Kajian Budidaya Ikan Karang Dengan Sistem Sea Ranching Dalam Memdukung Wisata Bahari (Studi Kasus Di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara Barat

(1)

KAJIAN BUDIDAYA IKAN KARANG DENGAN SISTEM SEA

RANCHING DALAM MENDUKUNG WISATA BAHARI

(Studi Kasus Di Kawasan Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara

Barat)

MARLENNY SIRAIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching dalam Memdukung Wisata Bahari (Studi Kasus di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Januari 2007

Marlenny sirait


(3)

ABSTRAK

MARLENNY SIRAIT. Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching dalam Memdukung Wisata Bahari (Studi Kasus di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendiskripsikan kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya, 2) menganalisis kesesuaian lingkungan perairan akan mempengaruhi keberhasilan penerapan sea ranching, 3) menentukan jenis ikan karang yang akan ditebar sebagai rekomendasi dimasa mendatang, 4) membuat strategi pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching untuk mendukung pariwisata bahari.

Penelitian ini menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dan sensus visual bawah air (underwater visual census)untukmenilai tutupan karang dan pengamatan terhadap ikan karang sebagai data awal. Analisis spasial dilakukan untuk menganalisis kesesuaian lingkungan perairan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemilihan komoditas ikan karang dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), sedangkan pembuatan strategi pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching dengan menggunakan metode SWOT.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata penutupan karang hidup di ketiga pulau termasuk dalam kategori buruk sampai sedang. Dari analisis spasial diperoleh total luasan perairan, yang termasuk kategori kelas Sangat Sesuai sekitar 165.6 ha, dan kriteria Sesuai dengan luasan 1222,9 ha yang terdistribusi pada daerah pesisir pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang, sedangkan untuk kriteria kelas Tidak Sesuai sebesar 954,9 ha. Komoditas budidaya yang paling sesuai untuk dikembangkan budidaya sistem sea ranching adalah ikan kerapu. Dalam upaya pengembangan sea ranching dapat berjalan dengan baik maka diperlukan strategi yang terdiri dari (1) menciptakan usaha yang ramah lingkungan, (2) rehabiltasi karang dengan artificial reef dan restocking (pengkayaan stok) (3) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, (4) memfungsikan pengaturan tata ruang laut, (5) meningkatkan kapasitas kelembagaan (6) pemberdayaan masyarakat (7) pengembangan pola kemitraan (co-manajement).


(4)

ABSTRACT

MARLENNY SIRAIT. Study on Reef Fishes Culture with Sea Ranching

System to Support Coastal Tourism

(

A Case Study of Gili Indah Coastal Zone, Lombok Barat - West Nusa Tenggara). Under direction of HEFNI EFFENDI and YUSLI WARDIATNO.

Sea ranching have been recognized as an essential strategy that can sustain and increase the resources of coastal fisheries. Some important issues are needed to implement this program. The aims of the study are: (1) to describe coral reef and reef fishes condition in Gili Indah coastal zone, (2) to analyze land suitability for reef fishes culture by sea ranching and restocking system, (3) to choose reef fish species which is suitable for restocking activity and (4) to establish strategic development reef fishes culture by sea ranching and restocking system to support coastal tourism. GIS analysis, SWOT analysis and AHP method were used to identify land suitability potency and strategic development, which can produce a good planning of coastal tourism development in Gili Indah. The result of study shows that coverage of coral reef in the three islands is poor until fair. The study area is classified in three classes of land suitability for sea ranching and restocking, namely: Highly Suitable (S1) coverage (165,6 ha), Marginally Suitable (S2) coverage (1226,9 ha), whilst Not Suitable (N) coverage (954,9 ha). Based on the priority analysis using AHP method, the result shows that grouper is the most suitable for restocking. Development strategy of coastal tourism that should be done through several ways such as: creation of economic climate by diversification of product tourism by recreational fisheries, rehabilitation of through artificial reef, community development and increasing partnership scheme, human resource development, and empowerment of institution capacity. In the future sea ranching should take place within holistic fisheries management

.

Keyswords :

Sea ranching, Restocking, Geographical Information System,


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

KAJIAN BUDIDAYA IKAN KARANG DENGAN SISTEM SEA

RANCHING DALAM MENDUKUNG WISATA BAHARI

(Studi Kasus di Kawasan Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara

Barat)

MARLENNY SIRAIT

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(7)

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala pertolongan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2006 ini adalah perikanan karang, dengan judul Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching dalam Mendukung Wisata Bahari (Studi Kasus di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok–Nusa Tenggara Barat), yang dibimbing oleh Dr. Ir Hefni Efendi M.Phil. dan Dr.Ir Yusli Wardiatno.M.Sc.

Dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir Hefni Efendi, M.Phil selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dan masukan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang telah memberikan bimbingan dan arahan dan masukan kepada penulis. 3. Bapak Ir Irzal Effendi, M.Si sebagai penguji yang telah memberikan

bimbingan dan arahan dalam perbaikan tesis ini.

4. Kedua Orang Tuaku, Pdt T.J. Sirait dan T. Gurning serta abang-kakak tersayang yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, doa dan kasih sayang yang telah diberikan lepada penulis.

5. Bapak S.P Siregar dan keluarga atas segala dukungan moril maupun materil, doa dan kasih sayang yang telah diberikan penulis.

6. Bapak/ibu Staf Pengajar dan Administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) yang selama ini telah membantu memperlancar selesainya Tesis dan studi penulis.

7. Teman-teman SPL angkatan 11 atas kebersamaan, persahabatan, dan kerjasamanya selama kuliah.

Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran untuk perbaikan sangat diharapkan. Akhir kata semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2007


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Maret 1979 dari Bapak T. J Sirait dan Ibu Tiarmana Gurning. Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara.

