Sejarah Etnik Karo di Kota Medan Kehidupan Sosial-Budaya dan Ekonomi Etnik Karo di Kota Medan

2.5.1 Sejarah Etnik Karo di Kota Medan

Keberadaan etnik Karo di Kota Medan tidak lepas dari sejarah panjang terbentuknya Medan sebagai wilayah, pada lintasan sejarah perkembangan Kota Medan dikenal nama Guru Patimpus Sembiring Pelawi yang dianggap sebagai tokoh penemu cikal-bakal wilayah Medan dan berkembang menjadi kota seperti saat sekarang ini. Kota Medan yang secara administratif merupakan ibukota dari propinsi Sumatera Utara berbatasan langsung dengan daerah asal etnik Karo, yaitu tanah Karo yang meliputi wilayah pegunungan di Brastagi. Walaupun terdapat juga wilayah asal etnik Karo lainnya, seperti wilayah Deli Tua dan wilayah Langkat. Berbatasan secara langsung antara Kota Medan dan wilayah asal etnis Karo menjadikan proses pencampuran antara wilayah dan etnisitas telah terbentuk secara alami sejak waktu yang lama, dan Kota Medan juga memiliki daerah dominan tempat tinggal masyarakat etnis Karo, yaitu daerah Padang Bulan, Pancur Batu dan sekitarnya. Secara geografis wilayah, suku Karo adalah suku yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara. Etnis Karo merupakan percampuran dari ras proto Melayu dengan ras Negroid negrito dan dalam kognisi folklor masyarakat Karo percampuran ras tersebut dikenal dengan istilah umang Ginting, 2011:33.

2.5.2 Kehidupan Sosial-Budaya dan Ekonomi Etnik Karo di Kota Medan

Masyarakat Karo berdasarkan etnis mereka membagi wilayah budayanya Universitas Sumatera Utara ke dalam 2 dua jenis, yaitu : 1. Karo Gugung, yaitu masyarakat Karo yang pada umumnya berada di wilayah pegunungan terutama mereka yang berada di kawasan Kabupaten Karo. 2. Karo Jahe, yaitu masyarakat karo yang pada umumnya yang berada di kawasan Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kota Medan. Sebenarnya istilah Karo Gugung dan Karo Jahe ini bukan menunjukkan suatu etnis tersendiri, melainkan menunjukkan perbedaan geografis antara dua kelompok masyarakat Karo itu dimana, masyarakat Karo Gugung tinggal di daerah dataran tinggi bukit barisan dan masyarakat Karo Jahe bermukim di dataran rendah. Secara adat istiadat dan budaya tidak ada perbedaan antara dua kelompok masyarakat Karo ini. Hanya saja masyarakat Karo Gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo sedangkan Karo Jahe lebih banyak mengalami adaptasi dengan kebudayaan sekitarnya 5 5 Bangun Teridah, 1986. Manusia Batak Karo, Jakarta : Idayu Press, Hal. 15 . Walaupun terjadi perbedaan dialek, komunikasi diantara dua kelompok masyarakat ini terjalin dengan baik. Bahasa dan dialek masyarakat Karo Gugung dianggap lebih lembut intonasinya dibandingkan bahasa Karo Jahe. Masyarakat Karo Gugung dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil seperti Karo Julu, Karo Gerneh, Karo Singalorlau dan Karo Baluren. Pembagian ini sebenarnya hanya berdasarkan wilayah pemukiman saja, suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Universitas Sumatera Utara Marga atau dalam bahasa Karo disebut merga tersebut disebut untuk anak laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang, merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima marga tersebut adalah : 1. Karo-karo 2. Tarigan 3. Ginting 4. Sembiring 5. Perangin-angin Kelima marga ini masih mempunyai submarga masing-masing, setiap orang Karo mempunyai salah satu dari marga tersebut, merga diperoleh secara otomatis dari ayah. Merga ayah juga marga anak, orang yang mempunyai merga atau beru yang sama dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermerga sama, maka mereka disebut ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama maka mereka disebut juga ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Perangin-angin ada yang dapat menikah diantara mereka. Masyarakat Karo pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, hal ini didukung oleh kondisi geografis wilayah Karo yang didominasi oleh wilayah pegunungan. Di Kota Medan, masyarakat Karo masih memiliki Universitas Sumatera Utara keterkaitan dengan wilayah asal etnik Karo di Tanah Karo hal ini sebagai bagian dari kesinambungan kebudayaan yang tidak terpisahkan oleh batas-batas wilayah secara geografis. Kondisi kehidupan sebagai petani yang dilakukan oleh masyarakat Karo juga dilakukan oleh masyarakat Karo di Kota Medan, pada umumnya mereka bertani, berladang dan berternak sesuai dengan kehidupan masyarakat Karo di daerah asal. Di Kota Medan sudah lazim diketahui bahwa masyarakat Karo memiliki kemampuan dan pengetahuan bertani yang mumpuni, hal ini dapat dilihat oleh beragam hasil alam, seperti sayuran dan buah-buahan yang dijual diparosan merupakan hasil alam dari wilayah Karo. Hasil sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2012 oleh pemerintahan Kota Medan didapatkan hasil bahwa masyarakat etnik Karo merupakan etnik dengan jumlah populasi sebanyak 87.129 Jiwa di Kota Medan, selengkapnya data sensus penduduk tersebut adalah : Universitas Sumatera Utara Tab el 7. Komposisi Masyarakat Kota Medan Berdasarkan Etnis No EtnisSuku Jumlah Penduduk 1 Jawa 828.989 Jiwa 2 Toba 365.758 Jiwa 3 CinaTionghoa 202.839 Jiwa 4 Mandailing 178.308 Jiwa 5 Minang 163.774 Jiwa 6 Melayu 125.557 Jiwa 7 Karo 87.129 Jiwa 8 Aceh 53.011 Jiwa 9 Nias 13.159 Jiwa 10 Simalungun 13.078 Jiwa 11 Pakpak 6.509 Jiwa 12 Lainnya 75.253 Jiwa Sumber : BPS Kota Medan Tahun 2012.

2.5.3 Organisasi Masyarakat Karo di Kota Medan