Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai

barang gadai oleh penerima gadai: 1 Ulama Hanafiyyah Menurut Ulama Hanafiyyah penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin penggadai.Karena penerima gadai hanya memiliki hak al-habsu saja bukan memanfaatkan.Dan apabila penggadai memberi izin kepada penerima gadai, sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak. Sebagian lagi melarangnya secara mutlak, karena hal itu sama dengan riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang mengandung syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengklasifikasi apabila di dalam akad disyaratkan penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai, maka tidak bolehkarena itu adalah riba. Namun jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh karena hal itu berarti adalah tabarru` derma dari penggadai untuk penerima gadai. 2 Ulama Malikiyyah Ulama Malikiyyah mengklasifikasi apabila utang dikarenakan akad jual beli atau sejenisnya akad pertukaran dan penggadai mengizinkan kepada penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai atau penerima gadai mensyaratkan ia boleh memanfaatkan barang gadai, maka hal itu diperbolehkan dan pemanfaatan tersebut harus ditentukan batas waktunya dengan jelas agar tidak mengandung unsur jahalah ketidakjelasan yang bisa merusak akad sewa. Karena ini adalah bentuk jual beli dan sewa, dan ini diperbolehkan. Namun apabila utangdalam bentuk pinjaman qard, maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori pinjaman utang yang menarik kemanfaatan.Begitu pula jika penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai secara cuma-cuma tanpa disyaratkan oleh penerima gadai maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori hadiah midyân yang dilarang oleh Rasulullah SAW. 3 Ulama Syafiʻ iyyah Ulama Syafiʻ iyyah secara garis besar berpendapat seperti Ulama Malikiyyah, yaitu penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa barang gadaian tidak boleh menjadi milik orang yang memberi pinjaman. Apabila utang berupa qard dan penerima gadai mensyaratkan sesuatu yang merugikan pihak penggadai, misalnya apa-apa yang dihasilkan oleh barang gadai atau pemanfaatan barang gadai adalah untuk penerima gadai, maka syarat tersebut tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat akad gadai tersebut juga tidak sah. Hal ini didasarkan pada haditsyang menyatakan bahwa setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak sah.Alasan lain atas tidak sahnya syarat tersebut adalah karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh akad gadai, sama seperti mensyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai. Adapun jika utangdikarenakan akad jual beli secara tidak tunai dan kemanfaatan tersebut ditentukan atau diketahui, maka sah mensyaratkan kemanfaatan barang gadai untuk penerima gadai. Karena itu adalah suatu bentuk penggabungan antara akad jual beli dengan akad sewa, dan hal itu diperbolehkan. 4 Ulama Hanabilah Ulama Hanabilah mengklasifikasi apabila barang gadai berupa hewan kendaraan atau hewan perah, maka penerima gadai boleh memanfaatkannya dengan syarat menaikinya atau memerah susunya disesuaikan dengan kadar nafkah dan biaya kebutuhan barang gadai yang dikeluarkan oleh penerima gadai. Meskipun penggadai tidak mengizinkan hal tersebut. Namun untuk barang gadai selain hewan dansesuatu yang tidak butuh pembiayaan untuk memberi makan, maka penerima gadai sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin penggadai. Karena barang gadai, kemanfaatan- kemanfaatannya, dan apa yang dihasilkannya adalah milik penggadai. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya tanpa seizin penggadai. Apabila penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai, ulama Hanabilah mengklasifikasi: pertama, jika pemanfaatan tersebut tanpa imbalan cuma-cuma sedangkan utang berupa qard pinjaman, maka tidak boleh karena termasuk pinjaman utang yang menarik kemanfaatan dan hal itu diharamkan. Dan jika penerima gadai memanfaatkannya, maka harus dihitung sebagai bagian dari pembayaran utang penggadai. Namun apabila penggadaian dikarenakan utang selain qard, maka boleh. Meskipun disertai unsur al-muhâbâh dalam biaya sewa maksudnya, hal itu dilakukan dengan tujuan tersembunyi untuk membujuk dan mengambil hati orang yang bersangkutan. Kedua, Jika pemanfaatan tersebutdengan imbalanajrul mitsli biaya sewa standarmaka boleh baik utang berupa qard maupun yang lainnya. Karena di sini berarti penerima gadai tidak memanfaatkan atas dasar qard, akan tetapi atas dasar ijarah sewa. Namun jika ada unsur al-muhâbâh di dalamnya, maka tidak boleh jika utang berupa qard, dan jika utang bukan qard, maka boleh. Hadits yang dijadikan dasar oleh Ulama Hanabilah sama dengan hadits yang dijadikan dalil oleh Ulama Syafiʻ iyyah di atas. Menurut mereka, susunan kata “al-zahru yurkabu” dan “laban al- darriyusyrabu” memang dalam bentuk berita, namun mengandung arti kalimat insyâ`seperti pada ayat : َو ْﻟا َﻮ ِﻟا َﺪ ُت ا ْﺮ ِﺿ ْﻌ َﻦ َأ ْو َﻻ َد ﱠﻦ َﺣ ْﻮ َﻟ ِﻦ َﻛ ِﻣ ﺎ َﻠ ِﻦ ﻰ ﻠ ﺻ ِﻟ َﻤ ْﻨ َﺄ َر َدا َأ ْن ِﺘ ﱠﻢ ﱠﺮ ﻟ ا َﺿ َﻋ ﺎ َﺔ ... ﻰ ﻠ ﻗ Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.QS. al-Baqarah2 : 233 28