Tahun 1998 Penulis lulus dari SMU Kampus FKIP Nomennsen, kemudian melanjutkan pendidikan jenjang strata satu (S1) di Universitas Negeri Medan Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam lewat jalur UMPTN. Penulis lulus S1 pada tahun 2003. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dengan biaya sendiri.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

1.4 Kerangka Pemikiran ...6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep Sea Ranching ...9

2.2 Program Stock Enhancement dan Sea Ranching...13

2.3 Ekosistem Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang ...15

2.4 Interaksi Ikan Karang dengan Karang ... 18

2.5 Perkembangan Pariwisata dan Interaksinya dengan Kegiatan Perikanan ...18

2.6 Evaluasi kesesuaian Lahan ...20

2.7 Sistem Informasi Geografis ...21

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ...24

3.3 Pengumpulan Data ... 25

3.4 Analisis Data ... 26

3.4.1 Deskripsi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang...26

3.4.2 Analisis Kesesuaian Lingkungan Perairan ... 27

3.4.3 Pemilihan Komoditas Ikan Karang...33

3.4.4 Strategi Pengembangan Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching ...34

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN...37

4.1 Letak Geografis dan Administratif ...37

4.2 Potensi Sumber Daya Alam dan Jasa Lingkungan ...43


(10)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN...54

5.1 Deskripsi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan karang ...54

5.1.1 Persentase Penutupan Terumbu karang Hidup ...54

5.1.2 Kepadatan Ikan Karang ...60

5.1.3 Aktivitas Kegiatan Perikanan ...63

5.2 Kesesuaian Lingkungan Perairan Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching...65

5.3 Pemilihan Jenis Ikan Karang ...70

5.4 Strategi Pengembangan Budidaya Ikan Karang Dengan Sistem Sea ranching...79

6 KESIMPULAN DAN SARAN ...96

6.1 Kesimpulan ...96

6.2 Saran ...97

DAFTAR PUSTAKA ...98

LAMPIRAN ...105


(11)

KAJIAN BUDIDAYA IKAN KARANG DENGAN SISTEM SEA

RANCHING DALAM MENDUKUNG WISATA BAHARI

(Studi Kasus Di Kawasan Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara

Barat)

MARLENNY SIRAIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching dalam Memdukung Wisata Bahari (Studi Kasus di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Januari 2007

Marlenny sirait


(13)

ABSTRAK

MARLENNY SIRAIT. Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching dalam Memdukung Wisata Bahari (Studi Kasus di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan YUSLI WARDIATNO.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendiskripsikan kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya, 2) menganalisis kesesuaian lingkungan perairan akan mempengaruhi keberhasilan penerapan sea ranching, 3) menentukan jenis ikan karang yang akan ditebar sebagai rekomendasi dimasa mendatang, 4) membuat strategi pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching untuk mendukung pariwisata bahari.

Penelitian ini menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dan sensus visual bawah air (underwater visual census)untukmenilai tutupan karang dan pengamatan terhadap ikan karang sebagai data awal. Analisis spasial dilakukan untuk menganalisis kesesuaian lingkungan perairan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG). Pemilihan komoditas ikan karang dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), sedangkan pembuatan strategi pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching dengan menggunakan metode SWOT.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata penutupan karang hidup di ketiga pulau termasuk dalam kategori buruk sampai sedang. Dari analisis spasial diperoleh total luasan perairan, yang termasuk kategori kelas Sangat Sesuai sekitar 165.6 ha, dan kriteria Sesuai dengan luasan 1222,9 ha yang terdistribusi pada daerah pesisir pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang, sedangkan untuk kriteria kelas Tidak Sesuai sebesar 954,9 ha. Komoditas budidaya yang paling sesuai untuk dikembangkan budidaya sistem sea ranching adalah ikan kerapu. Dalam upaya pengembangan sea ranching dapat berjalan dengan baik maka diperlukan strategi yang terdiri dari (1) menciptakan usaha yang ramah lingkungan, (2) rehabiltasi karang dengan artificial reef dan restocking (pengkayaan stok) (3) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia, (4) memfungsikan pengaturan tata ruang laut, (5) meningkatkan kapasitas kelembagaan (6) pemberdayaan masyarakat (7) pengembangan pola kemitraan (co-manajement).


(14)

ABSTRACT

MARLENNY SIRAIT. Study on Reef Fishes Culture with Sea Ranching

System to Support Coastal Tourism

(

A Case Study of Gili Indah Coastal Zone, Lombok Barat - West Nusa Tenggara). Under direction of HEFNI EFFENDI and YUSLI WARDIATNO.

Sea ranching have been recognized as an essential strategy that can sustain and increase the resources of coastal fisheries. Some important issues are needed to implement this program. The aims of the study are: (1) to describe coral reef and reef fishes condition in Gili Indah coastal zone, (2) to analyze land suitability for reef fishes culture by sea ranching and restocking system, (3) to choose reef fish species which is suitable for restocking activity and (4) to establish strategic development reef fishes culture by sea ranching and restocking system to support coastal tourism. GIS analysis, SWOT analysis and AHP method were used to identify land suitability potency and strategic development, which can produce a good planning of coastal tourism development in Gili Indah. The result of study shows that coverage of coral reef in the three islands is poor until fair. The study area is classified in three classes of land suitability for sea ranching and restocking, namely: Highly Suitable (S1) coverage (165,6 ha), Marginally Suitable (S2) coverage (1226,9 ha), whilst Not Suitable (N) coverage (954,9 ha). Based on the priority analysis using AHP method, the result shows that grouper is the most suitable for restocking. Development strategy of coastal tourism that should be done through several ways such as: creation of economic climate by diversification of product tourism by recreational fisheries, rehabilitation of through artificial reef, community development and increasing partnership scheme, human resource development, and empowerment of institution capacity. In the future sea ranching should take place within holistic fisheries management

.

