Praktik gadai sawah desa simpar Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang dalam pesepektif fikih muamalah

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh :

FITRIA NURSYARIFAH

NIM. 1110046100168

K O N S E N T R A S I P E R B A N K A N S Y A R I A H PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 2015 M./1436 H.


(2)

(3)

(4)

Nama : Fitria Nursyarifah

NIM : 1110046100168

Prodi : Muamalat (Perbankan Syariah) Fakultas : Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggung jawabkannya.

4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya.

5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya ini.

Jika dikemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah melalui pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 13 Maret 2015


(5)

(6)

Muamalah. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M./1436 H. xiii + 86 halaman + 15 lampiran.

Masalah utama skripsi ini adalah bagaimana pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalam Islam dan bagaimana praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah. Tujuan penelitiannya adalah mengetahui pemahaman para petani desa Simpar mengenai gadai dalam Islam dan mengetahui praktik gadai sawah yang para petani lakukan dalam perspektif fikih muamalah.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif dan empiris, jenis penelitiannya adalah deskriptif-studi kasus, sumber dan kriteria data yang digunakan adalah primer dan sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan cara interviu, observasi dan teknik dokumenter, serta teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.

Kesimpulan skripsi ini adalah mayoritas petani desa Simpar tidak memahami gadai dalam Islam dan praktik gadai sawah yang biasa terjadi di kalangan petani desa Simpar ada 2 jenis yaitu gadai biasa dan gadai gantung. Ditinjau dari perspektif fikih muamalah kedua akad ini hukumnya tidak sah karena syarat yang berkaitan dengansighat(ijab kabul) tidak terpenuhi. Selain itu, praktik gadai sawah tersebut termasuk kegiatan eksploratif karena sangat menguntungkan penerima gadai dan sangat merugikan penggadai.

Kata kunci : Gadai, sawah, fikih muamalah

Pembimbing : Dr. Hasanuddin, M.Ag


(7)

vi

atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada baginda mulia Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliaulah kita dapat saling kenal-mengenal menjalin ukhuwah Islamiyyah.

Selanjutnya, berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini, secara pribadi penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

2. Ketua Program Studi Muamalat, Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH. dan sekretaris Program Studi Muamalat, Bapak Abdurrauf, Lc., MA. 3. Bapak Dr. Hasanuddin, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik. 4. Bapak Jaeni, S.E. selaku sekretaris desa Simpar, yang telah meluangkan

waktunya dan memberikan data-data yang penulis butuhkan.

5. Pengurus perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuannya berupa pinjaman buku-buku baik selama penulisan skripsi maupun selama penulis menjalankan perkuliahan.


(8)

vii

7. Bapak Suhendi, Bapak Saepuddin, Ibu Tati, Bapak Winata dan Bapak Ugan selaku pelaku gadai yang bersedia memberikan penjelasan tentang transaksi gadainya.

8. Orang tua tercinta Ibu Nuraisyah. S, S.Pd.I. dan Bapak Saripudin atas kasih sayang dan do’a yang tak pernah usai untuk penulis.

9. Aa Supandi, S.S.atas bantuan material maupun spiritualnya.

10. Dan keluarga besar Perbankan Syariah 2010 dan 2011 atas kebersamaannya dalam perjuangan menuntut ilmu dan menyelesaikan tugas akhir, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah mendukung penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdoa semoga mereka mendapat balasan yang mulia. Dengan segala kelemahan dan kelebihan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridai setiap langkah kita. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin.

Jakarta, 22 Jumadil Awal 1436 H. 13 Maret 2015 M.


(9)

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...3

C. Pembatasan Masalah...4

D. Perumusan Masalah...4

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian...4

F. Metode Penelitian...5

1. Pendekatan Penelitian...5

2. Jenis Penelitian...5

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian...6

4. Teknik Pengumpulan Data ...7

5. Subjek dan Objek Penelitian...8

6. Teknik Pengolahan Data...9

7. Metode Analisis Data...10

G. Sistematika Penulisan...10

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Akad……….12

B. Gadai dalam KUH Perdata………...14


(10)

ix

4. Hukum Akad...21

5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai...23

6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai...24

7. Bertambahnya Barang Gadai...25

8. Resiko Kerusakan Barang Gadai...26

9. Penjualan Barang Gadai...26

10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai...27

11. Riba dalam Gadai...34

12. Pembiayaan Barang Gadai...34

13. Pengambilalihan Barang Gadai...34

14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai...35

15. Pembatalan Akad Gadai...37

16. Berakhirnya Akad Gadai...38

D. Kerangka Konsep...39

E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu...39

BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR A. Letak Geografis...45


(11)

x

3. Jumlah Penduduk Menurut Agama...48

4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...48

5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan....50

D. Sarana dan Prasarana...51

1. Sarana...51

2. Prasarana Kesehatan...51

3. Prasarana Pendidikan...52

4. Prasarana Ibadah...52

5. Prasarana Umum...53

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Identitas Sumber Data...55

B. Pemahaman Petani terhadap Gadai dalam Hukum Islam...56

C. Tata Cara Gadai Sawah Petani Desa Simpar...56

D. Pendapat Tokoh Agama...63

E. Analisis Fikih Muamalah terhadap Praktik Gadai Sawah Petani Desa Simpar...65

1. Tujuan Akad...65


(12)

xi

Gadai...68

6. Bertambahnya Barang Gadai...70

7. Resiko Kerusakan Barang Gadai...70

8. Penjualan Barang Gadai...70

9. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai...71

10. Riba dalam Gadai...73

11. Pembiayaan Barang Gadai...73

12. Pengambilalihan Barang Gadai...74

13. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai...74

14. Pembatalan Akad Gadai...74

15. Berakhirnya Akad Gadai...75

16. Aspek Keadilan dalam Akad...75

17. Analisis Ekonomi terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar……….75

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...81

B. Saran...82


(13)

xii

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Usia...47

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Agama...48

Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian...49

Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan...50

Tabel 3.6 Sarana...51

Tabel 3.7 Prasarana Kesehatan ...51

Tabel 3.8 Prasarana Pendidikan...52

Tabel 3.9 Prasarana Ibadah...53

Tabel 3.10 Prasarana Umum...53


(14)

xiii

Ilustrasi 4.1 Gadai Sawah Biasa...58 Ilustrasi 4.2 Gadai Sawah Gantung...61


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk muamalat yang diperbolehkan dalam Islam, ia merupakan salah satu cara manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya manakala dalam keadaan susah dengan cara meminjam uang dan menyerahkan jaminan, karena manusia sebagai makhluk sosial tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Bahkan menurut pakar fikih kasus gadai pertama dalam Islam dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW yaitu ketika beliau menggadaikan baju besinya untuk membeli gandum kepada seorang Yahudi di Madinah. Di sisi lain gadai juga bisa menjadi sarana beribadah yaitu tolong menolong dalam kebaikan manakala ada orang lain yang sedang kesusahan, dengan cara meminjamkan uang dan menerima barang jaminannya.

Islam sebagai agama yang sempurna telah memberi pedoman bagi umatnya baik dari segi akidah, akhlak, maupun syariah. Termasuk masalah gadai telah diatur di mana dalam pelaksanaannya diharamkan adanya unsur riba dan kezaliman.

Dalam Islam, gadai telah diatur mulai dari syarat dan rukunnya, tata caranya, hak dan kewajiban para pihak yang bergadai hingga hukum pengambilan manfaat atas barang gadai.


(16)

Para petani dan buruh tani desa Simpar yang jumlahnya mencapai 25 persen dari total penduduk desa Simpar1 sering melakukan transaksi gadai sawah. Penulis telah mengamati ada beberapa penerima gadai (murtahin) yang melakukan pemanfaatan/penggarapan sawah gadai secara berlebihan yaitu tanpa mengenal batas waktu hingga penggadai (rahin) mampu membayar pinjamannya. Dalam hukum Islam hal ini dapat dianggap sebagai riba dan kezaliman. Pemanfaatan sawah gadai secara berlebihan tersebut bisa terjadi karena kurangnya pemahaman para pelaku gadai mengenai hukum Islam, atau mereka telah mengetahui dan memahami hukum Islam namun eggan melaksanakannya, kendati masyarakat desa Simpar seluruhnya beragama Islam dan 0,3 persennya merupakan tokoh agama.2

Umat Islam berkewajiban mempelajari ilmu tentang segala sesuatu yang akan dilakukannya agar terhindar dari hal-hal yang haram. Sebagaimana disebutkan dalam kitabTaʻlimul Mutaʻ allim:

Artinya: Orang muslim wajib mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tugas/kondisi dirinya, apapun wujud tugas/kondisi itu”.3

Namun hal ini cenderung diabaikan oleh orang muslim terutama masyarakat awam, termasuk oleh masyarakat desa Simpar khususnya dalam transaksi gadai sawah.

1

Data Lapangan 2015. 2

Ibid.

3


(17)

Melihat kondisi tersebut, nampaknya ada permasalahan mendasar yang membutuhkan perhatian dan penelitian serta dibuatkan pemecahan masalahnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis Skripsi dengan

judul PRAKTIK GADAI SAWAH PETANI DESA SIMPAR

KECAMATAN CIPUNAGARA KABUPATEN SUBANG DALAM

PERSPEKTIF FIKIH MUAMALAH

B. Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai? 2. Apa tujuan para petani melakukan gadai sawah?

3. Apakah para petani memahami hukum Islam mengenai gadai?

4. Apakah praktik gadai para petani sudah memenuhi syarat dan rukunnya?

5. Apakah praktik gadai para petani mengandung riba dan kezaliman? 6. Kepada siapa para petani menggadaikan sawahnya?

7. Digunakan untuk apa hasil gadai sawahnya?

8. Apakah gadai sawah memberikan keuntungan atau kerugian bagi mereka?


(18)

C. Pembatasan Masalah

Pembahasan gadai sawah mempunyai cakupan yang luas, tetapi dalam penelitian ini pembahasannya dibatasi dengan hal-hal berikut ini:

1. Praktik gadai sawah dibatasi pada kegiatan praktik gadai sawah yang dilakukan petani desa Simpar kecamatan Cipunagara kabupaten Subang.