11. Riba dalam Gadai

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila : a. Dalam akad gadai ditentukan bahwa penggadaiharus memberikan tambahan kepada penerima gadaiketika membayar utangnya. b. Ketika akad ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan. c. Bila penggadai tidak mampu membayar utang hingga waktunya tiba, kemudian penerima gadai menjual barang gadaidan tidak memberikan kelebihan harga barang gadai kepada penggadai. 29

12. Pembiayaan Barang Gadai

Biaya barang gadai, baik biaya pemeliharaannya maupun biaya pengembaliannya menjadi tanggungan penggadai. Apabila penerima gadai mengeluarkan biaya untuk barang gadai dengan izin hakim ketika penggadai tidak ada di tempat atau enggan mengeluarkan biaya, maka itu menjadi utang yang harus dibayar oleh penggadai kepada penerima gadai. 30

13. Pengambilalihan Barang Gadai

Islam menghapus tradisi orang-orang Arab yang apabila penggadai 28 Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali al-Sayis, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih, Penerjemah Ismuha Jakarta: Bulan Bintang, t.th., h. 315. 29 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h.111. 30 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h.246. tidak mampu membayar utangnya, maka barang gadai lepas dari kepemilikannya dan menjadi hak milik penerima gadai. 31 Dalam Hadits Muawiyah bin Abdullah bin Jaʻ far disebutkan bahwa seorang laki-laki menggadaikan sebuah rumah di Madinah sampai batas waktu yang ditentukan, ketika batas waktunya habis dan penerima gadai berkata “rumah ini menjadi milikku”, maka Rasulullah SAWbersabda: ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ : : ﻰ : Artinya:“Muhammad bin Humaid menyampaikan kepada kami dari Ibrahim bin al-Mukhtar, dari Ishaq bin Rasyid, dari al-Zuhri, dari Saʻ id bin al-Musayyib, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “barang gadaian tidak boleh menjadi milik orang yang memberi pinjaman.” HR. Ibnu Majah 32

14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai

Jika terjadi perselisihan antara penggadai dan penerima gadai, maka ketentuannya adalah sebagai berikut: a. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang pokok utang atau tentang jumlah barang gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai. b. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang penerimaan barang gadai dan barang tersebut berada di tangan penggadai, maka yang dibenarkan adalah penggadai. Namun, jika barang tersebut berada di tangan penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah 31 Ibid., h. 247. 32 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, ed., Sunan Ibnu Majah, cet. I, Penerjemah Saifuddin ZuhriJakarta: Almahira, 2013, h. 436. penerima gadai. c. Jika penggadai menuduh penerima gadai telah menggasab barang gadai dan penggadai mengaku bahwa ia tidak memberikan izin kepada penerima gadai dalam penerimaan barang tersebut, maka menurut qaul sahihyang dibenarkan adalah ucapan penggadai. Sebab, pada asalnya izin penerimaan barang tersebut tidak ada, dan pada asalnya ketetapan akad gadai juga tidak ada. d. Seandainya penggadai mengaku “saya menyerahkan barang gadai itu untuk sewa menyewa, untuk pinjam meminjam, untuk titipan”. Maka yang dibenarkan adalah pengakuan penggadai, menurut qaul asah yang telah disahkan oleh Imam Syafiʻ i. e. Jika penggadai menyatakan kepada penerima gadai: “Ya, saya memberi izin kepadamu untuk menerima barang gadaian ini, tetapi sebelum kamu menerima barang itu saya menarik kembali izin saya”. Maka menurut qaul sahih, yang dibenarkan adalah penerima gadai. f. Jika penggadai menyatakan bahwa penerima gadaimengakui dirinya telah menerima barang gadai itu, kemudian penerima gadai menyanggah kepada penggadai: “pengakuan saya itu tidak sebenarnya”. Maka penggadai berhak menuntut sumpah dari penerima gadai tentang pengakuan tersebut. g. Jika penerima gadai memberi izin terhadap penjualan barang gadai, ternyata kemudian barang itu dijual, lalu penerima gadai mencabut kembali izinnya dengan menyatakan “saya mencabut kembali izin saya sebelum barang itu dijual”. Di pihak lain, penggadai menyatakan “kau mencabut izinmu setelah barang ini terjual”. Maka menurut qaul asahyang dibenarkan adalah pengakuan penerima gadai. h. Jika penggadai mengingkari sama sekali pencabutan kembali oleh penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai. i. Barang siapa mempunyai tanggungan 2 utang, salah satu utang tersebut berstatus gadaian, lalu ia membayar salah satu utangnya dengan mengatakan ”saya membayar kepada pihak yang berpiutang untuk utang saya yang berstatus gadaian”. Menurut qaulsahih ucapan orang tersebut dibenarkan dengan bersumpah terlebih dahulu, sebab dia sendiri yang lebih tahu tentang niatnya. 33

15. Pembatalan Akad Gadai

Penarikan kembalipembatalan akad gadai bisadilakukan dengan ucapan ataupuntindakan. Tindakan yang menyebabkan batalnya akad gadai adalah menggunakan barang gadaidalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status kepemilikan, seperti memerdekakan budak gadaian, menjual barang gadai, menjadikannya sebagai maskawin atau upah kerja, meggadaikannya lagi kepada pihak lain atau menghibahkannya kepada pihak lain. 34 33 Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifâyatul Akhyâr Fii Halli Ghâyatil Ikhtishâr, h. 66. 34 Ibid., h.61.