Keyswords :

Sea ranching, Restocking, Geographical Information System,


(15)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

KAJIAN BUDIDAYA IKAN KARANG DENGAN SISTEM SEA

RANCHING DALAM MENDUKUNG WISATA BAHARI

(Studi Kasus di Kawasan Gili Indah, Lombok - Nusa Tenggara

Barat)

MARLENNY SIRAIT

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(17)

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala pertolongan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2006 ini adalah perikanan karang, dengan judul Kajian Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching dalam Mendukung Wisata Bahari (Studi Kasus di Kawasan Pesisir Gili Indah, Lombok–Nusa Tenggara Barat), yang dibimbing oleh Dr. Ir Hefni Efendi M.Phil. dan Dr.Ir Yusli Wardiatno.M.Sc.

Dalam penyelesaian penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir Hefni Efendi, M.Phil selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dan masukan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing

yang telah memberikan bimbingan dan arahan dan masukan kepada penulis. 3. Bapak Ir Irzal Effendi, M.Si sebagai penguji yang telah memberikan

bimbingan dan arahan dalam perbaikan tesis ini.

4. Kedua Orang Tuaku, Pdt T.J. Sirait dan T. Gurning serta abang-kakak tersayang yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, doa dan kasih sayang yang telah diberikan lepada penulis.

5. Bapak S.P Siregar dan keluarga atas segala dukungan moril maupun materil, doa dan kasih sayang yang telah diberikan penulis.

6. Bapak/ibu Staf Pengajar dan Administrasi Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) yang selama ini telah membantu memperlancar selesainya Tesis dan studi penulis.

7. Teman-teman SPL angkatan 11 atas kebersamaan, persahabatan, dan kerjasamanya selama kuliah.

Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran untuk perbaikan sangat diharapkan. Akhir kata semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2007


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Maret 1979 dari Bapak T. J Sirait dan Ibu Tiarmana Gurning. Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara.

Tahun 1998 Penulis lulus dari SMU Kampus FKIP Nomennsen, kemudian melanjutkan pendidikan jenjang strata satu (S1) di Universitas Negeri Medan Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam lewat jalur UMPTN. Penulis lulus S1 pada tahun 2003. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dengan biaya sendiri.


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

1.4 Kerangka Pemikiran ...6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Konsep Sea Ranching ...9

2.2 Program Stock Enhancement dan Sea Ranching...13

2.3 Ekosistem Terumbu Karang dan Komunitas Ikan Karang ...15

2.4 Interaksi Ikan Karang dengan Karang ... 18

2.5 Perkembangan Pariwisata dan Interaksinya dengan Kegiatan Perikanan ...18

2.6 Evaluasi kesesuaian Lahan ...20

2.7 Sistem Informasi Geografis ...21

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ...24

3.3 Pengumpulan Data ... 25

3.4 Analisis Data ... 26

3.4.1 Deskripsi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang...26

3.4.2 Analisis Kesesuaian Lingkungan Perairan ... 27

3.4.3 Pemilihan Komoditas Ikan Karang...33

3.4.4 Strategi Pengembangan Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching ...34

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN...37

4.1 Letak Geografis dan Administratif ...37

4.2 Potensi Sumber Daya Alam dan Jasa Lingkungan ...43


(20)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN...54

5.1 Deskripsi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan karang ...54

5.1.1 Persentase Penutupan Terumbu karang Hidup ...54

5.1.2 Kepadatan Ikan Karang ...60

5.1.3 Aktivitas Kegiatan Perikanan ...63

5.2 Kesesuaian Lingkungan Perairan Budidaya Ikan Karang dengan Sistem Sea Ranching...65

5.3 Pemilihan Jenis Ikan Karang ...70

5.4 Strategi Pengembangan Budidaya Ikan Karang Dengan Sistem Sea ranching...79

6 KESIMPULAN DAN SARAN ...96

6.1 Kesimpulan ...96

6.2 Saran ...97

DAFTAR PUSTAKA ...98

LAMPIRAN ...105


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jenis spesies yang berhasil dikembangkan dalam

sea ranching dan stock enhancement...14

2. Sumber data primer ... 24

3. Sumber data sekunder... 24

4. Matriks kesesuaian lingkungan perairan untuk sea ranching... 30

5. Mastriks IFAS dan EFAS ... 35

6. Matrik SWOT ... 36

7. Jumlah penduduk Desa Gili Indah tahun 2005 ... 38

8. Tingkat pendidikan penduduk di Desa Gili Indah ... 39

9. Lembaga ekonomi yang terdapat di Desa Gili Indah ... 39

10. Jumlah wisatawan yang berkunjung di TWAL Gili Indah

tahun 1999-2005... 50

11.

Jumlah wisatawan mancanegara Tahun 2005

... 51

12.

Sarana dan prasarana penunjang wisata di sekitar TWAL Gili Indah ... 52

13. Kegiatan pariwisata dan fasilitas yang dibutuhkan di Gili Indah... 53

14. Luas kesesuaian lingkungan perairan untuk budidaya ikan karang sistem sea ranching... 67

15. Hasil perbandingan antar kriteria pemilihan komoditas ikan karang dengan sistem sea ranching... 71

16 Bobot prioritas alternatif jenis ikan karang terhadap kriteria kesesuaian lingkungan perairan ... 73 17. Bobot prioritas alternatif (jenis ikan karang) terhadap


(22)

kriteria ketersediaan benih ... 73 18. Bobot prioritas alternatif (jenis ikan karang) terhadap

kriteria kondisi pasar... 74 19 Bobot prioritas alternatif (jenis ikan karang) terhadap

kriteria teknologi sea ranching... 65 20 Hasil analisis perbandingan relatif jenis ikan komoditas

budidaya dengan sistem sea ranching... 76 21 Matriks IFAS (Internal Factor Analysis Summary)...79 22 Matriks EFAS (External Factor Analysis Summary...80 23 Matriks SWOT (perumusan strategi) ...81 24 Matriks SWOT (perumusan strategi) ...82


