41 yang belum begitu populer, dan minimnya informasi teknis tentang penggunaan
material tersebut untuk keperluan insulasi dinding palka. Beberapa perilaku yang terkait dengan persoalan sosial ekonomi dan
budaya masyarakat tradisional berpotensi menghalangi masuknya informasi perkembangan Iptek kepada masyarakat. Faktor pendidikan yang rendah,
kebiasaan dan adat istiadat, mengakibatkan penyerapan teknologi di bidang tertentu menjadi lamban atau kurang sesuai dengan spesifikasinya. Berdasarkan
hasil penelitian tentang pengaruh aspek-aspek sosial budaya masyarakat nelayan terhadap upaya pemberdayaan masyarakat nelayan Tjahjo Nasution 2005,
menempatkan dimensi tingkah laku pada urutan skor tertinggi yaitu 75,98, dibandingkan dimensi lain seperti kesehatan masyarakat 52,82, ekonomi 44,63,
hukum adat 31,87, dan 69,05 politik. Beberapa langkah dapat ditempuh agar masyarakat nelayan siap untuk
menerima transformasi teknologi, di antaranya adalah perbaikan sistem kelembagaan masyarakat nelayan. Menurut Tri Hartono dan Nasution 2005,
program pendukung penguatan kelembagaan masyarakat nelayan mencakup : a Program penambahan atau perbaikan infrastruktur sosial di bidang kesehatan; b
Program sosialisasi dan penyuluhan di bidang sanitasi lingkungan; dan c Program penyuluhan dan penerapan teknologi tepat guna. Dominasi program
penyuluhan sebagai program pendukung dikarenakan menonjolnya pengaruh faktor-faktor dan besarnya peranan dimensi tingkah laku dalam masyarakat. Hal
ini tampak dari kendala-kendala upaya pemberdayaan masyarakat nelayan selama ini bersumber dari aspek sosial budaya dalam masyarakat.
Peran kelembagaan nelayan ini akan memberikan konstribusi pada perubahan atribut nelayan tradisional menjadi atribut nelayan industri. Hal ini
sebagaimana dijelaskan tentang salah satu usaha pendekatan pengentasan kemiskinan melalui pendekatan affirmative action, DKP 2000, bahwa
affirmative action yang dilakukan adalah merubah atribut nelayan artisanal dan tradisional menjadi atribut yang dimiliki oleh nelayan industri. Perubahan yang
dimaksud tidak hanya menyangkut aspek teknologi, tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan.
42
4.2.4 Pengaruh densitas terhadap laju panas q
Polyurethane adalah jenis material insulasi berbentuk busa yang di dalamnya mengandung gas. Menurut Zemansky dan Ditman 1986, gas pada
umumnya merupakan penghantar kalor yang paling buruk Oleh sebab itu, pemilihan jenis material ini sebagai insulasi merupakan alternatif yang cukup
baik. Busa polyurethane tersebut disebut sebagai busa polimer. Menurut Feldman dan Hartomo 1995, busa polimer disebut juga polimer seluler, plastik seluler,
atau polimer mengembang atau muai adalah sistem bahan multifasa komposit yang terdiri atas matriks polimer dan suatu fasa zalir biasanya gas.
Menurut Dellino 1997, untuk insulasi polyurethane yang baik densitas material yang dibutuhkan adalah
ρ 30 kgm
3
, dengan jumlah sel tertutup tidak kurang dari 90 . Menurut Kim et al. 2010, densitas merupakan parameter yang
paling penting untuk mengendalikan sifat mekanik dan termal busa sel tertutup. Nilai efiensi
η akibat perubahan densitas pada dinding insulasi palka ikan, akan berpengaruh langsung terhadap jumlah ikan yang akan didinginkan dan
jumlah es untuk media pendinginan. Hal ini disebabkan karena densitas berpengaruh pada laju panas q dan laju panas akan menentukan besar jumlah es
yang mencair. Efiensi η dari nilai q pada Tabel 12 diperoleh dari perbandingan
antara penambahan jumlah kerapatan d ρ dengan perubahan penurunan laju panas
dq yang diharapkan. Nilai efisiensi ini dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan perubahan penggunaan material insulasi dengan cara memberikan
koreksi terhadap rumus perhitungan q. Koreksi terhadap laju panas akibat perubahan nilai densitas insulasi dapat ditentukan sebagai berikut :
Misal dikehendaki perubahan kerapatan dari ρ =30 kgm
3
menjadi ρ =35
kgm
3
, maka :
fk x
A T
T k
q 2
1 −
= , atau
878 ,
2 1
x A
T T
k q
− =
.................. 1
Laju panas terkoreksi tersebut akan mengahasilkan nilai laju panas yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari perubahan nilai densitas
insulasi yang lebih tinggi. Untuk jumlah muatan ikan yang sama, jumlah es untuk
43 media pengawet dapat dikurangi dengan meningkatnya kualitas insulasi, dalam
hal ini insulasi dengan densitas pada kerapatan sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Nilai konduktivitas termal k polyurethane pada Tabel 10, adalah hasil perhitungan menurut rumus laju panas q. Hasil ini termasuk cukup besar bila
dibandingkan dengan nilai maksimum dari beberapa referensi, misalnya menurut Dellino 1997 nilai k = 0,023, Shawyer dan Pizzali 2003 k = 0,026, dan
Papadopoulos 2004 k = 0,027. Hasil penelitian lain memberikan nilai k berbeda, Wen Wu et al. 1998, dalam risetnya tentang pengaruh ukuran sel pada struktur
polyuretahne terhadap konduktivitas termalnya memberikan gambaran bahwa semakin kecil ukuran sel semakin menurun nilai k nya. Hasil nilai k yang
diperoleh berada pada kisaran k = 0,029 – 0,043. Lee et al. 2002, menjelaskan pengaruh kecepatan pengadukan pada struktur busa terhadap variasi ukuran
gelembung, denstitas busa, kekuatan tekan, dan konduktivitas termal. Tabel 14 menunjukkan hasil riset tentang pengaruh pengadukan.
Tabel 14 Pengukuran sifat busa polyurethane berdasarkan kecepatan pengadukan yang berbeda.
Sumber : Lee et al. 2002 Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa untuk peningkatan densitas
tertentu berakibat pada penurunan nilai konduktivitas termalnya. Karakter hasil penelitian ini untuk nilai k memiliki kesamaan dengan hasil perhitungan k dari
data pengukuran tentang efisiensi insulasi akibat perbedaan densitas.
Kecepatan Aduk
rpm Rata-rata
Diameter Densitas
kgm
3
Kerapatan sel 10
12
m
3
Konduktivitas Termal
Wm.K Kekuatan
Tekanan Mpa
6000 332
31,9 1,42
0,0198 5,78
8000 273
32,6 2,36
0,0206 7,74
10.000 217
35,4 4,66
0,0208 8,23
12.000 194
38,4 6,73
0,0208 8,43
Busa Hibrida
62,8 0,0311
43,02