Model Pendekatan Komprehenshif Pencegahan Tertier Tertiary Prevention
                                                                                Pola  pencegahan  penyalahgunaan  atau  ketergantunan  NAZA  dapat dilihat  dari  dua  aspek  antara  lain  upaya  supply  reduction  dan  demand
reduction,  dengan  pendekatan  security  approach  dan  welfare  approach. Yang  dimaksud  dengan  supply  reduction  adalah  upaya-  upaya  untuk
mengurangi  sebanyak  mungkin  pengadaan  dan  peredaran  NAZA,  dan kepada  mereka  yang  terlibat  dikenakan  sanksi  hukuman  yang  maksimal,
bahkan kalau perlu sampai pada hukuman mati. Upaya supply reduction ini dilakukan  kepada  aparat  penegak  hukum  dan  instansi  yang  terkait  dengan
pendekatan security approach yaitu pendekatan keamanan. Yang dimaksud dengan demand reduction adalah upaya-upaya untuk
mengurangi sebanyak mungkin permintaan atau kebutuhan terhadap NAZA oleh  para  penyalahgunaan.  Upaya  demand  reduction  ini  dilakukan  oleh
kalangan  kedokteran  dan  kesehatan  maupun  masyarakat  serta  instansi  yang terkait.  Upaya  ini  dilaksanakan  dengan  pendekatan  welfare  approach  yaitu
pendekatan  kesejahteraan,  misalnya  memberikan  penyuluhan  kepada masyarakat,  terapi  dan  rehabilitas  terhadap  para  penyalahguna  atau
ketergantungan NAZA. Upaya pencegahan dapat dilakukan apabila diketahui pola penyebab
dan  penularan  “penyakit  NAZA”.  Pencegahan  atau  prevensi  terbagi  dalam tiga bagian, yaitu :
1. Prevensi  primer  adalah  pencegahan  agar  orang  yang  sehat  tidak  terlibat
penyalahgunaan atau ketergantungan NAZA. 2.
Prevensi  skunder  adalah  terapi  pengobatan  terhadap  mereka  yang  terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAZA pasien
3. Prevensi tersier adalah rehabilitas bagi penyalahguna atau ketergantungan NAZA
setelah memperoleh terapi. Untuk dapat melakukan pencegahan, pemberantasan serta penanggulangan
penyalahgunaan atau ketergantungan NAZA secara terpadu. 1.
Menurut  Dadang  hawari  dalam  penelitiannya  menyatakan  bahwa  permasalahan penyalahgunbaan  atau  ketergantungan  NAZA  sudah  sedemikian  kompleks
sehingga  dapat  merupakan  ancaman  dari  sudut  pandangan  mikro  keluarga maupun  makro  masyarakat,  bangsa  dan  negara  yang  pada  gilirannya
membahayakan ketahanan nasional. Oleh karena itu rekomendasi berikut ini yang disampaikan  Dadang  Hawari  perlu  dapat  perhatian  pemerintah  dan  masyarakat
secara sungguh-sungguh, yaitu : 2.    UU  Narkotika  dan  UU  Psikotrapika  yg  sudah  ada  perlu  direfisi,  dan  dilengkapi
dengan PP-nya. UU dan PP tentang alkohol minuman keras belum ada, padahal RUU alkohol yang ada tidak relevan dan bertentangan dengan WHO.
3.  Kasus-kasus  internal  affair  yang  terjadi  dan  melibatkan  oknum  aparat  perlu ditindaklanjuti  dan  diselesaikan  sesuai  dengan  hukum  yang  berlaku.  Hal  ini
berhubungan dengan national security. Ibaratnya kalau hedak menyapu lantai yang kotor tentunya memakai sapu yang bersih bukan yang kotor pula.