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pendekatan penelitian ...8 2. Tipe pemanenan atau Harvest Type Sea Ranching...11 3. Tipe penerimaan atau Recruit Type Sea Ranching ...12 4. Lokasi penelitian di perairan TWAL Gili Indah ...23 5. Proses overlay penentuan lingkungan perairan yang sesuai...31 6. Hirarki pemeilihan komoditas ikan karang ...34 7. Histogram persentase tutupan karang hidup Gili Trawangan ...54 8. Histogram persentase tutupan karang hidup Gili Meno ...55 9. Histogram persentase tutupan karang hidup Gili Air...56 10. Kepadatan ikan karang Gili Indah ...60 11. Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), Dominansi (C) ...61 12. Peta kesesuaian perairan untuk budidaya ikan karang

dengan sistem sea ranching...66 13. Hubungan antar kriteria dan jenis ikan komoditas sea ranching...73 14. Hasil analisis pemilihan komoditas ikan karang dengan sistem

sistem sea ranching di kawasan GILI Indah...77 15. Pilar sosial dan kelembagaan pengelolaan budidaya


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Persentase penutupan karang Gili Indah ...105 2. Parameter kimia-fisika perairan Gili Indah ...107 3. pemilihan komoditas ikan karang oleh key informan ...109 4. Kepadatan ikan karang Gili Indah ...111 5. Gambar terumbu karang ...114 6. Gambar ikan karang...115


(25)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Gili Indah yang terletak di wilayah perairan laut bagian barat pulau Lombok – Nusa Tenggara Barat, merupakan salah satu kawasan pesisir di Indonesia yang mengalami perkembangan cukup pesat. Kawasan ini terdiri dari tiga pulau kecil (gili) yaitu Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air yang ditetapkan sebagai salah satu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) di Indonesia berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 85/Kpts-II/93 dengan luas kawasan 2.954 hektar. Potensi wisata terdapat di kawasan tersebut antara lain berupa hamparan terumbu karang, ikan karang, lamun (sea grass), rumput laut, penyu, mangrove, pantai pasir putih dan air laut yang bening.

Potensi keanekaragaman dan keindahan ekosistem terumbu karang kawasan Gili Indah menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi masyarakat,

pemerintah dan swasta untuk memanfaatkan dan mengembangkan kawasan ini. Saat ini, pariwisata merupakan komoditas utama yang menjadikan kawasan ini

memiliki nilai benefit yang tinggi, hal ini terlihat dari jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat 3 – 20 % tiap tahun serta semakin banyaknya pihak swasta (investor) yang terlibat dalam usaha-usaha yang menunjang kegiatan sektor pariwisata maupun usaha-usaha yang lain yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya keindahan terumbu karang (

Dinas

Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, 2000).

Ekosistem terumbu karang dalam kawasan ini telah memberikan kontribusi berbagai kegiatan yang diciptakan oleh wisata bahari seperti menyelam (diving), snorkeling, perahu kaca (glass bottom boat), maupun berbagai kegiatan sumberdaya laut kepada penduduk lokal. Husni (2001), melaporkan bahwa dengan luasan terumbu karang 448,76 Ha akan memberikan kontribusi ekonomi sebesar adalah Rp. 25.897.263.024 /tahun. Dengan demikian efek berganda (multiplier effect) yang ditimbulkan dari berbagai kegiatan produktif tersebut telah menciptakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar (Maryunani, 1999). Berdasarkan kajian Ernah (2002) melaporkan bahwa kontribusi sektor pariwisata Gili Indah bagi PAD kabupaten Lombok Barat pada tahun 2002 sebesar 20,5 % dengan jumlah wisatawan 19.703 orang.


(26)

Aktivitas perekonomian terutama sektor pariwisata Gili Indah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan, terutama dari devisa wisatawan mancanegara bagi daerah. Hal ini mendorong berkembangnya lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan pendidikan dan sarana-prasarana publik di Gili Indah. Berdasarkan Laporan Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya tahun 2004 tercatat hotel dan bungalow 113 dari 98 hotel dan bungalow pada tahun 2000. Hal ini juga mempengaruhi peningkatan jumlah tenaga kerja yang bekerja pada sektor pariwisata. Pada tahun 1997, sektor pariwisata Gili Indah telah menyerap tenaga kerja sebanyak 462 orang dan terus mengalami peningkatan, bahkan tahun 2000 sektor ini mampu menyerap 590 orang tenaga kerja (Lombok Barat Dalam Angka 2000, BPS NTB).

Implikasi dari berkembangnya kawasan tersebut adalah terjadinya tekanan terhadap lingkungan, khususnya terumbu karang. Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan oleh Unit Konservasi Sumberdaya Alam NTB di dalam Laporan Inventarisasi Kerusakan Terumbu Karang pada Kawasan Konservasi Gili Indah tahun 2001 dengan metode manta tow, digambarkan bahwa terumbu karang Gili Indah secara umum tergolong kritis. Pada kedalamam 10 meter, hampir 100% terumbu karang mempunyai kondisi yang sangat rusak berat. Sedangkan di kedalaman 3-5 meter, terumbu karang yang termasuk kategori baik sekitar 16%. Sementara motivasi sebagian besar wisatawan berkunjung ke kawasan ini didorong karena ingin melihat keindahan terumbu karang dan pemandangan pantai. Jika kerusakan ini terus berlanjut tanpa adanya suatu usaha perbaikan, otomatis akan menyebabkan kehilangan suatu komoditas yang berharga sehingga pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya juga akan menurun. Kondisi ini mendorong adanya upaya pengembangan pariwisata yang lebih ke arah berkelanjutan, agar nilai pariwisata tetap tinggi.