2. Hukum gadai sawah dibatasi pada hukum gadai sawah dalam fikih muamalah.

3. Waktu penelitian dilakukan pada Januari-Februari 2015.

D. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman para petani tentang gadai dalam Islam?

2. Bagaimana praktik gadai sawah para petani dalam perspektif fikih muamalah?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman para petani mengenai gadai dalam Islam.

2. Untuk mengetahui praktik gadai sawah para petani dalam perspektif fikih muamalah.


(19)

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fikih muamalah khususnya tentang gadai di kalangan masyarakat.

2. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dalam rangka pemikiran dan khazanah ekonomi syariah khususnya dalam bidang fikih muamalah.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini termasuk pendekatan normatif dan empiris, dimana praktik gadai sawah petani desa Simpar dianalisis berdasar norma-norma Islam tentang gadai.

2. Jenis Penelitian

Dilihat dari segi level analisis, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yakni penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan dan menguji hipotesis.4

Selain itu ditinjau dari masalah penelitian yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian studi kasus. Menurut

4

Nurul Zuriah,Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan, cet. II (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), h. 47.


(20)

Maxfield penelitian studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.5Dalam hal ini penulis menyelidiki pemahaman dan praktik gadai sawah para petani secara sistematis dan akurat di desa Simpar.

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Sumber data primer yang terdiri dari :

(1) Narasumber, yakni orang yang dijadikan subjek penelitian, dalam hal ini adalah para petani yang melakukan gadai sawah dan tokoh agama.

(2) Informan, yakni orang yang memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi objektif daerah yang diteliti, dalam hal ini adalah perangkat desa.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan yaitu dokumen-dokumen yang ada di kantor desa yang menggambarkan keadaan wilayah dan masyarakat desa Simpar.

Adapun kriteria data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa:

5

E.N.Maxfield, The Case Study , dalam Moh. Nazir, ed.,Metode Penelitian, cet. VII (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 57.


(21)

a. Data primer

Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi yang penulis lakukan terhadap penggadai, penerima gadai, tokoh agama dan perangkat desa.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah data hasil dari penelusuran penulis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi tentang keadaan wilayah dan masyarakat desa Simpar.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan berikut : a. Wawancara/interviu

Wawancara adalah pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder).6 Penulis melakukan wawancara terhadap penggadai, penerima gadai, tokoh agama dan perangkat desa dengan mengacu pada pedoman wawancara yang telah dibuat dan menggunakan alat bantu perekam (recorder).

b. Observasi

Menurut Arikunto observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara teliti

6

Irawan Soehartono, ed.,Metode Penelitian Sosial, cet. VII (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), h. 68.


(22)

serta pencatatan secara sistematis.7 Penulis melakukan pengamatan terhadap penggadai dan penerima gadai yang melakukan penggarapan sawah dengan menggunakan metode observasi non partisipan dimana penulis tidak terlibat dalam aktivitas penggarapan sawah, hanya sebagai pengamat independen. Instrumen yang digunakan adalah daftar pengecekan pragmen perilaku orang yang diobservasi.

c. Teknik Dokumenter

Teknik dokumenter yaitu cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.8Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan data yang bersumber dari arsip Pendataan Profil Desa Simpar dan buku-buku serta kitab-kitab fikih yang membahas tentang gadai.

5. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan akad gadai sawah seperti penggadai dan penerima gadai, juga pihak terkait seperti perangkat desa dan tokoh agama. Adapun objek dalam penelitian ini adalah praktik gadai sawah yang dilakukan petani desa Simpar.

Data penelitian dalam Skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara dengan 8 orang narasumber yang terdiri dari 2 orang penggadai, 3 orang

7

Imam Gunawan, ed.,Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 143.

8


(23)

penerima gadai, 2 orang tokoh agama dan 1 orang perangkat desa. Sampel pelaku gadai dipilih dengan cara purposive sampling, yaitu dipilih berdasar pertimbangan tertentu.9Hal yang penulis pertimbangkan adalah seringnya melakukan akad gadai sawah sehingga penulis memilih petani yang sering melakukan gadai sawah di dusunnya masing-masing. Sampel dipilih 5 orang (1 orang setiap dusun), diharapkan 1 orang tersebut dapat merepresentasikan dusunnya masing-masing, karena pada umumnya para petani melakukan gadai sawah dengan cara yang sama sebab sudah menjadi budaya yang turun temurun.

6. Teknik Pengolahan Data

Data diolah dengan tahapan-tahapan siklus dan interaktif berikut ini : a. Reduksi Data

Menurut Sugiyono reduksi data adalah kegiatan merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dan mencari tema dan polanya.10 Pada tahap ini penulis melakukan penyederhanaan terhadap hasil wawancara (transkrip), observasi dan teknik dokumenter sebelum dilakukan paparan data.

b. Paparan Data

Pada tahap ini penulis memaparkan data yang telah disederhanakan hingga menjadi sekumpulan informasi yang tersusun.

9

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi,Metode Penelitian Survai, cet. IV (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 169

10


(24)

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Pada tahap akhir ini, penulis menyampaikan keputusan terakhir dari sekumpulan informasi yang tersusun untuk menjawab fokus penelitian.

7. Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, menurut Bogdan & Biklen analisis kualitatif adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat diinterpretasikan temuannya kepada orang lain.11Dalam hal ini setelah penulis melakukan penelitian, maka hasil temuannya dianalisis berdasarkan hukum gadai dalam Islam dalam bentuk kalimat (tidak dengan cara menghitung).

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

11


(25)

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

Sub bab pertama pada bab ini membahas tentang gadai dalam perspektif fikih muamalah, Sub bab kedua membahas kerangka konsep, dan sub bab ketiga membahas tinjauan (review) studi terdahulu.

BAB III GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR

Bab ini membahas letak geografis, keadaan topografis, keadaan demografis, sarana dan prasarana desa Simpar.

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

Bab ini menggambarkan identitas sumber data, pemahaman petani terhadap gadai sawah dalam hukum Islam, tata cara gadai sawah petani desa Simpar, pendapat tokoh agama dan analisis fikih muamalah terhadap praktik gadai sawah petani desa Simpar.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran.

Adapun teknik penulisan Skripsi ini mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif


(26)

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Akad

Lafal akad, berasal dari lafal Arab al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki sendiri, seperti kehendak wakaf, membebaskan hutang, talak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dan pihak yang melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.1

Akad adalah kontrak antara dua belah pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam akad, term dancondition-nya sudah ditentukan secara rinci dan spesifik (sudah well-defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.

1

Wahbah al-Zuhaili “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, dalam Saepuddin Arif dan Ah. Azharuddin Lathif, Kontrak Bisnis Syariah (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011), h. 26.


(27)

Akad ada 2 macam yaitu: 1. AkadTabarru’

Akad tabarru’ (gratuitous contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not-for profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akadtabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam Bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah SWT bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part-nya untuk sekedar menutupi biaya (cover the cost) yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad

tabarru’ tersebut. Namun ia tidak boleh sedikitpun mengambil laba dari akadtabarru’ itu. Contoh akad-akadtabarru’ adalahqard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqf, shadaqah, hadiah,dan lain-lain. 2. AkadTijarah

Akad tijarah/mu’awadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersil.


(28)

Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual beli, dan sewa-menyewa.2

B. Gadai dalam KUH Perdata

Dalam Pasal 1150 KUH Perdata, Gadai merupakan suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya; dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.3 Diserahkannya jaminan atas pinjaman uang tersebut. Jaminan tersebut akan dikuasai oleh pemegang gadai selama pelaksanaan gadai sampai ditebusnya jaminan tersebut oleh penggadai.

Gadai dalam KUH Perdata ialah penguasaan atas barang gadai tanpa adanya pemanfaatan dari benda jaminan tersebut. Pelaksanaan gadai yang disebutkan dalam KUH Perdata, pemegang gadai hanya berkuasa dan berkewajiban untuk menyimpan serta menjaga benda yang dijaminkan tanpa adanya hak untuk memanfaatkan barang jaminan tersebut.

2

Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi IV (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 70.

3


(29)

Dalam KUH Perdata, pemegang gadai tidak berhak memanfaatkan barang gadai apalagi sampai melakukan hubungan hukum dengan pihak lain.4 pemegang gadai hanya berhak menyimpan dan berkewajiban menjaga barang yang digadaikan itu.

Ketika penggadai tidak mampu membayar tebusan barang gadai dalam waktu yang telah disepakati maka pemegang gadai akan melakukan lelang, hasil dari lelang akan digunakan untuk membayar uang yang dipinjam penggadai dari pemegang gadai.

Waktu lamanya penggadaian telah ditentukan maksimal 7 tahun. Jika telah lebih dari 7 tahun, maka tanah pertanian yang digadaikan harus dikembalikan kepada pemilik tanah pertanian tersebut (penggadai) tanpa menuntut uang tebusan. Hal ini dikarenakan selama 7 tahun penerima gadai telah mengelola dan menikmati hasil panen dari sawah tersebut.5

C. Gadai dalam Perspektif Fikih Muamalah 1. Pengertian

Gadai (rahn) secara bahasa artinya bisa al-tsubût dan al-dawâm yang artinya tetap, atau ada kalanya berarti al-habsudan al-luzûm yang artinya menahan.6Sedangkan menurut istilah, para ulama fikih mendefinisikan gadai sebagai berikut :

4

Ibid.

5

Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrarian. 6

Wahbah al-Zuhaili,Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid VI, cet. I, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 106.


