Kesadaran Akan Keberadaan KPI

menegur stasiun tempatnya bekerja meski pun hal itu jelas-jelas salah.Walau pun demikian PS tetap mengakui bahwa terdapat dampak baik dari keberadaan KPI terhadap penyiaran walau pun tidak banyak.

4.1.3.4 Kesadaran Akan Keberadaan KPI

Pada hakikatnya, banyak yang belum menyadari akan keberadaan KPI, terutama bagi masyarakat kalangan bawah yang lebih sering menjadi korban tayangan televisi, yang tidak dapat memfilter tayangan sehat dan tidak sehat serta tayangan seperti apa yang seharusnya mereka tonton. Kebanyakan dari masyarakat kalangan bawah yang tidak mengenyam pendidikan tinggi sudah tentu tidak paham akan penyiaran seperti apa yang sepatutnya diterima, banyak di antaranya yang mengambil pelajaran dari tayangan tidak sehat tersebut dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga televisi dengan bermacam-macam tayangannya diserap begitu saja tanpa memfilter terlebih dahulu. Masyarakat kebanyakan tidak tahu mengapa mereka harus memfilter tayangan tersebut, masyarakat beranggapan bahwa tayangan yang telah disiarkan di televisi tentu sudah mendapat izin karena tidak sembarang program siaran yang dapat ditayangkan di televisi. Padahal pada kenyataannya tayangan-tayangan tersebut banyak yang juga ditegur oleh KPI karena melanggar norma dan aturan yang berlaku, tetapi masyarakat banyak yang tidak memahami itu. Sinteron, gosip, maupun talkshow cenderung menjadi tontonan masyarakat, jarang di antara mereka yang suka menonton tayangan berita. Oleh karena itu setiap tayangan yang mendapatkan teguran oleh KPI tidak disadari oleh mereka, jika pun ada kebanyakan dari masyarakat tersebut bahkan tidak menyadari peran KPI di dalamnya. Hal itu juga terjadi karena penyiaran tidak menjadi isu utama dalam kehidupan mereka, yang masyarakat tahu bahwa tontonan adalah hiburan bagi mereka yang ingin beristirahat atau pun yang ingin duduk santai bersama keluarga. KPI pada dasarnya kurang mensosialisasikan keberadaannya kepada masyarakat sehingga banyak yang tidak paham akan fungsi dan kewajiban KPI terhadap dunia penyiaran tersebut. Universitas Sumatera Utara Beberapa informan pun beranggapan demikian, ada yang sudah sejak lama sadar akan KPI, ada juga baru beberapa Tahun terakhir, tetapi juga terdapat ungkapan yang menyadari bahwa masyarakat sadar KPI, hal itu terbukti dari pemaparan informan saat peneliti menanyakan hal-hal yang berkaitan. Seperti penuturan MA berikut: Sebenarnya saya sendiri itu mulai ngikutin KPI ya karena dulunya kuliah di Ilmu Komunikasi, dulu itu isu penyiaran tidak menjadi isu utama dalam diri saya lebih tepatnya bukanlah isu yang saya cari karena dulu lebih sukanya sama isu tentang perempuan, kekerasan dan segala macamnya. Dan kemudian setelah di Ilmu Komunikasi jadi tahu, wah ternyata televisi bisa menjadi medium melakukan kekerasan apalagi terhadap perempuan terutama dari sinteron, kan kita lihat kekerasan dilegalkan pada perempuan hingga akhirnya itu menjadi isu menarik dalam hidup saya. Nah setelah belajar Ilmu Komunikasi lah jadinya belajar tentang media terus belajar tentang KPI, rupanya disitu sadar ada ya komisinya tapi kok masalah di televisi nggak selesai-selesai, gitu. MA sendiri baru menyadari KPI sejak ia masuk kuliah di Ilmu Komunikasi, menurut MA hingga sekarang tentu banyak yang belum sadar akan keberadaan KPI, karena ia sendiri mengaku bahwa kalau tidak menjadi anak Ilmu Komunikasi mungkin ia tidak secepat itu menyadari keberadaan KPI. Lantas bagaimana