Rusaknya ekosistem terumbu karang juga mengakibatkan penurunan terhadap produksi ikan karang. Praktek penangkapan ikan karang di kawasan TWAL Gili Indah ini adalah dengan sistem bom dan potassium. Akibatnya ikan-ikan mati atau tertangkap tidak hanya yang berukuran besar saja akan tetapi larva ikan dan plankton serta hewan karang yang berklorofil (zooxanthella) juga menjadi punah sehingga akan mengancam ketersediaan plasma nuftah sebagai lumbung untuk menjamin kelestarian ekosistem dan spesies. Demikian pula pengambilan biota laut lainnya seperti berbagai jenis karang atau moluska untuk


(27)

souvenir pada masa yang akan datang akan dapat mengancam kelestarian biota laut. Produksi perikanan tangkap di Kab. Lombok Barat dalam beberapa tahun terakhir ini telah menunjukkan penurunan sebesar 25,64% dari 1.240,5 ton pada tahun 1999 menjadi sebesar 922,4 ton pada tahun 2002 (PEMDA Kab. Lombok Barat, 2002). Apabila di lihat dari perkembagan jumlah wisatawan maka tidak menutup kemungkinan permintaan (demand) pasokan ikan untuk kebutuhan hotel, restoran semakin meningkat, namun yang ada saat ini dihadapkan pada masalah keterbatasan sumberdaya perikanan tangkap.

Mengacu dari uraian diatas, salah satu upaya dalam mendukung kegiatan wisata di Gili Indah dan sebagai langkah mencegah semakin rusaknya terumbu karang diperlukan suatu sistem pengelolaan pantai. Salah satunya adalah melalui sea ranching khususnya untuk komoditas perikanan karang komsumsi. Konsep sea ranching adalah suatu konsep pengelolaan perairan pantai atas dasar pendekatan ekologi dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam yang ada (Whitmarsh, 2000). Sea ranching bersifat lebih aktif dalam konservasi lingkungan karena disamping perbaikan habitat dilakukan restocking ikan dalam rangka kegiatan stock enhancement.

Sistem budidaya ini dapat dikelola secara bersama-samaoleh masyarakat dalam hal pengontrolan dan pengaturan penangkapan melalui pengawasan alat tangkap, daerah dan musim tangkap, serta ukuran ikan yang boleh ditangkap. Dengan adanya sistem budidaya sea ranching diharapkan dapat menjadi diversifikasi pemanfaatan sebagai daya tarik wisata bahari sekaligus dapat memberikan kontribusi dalam penyediaan kebutuhan bahan mentah berupa ikan-ikan segar untuk hotel, restoran yang ada di kawasan Gili Indah. Hal ini seiring dengan berkembangnya kegiatan memancing, diving, berburu ikan, maupun aktraksi-aktraksi laut lainnya. Bahar dan Bahruddin (1993) menyatakan bahwa di negara-negara maju seperti Amerika, kegiatan berupa memancing sudah sejak lama dikembangkan sebagai kegiatan rekreasi atau wisata. Menurut Novita (1996),pengembangan olah raga memancing, berburu ikan, akan diikuti dengan berkembangnya bisnis kapal memancing ataupun kapal pesiar, hotel, rumah makan, biro perjalanan, kerajinan tangan dan masih banyak lagi yang lainnya yang akan memacu perekonomian daerah pantai. Oleh karena itu ide konsep sea ranching dalam upaya mendukung wisata bahari mendapatkan tempatnya sebagai gagasan yang konstruktif dalam meningkatkan dan mengembangkan masyarakat menuju perbaikan kesejahteraannya.


(28)

1.2 Rumusan Masalah

Keindahan terumbu karang yang dimiliki perairan Gili Indah telah membawa daerah ini menjadi daerah tujuan wisata (DTW) yang cukup diperhitungkan dengan melihat peningkatan jumlah kunjungan wisatawan yang terus meningkat setiap tahunnya. Dengan kondisi ini dapat kita perkirakan apa yang akan terjadi terhadap kegiatan pariwisata di Gili Indah jika kondisi terumbu karang yang menjadi primadona pariwisata di Pulau Lombok mengalami kerusakan. Untuk menjawab permasalahan ini, maka diperlukan upaya perbaikan untuk mencegah (preventif) semakin rusaknya ekosistem terumbu karang, sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui diversifikasi pemanfaatan wisata bahari dengan adanya restoking ikan karang sebagai bagian terpadu dari penerapan sistem budidaya sea ranching.

Sea ranching akan sangat tergantung dari karakteristik geografi dan hidrografi wilayah, sehingga elemen teknologi yang dipergunakan akan sangat disesuaikan dengan lokasi. Dalam skala besar dianologikan dengan kegiatan melepaskan benih ikan ke perairan alami tanpa adanya pemberian pakan, jadi alam yang memelihara dan kita tinggal menangkapnya. Ranching ikan karang memiliki keterkaitan secara ekologi dengan keberadaan terumbu karang. Dimana terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya (Bengen, 1999). Dalam setiap ekosistem terumbu karang tersebut, hidup dan berkembang 3000 jenis karang, 2000 jenis ikan, moluska, krustasea, echinodermata, spones, alga (Hadiwjaya, 1994).

Siklus keterkaitan lingkungan biofisik perairan akan mempengaruhi keberadaan terumbu karang, sedangkan terumbu karang membentuk sebuah ekosistem sebagai suatu ruang pembatasan ekologi keberadaan ikan karang dalam penerapan sea ranching. Ikan karang, seperti kerapu, kakap putih, napoleon, baronang, lobster, teripang, dan abalone, tidak mungkin meninggalkan kawasan tersebut dan bermigrasi menyusur tubir hingga ke laut dalam atau laut lepas. Sebaliknya, ikan yang berasal dari laut lepas seperti ikan pelagis kecil dan pelagis besar, misalnya tuna dan cakalang tidak mungkin masuk ke dalam kawasan terumbu karang hingga mencapai suatu pulau karena kawasan tersebut bukanlah habitatnya.