(30)

a. Ulama Malikiyyah mendefinisikan dengan “harta yang dijadikan

pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”. Menurut mereka, harta yang dapat dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan itu adalah surat jaminannya (setifikat sawah).7

b. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan dengan “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang itu), baik seluruhnya maupun sebagiannya”.8

c. Ulama Hanabilah mendefinisikan dengan “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”.9

7

Al-Dardir, “Al-Syarh al-Saghir bi Syarh al-Sawi”, dalam Nasrun Haroen,Fiqih Muamalat(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.

8

Ibnuʻ Abidin, “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar”, dalam Nasrun Haroen,Fiqih Muamalat(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 252.

9

Syamsuddin Muhammad Ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, ed.,Mughni al-Muhtaj ilâ maʻ rifah maʻ ânî alfadz al-minhaj, juz II, cet. II (Beirut: Dar al-Khatab al-Ilmiyah, 2009), h. 151.


(31)

d. Ulama Syafiʻ iyyah mendefinisikan dengan “menjadikan suatu

benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”.10

Definisi yang diungkapkan ulama Hanafiyyah, Hanabilah dan Syafiʻ iyyah mengandung pengertian bahwa harta yang boleh dijadikan jaminan utang hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana dikemukakan ulama Malikiyyah, sekalipun sebenarnya manfaat menurut mereka termasuk dalam pengertian harta.11

2. Dasar Hukum

Hukum gadai adalah mubah, berdasarkan:

a. Alquran

ﻰ ﻠ ﺻ ...

Artinya:“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang”...(QS. al-Baqarah /2: 283)

b. Hadits

ٌد ﱠﺪ َﺴ ُﻣ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ

:

ِﺪ ِﺣ ا َﻮ ْﻟ ا ُﺪ ْﺒ َﻋ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ

:

َل ﺎ َﻗ ُﺶ َﻤ ْﻋ ْﻷ ا ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ

:

:

:

ﱠﻲ ِﺒ ﱠﻨ ﻟ ا ﱠن َأ َﺻ ﱠﻠ ﻰ ُﷲ . 10 Ibid. 11


(32)

Artinya:“Musaddad menyampaikan kepada kami dari Abdul Wahid bahwa al-Aʻ masy berkata:“kami dan Ibrahim pernah membahas tentang hukum gadai dan jaminan dalam akad pemesanan”. Lalu Ibrahim berkata: “al-Aswad menyampaikan kepada kami dari Aisyah bahwa Nabi SAWpernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tangguh dan menggadaikan baju besinya kepada orang tersebut”.(HR. Bukhari)12

c. Ijmak ulama ahli fikih sepakat akan diperbolehkannya akad gadai, baik dalam keadaanhâdir (berada di tempat) maupunsafar (dalam perjalanan).13

d. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam Fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 telah menetapkan bahwapinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan.14

3. Rukun dan Syarat

Rukun-rukun gadai yaitu :

a. Orang yang berakad (penggadai [rahin] dan penerima gadai [murtahin])

b. Ijab dan kabul (sighat) c. Utang (marhun bih)

d. Harta yang dijadikan jaminan (marhun)

Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun gadai hanyalah ijab dan

12

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, ed.,Shahih Bukhari, jilid I, cet. I, Penerjemah Masyhar dan Muhammad Suhadi (Jakarta: Almahira, 2011), h. 566.

13

Ibnu Qudamah, Ed.,al-Mughni, Jilid VI, penerjemah Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 26.

14

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, ed.,Himpunan Fatwa Keuangan Syariah(Jakarta: Erlangga, 2014), h.738.


(33)

kabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad gadai ini, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh penerima gadai. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan jaminan, dan utang, menurut ulama Hanafiyyah hanya termasuk syarat-syarat gadai bukan rukunnya.15

Adapun syarat-syarat gadai para ulama fikih menyusunnya sesuai dengan rukun gadai itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat gadai adalah sebagai berikut :

a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang yang telah balig dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan balig, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad gadai asal mendapat persetujuan dari walinya.

b. Syarat terkait dengan ijab dan kabul, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu maka syaratnya batal sedangkan akadnya sah. Misalnya, penggadai mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum dibayar, maka jaminan itu diperpanjang 1 bulan. Sementara, jumhur ulama mengatakan bahwa apabila syarat itu ialah syarat yang mendukung

15

Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Masʻud al-Kasani al-Hanafi,Badâ’iussanâiʻ fî tartîbi syarâiʻ, juz VI, cet. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 204.


(34)

kelancaran akad, maka dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad gadai, maka syaratnya batal. Perpanjangan gadai 1 bulan dalam contoh syarat di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat gadai. Karenanya syarat tersebut dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan misalnya, demi sahnya akad gadai, pihak penerima gadai meminta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi.

c. Syarat yang terkait dengan utang yaitu (1) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada penerima gadai, (2) utang itu boleh dilunasi dengan jaminan, dan (3) utang itu jelas dan tertentu.

d. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan, menurut ulama fikih syarat-syaratnya adalah (1) barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (2) berharga dan boleh dimanfaatkan, (3) jelas dan tertentu, (4) milik sah penggadai, (5) tidak terkait dengan hak orang lain, (6) merupakan harta utuh, dan (7) bisa diserahkan baik materinya maupun manfaatnya .16

Disamping syarat-syarat di atas, para ulama fikih sepakat bahwa akad gadai baru dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan secara hukum telah berada di tangan penerima gadaidan uang yang dibutuhkan telah diterima penggadai. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah, maka tidak harus rumah dan tanah itu yang diberikan kepada penerima gadai, cukup sertifikatnya saja. Syarat ini oleh

16

Ibnu Rusyd, ed.,Bidayatul Mujtahid, jilid II, cet. I, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.539.


(35)

para ulama disebut qabd al-marhun bi al-hukm (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh penerima gadai). Syarat ini menjadi penting karena dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah menyatakan “fa rihânun maqbûdah” (barang jaminan itu dipegang/dikuasai [secara hukum]). Apabila jaminan itu telah dikuasai oleh penerima gadai, maka akad gadaibersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu utang terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual untuk membayar utang. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada penggadai.17Untuk al-qabd ini para ulama juga mengemukakan beberapa syarat yaitu :

a. Al-qabdharus atas seizin penggadai.

b. Kedua pihak yang melakukan akad gadai cakap bertindak hukum ketika terjadinyaal-qabd.

c. Barang itu tetap di bawah penguasaan penerima gadai. Syarat ketiga ini dikemukakan oleh Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah, sesuai dengan tuntutan al-Baqarah ayat 283 (fa rihânun maqbûdah).18

4. Hukum Akad

Hukum akad gadai ada 2 yaitu akad yang sah dan akad yang tidak sah. Akad gadai yang sah adalah akad yang memenuhi syarat-syaratnya.

17

Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini,Mughni al-Muhtaj,h. 159.

18

Imam ‘Alauddin Abu Bakar bin Masʻud al-Kasani al-Hanafi,Badâ’iussanâiʻ fî tartîbi syarâiʻ ,h. 208.


(36)

Sedangkan akad gadai yang tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi syarat-syaratnya.

Menurut Ulama Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah ada 2 yaitu akad yang bâtil (batal) dan akad yang fâsid (rusak). Akad yang batal adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan asal akad, seperti pihak yang menggadaikan tidak memiliki kelayakan dan kompetensi melakukan akad contohnya orang gila dan dungu. Sedangkan akad yang rusak adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat yang berkaitan dengan sifat akad, contohnya barang gadai tertempeli oleh selain barang gadai. Seperti menggadaikan rumah yang di dalamnya terdapat barang-barang milik penggadai, namun barang-barang itu tidak termasuk barang gadaian.

Menurut ulama selain Hanafiyyah akad gadai yang tidak sah hanya ada 1 macam yaitu akad yang batal/rusak, yakni akad yang tidak memenuhi syarat-syarat sah gadai yang mereka tetapkan dengan perbedaan pendapat diantara mereka dalam sebagian syarat-syarat tersebut.

Akad gadai yang sah hanya mengikat 1pihak, yaitu hanya bagi penggadai saja, oleh karena itu penggadai tidak memiliki hak untuk membatalkan dan menganulirnya, karena baginya akad gadai adalah akad jaminan utang. Adapun penerima gadai memiliki hak untuk membatalkannya kapan saja, karena akad gadai baginya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan dirinya. Akad gadai menurut seluruh fukaha belum memiliki konsekuensi hukum apa-apa kecuali dengan


(37)

adanyaal-qabd.19

5. Hak dan Kewajiban dalam Gadai

a. Hak Penerima Gadai

(1) Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila penggadai tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. (2) Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang

telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang gadai. (3) Selama pinjaman belum dilunasi, penerima gadai berhak

menahan barang gadai yang diserahkan oleh penggadai. b. Kewajiban Penerima Gadai

(1) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya barang gadai yang diakibatkan oleh kelalaiannya. (2) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk

kepentingan sendiri.

(3) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada penggadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.

c. Hak penggadai :

(1) Penggadai berhak mendapatkan barang gadainya kembali setelah ia mampu melunasi semua pinjamannya.

(2) Penggadai berhak menuntut ganti rugi atasrusaknya atau hilangnya barang gadai, apabila itu disebabkan kelalaian penerima gadai.

19


(38)

(3) Penggadai berhak menerima sisa dari hasil penjualan barang gadai setelah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.

d. Kewajiban penggadai :

(1) Penggadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimannya dalam waktu yang telah ditentukan.