dengan mahasiswa lain? Atau bahkan bagaimana dengan masyarakat lain yang bahkan tidak mengenyam pendidikan, darimana mereka sadar bahwa ada KPI yang bertugas mengatur penyiaran di Indonesia. Kemudian MA berpendapat demikian: “Kesadaran itu yang perlu dibangun, kesadaran bahwa masyarakat butuh tayangan sehat dan kenapa masyarakat butuh tayangan sehat itu.Tapi kenyataannya kesadaran terhadap keberadaan KPI itu belum ada di dalam diri masyarakat, mereka belum sadar nih kalau ada KPI yang ngurusin penyiaran di Indonesia supaya bagus. Masyarakat banyak yang belum sadar karena masyarakat belum tau, banyak yang menjadi isu utama dalam kehidupan mereka. Nah, isu apa itu, misalnya isu ekonomi, besok makan apa, besok naik apa, besok kira-kira hujan apa enggak dan hal-hal sehari-hari gitu. Sementara kan ee..persoalan besok makan apa, susu anak besok kebelik nggak, besok anaknya bisa sekolah nggak, itu adalah hal-hal yang serius dan masih menjadi perhatian utama mereka.” “Hal itu membuat penyiaran tidak menjadi isu utama dalam kehidupan mereka, sementara TV itu ditonton tiap hari, informasi sampahnya masuk tiap hari siang sampai malam, pengaruh TV ini kan tidak linear ya, jika hari ini kita nonton kekerasan maka tidak Universitas Sumatera Utara hari ini juga kita berbuat kekerasan tetapi pikiran tersebut masuk ke otak kita kemudian beradaptasi dan lama-lama kita sudah terbiasa melihat kekerasan dan macem-macemnya yang ada di TV itu. Dan lama kelamaan kita akan mengaplikasikannya pada orang lain gitu, jadi itu masuk secara tidak sadar kan, jadi kena teori kultivasi walaupun di beberapa orang itu tidak terjadi. Tapi bagi anak-anak yang belum bisa memfilter itu bagaimana, kek misalnya lah sinetron harimau-harimau itu, jadi sodara saya ada masih anak-anak..waktu ketemu di arisan saya lihat dia mempraktikkan gaya harimau dan suara-suara harimau gitu, jadi dia merasa saat dia sudah bisa meniru suara harimau maka dia sudah keren. Nah jadi gitu, bagaimana kita menyadarkan kepada masyarakat, bukan kita saja tetapi juga KPI bahwa kita semua butuh tayangan sehat lo buat kita dan buat anak- anak kita nanti supaya mereka juga berpikirnya bener gitu sih. Lain halnya dengan AP yang sudah menyadari KPI semenjak KPI itu ada di Indonesia. AP memang lebih dahulu tahu akan KPI sehingga ia pun lebih dahulu sadar akan keberadaan KPI dan perannya bagi penyiaran di Indonesia. Tidak heran jika pemaparan AP selalu disertai dengan contoh yang konkrit yang sudah ia dapatkan melalui pengetahuan maupun pengalaman sebelumnya. “Saya mulai melek KPI ya mulai dari KPI itu ada, KPI pusat lah ya lebih tepatnya hingga akhirnya muncul KPI-KPI yang di daerah, namanya KPID. Kalau dibilang sejauh mana mengenal ya cukup taulah. Setau saya KPI itu ya lembaga pemantauan penyiaran supaya lembaga-lembaga penyiaran itu kayak TV dan radio berpedoman pada P3 SPS, artinya ee...memang KPI tidak sampai melakukan sensorship seperti itu seperti orde baru tetapi mereka sifatnya memantau dan ini salah satu yang harus dimiliki lembaga penyiaran kan harus ada rekomendasi dari komisi penyiaran setempat gitu, artinya kalau dulu mungkin satu stasiun televisi atau radio hanya butuh izin dari balai monitoring, balai monitoring itu kan berada di bawah Kominfo, apa Kominfo tingkat provinsi tapi kan sekarang harus ada juga Izin Prinsip Penyiaran atau IPP.” Menurut AP, mungkin ia lebih dahulu tahu akan keberadaan KPI tapi sebenarnya jika melihat ke luar khususnya masyarakat kalangan bawah, maka