baik tapi saya rasa KPI tidak tutup mata untuk hal yang satu ini, jadi kalau KPI dalam
hal ini diam aja itu yang salah, saya yakin mereka tidak akan diam. Mungkin juga masyarakat pun sadar ada KPI, tapi tidak begitu peduli
apalagi masyarakat kalangan bawah yang banyak hal lain harus dipikirkannya. Makanya Literasi media dan sosialiasi harus terus
dilakukan”
4.1.3.5 Citra KPI
Banyak yang mengartikan secara berbeda-beda mengenai citra KPI, hal itu didasari dari pengetahuan tentang KPI yang berbeda-beda, ada yang menganggap
negatif namun ada juga yang menganggap positif. Pengetahuan tentang KPI sangat penting untuk terciptanya citra yang baik pada KPI itu sendiri. Beberapa
informan dalam penelitian ini memiliki jawaban yang berbeda-beda, seperti MA yang menjelaskan demikian:
“Setau saya KPI itu ya lembaga independen, kalau tentang citra sebenarnya gini, semua lembaga kalau misalnya dia bener-bener
melakukan peraturan yang sudah diatur itu semua bakalan jalan tapi permasalahannya kan tidak dijalankan, gitu. Kalau misalnya mereka
bilang “banyak kerjaan kami, bla-bla-bla,” lah kan mereka memang harus bantu masyarakat, toh mereka juga didanai sama masyarakat
gitu kan, ya mau nggak mau ya sebenernya juga butuh dukungan juga ya dari pihak atas ya karena emang ketika media sudah menjadi
industri maka tekanannya akan makin berat begitu juga kerja KPI akan semakin berat jadi ya mereka memang butuh dukungan dari
masyarakat dan juga dari atas yaitu pemerintah. Misalnya ini KPI disamping kanannya ada pemerintah dan disamping kirinya ada
masyarakat, nah KPI butuh dukungan dari kanan dan kiri ini. Dari segi kewenangan KPI nya nih harus dikuatkan gitu, ya karena gini
kayak misalnya program Empat Mata yang menampilakan Sumanto makan kodok dan semacamnya, itu ditegur dan berhenti sebentar
Universitas Sumatera Utara
memang tapi kemudian keluar lagi tayangan lain. Hal itu menunjukkan bahwa selain memang stasiun televisinya bandel berarti
memang mereka yang mempermainkan KPI, ini kan berarti apa ya, emm kewenangan KPI itu tidak terlalu kuat di mata praktisi
penyiaran.”
Menurut MA, citra KPI itu belum begitu terlihat dikarenakan KPI belum begitu terbuka apalagi dengan praktisi penyiaran dan masyarakat. Banyak usaha
yang bisa KPI buat untuk mendekatkan diri tapi kenyataannya keterbukaannya belum terlihat nyata. Lain halnya lagi dengan banyaknya televisi yang bandel dan
kelihatannya membuat KPI seolah dipermainkan oleh stasiun televisi tersebut. MA mengatakan kewenangan yang belum kuat pada KPI adalah alasan
mengapa sampai saat ini banyak praktisi penyiaran yang masih terus-terusan membuat wajah penyiaran menjadi semakin buruk sementara itu KPI tidak
bertindak secara tegas sehingga tugas KPI yang harusnya membantu masyarakat untuk mendapat tayangan yang baik seolah tidak pernah terjadi. Dari ungkapan
yang disampaikan oleh MA, peneliti beranggapan bahwa MA memiliki kesan yang kurang baik terhadap KPI, hal itu dipersepsikan oleh MA melalui
pengalaman dan pandangan yang berasal dari dirinya sendiri. Begitu pun dengan AP yang memiliki pandangan dan persepsi bahwa sampai
sekarang KPI sudah bekerja dengan baik hanya saja belum terlihat maksimal, hal itu dikarenakan tayangan-tayangan yang belum banyak diatasi secara baik oleh
KPI, bahkan beberapa stasiun televisi justru seolah mempermainkan KPI dengan membuat kesalahan berulang-ulang. Hal tersebut diungkapkan AP melalui
pengamatannya terhadap beberapa tayangan di televisi. “Kalau saya melihat KPI ini kayak macan tapi macan ompong
yang nggak punya gigi, karena apa? Karena KPI tidak bisa sampai melakukan proses. Oke, mungkin hanya bisa sampai ke tahap dimana
misalnya ada lembaga penyiaran yang bermasalah, mereka hanya bisa laporkan itu ke polisi karena KPI bukan lembaga penegak hukum yang