(29)

Keberhasilan restocking sangat ditentukan oleh kelayakan lahan sebagai habitat yang dicirikan oleh karakteristik biofisik lingkungan perairan (tipe perairan, pasang surut, arus, keterlindungan, kedalaman, fisika-kimia-biologi perairan) pasokan benih kualitas maupun kuantitas, managemen budidaya, serta sarana dan prasarana produksi. Dalam pelaksanaan restocking ikan karang, kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas dan efisiensi ekonomis penerapan sea ranching. Beberapa persyaratan teknis maupun non-teknis diperlukan dalam penentuan kesesuaian lahan, dengan demikian dapat ditentukan komoditi budidaya yang akan ditebarkan.

Dengan adanya kegiatn sea ranching diharapkan mampu meningkatkan pariwisata bahari sekaligus mampu neningkatkan prduktivitas perikanan karang di kawasan perairan Gili Indah. Untuk itu dalam penerapan sistem sea ranching ini maka diperlukan beberapa kajian mendasar sebagai berikut :

1. Deskripsi kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya.

2. Analisis kesesuaian lingkungan perairan akan mempengaruhi keberhasilan penerapan sea ranching.

3. Pemilihan jenis ikan karang yang akan ditebar sebagai rekomendasi dimasa mendatang.

4. Strategi dalam pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching dalamkaitannya dalam mendukung pariwisata bahari.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian adalah untuk :

1. Mendiskripsikan kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya di kawasan TWAL Gili Indah.

2. Menganalisis kesesuaian kondisi lingkungan perairan untuk pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching.

3. Menentukan komoditas ikan karang yang akan ditebar dalam kegiatan restocking.

4. Membuat strategi dalam pengembangan budidaya ikan karang melalui sistem sea ranching kaitannya bagi wisata bahari.


(30)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai :

1. Bahan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pantai yang lebih ramah lingkungan.

2. Bahan informasi kepada masyarakat tentang sistem budidaya yaitu sea ranching sebagai alternatif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan.

1.4 Kerangka Pemikiran

Kerusakan ekosistem terumbu karang di kawasan Gili Indah disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan terumbu karang oleh nelayan banyak terjadi sebelum tahun 1998. Penyebab utamanya dalah pengemboman ikan, pembuangan jangkar dan penggunaan potas. Kemudian kerusakan alamiah terjadi awal tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan karang (bleaching) akibat El-Nino. Bencana El-Nino tersebut telah banyak merubah wajah terumbu karang di Gili Indah (P2BK Unram dan Bappeda Kabupaten Lombok Barat, 1999).

Sebagai TWAL, Gili Indah saat ini dikembangkan untuk kegiatan wisata bahari dan juga tempat nelayan untuk memperoleh pendapatan dari menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok, disamping menyediakan jasa bagi wisatawan, misalnya menyewakan perahu, bungalow maupun jasa lainnya. Di Gili Indah ekosistem terumbu karang sebagai salah satu sumberdaya pesisir yang dimanfaatkan untuk aktivitas diving, snorkling, perahu kaca, maupun sebagai sumber perikanan.

Kegiatan wisata bahari walaupun secara nyata telah mendatangkan keuntungan ekonomi, namum apabila tidak dikelola dengan baik dapat merusak lingkungan wilayah pantai akibat turunnya kualitas dan fungsi lingkungan. Jika kerusakan ini terus berlanjut tanpa adanya suatu usaha perbaikan, maka keindahan yang ditawarkan oleh kegiatan pariwisata tersebut akan semakin menurunnya. Salah satu upaya perbaikan kerusakan terumbu karang dan sekaligus meningkat sumberdaya perikanan karang, dapat dilakukan dengan konsep sea ranching.

Perencanaan dalam penerapan sistem sea ranching dalam kajian ini meliputi beberapa kegiatan antara lain: deskripsi kondisi terumbu karang dan ikan karang yang berada di Gili Indah. Deskipsi ini bertujuan untuk mengetahui


(31)

kondisi terumbu karang dan ikan karang saat ini dan sejauh mana kerusakannya serta penyebabnya. Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu faktor yang sangat penting yang terkait dalam upaya restocking, dimana kondisi terumbu karang akan mempengaruhi keberadaan ikan karang di lokasi penelitian. Deskripsi kondisi terumbu karang dan ikan karang ini dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui wawancara, pengamatan langsung di lapangan. Penutupan terumbu karang dilakukan dengan cara manta tow dan metode LIT (Line Intercept Transect) serta sensus visual untuk pengamatan ikan karang.

Kesesuaian lingkungan perairan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas dan efisiensi ekonomis usaha perikanan pantai dengan sistem sea ranching. Beberapa persyaratan teknis maupun non-teknis diperlukan dalam penentuan kesesuaian perairan dengan demikian dapat ditentukan komoditas budidaya yang akan dikembangkan. Dalam melakukan pengkajian kesesuaian lingkungan perairan digunakan analisis spasial. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan teknologi GIS, yang substansinya adalah kesesuaian lingkungan perairan.

Penentuan komoditas ikan yang akan ditebar sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan sebagai habitatnya. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan komoditas haruslah benar-benar dipersiapkan. Pemilihan komoditas budidaya diperoleh dari pendapat para ahli yang berkompeten dalam bidang perikanan karang, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode Analitical Hierarchi Proscess (AHP). Jenis komoditas terpilih akan menjadi rekomendasi di masa yang akan datang sebagai target komoditas dalam penerapan sea ranching.

Dalam penerapannya di masa mendatang, diperlukan analisis arahan pengembangan. Dengan menggunakan analisis SWOT akan dihasilkan strategi penerapan sea ranching. Analisis ini dilakukan berdasarkan pada kajian-kajian yang dilakukan maupun identifikasi deskriptif faktor eksternal dan internal sektor perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Secara skematis kerangka pendekatan penelitian ini, disajikan pada Gambar 1.