(2) Penggadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam waktu yang telah ditentukan penggadai tidak dapat melunasinya.20

6. Penambahan Utang dan Penambahan Barang Gadai

a. Penambahan Utang

Penambahan utang berartipenggadai meminjam uang lagi kepada penerima gadai dengan jaminan yang sama. Ada 2 pendapat tentang hal ini, pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Muhammad, Ulama Hanabilah dan salah satu versi pendapat Imam Syafiʻ i adalah tidak boleh karena tambahan tersebut merupakan akad gadai baru, atau karena hal ini berarti menggadaikan barang yang telah digadaikan, padahal menggadaikan barang yang telah digadaikan hukumnya tidak boleh, karena barang yang telah digadaikan keseluruhannya telah terikat dengan utang yang pertama.Kedua, pendapat Imam Malik, Abu Yusuf, Abu Tsaur, al-Muzani dan Ibnul Mundzir yang menyatakanboleh. Karena seandainya penggadai memberi tambahan

20


(39)

jaminan lagi, maka itu boleh, begitu juga jika penggadai meminta tambahan utang lagi, makaboleh. Karena tambahan di dalam utang berarti menghapuskan akad gadai yang pertama dan mengadakan akad gadai yang baru lagi dengan utang kedua tersebut, dan hal ini adalah boleh berdasar kesepakatan para ulama.

b. Penambahan Barang Gadai

Penambahan barang gadai adalah memberikan jaminan lagi disamping jaminan yang telah ada dengan utang yang sama, hal ini menurut jumhur ulama diperbolehkan karena itu merupakan bentuk tambahan penguat jaminan yang merupakan tujuan inti dari akad gadai.21

7. Bertambahnya Barang Gadai

Ada 2 ketentuan untuk barang gadai yang bertambah:

a. Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anak binatang yang jadi dan lahir sesudah barang digadaikan tidak termasuk barang gadaian, tetapi tetap menjadi milikpenggadai. Maka jika barang gadaihendak dijual oleh penerima gadai, tambahannya tidak boleh ikut dijual, sebab tambahan itu tidak ikut digadaikan.

b. Tambahan yang tidak dapat dipisahkan seperti tambahan gemuk, tambahan besar, dan anak-anak yang ada di dalam kandungan adalah termasuk barang gadai. Begitu juga dengan bulu binatang yang jika di waktu menggadaikan sudah waktunya dipotong tetapi

21


(40)

tidak dipotongnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk barang gadai. Tetapi jika diwaktu menggadaikan belum waktunya dipotong, maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk barang gadai; penggadai berhak memotong dan mengambil bulu itu apabila tiba waktu memotongnya22.

8. Resiko Kerusakan Barang Gadai

Menurut ulama Hanafiyyah penerima gadai harus menanggung resiko kerusakan atau kehilangan barang gadai yang dipegangnya, baik barang gadai hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya. Sedangkan menurut Ulama Syafiʻiyyah penerima gadai menanggung resiko kehilangan atau kerusakan barang gadaibilabarang gadaiitu rusak atau hilang karena disia-siakan olehnya.23

9. Penjualan Barang Gadai

Apabila disyaratkan barang gadai dijual ketika batas waktunya tiba, maka syarat ini sah dan penerima gadai berhak menjualnya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Syafiʻ i yang menetapkan atas tidak sahnya syarat ini. Dan jika barang gadai kembali ke tangan penggadai dengan kehendak penerima gadai, maka akad gadainya batal.24

Jika di dalam akad gadai disyaratkan bahwa barang gadai harus dijual kepada penerima gadai ketika tiba waktu pelunasan utang, maka akad

22

Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, cet. XXVII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h.311.

23

Abdul Rahman Ghazaly, dkk,Fiqh Muamalat, edisi pertama (Jakarta: Predana Media Grup, 2010), h. 271.

24

Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, jilid V, cet. I, Penerjemah Abdurrahim dan Masrukhin (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), h. 248.


(41)

gadai tersebut tidak sah, karena adanya tempo waktu. Akad jual belinya juga tidak sah karena digantungkan pada masa (adataʻ liqnya)25.

10. Pengambilan Manfaat atas Barang Gadai

a. Pengambilan manfaat oleh penggadai

Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat barang gadai oleh penggadai:

(1) Ulama Hanafiyyah

Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penggadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai kecuali atas izin penerima gadai. Karena al-habsu adalah tertetapkan untuk penerima gadai secara terus menerus yang berarti peggadai dilarang mengambil kembali barang gadai. Namun jika pemanfaatan terhadap barang gadai tidak sampai melepaskan pemegangan penerima gadai terhadap barang gadai, maka diperbolehkan.

(2) Ulama Malikiyyah

Ulama Malikiyyah menetapkantidak boleh bagi penggadai memanfaatkan barang gadai.Mereka juga menetapkan bahwa apabila penerima gadai memberikan izin kepada penggadai maka akad gadai menjadi batal. Karena pemberian izin tersebut dalam hal ini dianggap sebagai bentuk pelepasan hak penerima gadai terhadap barang gadai.

25

Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini,Kifâyatul Akhyâr fî Halli Ghâyatil Ikhtishâr, jilid II, cet. I, Penerjemah Achmad Zaidun dan A. Maʻruf Asrori (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1997), h. 64.


(42)

Namun dikarenakan kemanfaatan-kemanfaatan barang gadai adalah milik penggadai, maka ia boleh menjadikan penerima gadai sebagai wakilnya dalam memanfaatkan barang gadai untuk dirinya, agar kemanfaatan-kemanfaatan barang gadai tidak tersia-siakan. Oleh karena itu, menurut sebagian ulama Malikiyyah apabila penerima gadai ternyata menyia-nyiakan kemanfaatan barang gadai, maka ia menanggung denda biaya sewa standar selama penyia-nyiaan tersebut. Karena berarti dia telah merugikan penggadai. Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa penerima gadai tidak menanggung denda, karena ia memang tidak berkewajiban memanfaatkan barang gadai untuk kepentingan penggadai. Sedangkan sebagian ulama lainnya lagi mengatakan bahwa penerima gadai menanggung denda kecuali jika penggadai mengetahui bahwa dirinya diperbolehkan memanfaatkan barang gadai dengan cara seperti di atas, namun ia tidak mengingkari penyia-nyiaan yang dilakukan penerima gadai tersebut.

(3) Ulama Syafiʻ iyyah

Ulama Syafiʻ iyyah mengatakan bahwa penggadai boleh memanfaatkan barang gadai dengan semua bentuk pemanfaatan yang tidak menyebabkan berkurangnya barang gadai. Karena kemanfaatan barang gadai, perkembangan, dan apa-apa yang dihasilkan oleh barang gadai adalah milik penggadai dan statusnya tidak ikut terikat dengan utang.Hal tersebut didasarkanpada hadits:


(43)

ٍﻞ ِﺗ ﺎ َﻘ ُﻣ ُﻦ ْﺑ ُﺪ ﱠﻤ َﺤ ُﻣ ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ :

ك َر ﺎ َﺒ ُﻤ ْﻟ ا ِﻦ ْﺑ ِﷲ ُﺪ ْﺒ َﻋ ﺎ َﻧ َﺮ َﺒ ْﺧ َأ :

: ِﷲ ُل ْﻮ ُﺳ َر َل ﺎ َﻗ ﱠﻠَﺻ

)) :

ُﺔ َﻘ َﻔ ﱠﻨ ﻟ ا ((

Artinya:“Muhammad bin Muqatil menyampaikan kepada kami dari Abdullah bin al-Mubarak yang mengabarkan dari Zakaria, dari al-Syaʻ bi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Hewan yang sedang digadaikan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas biaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Hewan yang sedang digadaikan boleh diminum susunya sebagai imbalan atas biaya pemeliharaan (yang dikeluarkan). Setiap yang menunggangi hewan gadaian dan meminum susunya

harus mengeluarkan biaya pemeliharaan.” (HR.

Bukhari)26 (4) Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah berpendapat seperti ulama Hanafiyyah, yaitu tidak boleh bagi penggadai memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin atau persetujuan penerima gadai.Kemanfaatan barang gadai dibiarkan dan tidak diambil-meskipun itu dibenci oleh agama-apabila penggadai dan penerima gadai tidak bersepakat atas diizinkannya penggadai memanfaatkan barang gadai.Pendapat ini juga didasarkan atas kaidah bahwa semua kemanfaatan, perkembangan, dan hal-hal yang dihasilkan oleh barang gadai ikut tergadaikan.27

b. Pengambilan manfaat oleh penerima gadai

Berikut pendapat beberapa ulama mengenai pengambilan manfaat

26

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,Shahih Bukhari, h.567. 27


(44)

barang gadai oleh penerima gadai: (1) Ulama Hanafiyyah

Menurut Ulama Hanafiyyah penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai kecuali dengan izin penggadai.Karena penerima gadai hanya memiliki hak al-habsu saja bukan memanfaatkan.Dan apabila penggadai memberi izin kepada penerima gadai, sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara mutlak. Sebagian lagi melarangnya secara mutlak, karena hal itu sama dengan riba atau mengandung kesyubhatan riba, sedangkan izin atau persetujuan tidak bisa menghalalkan riba dan sesuatu yang mengandung syubhat riba. Dan sebagiannya lagi mengklasifikasi apabila di dalam akad disyaratkan penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai, maka tidak bolehkarena itu adalah riba. Namun jika tidak disyaratkan di dalam akad, maka boleh karena hal itu berarti adalahtabarru`(derma) dari penggadai untuk penerima gadai.

(2) Ulama Malikiyyah

Ulama Malikiyyah mengklasifikasi apabila utang dikarenakan akad jual beli atau sejenisnya (akad pertukaran) dan penggadai mengizinkan kepada penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai atau penerima gadai mensyaratkan ia boleh memanfaatkan barang gadai, maka hal itu diperbolehkan


(45)

dan pemanfaatan tersebut harus ditentukan batas waktunya dengan jelas agar tidak mengandung unsur jahalah (ketidakjelasan) yang bisa merusak akad sewa. Karena ini adalah bentuk jual beli dan sewa, dan ini diperbolehkan. Namun apabila utangdalam bentuk pinjaman (qard), maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori pinjaman utang yang menarik kemanfaatan.Begitu pula jika penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai secara cuma-cuma (tanpa disyaratkan oleh penerima gadai) maka tidak diperbolehkan karena termasuk kategori hadiah

midyânyang dilarang oleh Rasulullah SAW. (3) Ulama Syafiʻ iyyah

Ulama Syafiʻ iyyah secara garis besar berpendapat seperti Ulama Malikiyyah, yaitu penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa barang gadaian tidak boleh menjadi milik orang yang memberi pinjaman.