seperti KPI inginkan, yang bisa melakukan proses saat ada yang melanggar hukum termasuk melanggar undang-undang penyiaran. Jadi
saya pikir yang kita lihat sekarang tidak maksimal, saya tidak bilang mereka tidak bekerja dengan bagus ya tapi tidak maksimal begitu
karena ada keterbatasan yang ingin ditempuh. Ambil contoh saja, salah satu program siaran TV misalnya yang direkomendasi oleh KPI
untuk dihentikan karena melanggar P3 SPS dan segala macam, ya program itu tetap ada tapi ganti nama, gitu kan, ya kayak kasusnya
program Tukul Arwana yang talkshow Empat Mata itu yang akhirnya diberikan sempritan oleh KPI , apa namanya...em program itu tetap
Universitas Sumatera Utara
bisa jalan lagi dengan nama yang beda dan konsep yang sama, semuanya sama hanya nama aja yang berganti, kalau saya pikir itu
sama aja kayak menghina KPI yakan. Pelaku media penyiaran juga nggak ada sanksi sampai mereka harus kena sanksi pidana, begitu.
Oke, kalau masalah perizinan itu mungkin ada sanksinya tapi kalau masalah siaran, masalah konten siaran itu tidak ada sanksi pidanya.
Paling pun, paling banter yang bisa dilakukan KPI adalah merekomendasikan agar program itu dihentikan, tapi apakah efektif?
Tidak.”
Hal tersebut dijelaskan AP, berdasarkan persepsi yang diterimanya, AP memaknakan sendiri apa yang telah diamatinya sebelumnya. Berbeda dengan MA
dan AP, NFS justru memandang KPI dari perspektif yang berbeda. NFS mengungkapkan bahwa KPI tidak seperti pandangan orang-orang lainnya,
menurutnya KPI sudah memiliki kinerja yang baik saja hanya saja memang belum maksimal dikarenakan peraturan yang diberikan oleh KPI belum begitu dipandang
oleh praktisi penyiaran. Pandangannya terhadap citra KPI yang membaik itu terjadi belakangan, terutama sejak dilaksanakannya survei oleh KPI sehingga
membuat penyiaran mendapat perubahan setelahnya. “Menurut saya KPI itu sudah bagus, namun sayangnya
masyarakatnya sendiri udah nggak percaya sama KPI apalagi yang sekarang kan masyarakat heboh sama urusan sensor menyensor
padahal kan bukan tugas KPI untuk itu tapi ada badan sensornya sendiri. Tapi orang kebanyakan mikir itu kerja KPI, kalau lah
program KPI itu diketahui oleh masyarakat sebenarnya KPI udah sangat baik tapi banyak orang yang belum sama pengertiannya
tentang KPI itu sendiri. Ngomongin citra ya, akhir-akhir ini sih KPI sudah mulai baik kembali citranya, mereka sudah mulai menjalankan
programnya secara baik, mereka juga sudah mulai peduli kan apalagi tahun lalu mereka juga melakukan survey yang informannya itu dari
berbagai kalangan terutama masyarakat. Disitu KPI ingin melihat masyaraknya itu seperti apa sih dan programnya itu bagaimana. Dan
itu saya nilai sudah cukup baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena pada tahun sebelumnya nggak kelihatan sih
prestasinya KPI seperti apa. Mungkin mereka kasi teguran ke beberapa televisi yang bermasalah ya tapi masyarakat nggak ada
yang tau ya, karena yang tau itu palingan orang-orang yang buka website KPI sementara yang buka websitenya itu nggak banyak. Dan
dari beberapa kali survey yang KPI lakukan itu ada hasilnya itu, dikasi tau juga kok ke publik walaupun selera tonton masyarakat
setelah itu belum berubah jauh. Padahal kan sebenernya hasil survey itu nunjukkan bahwa nggak semua tayangan-tayangan di televisi itu
dimauin sama masyarakat lo misalnya kayak tayangan yang sehat ditonton apalagi sama anak-anak keknya sintetron anak jalanan dan
kawan-kawannya itulah sebenarnya kan nggak bagus apalagi banyak
Universitas Sumatera Utara
kekerasan lah terus ngajarkan anak-anak tentang romansa, yang nggak seharusnya mereka tau kan itu berhubungan sama psikologis
mereka juga, tingkah laku mereka. Apalagi kan anak-anak dapat dengan mudah menyerap informasi yang mereka terima dari televisi.
