mampu membayar utangnya. Dalam keadaan seperti ini, biasanya dilakukan oper gadai yaitu penerima gadai menyerahkan sawah kepada
penerima gadai kedua untuk digarap atas izin penggadai, utang penggadai kepada penerima gadai pertama dibayar oleh penerima gadai kedua,
danpenerima gadai kedua memberi tambahan pinjaman kepada penggadai. Seperti yang dilakukan oleh bapak Saepudin yang meminjam uang Rp.
10.000.000,- kepada bapak Dedeng dan dalam tempo 1 tahun ia belum bisa membayar utangnyasementara bapak Dedeng membutuhkan uang,
akhirnya bapak Ujang membayarkan utangnya kepada bapak Dedeng sebesar Rp. 10.000.000,- dan meminjamkan uang kepada bapak Saepudin
sebesar Rp. 10.000.000,- total utang bapak Saepudin menjadi Rp. 20.000.000,-
15
Jika mengacu kepada pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad, Ulama Hanabilah dan salah satu versi pendapat Imam
Syafiʻ i hal ini tidak diperbolehkan karena berarti merupakan akad gadai baru atau karena berarti menggadaikan barang yang telah digadaikan
padahal barang yang telah digadaikan keseluruhannya telah terikat dengan utang pertama. Sedangkan jika mengacu pada pendapat Imam Malik, Abu
Yusuf, Abu Tsaur, al-Muzani dan Ibnul Mundzir hal tersebut diperbolehkan karena menambah jaminan itu boleh, maka menambah
utang juga boleh. Adapun penambahan sawah untuk utang yang sama sangat jarang
terjadi di kalangan petani desa Simpar karena untuk menebus sawah yang
15
Wawancara Pribadi dengan Saepudin. Subang, 2 Februari 2015.
telah digadaikanpun terasa berat, apalagi menambah sawah gadaian untuk utang yang sama.
6. Bertambahnya Barang Gadai
Tambahan padi dari sawahnya termasuk tambahan terpisah yang seharusnyamenjadi milik penggadai. Dalam akad gadai biasa padi menjadi
milik penerima gadai, hal ini tidak sejalan dengan konsep fikih muamalah. Sedangkan dalam akad gadai gantung, padi menjadi milik penggadai, hal
ini sejalan dengan konsep fikih muamalah.
7. Resiko Kerusakan Barang Gadai
Dalam akad gadaibiasa resiko kerusakan sawah seperti kekeringan, kebanjiran, dan terkena hama ditanggung oleh penerima gadai, hal ini
sejalan dengan konsep fikih muamalah. Sebaliknya, pada akad gadai gantungresiko kerusakan sawah ditanggung oleh penggadai, hal ini tidak
sesuai dengan konsep fikih muamalah.
8. Penjualan Barang Gadai
Penjualan sawah gadaian jarang sekali terjadi di kalangan petani desa Simpar karena dalam akad gadai biasapara penerima gadai sudah merasa
diuntungkan dengan hasil sawah yang mereka garap, hal itu menyebabkan mereka tidak menuntut penggadai untuk membayar utangnya dengan
segera kecuali dalam keadaan terdesak. Begitu pula dalam akad gadai gantung, penerima gadai sudah merasa diuntungkan dengan uang sewa
yang ia terima setiap tahun.
9. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai
Dalam akad gadai biasa pengambilan manfaatpenggarapan sawah dilakukan oleh penerima gadai atas izin penggadaidan disyaratkan di awal
akad, hal ini dapat dianalisis berdasarkan pendapat beberapa ulama berikut:
a. Ulama Hanafiyyah Menurut sebagian ulama Hanafiyyah praktik tersebut
diperbolehkan secara mutlak. Sebagian lagi berpendapat tidak boleh secara mutlak, karena hal itu sama dengan riba atau
mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang mengandung
syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengatakan tidak boleh karena pemanfaatan tersebut disyaratkan di awal akad, dan itu termasuk
riba. b. Ulama Malikiyyah
Ulama Malikiyyah berpendapat tidak boleh karena utang dalam bentuk pinjaman qard, maka termasuk kategori pinjaman
utang yang menarik kemanfaatan. c. Ulama Syafiʻ iyyah
Ulama Syafiʻ iyyah berpendapat tidak boleh karena utang berupaqard dan penerima gadai mensyaratkan pemanfaatan
tersebut yang berarti merugikan pihak penggadai. Selain itu, menurut Ulama Syafiʻ iyyah
syarat ini
tidak sah karena