Apabila utang berupa qard dan penerima gadai mensyaratkan sesuatu yang merugikan pihak penggadai, misalnya apa-apa yang dihasilkan oleh barang gadai atau pemanfaatan barang gadai adalah untuk penerima gadai, maka syarat tersebut tidak sah dan menurut pendapat yang lebih kuat akad gadai tersebut juga tidak sah. Hal ini didasarkan pada haditsyang menyatakan bahwa setiap syarat yang tidak terdapat di dalam


(46)

Kitabullah, maka syarat tersebut batal dan tidak sah.Alasan lain atas tidak sahnya syarat tersebut adalah karena bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh akad gadai, sama seperti mensyaratkan sesuatu yang merugikan penggadai.

Adapun jika utangdikarenakan akad jual beli secara tidak tunai dan kemanfaatan tersebut ditentukan atau diketahui, maka sah mensyaratkan kemanfaatan barang gadai untuk penerima gadai. Karena itu adalah suatu bentuk penggabungan antara akad jual beli dengan akad sewa, dan hal itu diperbolehkan.

(4) Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah mengklasifikasi apabila barang gadai berupa hewan kendaraan atau hewan perah, maka penerima gadai boleh memanfaatkannya dengan syarat menaikinya atau memerah susunya disesuaikan dengan kadar nafkah dan biaya kebutuhan barang gadai yang dikeluarkan oleh penerima gadai. Meskipun penggadai tidak mengizinkan hal tersebut.

Namun untuk barang gadai selain hewan dansesuatu yang tidak butuh pembiayaan untuk memberi makan, maka penerima gadai sama sekali tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin penggadai. Karena barang gadai, kemanfaatan-kemanfaatannya, dan apa yang dihasilkannya adalah milik penggadai. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya tanpa seizin penggadai.


(47)

Apabila penggadai mengizinkan penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadai, ulama Hanabilah mengklasifikasi: pertama, jika pemanfaatan tersebut tanpa imbalan (cuma-cuma) sedangkan utang berupa qard(pinjaman), maka tidak boleh karena termasuk pinjaman utang yang menarik kemanfaatan dan hal itu diharamkan. Dan jika penerima gadai memanfaatkannya, maka harus dihitung sebagai bagian dari pembayaran utang penggadai. Namun apabila penggadaian dikarenakan utang selain qard, maka boleh. Meskipun disertai unsur al-muhâbâh dalam biaya sewa (maksudnya, hal itu dilakukan dengan tujuan tersembunyi untuk membujuk dan mengambil hati orang yang bersangkutan).

Kedua, Jika pemanfaatan tersebutdengan imbalanajrul mitsli (biaya sewa standar)maka boleh baik utang berupa qard

maupun yang lainnya. Karena di sini berarti penerima gadai tidak memanfaatkan atas dasarqard, akan tetapi atas dasarijarah(sewa). Namun jika ada unsur al-muhâbâh di dalamnya, maka tidak boleh jika utang berupaqard, dan jika utang bukanqard, maka boleh.

Hadits yang dijadikan dasar oleh Ulama Hanabilah sama dengan hadits yang dijadikan dalil oleh Ulama Syafiʻ iyyah di atas. Menurut mereka, susunan kata “zahru yurkabu” dan “laban al-darriyusyrabu” memang dalam bentuk berita, namun mengandung

arti kalimatinsyâ`seperti pada ayat :

َو ْﻟا َﻮ ِﻟا َﺪ ُت ا ْﺮ ِﺿ ْﻌ َﻦ َأ ْو َﻻ َد ﱠﻦ َﺣ ْﻮ َﻟ ِﻦ َﻛ ِﻣ ﺎ َﻠ ِﻦ

ﻰ ﻠ ﺻ

ِﻟ َﻤ ْﻨ َﺄ َر َدا َأ ْن ِﺘ ﱠﻢ ﱠﺮ ﻟ ا َﺿ َﻋ ﺎ َﺔ

... ﻰ ﻠ ﻗ


(48)

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”.(QS. al-Baqarah/2 : 233)28

11. Riba dalam Gadai

Perjanjian gadai pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya, riba akan terjadi dalam gadai apabila :

a. Dalam akad gadai ditentukan bahwa penggadaiharus memberikan tambahan kepada penerima gadaiketika membayar utangnya. b. Ketika akad ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut

dilaksanakan.

c. Bila penggadai tidak mampu membayar utang hingga waktunya tiba, kemudian penerima gadai menjual barang gadaidan tidak memberikan kelebihan harga barang gadai kepada penggadai.29

12. Pembiayaan Barang Gadai

Biaya barang gadai, baik biaya pemeliharaannya maupun biaya pengembaliannya menjadi tanggungan penggadai. Apabila penerima gadai mengeluarkan biaya untuk barang gadai dengan izin hakim ketika penggadai tidak ada di tempat atau enggan mengeluarkan biaya, maka itu menjadi utang yang harus dibayar oleh penggadai kepada penerima gadai.30

13. Pengambilalihan Barang Gadai

Islam menghapus tradisi orang-orang Arab yang apabila penggadai

28

Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali al-Sayis,Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih, Penerjemah Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), h. 315.

29

Hendi Suhendi,Fiqih Muamalah(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.111. 30


(49)

tidak mampu membayar utangnya, maka barang gadai lepas dari kepemilikannya dan menjadi hak milik penerima gadai.31 Dalam Hadits Muawiyah bin Abdullah bin Jaʻ far disebutkan bahwa seorang laki-laki menggadaikan sebuah rumah di Madinah sampai batas waktu yang ditentukan, ketika batas waktunya habis dan penerima gadai berkata

“rumah ini menjadi milikku”, maka Rasulullah SAWbersabda:

ﺎ َﻨ َﺛ ﱠﺪ َﺣ

: : ﻰ )) : ((

Artinya:“Muhammad bin Humaid menyampaikan kepada kami dari Ibrahim bin al-Mukhtar, dari Ishaq bin Rasyid, dari al-Zuhri, dari Saʻ id bin al-Musayyib, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “barang gadaian tidak boleh menjadi milik (orang yangmemberi pinjaman).”(HR. Ibnu Majah)32

14. Perselisihan Penggadai dan Penerima Gadai

Jika terjadi perselisihan antara penggadai dan penerima gadai, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:

a. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang pokok utang atau tentang jumlah barang gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai.

b. Jika penggadai dan penerima gadai berselisih tentang penerimaan barang gadai dan barang tersebut berada di tangan penggadai, maka yang dibenarkan adalah penggadai. Namun, jika barang tersebut berada di tangan penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah

31

Ibid., h. 247. 32

Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, ed.,Sunan Ibnu Majah, cet. I, Penerjemah Saifuddin Zuhri(Jakarta: Almahira, 2013), h. 436.


(50)

penerima gadai.

c. Jika penggadai menuduh penerima gadai telah menggasab barang gadai dan penggadai mengaku bahwa ia tidak memberikan izin kepada penerima gadai dalam penerimaan barang tersebut, maka menurut qaul sahihyang dibenarkan adalah ucapan penggadai. Sebab, pada asalnya izin penerimaan barang tersebut tidak ada, dan pada asalnya ketetapan akad gadai juga tidak ada.

d. Seandainya penggadai mengaku “saya menyerahkan barang gadai itu untuk sewa menyewa, untuk pinjam meminjam, untuk titipan”. Maka yang dibenarkan adalah pengakuan penggadai, menurut qaul asahyang telah disahkan oleh Imam Syafiʻ i.

e. Jika penggadai menyatakan kepada penerima gadai: “Ya, saya

memberi izin kepadamu untuk menerima barang gadaian ini, tetapi sebelum kamu menerima barang itu saya menarik kembali izin saya”. Maka menurut qaul sahih, yang dibenarkan adalah penerima gadai.

f. Jika penggadai menyatakan bahwa penerima gadaimengakui dirinya telah menerima barang gadai itu, kemudian penerima gadai menyanggah kepada penggadai: “pengakuan saya itu tidak sebenarnya”. Maka penggadai berhak menuntut sumpah dari penerima gadai tentang pengakuan tersebut.

g. Jika penerima gadai memberi izin terhadap penjualan barang gadai, ternyata kemudian barang itu dijual, lalu penerima gadai mencabut


(51)

kembali izinnya dengan menyatakan “saya mencabut kembali izin

saya sebelum barang itu dijual”. Di pihak lain, penggadai

menyatakan “kau mencabut izinmu setelah barang ini terjual”.

Maka menurut qaul asahyang dibenarkan adalah pengakuan penerima gadai.

h. Jika penggadai mengingkari sama sekali pencabutan kembali oleh penerima gadai, maka yang dibenarkan adalah pihak penggadai. i. Barang siapa mempunyai tanggungan 2 utang, salah satu utang

tersebut berstatus gadaian, lalu ia membayar salah satu utangnya

dengan mengatakan ”saya membayar kepada pihak yang

berpiutang untuk utang saya yang berstatus gadaian”. Menurut

qaulsahih ucapan orang tersebut dibenarkan dengan bersumpah terlebih dahulu, sebab dia sendiri yang lebih tahu tentang niatnya.33

15. Pembatalan Akad Gadai

Penarikan kembali/pembatalan akad gadai bisadilakukan dengan ucapan ataupuntindakan. Tindakan yang menyebabkan batalnya akad gadai adalah menggunakan barang gadaidalam bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan status kepemilikan, seperti memerdekakan budak gadaian, menjual barang gadai, menjadikannya sebagai maskawin atau upah kerja, meggadaikannya lagi kepada pihak lain atau menghibahkannya kepada pihak lain.34

33

Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini,Kifâyatul Akhyâr Fii Halli Ghâyatil Ikhtishâr, h. 66.