Memang iya sudah ada teguran sampe ada tayangan yang pindah dari mereka tayangnya pas prime time ke waktu yang sedikit anak-
anaknya tapi ujung-ujungnya pindah lagi ke prime time-nya, mungkin lemahnya itu teguran KPI belum dipandang sama mereka.”
Informan selanjutnya adalah RR, ia mengungkapkan kegemasannya terhadap KPI selama beberapa waktu terakhir yang menurutnya kerap bermasalah dengan
konten lokal serta tayangan yang tidak mengedukasi, begitu juga dengan pemilik media yang dianggap RR tidak mendengarkan teguran yang dilemparkan oleh
KPI. Menurut RR Tayangan-tayangan negatif terus mengisi TV setiap hari sementara hanya ada beberapa TV yang menanyangkan siaran positif, itu pun
pada waktu tertentu saja dan selebihnya juga bermasalah. RR berpandangan bahwa ketidakberpihakan lembaga penyiaran terhadap
konten-konten lokal membuatnya tambah gemas, dikarenakan jika pun tersedia konten lokal tetapi ditayangkan pada jam tengah malam sementara menurutnya
KPI tidak memberi ketegasan terhadap persoalan yang satu ini, sehingga membuat orang-orang yang berada di daerah menjadi tayangan yang ada menjadi panutan
dalam kehidupan, seperti penggunakan kata “gue-elo” di Jakarta yang juga diaplikasikan dalam kehidupan orang-orang Medan yang pada dasarnya
menggunakan kata “aku-kau.” “Satu kata buat KPI “gemes” hahaha. Iya gemes lihat KPI
sebenarnya. Kalau lah saya dikasi kesempatan buat ngomong tentang citranya KPI dimata saya maka saya akan bilang KPI selalu
bermasalah sama konten lokal, tayangan yang nggak mengedukasi, kesal sama kejengahan mereka juga. Karena gini kita sebagai
mahasiswa terutama mahasiswa yang sudah memiliki ilmu tentang literasi media yang baik pasti saat melihat tayangan kayak Pesbukers
bisa jadi kita ketawa karena lucu tapi sebenarnya kita sudah sadar kalau tayangan itu nggak baik. Tapi bagi anak-anak, mereka
menganggap itu bukan sebagai hiburan tetapi sebagai inspirasi. Nah, itu yang membuat saya gemes, kesal sama KPI, kenapa ya karena
yang kek gitu-gitu nggak segera dihentikan gitu ya, memang sih KPI selalu berpandangan bahwa “kalian suka nonton, makanya kami
nggak bisa asal cabut buktinya kalian nonton, kalau kami cabut mungkin kalian marah” gitu ya, mungkin itu akan terjadi sama
masyarakat-masyarakat menengah ke bawah ya, bisa jadi kalau dicabut sama KPI mereka ya marah, misalnya ya gitu. Pemilik media
itu misalnya kena tegur KPI tapi mereka bakalan bilang “kami nggak
Universitas Sumatera Utara
bisa apa-apa, kalau kami cabut mungkin penonton kami akan marah, pendapatan kami akan berkurang dan akan banyak yang diPHK”
terus kek gitu pasti mereka bilang. Tapi ya itu tadi, harusnya KPI bisa tegas, kalaulah semua TV tidak diizinkan menayangkan siaran kek
gitu, otomatis semua TV akan menayangkan pendidikan setidaknya tayangan-tayangan hal yang positif.”