tidak sedikit yang belum sadar akan keberadaan KPI tersebut. Masyarakat belum melek media, menurut AP masyarakat sekarang ini belum mampu memfilter tayangan bagaimana yang seharusnya ditonton. “Kalau dari segi luar KPI itu belum berperan maksimal untuk bagaimana mengedukasi masyarakat gitu ya untuk bisa, kan ada tindakan edukasi dan reperentif namanya yang kepada masyarakat harus tau bagaimana melihat dan menonton tayangan yang baik. Masyarakat pada nggak sadar nih ada KPI, sosialisasinya mana? Itu yang jarang dilakukan, harusnya intensitasnya harus lebih sering Universitas Sumatera Utara begitu sehingga kita tidak lagi dihadapkan dengan masyarakat yang semua-semuanya ditonton dan diserap dari pagi nonton film india sampek malem, enggak lagi melihat acara gosip show yang nggak penting begitu tapi tetap aja masih terjadi seperti itu. Artinya apa, kalau dibilang banyak yang suka kemudian ratingnya banyak ya sorry saya harus bilang kalau masyarakat kita belum melek media, masih gampang dibodohin harusnya menjadi tugasnya KPI juga untuk memberikan pembelajaran dan informasi kepada masyarakat. Tapi kenyataannya, masyarakat itu nggak sadar kalau ada KPI yang ngatur tentang penyiaran ini.” Sama halnya dengan MA, nyatanya NFS juga sadar akan keberadaan KPI setelah masuk ke Ilmu Komunikasi. Sebelumnya NFS memang sudah mendengar KPI dari berita yang ia dapatkan di media tapi pada saat itu ia tidak begitu mengerti pada KPI beserta tugas-tugasnya, itu artinya keberadaan KPI lebih disadari oleh NFS karena berkaitan dengan ilmu yang dipelajarinya di perguruan tinggi. Kenal KPI udah lama sih, taunya itu dari berita, cuma lebih kenalnya itu pas masuk kuliah karena jurusan sendiri kan Ilmu Komunikasi apalagi konsentrasi saya kan jurnalistik, disitu saya banyak belajar tentang televisi dan KPI juga. Kalau secara umumnya saya kenal KPI itu ya sebuah lembaga independen yang dibiayai oleh APBN ya, dan mereka orang-orang yang di dalam KPI itu bertugas mengawasi penyiaran yang ada di Indonesia. Kalau secara khususnya lagi KPI memiliki andil besar untuk mengawasi penyiaran yang sudah melenceng dari aturan yang ada, kode etik yang ada gitu juga sama undang-undang yang ada. Seperti yang kita ketahui ada beberapa tingkatan hukuman yang diberikan KPI hingga akhirnya KPI bisa memberhentikan program siaran tersebut. Menurut NFS, sosialisasi yang diberikan KPI kepada masyarakat masih kurang, karena banyak yang tidak menyadari keberadaan KPI itu sendiri. Hal itu menyebabkan masyarakat tidak akan bertindak meski mereka mendapatkan tayangan yang tidak sehat di televisi. “Masalah penyiaran yang sekarang, khususnya televisi ya KPI harus mendekati keduanya baik masyarakat maupun medianya. Untuk masyarakat apa ya, kayaknya KPI perlu memberikan pemahan literasi media kepada masyarakat-masyarakat bawah supaya mereka sadar nih kalau ada KPI lo yang ngurusin penyiaran dan mereka juga bisa tau yang harus tonton itu seperti apa bukan hanya tayangan yang mau mereka tonton saja tetapi mereka harus tau tontonan yang bermanfaat buat mereka, buat anak-anak mereka kayak tayangan pendidikan. Apalagi masyarakat bawah juga harus lebih realistis, nggak harus liatin artis-artis nggak penting yang ntah ngapain aja dan nggak ada hubungannya dengan mereka. Tapi keknya memang Universitas Sumatera Utara masih banyak sih yang belum tau ada KPI, paling yang tau itu ya cuma yang sering nonton berita aja kali ya. Saya sendiri aja sadarnya ketika masuk Ilmu Komunikasi, kalau nggak