(32)

Gambar 1 Kerangka pendekatan penelitian.

Potensi & Permasalahan Wilayah Pesisir

Kebijakan Pemda (Pengembangan Sektor Perikanan)

kriteria kesesuaia

Strategi pengembangan sistem budidaya sea

ranching

Pemilihan jenis ikan karang Kesesuaian

lokasi

Analisis Spasial (SIG)

Data primer&sekunder

Peta kesesuaian lokasi

Deskripsi kondisi terumbu karang & ikan karang

Usulan kegiatan

Budidaya Ikan Karang Sistem Sea Ranching dalam Mendukung Wisata Bahari

Analisis Deskriptif

Kondisi terumbu karang dan ikan karang

Penutupan karang

ikan karang

Jenis ikan karang terpilih

SWOT Sosial budaya dan ekonomi


(33)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Indonesia merupakan ngara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan hampir 80% dari total area adalah habitat laut yang memiliki karakteristik spesifik. Penangkapn ikan yang berlebihan oleh nelayan, cara-cara penangkapan yang destuktif, dan penurunan mutu lingkungan akibat bahan-bahan pencemar telah menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan di beberapa wilayah perairan. Sea ranching merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat dipertimbangkan dalam memperbaiki produktivitas penurunan perikanan pantai.

2.1 Konsep Sea Ranching

Ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan dan kawasan tesebut memiliki isolasi alamiah sehingga ikan yang ditebar (restocking) biasa dipastikan tidak bisa berpindah tempat dan dapat ditangkap kembali (recapture) (Effendi, 2004). Kegiatan ranching di perairan laut disebut sea ranching. Lebih lanjut dikatakan perairan pantai suatu pulau yang ditumbuhi oleh terumbu karang dan ikan yang suka pada kondisi ikan tersebut ikan karang, seperti kerapu, kakap putih, napoleon, baronang, lobster, teripang, dan abalone. Ikan ini tidak mungkin meninggalkan kawasan tersebut dan bermigrasi menyusur tubir hingga ke laut dalam atau laut lepas. Sebaliknya, ikan yang berasal dari laut lepas seperti ikan pelagis kecil dan pelagis besar, misalnya tuna dan cakalang tidak mungkin masuk ke dalam kawasan terumbu karang hingga mencapai suatu pulau karena kawasan tersebut bukanlah habitatnya.

Untuk dapat mengerti lebih baik tentang sea ranching, peternakan di darat dapat dijadikan sebagai analoginya. Di kenal dua jenis peternakan yaitu: (1) suatu peternakan pada suatu padang yang luas, dimana ternak-ternak dibiarkan memakan rumput lair (contoh: Amerika, Australia, dan Mongolia) dan (2) Peternakan dalam skala yang lebih kecil dimana ternak-ternak diberi makan dari tanaman yang dibudidayakan yang dicampur dengan makanan buatan dan mengambil tempat di pengunungan atau daerah terpencil (contoh: Jepang, Swiss). Yang menjadi essensi rasional keduanya adalah meningkatkan produksi melalui pemanfaatan alam dan kebijakan manusia sebagai pengguna, dimana untuk aplikasi di laut konsep ini akan lebih kompleks bila dibandingkan dengan aplikasi di daratan (Bell, 1999).


(34)

Sea ranching berbeda dengan maricultur, namum dalam pelaksanaanya ada pentahapan dimana prinsip maricultur dipertimbangkan sebagai bagian yang penting dalam konsep sea ranching, karena sebelum pelepasan ikan/ udang/kerang-kerangan ke perairan dilakukan kegiatan budidaya pada stadia dimana ikan/ udang/kerang-kerangan masih dianggap lemah. Secara teknis kegiatan sea ranching berbeda dengan mariculture. Sea ranching akan sangat tergantung dari karakteristik geografi dan hidrografi wilayah, sehingga elemen teknologi yang dipergunakan akan sangat disesuaikan dengan lokasi. Dalam skala besar dianologikan dengan kegiatan melepaskan benih ikan ke perairan alami tanpa adanya pemberian pakan, jadi alam yang memelihara dan kita tinggal menangkapnya. Sedangkan maricultur adalah adanya suatu area tertentu di perairan pantai yang banyak terdapat kumpulan KJA, rakit-rakit. Jadi dalam pengertian ini komoditi yang dibudidayakan berada dalam wadah atau area yang terbatas (in captivity) dan terdapat pemberian pakan buatan dan adanya menejemen budidaya yang baik (Azwar, 1990).

Dalam sea ranching pengendalian manusia mulai berkurang dimana segala sesuatu kehidupan tergantung kepada daya dukung kehidupan setempat. Pengendalian dalam sea ranching hanya terletak pada pengontrolan dan pengaturan penangkapan melalui pengawasan alat tangkap daerah musim tangkap dan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Kegiatan sea ranching meliputi beberapa kegiatan antara lain: survei penentuan lokasi, perbaikan habitat dengan pemasangan habitat tiruan (artificial reef), penumbuhan sea weed secara alami atau dengan menyiapkan bibit yang telah disiapkan, pemilihan jenis ikan, udang dan kerang-kerangan yang akan dilepas ke laut, pengelolaan, penangkapan dan pengorganisasian (Azwar dan Ismail, 2001)

Menurut Liao dalam Moksness (1999), dalam pemilihan komoditas spesies ikan yang akan dilepas ke laut, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Faktor-faktor tersebut terdiri dari: (1) dapat dengan mudah beradaptasi, (2) mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat, (3) bernilai ekonomi (high market value), (4) suplai benih dapat dengan mudah diperoleh dari hatchery, (5) feeding habits dari larva harus jelas baik secara ekologi maupun fisiologi, (6) sumber makanan bagi organisme cukup, (7) resisten terhadap penyakit.