Citra selalu diartikan berbeda-beda, ada yang memiliki persepsi awal baik namun belakangan terdapat alasan yang lain yang membuat pandangannya
seketika berubah. Tapi tetap dengan persepsi yang sama meski pun terdapat hal- hal yang kurang berkenan di hati. Seperti halnya FH yang pada mulanya ingin
selalu berpikir dan berpersepsi positif terhadap KPI, baik terhadap citra maupun kinerjanya tetapi tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa kasus yang membuat
FH memiliki nilai yang kurang baik, hal itu dikarenakan tayangan-tayangan di televisi yang terus-terusan dianggapnya kurang mendidik masyarakat.
“Sejauh ini saya terus berpikir positif saja terhadap KPI, karena seperti di websitenya mereka juga menyebutkan tayangan yang kena
sanksi dan hukumannya apa, itu kan berarti mereka kerja dengan menontoni tayangan televisi sehingga tau pelanggarannya ini dan
sesuai pasal yang mana. Tapi di KPI yang belum konsen adalah sanksi yang membikin efek jera, kalau misalnya lah televisi kayak
yang saya baca kemarin misalnya tentang Ahmad Dhani yang membuat pelanggaran dan mendapat peringatan, jadi kalau besok
buat pelanggaran lagi berarti peringatan lagi. Seolah tidak ada yang ditakuti begitu, jadi bekerja ya bekerja cukup baik cuman tidak semua
anggota masyarakat paham ada KPI lo yang melakukan pengawasan terhadap penyiaran televisi dan belakangan sih kayaknya medianya
melakukan sensor tapi kemudian sensornya mengganggu karena kan kayak di P3SPS hanya ada aturan tata norma tapi kalau misalnya
bajunya rendah dikit langsung kena sensor, hal itu ya ntah medianya yang kebablasan mensensor atau KPI yang terlalu konsen sama hal
yang satu itu.”
Lima informan sebelumnya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap KPI, begitu juga dengan informan FH yang memiliki penilaian sendiri, PS selaku
dosen sekaligus praktisi penyiaran memiliki tanggapan yang berbeda, hal itu diungkapkannya disertai dengan contoh-contoh yang terjadi di masyarakat dan
sesuai dengan pengetahuan yang ia miliki selama ini. PS tidak secara langsung mengunkapkan bahwa KPI kurang tegas dikarenakan hal itu bukan sepenuhnya
salah KPI tetapi ada hal-hal yang membuat KPI dinilai seperti itu oleh PS. Misalnya mengenai blocking time tayangan artis di televisi yang sudah
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan teguran dari KPI tetapi justru tidak ditanggapin dan malah diulang kembali.
“Secara operasional KPI itu bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa terlalu berharap kita kepada KPI karena contohnya masih banyak
lembaga penyiaran yang menayangkan tayangan-tayangan bermasalah , menyiarakan hal-hal tidak berkualitas begitu tapi ketika
ditegor ya lembaga penyiarannya bsia dibilang tidak mengindahkan misalnya tentang blocking time perkawinan artis secara live seperti
Raffi-Nagita, Anang-Ashanti. Apalah manfaatnya buat masyarakat, pas Anang-Ashanti lah itu menegorlah KPI tapi bukan Anangnya
yang ditegur tapi stasiun televisinya tapi setelah itu nggak sadar juga karena pas Raffi-Nagita itu dibuat lagi, kenapa lah ngnggak mau
berubah? Apakah peraturannya kurang tegas atau bahkan KPI nya yang kurang tegas atau bagaimana nggak tau.”
4.2 Pembahasan