34


(52)

16. Berakhirnya Akad Gadai

Akad gadai selesai/berakhir karena beberapa hal berikut ini: a. Diserahkannya barang gadai kepada penggadai.

b. Terlunasinya seluruh utang yang ada.

c. Penjualan barang gadai secara paksa yang dilakukan oleh penggadai atas perintah hakim atau yang dilakukan oleh hakim ketika penggadai menolak untuk menjual barang gadai.

d. Terbebaskannya penggadai dari utang dengan cara apapun, misalnya dengan akad hiwalah, dimana penggadai sebagai muhil

dan penerima gadai sebagaimuhal.

e. Pembatalan akad gadai dari pihak penerima gadai atau dengan kata lain, penerima gadai membatalkan akad gadai yang ada, walaupun pembatalan tersebut hanya sepihak.

f. Menurut ulama Malikiyyah, akad gadaibatal apabila sebelum terjadi al-qabd, penggadai meninggal dunia atau jatuh pailit, atau para pihak yang berpiutang lainnya selain penerima gadai menagih penggadai.

g. Hancurnya barang gadai.

h. Para pihak melakukan pentasarufan terhadap barang gadai dengan meminjamkannya, menghibahkanya atau mensedekahkannya.35

35


(53)

D. Kerangka Konsep

Berikut beberapa hal yang dijadikan landasan peneliti dalam memecahkan masalah yang telah diuraikan sebelumnya:

Ilustrasi 2.1 Kerangka Konsep

E. Tinjauan (review) Studi Terdahulu

Sepanjang pengamatan penulis, berikut penelitian terdahulu yang membahas gadai di kalangan masyarakat :

1. Pada tahun 2011 telah ditulis skripsi atas nama Sarki (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dengan judul “Praktik

Gadai diperbolehkan dalam Islam

Praktik gadai sawah para petani Pemahaman para

petani tentang gadai

Hasil Penelitian

Pendapat Tokoh Agama

Analisis Fikih Muamalah


(54)

Gadai di Kalangan Masyarakat Desa Argapura Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dalam Perspektif Hukum Islam”.Penelitian ini bertujuan menganalisis praktik gadai yang dilakukan masyarakat desa Argapura dalam kerangka hukum Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian pustaka dan lapangan, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, studi dokumenter dan studi pustaka. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada 3 jenis gadai yang sering dilaksanakan masyarakat desa Argapura yaitu gadai kendaraan, pepohonan, dan tanah (sawah dan kebun), namun tidak ada data yang valid mengenai barang dan jumlah gadai di desa tersebut. Dan hasil analisisnya menyatakan bahwa praktik gadai di desa Argapura mengandung riba dan haram untuk diteruskan karena beberapa hal, yakni para penerima gadai di desa Argapura bermaksud mencari keuntungan, tidak terdapat ketentuan waktu kecuali penggadaidapat melunasi pinjamannya, dan penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang gadai dengan sepuas-puasnya walaupun tidak mengeluarkan biaya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis berdasarkan hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti oleh Sarki adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan masyarakat desa Argapura, sedangkan penulis fokus pada praktik gadai sawah yang dilakukan para petani desa Simpar.


(55)

2. Pada tahun 2012 telah ditulis pula skripsi atas nama Kuroh (Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang) dengan judul“Analisis Hukum

Islam terhadap Pemanfaatan Sawah Gadai (Persepsi Ulama Salem terhadap Praktik Gadai Sawah di Desa Banjaran, Salem, Brebes)”.

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis persepsi ulama kecamatan Salemterhadap pemanfaatan sawah gadai yang dilaksanakan di desa Banjaran, kecamatan Salem, kabupaten Brebes. Jenis penelitian yang dilakukan adalah field research, menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primerberupa hasil wawancara dengan para ulama, penggadaidan penerima gadai. Sementara sumber data sekunder berupa dokumen, buku, catatan dan sebagainya. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada 2 kelompok ulama Salemyang memiliki persepsi berbeda tentang pemanfaatan sawah gadai. Pertama, kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai oleh penerima gadai yang dilaksanakan di desa Banjaran tersebut diperbolehkan dan tidak termasuk ke dalam kegiatan eksploratif. Kedua, kelompok yang memiliki persepsi bahwa pemanfaatan sawah gadai oleh penerima gadai di desa Banjaran tersebut tidak diperbolehkan meskipun hasil yang diperoleh hanya sedikit saja, karena kegiatan pinjam-meminjam yang mensyaratkan adanya


(56)

pengambilan manfaat dapat dikategorikan sebagai riba. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis berdasarkan hukum Islam, perbedaannya adalah Kuroh hanya memfokuskan pada pemanfaatan sawah gadai di desa Banjaran, sedangkan penulis meneliti seluruh aspek yang berhubungan dengan praktik gadai sawah di desa Simpar.

3. Pada tahun 2013 juga telah ditulis skripsi atas nama Nurhabibah (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) dengan judul “Analisis Dampak Perekonomian dalam Gadai Sawah di Kalangan Petani Muslim (Studi di Desa Karang Patri Kecamatan Pebayuran Kabupaten

Bekasi)”.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisisdampak perekonomian di kalangan petani muslim yang menggadaikan sawahnya. Variabel yang menjadi fokusnyaadalah pendapatan petani sebelum menggadaikan sawah (X1) dan pendapatan

petani sesudah menggadaikan sawah (X2). Data yang digunakan dalam

penelitian ini diperoleh dari hasilpenyebaran kuesioner dan wawancara dengan pihak terkait. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji validitas dan uji reliabilitas yang menggunakan aplikasi SPSS 17, juga menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui besar perbedaan suatu data sebelum dan sesudah menggadaikan sawah yang kemudian diberi ranking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada dampak penurunan perekonomian pada petani muslim yang menggadaikan sawahnya. Uji wilcoxonmenunjukkan bahwa nilai z hitung ≥ z tabel


(57)

yaitu 5,510 ≥ 1,645 sehingga hipotesis nol ditolak, hal ini terjadi karena ketika petani menggadaikan sawahnya, mereka umumnya mengalami penurunan perekonomian. Tidak hanya dilihat dari pendapatan yang turun secara finansial, tetapi juga perpindahan pekerjaan petani yang menggadaikan sawahnya menjadi buruh tani, TKI, dan sebagainya. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti para petani muslim yang melakukan gadai sawah. Adapun perbedaannya adalah Nurhabibah menganalisis dampak perekonomian yang timbul di kalangan para petani desa Karang Patri setelah menggadaikan sawahnya dengan metode kuantitatif, sedangkan penulis menganalisis kesesuaian praktik gadai sawah para petani desa Simpar dengan fikih muamalah menggunakan metode kualitatif.

4. Terakhir, pada tahun 2014 telah ditulis skripsi atas nama Syahrul Munir Abdul Hakim (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) dengan judul“Aplikasi Gadai Masyarakat Muslim (Studi pada Masyarakat RW. 03 Kelurahan Cirendeu Kecamatan Ciputat

Timur)”.Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi aplikasi gadai di kalangan masyarakat muslim RW. 03 kelurahan Cirendeu kecamatan CiputatTimur kota Tangerang Selatan, disertai dengan analisis kesesuaian aplikasi gadai tersebut dengansyariat Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif. Metodeanalisis yang digunakan adalah analisis statistik desktriptif dan


(58)

deskriptif analisis. Dengan statistik deskriptif, data disajikan dalam bentuk tabel dan uraian mengenai hal-hal yang terdapat dalam aplikasi gadai. Deskriptif analisis memberikan gambarandan informasi terhadap fakta aplikasi gadai, juga memberikan penilaian berdasarkan pendapat ulama fikih. Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa dalam transaksi gadai masyarakat muslim kelurahan Cirendeu terdapat hal-hal yang sejalan dengan pendapat ulama fikih seperti rukun dan syarat-syarat gadai, penyerahan barang gadai, tanggung jawab rusaknya barang gadai dan berakhirnya gadai. Adapula yang bertentangan dengan pendapat ulama fikih seperti imbalan dan pemanfaatan barang gadai. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah meneliti praktik gadai dan dianalisis berdasarkan hukum Islam, perbedaannya praktik gadai yang diteliti oleh Syahrul Munir Abdul Hakim adalah seluruh praktik gadai yang dilakukan masyarakat RW. 03 kelurahan Cirendeu, sedangkan penulis fokus pada praktik gadai sawah yang dilakukan para petani desa Simpar.


