Konvensi Stockholm Model Dampak Pencemaran Untul Penyusunan Kebijakan Pengendalian DioksinFuran( Studi Kasus Industri Logam Di Kawasan Cilegon)

berasal dari insinerator juga telah dikembangkan oleh Eka Winatha dari Hepasin Media Pratama dengan metode Desorpsi Suhu Rendah Low Thermal Desorption yang telah dimodifikasi dengan sistem rotary carbonizer. Teknologi desorpsi suhu rendah ini sebenarnya sebagai pengganti insinerator, yang menggunakan pemanasan tidak langsung dengan termolisis suhu rendah tanpa oksidasi, sehingga meminimalkan terbentuknya dioksin. Selain itu, bekerjasama dengan FMIPA UI, telah dikaji pula reduksi dioksin dengan menggunakan titanium dioksida Yun, 2003.

2.3. Konvensi Stockholm

Konvensi Stockholm bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari pencemaran organik persisten dengan melakukan tindakan bersama untuk mengurangi, menghilangkan secara bertahap pelepasan POP’s dari produksi, penggunaan secara sengaja maupun tidak sengaja serta dari tempat penyimpanan dan limbah. Hingga November 2004, konvensi ini telah ditandatangani oleh 151 negara dan 83 negara telah meratifikasinya Hagen dan Walls, 2005. Konvensi menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam 30 pasal article serta Annex A, B, C, D, E, dan F. Secara garis besar isi Konvensi Stockholm yang penting antara lain: a. Pasal 3 tentang tindakanlangkah untuk mengurangi atau mengeliminasi POP’s yang berasal dari produksi b. Pasal 5 tentang tindakanlangkah untuk mengurangi atau mengeliminasi POP’s yang berasal dari produksi yang tidak diinginkan. Action plan yang disarankan yaitu dengan penggunaan best available techniques BAT serta best environmental practices BEP c. Pasal 7 tentang keharusan negara-negara peserta untuk menyusun National Implementation Plan NIP atau Rencana Pelaksanaan Nasional RPN dalam jangka waktu 2 tahun setelah pemberlakuan prioritas kegiatan. d. Pasal 12 berkaitan dengan bantuan teknis dari negara maju untuk negara berkembang e. Annex A yaitu senyawa yang sengaja diproduksi dan berdasarkan Konvensi harus dieliminasi yaitu aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene dan Polychlorinated Biphenyls PCB. f. Annex B yaitu senyawa yang diproduksi dan digunakan untuk pengendalian vektor penyakit seperti malaria, yaitu DDT. Berdasarkan konvensi, DDT harus dibatasi restricted g. Annex C yaitu senyawa yang diproduksi dan terlepas secara tak sengaja sebagai akibat kegiatan manusia, yaitu PCB, HCB hexachlorobenzene serta polychlorinated dibenzo-p-dioxin PCDD, dioksin dan Polychlorinated dibenzofuran PCDF, furan. Dioksinfuran merupakan produk sampingan yang tak disengaja. Senyawa-senyawa ini berdasarkan konvensi harus dieliminasi, dilarang ataupun dikurangi. Konvensi juga mengharapkan negara-negara untuk melihat kebijakan dari negara masing-masing dalam hal POP’s, yaitu: 1. menumbuhkan kesadaran pemerintah, swasta ataupun individu 2. memperhatikan penanganan bahan-bahan kimia terutama POP’s 3. membuat standar perlakuanpenggunaan POP’s Sebagai implementasi dari penandatanganan Konvensi Stockholm tentang POP’s, berdasarkan Article 7 Stockholm Convention on Persistent Organics Pullutans, 2001, tiap-tiap negara diharuskan membuat suatu National Implementation Plan NIP. Dalam NIP dicantumkan rencana jangka panjang maupun jangka pendek untuk mengeliminasi, mereduksi ataupun menghilangkan senyawaan POP’s. Negara-negara lain, misalnya, Singapore, Filipina, China, Hong Kong, Macau dan sebagainya sudah meratifikasi dan membuat NIP, sedangkan Indonesia hingga saat ini masih memproses NIP tersebut. Seperti di Indonesia, berdasarkan hasil NIP dari Cina dan Filipina senyawaan POP’s khususnya dioksinfuran belum banyak dikenal masyarakat Reyes, 2005; The People’s Republic of China, 2007.

2.4. Kebijakan terhadap Pengelolaan Lingkungan