Latar Belakang Model Dampak Pencemaran Untul Penyusunan Kebijakan Pengendalian DioksinFuran( Studi Kasus Industri Logam Di Kawasan Cilegon)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi dan industri yang sangat pesat dewasa ini membawa dampak baik positif atau negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positif diharapkan dapat menaikkan kesejahteraan manusia, namun dampak negatif dapat menurunkan kualitas hidup manusia. Selain itu, dampak negatif menyebabkan ketidakserasian dan keseimbangan lingkungan. Perkembangan teknologi dan industri telah meberikan peran yang berarti bagi pelaksanaan pembangunan. Peningkatan populasi dalam banyak hal juga mendorong dilakukannya industrialisasi. Sebagai konsekuensi, jumlah bahan baku dan buangan industri semakin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini berdampak pada meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik yang terjadi di udara, tanah ataupun air. Jenis pencemar yang berasal dari senyawa kimia, ada yang bersifat relatif tahan terhadap degradasi secara fisik atau metabolik, yang disebut senyawa kimia yang persisten. Salah satu senyawa persisten ini adalah dioksin dan furan yang dikeluarkan sebagai hasil samping industri, pembakaran ataupun sumber lainnya. Dioksin dan furan adalah 2 senyawa yang berbeda, tetapi mempunyai sifat fisik ataupun kimia yang hampir sama. Pencemaran akibat senyawa tersebut memberikan dampak untuk jangka panjang maupun jangka pendek pada kesehatan mahluk hidup ataupun lingkungan. Lebih luas akibat pencemaran senyawa tersebut adalah kerugian sosial dan ekonomi. Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberi perhatian khusus terhadap bahaya pencemaran dioksinfuran. Hal ini terlihat dari tidak adanya perangkat kebijakan ataupun peraturan tentang tingkat pencemaran tersebut. Negara-negara seperti Amerika, Jepang, dan Eropa sudah lama menyadari akan bahaya dioksinfuran yang termasuk golongan POP’s Persistent Organic Pollutants pada kesehatan manusia dan lingkungan. Kepedulian ini ditandai dengan penyelenggaraan kesepakatan pada Konvensi POP’s di Stockholm pada Mei 2001, dimana Indonesia juga turut ambil bagian pada konvensi tersebut. Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran organik persisten. Salah satu butir kesepakatan yang dihasilkan adalah ketentuan untuk menurunkan emisi dioksinfuran dan sebagai action plan adalah best available techniques BAT dan best emvironmental practices BEP Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants 2001. Untuk itu, maka pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan perangkat kebijakan dan peraturan dalam pengendalian pencemaran dioksinfuran. Sehubungan dengan POP’s, sebenarnya Indonesia telah mempunyai PP No. 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 Bahan Beracun dan Berbahaya serta PP No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, tetapi kebijakan tersebut belum memasukkan parameter dioksinfuran. Dioksinfuran adalah nama generik untuk mendeskripsikan suatu keluarga senyawa organoklor yang mempunyai banyak derivat turunan. Senyawa terdiri atas klor dan fenil gugus cincin benzena. Salah satu sifat dioksinfuran yang berdampak negatif pada lingkungan adalah daya urainya sangat lambat, baik di tanah, udara, dan air Gorman dan Tynan 2003. Selain itu menetap di lingkungan untuk waktu yang cukup lama. Dioksinfuran umumnya dalam rantai makanan terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga sukar larut dalam air. Pada mahluk hidup senyawa ini dapat diturunkan dari induk ke janin. Pembentukan dioksinfuran dapat terjadi melalui pembakaran bahan yang mengandung klor, seperti dari limbah bahan organik dan produk kertas. Kandungan klor akan meningkat dengan semakin banyaknya limbah berbagai jenis plastik. Menurut Lemieux dalam Sumaiku, 2004 peneliti dari National Risk Management Research Laboratory, US-EPA, pembakaran sampah rumah tangga pada kondisi pembakaran dan suhu yang rendah dapat menimbulkan gas racun dioksinfuran lebih tinggi daripada insinerator yang terkendali, oleh karena itu di AS dilarang untuk membakar sampah di udara terbuka. Emisi dioksinfuran juga terjadi pada pembuangan akhir sampah atau TPA Widyatmoko, 1999. Di Indonesia, estimasi total emisi dioksinfuran pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 21.126 g TEQ Toxic Equivalent Suminar, 2003. Jumlah ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hasil estimasi dioksinfuran di Indonesia dan negara-negara lain dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Emisi dioksinfuran dari berbagai negara Negara 1987 g TEQ 19941995 g TEQ 1997 g TEQ 1999 g TEQ 2000 g TEQ 2001 g TEQ 20022004 g TEQ AS 13.948 3.252 1.106 Croatia 109,05 115,7 Canada 290 199 Jepang 5.000 967 Cina 7.144-13.575 10.200 Indonesia 21.126 Sumber: Diolah dari The Chorine Chemistry Council 2002, Rodan 2002, Jerman 2003, CWS 1999, Jin et al. 2004, The People’s Republic of China 2007 Dalam kurun waktu 7–8 tahun, AS berhasil menurunkan emisi dioksinfuran secara drastis. Penurunan yang subtansial ini disebabkan keberhasilan pemerintah AS untuk menetapkan peraturan yang ketat tentang penggunaan insinerator pada industri yang berpotensi mengeluarkan dioksinfuran. Selain peraturan yang ketat, monitoring dan pengawasan dilakukan juga secara terus menerus The Chlorine Chemistry Council, 2002. Pembaharuan teknologi juga dilakukan untuk menekan emisi dioksinfuran. Di Jepang, dioksin adalah salah satu zat pencemar berbahaya Hazardous Air Pollutants yang penanganannya diutamakan. Pada tahun 1999 pemerintah Jepang telah menetapkan langkah khusus penanganan jenis dioksin untuk mencegah dan mengatur pembuangan pencemaran lingkungan oleh senyawa ini. Peraturan ini menetapkan dasar penilaian dan standar-standar lingkungan, pembuangan, regulasi dan langkah operasi Imamura, 2003. Di Indonesia, sumber pencemaran emisi dioksinfuran terbesar berasal dari pembangkitan tenaga dan pemanasan yaitu sebesar 66, diikuti oleh industri pulp dan kertas 21, pembakaran tak terkendali 7,7, industri logam besi dan non besi 4,5 ferrous and non ferrous, dan sisanya merupakan hasil pembakaran dari industri mineral, transportasi dan tempat pembuangan sampah Suminar, 2003. Berdasarkan jumlah tersebut sebagian besar 71,4 terbuang ke udara. Industri produk kertas dan tekstil menyumbang 16,8 emisi, dan emisi melalui residu hasil produksi 9,4. Pencemar di dalam tanah 2,1 dan di dalam air hanya 0,4 Gambar 1. UDARA, 15090.584, 72 AIR, 81.813, 0 TANAH , 432.181, 2 PRODUK, 3545.167, 17 RESIDU, 1979.782, 9 Insenerasi Limbah Produksi besi dan non besi Pembangkitan Tenaga Pemanasan Produksi Produk Mineral Transpor Pembakaran tak Terkendali Produksi Barang Kimia dan Barang Konsumsi Lain-lain a b Gambar 1 Estimasi emisi dioksinfuran di Indonesia tahun 2000 yang berasal dari:

a. sumber b. media