(59)

BAB III

GAMBARAN UMUM DESA SIMPAR

A. Letak Geografis

Secara geografis desa Simpar merupakan bagian dari kecamatan Cipunagara kabupaten Subang provinsi Jawa Barat dengan batas-batas wilayah:

1. Sebelah utara : desa Sukadana, kecamatan Compreng 2. Sebelah selatan : desa Jati, kecamatan Cipunagara 3. Sebelah barat : desa Kamarung, kecamatan Pagaden 4. Sebelah timur : desa Kosambi, kecamatan Cipunagara Luas wilayah desa Simpar adalah 835,415 ha yang terdiri dari:

1. Luas pemukiman : 145,716 ha

2. Luas persawahan : 614,800 ha

3. Luas kuburan : 2,474 ha

4. Luas pekarangan : 68,483 ha

5. Luas taman : 2,526 ha

Adapun jarak desa Simpar dari pusat pemerintahan adalah:

1. Jarak dari kantor desa ke dusun terjauh : 3 km 2. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan: 7 km

3. Jarak dari ibukota kabupaten : 18 km

4. Jarak dari ibukota provinsi : 80 km


(60)

Desa Simpar terdiri dari 5 dusun yaitu dusun Simpar, Kacepet, Babakan, Kunir, dan Lampegan yang terbagi ke dalam 12 RW dan 31 RT dengan pembagian sebagai berikut:

1. Dusun Simpar terdiri dari 3 RW yaitu RW 01 s/d RW 03, dan terdiri dari 8 RT yaitu RT 01 s/d RT 08.

2. Dusun Kacepet terdiri dari 2 RW yaitu RW 04 s/d RW 05, dan terdiri dari 14 RT yaitu RT 09 s/d RT 13.

3. Dusun Babakan terdiri dari 1 RW yaitu RW 06 dan terdiri dari 4 RT yaitu RT 14 s/d RT 17.

4. Dusun Kunir terdiri dari 3 RW yaitu RW 07 s/d RW 10 dan terdiri dari 9 RT yaitu RT 18 s/d RT 27.

5. Dusun Lampegan terdiri dari 2 RW yaitu RW 11 s/d RW 12 dan terdiri dari 4 RT yaitu RT 28 s/d RT 31.

B. Keadaan Topografis

Keadaan topografis desa Simpar adalah sebagai berikut:

1. Ketinggian dari permukaan laut : 24 m

2. Banyaknya curah hujan : 2000 mm/th

3. Jumlah bulan hujan : 6 bulan

4. Kelembapan : 3%

5. Suhu rata-rata harian : 28-33 ̊celcius


(61)

C. Keadaan Demografis

Desa Simpar memiliki penduduk sebanyak 4.668 jiwa per-tahun 2014 dengan perincian sebagai berikut:

1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut jenis kelamin:

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

2. Jumlah Penduduk Menurut Usia

Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut usia: Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Menurut Usia

No Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 2.254

2 Perempuan 2.414

Jumlah 4.668

No Usia Jumlah

1 0-9 751

2 10-19 695

3 20-29 721


(62)

Sumber: Data Lapangan 2015

3. Jumlah Penduduk Menurut Agama

Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut agama: Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Menurut Agama

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut mata pencaharian:

5 40-49 659

6 50-59 523

7 60-69 364

8 70 + 296

Jumlah 4.668

No Agama Jumlah

1 Islam 4.668

2 Kristen

-3 Hindu

-4 Budha

-5 Aliran kepercayaan lain


(63)

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani 700

2 Buruh tani 484

3 Buruh migran 172

4 PNS 59

5 Pengrajin industri rumah tangga 5

6 Pedagang keliling 34

7 Peternak 20

8 Montir 5

9 Perawat 2

10 Pembantu rumah tangga 5

11 Pensiunan TNI/POLRI 8

12 Pengusaha kecil dan menengah 4

13 Dukun kampung terlatih 2

14 Jasa pengobatan alternatif 6

15 Karyawan perusahaan swasta 197

16 Karyawan BUMN 10

17 LSM 4

18 Tidak/belum bekerja 2.951


(64)

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

5. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Berikut adalah tabel data mengenai jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan:

Tabel 3.5

Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Usia 3-6 tahun belum masuk TK 98

2 Usia 3-6 tahun sedang TK 192

3 Usia 7-18 tidak pernah sekolah 13

4 Usia 7-18 sedang sekolah 765

5 Usia 18-56 tidak pernah sekolah 55

6 Usia 18-56 pernah SD tetapi tidak tamat 234

7 Tamat SD sederajat 835

8 Usia 12-56 tahun tidak tamat SMP 316

9 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 487

10 Tamat SMP/sederajat 827

11 Tamat SMA/sederajat 523

12 Tamat D1/sederajat 109

13 Tamat D2/sederajat 65

14 Tamat D3/sederajat 72


(65)

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

D. Sarana dan Prasarana 1. Sarana

Berikut adalah tabel data mengenai sarana yang ada di desa Simpar: Tabel 3.6

Sarana

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

2. Prasarana Kesehatan

Berikut adalah tabel data mengenai prasarana kesehatan yang ada di desa Simpar:

Tabel 3.7 Prasarana Kesehatan

Jumlah 4.668

No Sarana Jumlah

1 Kantor desa 1

2 Jalan desa 6,1 km

3 Jalan kabupaten 2,3 km

No Prasarana Jumlah


(66)

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

3. Prasarana Pendidikan

Berikut adalah tabel data mengenai prasarana pendidikan yang ada di desa Simpar:

Tabel 3.8 Prasarana Pendidikan

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

4. Prasarana Ibadah

Berikut adalah tabel data mengenai prasarana ibadah yang ada di desa Simpar:

2 Posyandu 6

3 Polindes (Poliklinik desa) 1

No Prasarana Jumlah

1 Perpustakaan desa

-2 Gedung PAUD 2

3 Gedung TK 2

4 Gedung SD 4

5 Gedung SMP 3

6 Gedung SMA 2


(67)

-Tabel 3.9 Prasarana Ibadah

Sumber: Pendataan Profil Desa Simpar 2014

5. Prasarana Umum

Berikut adalah tabel data mengenai prasarana umum yang ada di desa Simpar:

Tabel 3.10 Prasarana Umum

No Prasarana Jumlah

1 Masjid 4

2 Musala 43

3 Gereja

-4 Pura

-5 Vihara

-6 Prasarana ibadah lainnya

-No Prasarana Jumlah

1 Olahraga 5

2 Sanggar

-3 Balai pertemuan 3

4 Sumur desa

-5 Pasar desa


(68)

(69)

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Identitas Sumber Data

Identitas sumber data berdasar peran, alamat, usia, dan pendidikan terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1 Identitas Sumber Data

No Nama Peran Alamat Usia

Pendidikan Terakhir

1 Saepudin Penggadai Simpar 44 SMA

2 Tati Penggadai Kacepet 40 SD

3 Suhendi Penerima gadai Babakan 62 PGA

4 Winata Penerima gadai Kunir 51 SD

5 Ugan

Suganda

Penerima gadai Lampegan 45 SMA

6 Mursyid

Shobandi

Tokoh agama Babakan 58 S1

7 Humaedi Tokoh agama Kunir 39 S2

8 Jaeni Perangkat desa Simpar 43 S1


(70)

B. Pemahaman Petani terhadap Gadai dalam Hukum Islam

Pemahaman para petani mengenai aturan gadai dalam Islam masih sangat minim, mereka hanya memahami bahwa gadai adalah transaksi meminjam uang dengan jaminan dimana 1 pihak membutuhkan uang dan 1 pihak lagi membutuhkan jaminan,1dan gadai yang sesuai dengan ajaran Islam adalah gadai yang barang jaminannya jelas/ada,juga tidak ada bunga ketika mengembalikan pinjaman.2Jadi transaksi gadai sudah dianggap sebagai suatu transaksi yang bertujuan mencari keuntungan, bukan lagi tolong menolong seperti tujuan gadai dalam Islam.

Pemahaman yang minim tersebut muncul selain karena mayoritas para petani berlatar belakang pendidikan SD dan SMP3 dan hanya mendapat pendidikan agama dari pengajian di masjid, hal tersebut juga timbul karena kurangnya dakwahpara tokoh agama mengenai tata cara bermuamalah yang sesuai dengan ajaranIslam, khususnya mengenai gadai. Hal yang sering disampaikan dalam khutbah/ceramah merekahanya seputar ibadah dan akidah saja.

C. Tata Cara Gadai Sawah Petani Desa Simpar

Akad gadai sawah yang sering terjadi di kalangan petani desa Simparpada umumnya dilaksanakan antar individu, jarang sekali dilaksanakandi lembaga keuangan. Desa Simpar sendiri belum memiliki lembaga keuangan, adapun

1

Wawacara Pribadi dengan Winata. Subang, 3 Februari 2015. 2

Wawancara Pribadi dengan Tati. Subang, 2 Februari 2015. 3

Pendataan Profil Desa Simpar menunjukkan bahwa 17,8 % masyarakat berlatar belakang pendidikan SD, dan 17,7 % berlatar belakang SMP.


(71)

lembaga keuangan yang sering memberikan pembiayaan UMKMkepada masyarakat yaitu Koperasi Galih Artha milik swasta yang berlokasi di dusun Kunir, dan UPK (Unit Pengelola Kecamatan) yang berlokasi di kecamatan Cipunagara.

Tata cara gadai sawah yang sering dilakukan para petani tidak merujuk pada aturan tertentu, baik itu Undang-Undang ataupun fikih Islam. Tata cara yang diperlihara adalah budaya yang berlaku di kalangan masyarakat yang sejak lama dilaksanakan secara turun temurun.

Biasanya akad gadai diawali dengan calon penggadai (pihak yang membutuhkan uang) atau orang kepercayaannya datang kepada calon penerima gadai dan menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang dengan menggadaikan sawahnya, jika penerima gadai mempunyai cukup uang untuk dipinjamkan dan telah mengetahui kualitas sawah yang akan digadaikan, maka terjadilah kesepakatan. Biasanya akad ini disepakati dengan tulisan (menggunakan kwitansi dan materai).4

Ada 2 jenis praktik gadai sawah yang sering dilakukan petani desa Simpar, yaitu:

1. Gadai biasa

Gadai biasa adalah akad gadai dimana penggadai (pemilik sawah) meminjam uang kepada penerima gadai dengan perjanjian sawah digarap oleh penerima gadai, dan hasilnya dinikmatioleh penerima gadai sepenuhnya. Umumnya perjanjian disepakati 1tahun, namun jika

4


(72)

dalam tempo 1 tahun penggadai belum bisa mengembalikan pinjamannya, maka penerima gadai melanjutkan penggarapan sawah

sampai penggadai bisa membayar pinjamannya, atau

dipindahtangankan kepada orang lain atas izin penggadai. Mekanisme gadai biasa dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini:

Ilustrasi 4.1 Gadai sawah biasa

b. Memberi pinjaman uang

e. Membayar utang

a. Meminjam uang

d.Menggarap sawah

f. Mengembalikan sawah

c. Menyerahkan sawah Keterangan:

a. Penggadai/orang kepercayaanya dating kepada calon penerima gadai menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang dengan jaminan sawah (gadai sawah).