4.  Perlunya  dibentuk  instisusi  khusus  dibidang  penanggulangan  atau  pemberantasan NAZA yang berwibawa dan disegani langsung dibawah Presiden, semacam DEA
Drugs Enforcement Agency di Amerika Serikat. 5.  Bila  ada  Indonesian  Corruption  Watch,  maka  perlu  ada  Indonesian  Druga  and
alcohol  watch  yang  merupakan  LSM  yang  dapat  memberikan  tekanan  kepada pemerintah.
6.  Anggaran  oprasional  dan  kesejahteraan  dari  aparat  kepolisian  hendaknya ditingkatkan  dan  di  sesuaikan.  Hal  ini  dimaksut  untuk  memperkecil  terjadinya
“kolusi”.
7.    Meningkatkan  kesadaran  aparat  kejaksaan  dan  kehakiman  untuk  memberikan sanksi maksimal terhadap pidana NAZA, kalau perlu dengan hukuman mati.
8. Memberdayakan potensi masyarakat untuk secara swakarsa, swadaya, swasembada dan  swadana  memerangi  NAZA  dilingkungannya  masing-masing  untuk
menciptakan  lingkungan  bebas  NAZA.  Mulai  dari  tingkay  RT,  RW,  Kelurahan, Kecamatan,  dan  seterusnya.  Sistem  keamanan  lingkungan  siskamling  yang
sekarang ini perlu diperluas cakupannya antara lain mencegah atau menanggulangi peredaran NAZA dilingkungannya masing-masing.
9.  Perlu  pendidikan  dan  penyuluhan  sejak  dini  mulai  dari  rumah,  sekolah,  tempat kerja  dan  dimasyarakat  bahwa  NAZA  haram  hukumnya  baik  dari  segi
agamamaupun Undang Undang. Ada tiga katagori penyalahgunaan atau ketergantungan NAZA, yaitu:
a. Sebagai pasien yang perlu mendapat terapi dan rehabilitas dan bukannya hukuman. b.  Sebagai  korban  yang  perlu  mendapat  terapi  dan  rehabilitas  dan  bukannya
hukuman. c.  sebagai  pemakai  sekaligus  pengedar  perlu  mendapat  terapi,  rehabilitas  dan
dilanjutkan dengan proses hukum.
19
. Upaya  pencegahan  dalam  arti  prevensi  primer  dapat  diupayakan  dirumah,
disekolah, ditempat  kerja dan di lingkungan sosial atau masyarakat. Prevensi primer dalam bentuk penyuluhan bahaya  penyalahgunaan atau ketergantungan NAZA perlu
secara  itensif,  berkesinambung  dan  konsisten  dilaksanakan  kepada  mereka  yang masih sehat belum terlibat penyalahgunaan atau ketergantungan NAZA.
Dari  pengamatan  diketahui  bahwa  mereka  yang  semula  sehat  kemudian terlibat  penyalahgunaan  atau  ketergantungan  NAZA  itu  disebabkan  karena  ketidak
tahuannya  terhadap  bahaya  NAZA  dan  kurangnya  sosialisasi  dibidang  hukum  dan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahaya NAZA.
19
Dadang Hawari, Terapi Detoksifikasi Rehabilitas pesantren Mutakhir system Terpadu Pasien NAZA, Jakarta, 2004, h. 15
Narkoba  adalah  merupakan  bahan-bahan  atau  zat  kimia  yang  apabila digunakan  dapat  mempengaruhi  syaraf  pusat.  Zat  kimia  tersebut  kimia  mengubah
atau  mempengaruhi  pikiran,  perasaan  dan  tingkah  laku  mereka  yang menggunakannya.  Zat  tersebut  seperti  apoida  martin  dan  heroin,  kokain,  ganja,
sedotin,  atau  hipnotika  dan  alcohol.  Zat-zat  ini  mempunyai  efek  terutama  dalam fungsi berfikir, dan apabila disalahgunakan dapat mengakibatkan ketergantungan.
20
20
Shalihin Mukhtar, Terapi Supistik, Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Persepektif Tasawuf, Bandung: Setia 2004, h. 100
43
                