Sejarah Etnik Tionghoa di Kota Medan Jumlah Penduduk Etnik Tionghoa di Kota Medan

2.4.1 Sejarah Etnik Tionghoa di Kota Medan

Mengutip sejarah Kota Medan pemkomedan.go.id diakses pada 23 November 2014 mengenai sejarah kedatangan dan perkembangan etnis Keberadaan etnis Cina di Kota Medan di mulai pada abad ke-15, dimana ketika armada pedagang Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk berdagang dengan cara barter. Hubungan dagang tersebut berlangsung dalam waktu lama sehingga sebagian pedagang tersebut menetap di Sumatera Timur. Ketika usaha perkebunan tembakau kolonial Belanda di Deli terus berkembang maka pengusaha kolonial Belanda mendatangkan tenga kerja dari daratan Cina karena mereka tidak cocok dengan sistem kerja dan perilaku buruh pribumi. Pada tahun 1879 tercatat 4.000 orang kuli Cina, dan pada tahun 1888 tercatat 18.352 orang kuli Cina. Setelah kontrak mereka habis, para buruh Cina banyak bermukim di kota-kota, dan bekerja sebagai pedagang, pemilik toko, petani kecil, nelayan dan penjual barang bekas. Keberadaan etnis Tionghoa di Kota Medan secara singkat dapat dilihat dari kedatangan etnis Tionghoa sebagai pedagang di Kota Medan pada masa kolonial Belanda. Pihak kolonial Belanda pada masa itu secara sengaja memasukkan keberadaan etnis Tionghoa untuk mengisi struktur kehidupan masyarakat Medan yang bergerak menuju perkembangan sebuah perkotaan.

2.4.2 Jumlah Penduduk Etnik Tionghoa di Kota Medan

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang dilaksanakan pada tahun 2000, Badan Pusat Statistik BPS mencatat sebanyak 2.030.000 jiwa warga Kota Universitas Sumatera Utara Medan. Etnis Tionghoa menempati urutan ketiga terbanyak dengan jumlah 216.195 jiwa 10,65 persen setelah etnis Jawa 670.509 jiwa 33,03 persen dan etnis Batak Simalungun, Tapanuli, Pakpak dan Nias 424.879 jiwa 20,93 persen. Pada tahun 2010, Dinas Kependudukan Disduk melaporkan jumlah penduduk Kota Medan sudah mencapai 2.721.789 jiwa. Diperkirakan pertambahan penduduk dari etnis Tionghoa mengalami peningkatan yang pesat. Sebab, di beberapa kecamatan terdapat penduduk etnis Tionghoa dalam jumlah relatif besar. Keberadaan etnis Tionghoa sebagai bagian dari komposisi masyarakat Kota Medan dan Indonesia tidak dilalui dengan mudah melainkan melalui jalan yang sulit, hal ini setidaknya dapat dibagi pada dua periode sulit terhadap keberadaan etnis Tionghoa di Kota Medan dan Indonesia, yakni masa 1965 ketika terjadi pergolakan yang berujung pada pemberontakan dimana paham komunisme yang pada masa itu berkembang di Indonesia turut menyeret peran dan keberadaan Tionghoa sebagai negara dengan paham komunis terbesar di dunia. Selain tahun 1965, periode lainnya adalah tahun 1998 dimana terjadi pergolakan politik yang disebabkan oleh sikap otoriter rezim yang berkuasa. Periode kelam 1998 bagi keberadaan etnis Tionghoa dikenal sebagai “mei berdarah” ataupun “kerusuhan mei 98.” Kedua periodesasi pergolakan politik yang menyeret etnis Tionghoa dalam purosan politik kekuasaan di Indonesia disebabkan oleh ketimpangan sosial dan posisi beberapa individu etnis Tionghoa yang memegang posisi penting dalam struktur ekonomi, bisnis di Indonesia. Hal itulah yang kemudian menjadikan Universitas Sumatera Utara keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia dan Kota Medan tidak serta-merta menjadi bagian dari komposisi masyarakat melainkan membutuhkan proses yang panjang. Perkembangan selanjutnya, di masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, Instruksi Presiden Inpres No 141967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres yang dikeluarkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas.

2.4.3 Kegiatan Etnik Tionghoa di Kota Medan