Utang

Penerima Gadai

Sawah Penggadai


(73)

b. Setelah luas sawah, besar pinjaman, dan lama perjanjian disepakati, maka penerima gadai menyerahkan pinjaman uang kepada penggadai.

c. Penggadai secara otomatis mengizinkan penerima gadai untuk menggarap sawahnya sesuai dengan waktu yang disepakati. d. Penerima gadai menggarap sawah hingga penggadai bisa

mengembalikan pinjamannya.

e. Penggadai membayar seluruh utangnya kepada penerima gadai jika telah mampu.

f. Penerima gadai menyerahkan sawah untuk digarap kembali oleh penggadai.

Contoh penggadai sawah biasa adalah ibuTati, ia menggadaikan sawahnya kepada bapak Dimyati seluas 1 ha dan menerima pinjaman sebesar Rp.70.000.000,- dengan perjanjian selama2 tahun. Akad ini baru berjalan selama 7 bulan dan sawah digarap oleh bapak Dimyati serta seluruh hasilnyadinikmati olehnya.5

Contoh penerima gadai biasa adalah bapak Suhendi, ia menggarap sawah seluas 350 bata (4900 m2)6, dan meminjamkan uang kepada bapak Sanusi sebesar Rp. 44.000.000,-akad ini sudah berjalan selama 7 tahun,karena bapak Sanusi belum bisa membayar utangnya.7

5

Wawancara Pribadi dengan Tati. Subang, 2 Februari 2015. 6

Observasi dilakukan pada 4 Februari 2015, Pukul 10.00 7


(74)

Contoh penerima gadai biasa lain adalah bapak Winata, ia menggarap sawah seluas 150 bata (2100 m2)8, dan meminjamkan uang kepada bapak Atang sebesar Rp. 31.000.000,- akad ini sudah berjalan selama 6 bulan.9

2. Gadai gantung

Gadai gantung adalah akad gadai dimana penggadai (pemilik sawah) meminjam uang kepada penerima gadai dengan perjanjian sawah tetap digarap oleh penggadai dan setiap tahun penggadai harus membayar uang sewa kepada penerima gadai (atas dasar asumsi bahwa penerima gadai menyewakan sawah kepada penggadai) yang nilainya telah disepakati sebelumnya sampai penggadai bisa membayar pokok pinjamannya. Jika penggadai tidak mampu membayar uang sewa kepada penerima gadai, maka sawah diambil alih (digarap) oleh penerima gadai sampai penggadai bisa membayar uang sewa. Perjanjian awal umumnya disepakati 1tahun.10Berikut adalah ilustrasi mekanisme gadai gantung :

8

Observasi dilakukan pada 4 Februari 2015, Pukul 14.00 9

Wawancara Pribadi dengan Winata. Subang, 3 Februari 2015. 10


(75)

Ilustrasi 4.2 Gadai sawah gantung

b. Memberi pinjaman uang

f. Membayar utang

g. Menerima pembayaran a. Meminjam uang

e. Menerima uang sewa

c. Menggarap sawah

d. Membayar uang sewa

Keterangan :

a. Penggadai/orang kepercayaanya dating kepada calon penerima gadai menyampaikan maksudnya untuk meminjam uang dengan jaminan sawah (gadai sawah).

b. Setelah luas sawah, besar pinjaman, dan lama perjanjian disepakati, maka penerima gadai menyerahkan pinjaman uang kepada penggadai.

c. Penggadai tetap menggarap sawah miliknya.

Utang

Penerima Gadai

Sawah Penggadai


(76)

d. Penggadai menyerahkan uang sewa tahun pertama kepada penerima gadai (dipotong dari pinjaman) dan selanjutnya membayar uang sewa setiap tahun hingga ia bisa mengembalikan pinjamannya.

e. Penerima gadai menerima pembayaran uang sewa.

f. Penggadai membayar seluruh utangnya kepada penerima gadai jika telah mampu.

g. Penerima gadai menerima pembayaran utang tersebut dan secara otomatis hilanglah kewajiban penggadai untuk membayar uang sewa setiap tahun.

Contoh penerima gadai gantung adalah bapak Ugan Suganda, ia meminjamkan uang kepada bapak Cecep sebesar Rp. 350.000.000,-dengan jaminan sawah seluas 3,5 bau (2,45 ha)tetapi hanya menyerahkan pinjaman sebesar Rp. 280.000.000,- karena Rp. 70.000.000,-nya dianggap sebagai uang sewa tahun pertama yang harus dibayar tunai oleh bapak Cecep kepadanya. Maka selamabapak Cecep belum bisa membayar pokok hutangnya, setiap tahun ia harus membayar uang sewa sebesar Rp. 70.000.000,-. Jika bapak Ceceptidak bisa membayar uang sewa, maka sawah digarap oleh bapak Ugan Suganda sampai ia bisa membayar uang sewa. Akad gadai berakhir


(1)

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA PETANI

1. Siapa nama anda? 2. Berapa usia anda?

3. Apa pendidikan terakhir anda?

4. Dari mana anda mendapat pendidikan agama?

5. Dalam transaksi pinjam meminjam dengan jaminan sawah, anda bertindak sebagai apa? Penggadai/Penerima gadai?

6. Gadai sawah biasanya dilakukan dalam hal apa? Pinjaman uang / jual beli? 7. Biasanya siapa yang terlebih dahulu menawarkan?

8. Kepada siapa biasanya anda menggadaikan sawah? Tetangga/kerabat? 9. Gadai sawah dilakukan secara individu atau kelompok?

10. Apakah pernah melakukan gadai sawah kepada lembaga keuangan? Dimana? 11. Apa yang anda pahami mengenai gadai?

12. Apakah anda memahami aturan gadai dalam islam? Bagaimana?

13. Berapa luas sawah yang anda gadaikan? / Berapa uang yang anda pinjam? 14. Untuk keperluan apa anda meminjam uang?

15. Bagaimana akadgadai tersebut disepakati? secara lisan/tulisan? 16. Adakah syarat-syarat yang disepakati ketika akad? Sebutkan! 17. Berapa lama waktu yang disepakati dalam akad gadai sawah ini?

18. Apa yang dikuasai oleh penerima gadai? Sertifikat sawah atau sawahnya?

19. Apakah pernah terjadi penambahan pinjaman? / Apakah pernah terjadi penambahan sawah yang digadaikan?

20. Apakah pernah terjadi kebakaran / bencana alam yang menyebabkan sawah rusak? Siapa yang bertanggung jawab?

21. Apakah pernah sawah gadaian tersebut dijual? Kepada siapa? Mengapa dijual? 22. Digunakan untuk apa hasil penjualan sawah itu?

23. Jika digunakan untuk membayar utang kepada murtahin, apakah hasil penjualannya lebih/kurang untuk membayar utang? Bagaimana jika lebih/kurang?

24. Sawah yang digadaikan digarap/dimanfaatkan oleh siapa?apa alasan menggarap sawah tersebut? Hasil penen padi menjadi milik siapa? Apakah bagi hasil? Bagaimana Jika gagal panen?


(2)

26. Berdasarkan pengetahuan anda, apakah pemanfaatan sawah gadaian oleh rahin/murtahin itu dibenarkan oleh agama Islam?

27. Dan menurut anda apakah gadai yang anda lakukan sudah sesuai aturan islam? 28. Apakah ketika mengembalikan utang kepada murtahin ada kelebihan yang

disyaratkan (Bunga)?

29. Selama sawah digadaikan siapa yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaannya? 30. Bagaimana cara pelunasan hutang? Diangsur/cash? Bagaimana jika telat angsuran? 31. Jika jatuh tempo telah tiba dan rahin belum mampu membayar utangnya, apa yang

dilakukan?

32. Apakah pernah terjadi perselisihan antara rahin dan murtahin? Bagaimana penyelesaiannya?

33. Apakah pernah terjadi akad gadai sawah ini dibatalkan? Bagaimana prosesnya? 34. Bagaimana proses berakhirnya akad pinjam meminjam dengan jaminan sawah ini? 35. Apakah anda pernah mendegar seorang kiyai atau khotib menyampaikan tausiyah


(3)

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA PERANGKAT DESA

1. Bagaimana Kondisi agama masyarakat Desa Simpar? Menurut anda, apakah mereka memahami hukum islam tentang gadai?

2. Bagaimana praktik gadai yang dilakukan oleh masyarakat Desa Simpar? 3. Bagaimana mekanisme terjadinya gadai sawah?


(4)

PEDOMAN WAWANCARA KEPADA TOKOH AGAMA

1. Siapa nama anda? 2. Berapa usia anda?

3. Apa yang anda pahami tentang hukum gadai dalam Islam?

4. Apa pendapat anda mengenai kalimat “rihân maqbûdah”dalam QS. al-Baqarah ayat 283?

5. Apakah anda pernah membahas tentang gadai dalam khutbah jumat atau ceramah agama?

6. Menurut pengetahuan anda, bagaimana hukum pemanfaatan sawah gadaian oleh rahin/murtahin?

7. Apa pendapat anda mengenai praktik gadai sawah yang terjadi di kalangan masyarakat desa Simpar? Sah/tidak? Sesuai hukum islam/tidak?

8. Apa saran anda terhadap masyarakat desa Simpar dalam melakukan transaksi gadai sawah?

9. Apa pendapat anda mengenai bunga dalam gadai?


(5)

LEMBAR PENGAMATAN (OBSERVASI) PENGGARAPAN SAWAH OLEH PELAKU GADAI

Nama : Peran : Hari/tanggal :

No Aspek yang dinilai Ya Tidak


(6)