gitu mungkin sadarnya belakangan, makanya KPI harus lebih sering sosialisasi ke masyarakatnya.” Sama halnya dengan MA dan NFS, ternyata RR juga mengaku bahwa sejak masuk di Ilmu Komunikasi lah ia sadar bahwa ada KPI yang mengatur khusus mengenai penyiaran. RR berpikir bahwa semua media baik cetak, elektronik maupun siar diatur oleh komisi yang sama, namun akhirnya RR benar-benar sadar dan tertarik pada isu penyiaran dan KPI sejak berada di Ilmu Komunikasi USU. “Mulai kenal KPI sejak di Komunikasi keknya, ngehnya ada komisi khusus yang mengatur penyiaran. Media kan ada cetak, ada elektronik ada penyiaran, jadi sadarnya ada komisi yang menangani bidang penyiaran itu ya pas di Komunikasi sih, watu pertama-tama masuk kuliah lah.” RR bercerita bahwa menurutnya banyak yang masih belum mengerti akan literasi media dan keberadaan KPI sehingga kebanyakan dari masyarakat khususnya kalangan bawah tidak sadar bahwa selama ini sudah dibodoh-bodohi oleh tayangan di televisi. Bahkan banyak masyarakat yang tidak paham bahwa jika ada tayangan yang tidak sehat harusnya diadukan ke KPI, tapi mereka justru menerima informasi dari tayangan-tayangan tersebut dan menjadikannya inspirasi dalam kehidupan. “Mungkin kita dari kalangan mahasiswa sadar ada KPI, tapi enggak sama orang-orang diluaran sana, apa kabar gitu ya, cemana nasib orang-orang yang nggak ngerti sama literasi media? Ya mereka dibodoh-bodohi sama tayangan TV, kalau radio okelah nggak begitu berpengaruh kan. Kayak tayangan reportese investigasilah, orang yang paham akan bilang “oh kek gitu ya, nanti aku kalau beli gorengan kek gini lah, bukan kek gitu.” Tapi bagaimana orang yang tidak mengerti, mereka justru menjadikan itu sebagai inspirasi terutama bagi ekonomi menengah ke bawah, mereka pasti mikir, “oke, berarti aku bisa goreng pakai cara licik kayak gini,” ya gitu kan ya jadi inspirasi. Yah itu tadi, masyarakatnya pun belum sadar ada KPI, cemana mereka mau belajar tentang literasi medianya. Mungkin yang paham ya cuma kita-kita aja yang mahasiswa.” Berbeda dengan informan lain, FH justru memang baru benar-benar menyadari keberadaan KPI sejak beberapa tahun terbentuknya KPI. Perannya sebagai akademisi lantas tak membuatnya begitu menyadari keberadaan KPI hal itu dinyatakan singkat oleh FH sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara “Sejak Tahun 2009,tetapi kalau melihat beberapa petisi yang dibuat oleh masyarakat di change.org bisa dikatakan masyarakat cukup sadar akan keberadaan KPI. Pada change.org masyarakat mengajukan beberapa petisi seperti soal tayangan “YKS” maupun “Siaran live pernikahan Rafii Ahmad dan Nagita Slavina” menunjukkan peran serta masyarakat dalam pengawasan program televisi” Sama halnya dengan AP, PS juga memiliki pengetahuan yang sama tentang keberadaan KPI, yaitu tepat KPI ada di Indonesia. Begitu juga dengan masyarakatnya yang sudah tahu tetapi kurang peduli akan keberadaan KPI itu sendiri. “Sejak dulu, ketika KPI itu pertama kali ada. Saya tidak tahu betul apakah KPI sudah bekerja dengan baik dan akhirnya bisa membuat masyarakat terjamin untuk dapat informasi yang baik tapi saya rasa KPI tidak tutup mata untuk hal yang satu ini, jadi kalau KPI dalam hal ini diam aja itu yang salah, saya yakin mereka tidak akan diam. Mungkin juga masyarakat pun sadar ada KPI, tapi tidak begitu peduli apalagi masyarakat kalangan bawah yang banyak hal lain harus dipikirkannya. Makanya Literasi media dan sosialiasi harus terus dilakukan”

4.1.3.5 Citra KPI