Menurut Maasaru (1999), sea ranching mempunyai dua tipe yaitu (1) harvest type dan (2) recruitment type. Pada jenis harvest type benih yang akan


(35)

STOK BENIH PRODUKSI BENIH

PEMELIHARAAN PUSAT BUDIDAYA

PELEPASAN PEMBESARAN

PEMANENAN

PEMASARAN

RANCHING

SEA

ditebar akan diproduksi dan dibesarkan (sampai ukuran tertentu) di hatchery, pemanenan di alam dilaksanakan pada saat organisme tersebut telah mencapai ukuran komersial. Dalam hal ini penebaran dan penangkapan kembali dilaksanakan berulang-ulang pada setiap musim tertentu. Disini sangat penting sekali untuk diperhatikan adalah meningkatkan daerah penangkapan, memelihara mutu lingkungan perairan dan melakukan penangkapan kembali secara efisien (Gambar 2).

Gambar 2 Tipe Pemanenan atau Harvest Type Sea Ranching (Maasaru,1999).

Pada tipe kedua, benih dihasilkan dan dibesarkan di hatchery yang ditebar pada suatu wilayah perairan dibiarkan sampai saat reproduksi, jadi benih yang ditebar diharapkan akan tumbuh, matang telur, memijah dan kemudian menetas pada daerah penangkapan untuk reproduksi secara alami dengan bantuan pengelolaan perikanan yang memadai. Pada kasus ini, tidak semua ikan yang tumbuh tertangkap kembali, beberapa ikan dewasa akan tetap tinggal menjadi induk. Penerapan akan ditangguhkan setelah sumberdaya yang baru hidup mapan dan pada waktu yang bersamaan pengelolaan perikanan yang


(36)

memadai harus dilakukan dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya dan lingkungan, seperti yang tertera dalam Gambar 3.

Gambar 3 Tipe Penerimaan atau Recruit Type Sea Ranching (Maasaru, 1999).

Menurut Bartley (1999) dalam menerapkan metode ini diperlukan pemahaman kondisi lingkungan. Tidak semua lingkungan perairan yang terdapat di laut dan pantai dapat dimanfaatkan. Lingkungan yang sesuai yang dapat dimanfaatkan untuk sea ranching dapat berupa perairan karang, dengan beberapa persyaratan berikut :

• Perairan tenang terlindung dari arus dan gelombang yang cukup kuat.

• Kedalaman perairan 5 -15 meter.

• Dasar perairan sebaiknya sesuai dengan habitat asal ikan yang akan di restocking.

STOK BENIH PRODUKSI BENIH

PEMELIHARAAN PUSAT BUDIDAYA

PELEPASAN JUVENILE

PERBAIKAN LINGKUNGAN

PEMANENAN SEA RANCHING

KONTROL LINGKUNGAN PEMBENIHAN

PENELURAN

PEMATANGAN

TUMBUH

DEWASA


(37)

• Bebas dari bahan cemaran, sehingga lokasi budidaya harus jauh dari kawasan industri maupun pemukiman yang padat.

• Mudah dicapai dari darat dan dari tempat pemasok sarana produksi budidaya

Secara regular kegiatan restocking benih ikan dimasukkan ke dalam kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001). Pemanenan dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan (bubu, pancing dan sebagainya). Untuk harmonisasi antara hatchery yang melakukan kegiatan restocking dan nelayan yang melakukan kegiatan pemanenan (penangkapan) maka dibutuhkan kelembagaan yang memadai.

Pola sea ranching telah banyak yang dapat diterapkan berdasarkan ekologi dan potensi alam suatu wilayah, baik yang targetnya satu spesies maupun yang diversifikasi spesies. Dalam pola sea ranching kompleks dapat diterapkan secara terpadu seperti pertanian. Hewan-hewan dasar dapat berkembang artifcial dasar yang diikuti dengan restocking hewan yang habitatnya di dasar, sedangkan hewan yang bergerak di bagian permukaan/melayang dapat ditetapkan tipe mengapung. Untuk suplai benih ikan, udang dan kerang-kerangan yang akan dilepaskan ke alam harus didukung atau tersedianya pusat pembenihan (Azwar dan Ismail, 2001).

2.2 Program Stock Enhancement dan Sea Ranching

Di Jepang, keberhasilan yang signifikan dalam salmon ranching telah mendorong pemerintah untuk lebih mengembangkan metode sea ranching untuk memperbaiki produksi perikanan yang menurun dengan berbagai hewan akuatik lainnya. Penerapan ini juga sudah berkembang di Cina, Korea dan Filipina, Jepang, dan USA dengan penerapan metoda ini diperoleh hasil yang sangat signifikan. Disamping masyarakat memperoleh manfaat secara ekonomi, keseimbangan lingkungan pesisir juga terjaga sehingga nanti diharapkan terciptanya pengelolaan yang berkelanjutan, didukung adanya perbaikan habitat (Moksness, 1999).

Perbaikan habitat dapat dilakukan dengan menciptakan habitat baru bagi berbagai jenis ikan melalui penumbuhan artificial reef. Artificial reef merupakan suatu teknologi penting dalam memperbaiki ekologi perairan untuk menciptakan habitat tiruan yang nantinya merupakan daerah fishing ground, spawning ground,


(38)

tempat bertumbuh hewan-hewan laut pada stadia larva maupun dewasa. Penelitian di Filipina oleh Waltemath dan Schirm (1995), mencatat bahwa pada daerah natural coral reef ikan yang ditangkap sekitar 0,02 kg/m2, sedangkan hasil monitor pada artificial reef saat ini dengan 9 kali monitor pertahun dari 25% area artificial reef dicatat produksi dicapai 3,0 kg/m2. Ini bahkan menunjukkan bahwa hasil ikan yang dicapai pada artificial reef kurang lebih dari 150 kali lebih tinggi dari hasil coral reef alami. Hasil penelitian oleh Chang (1985) di Taiwan mencatat bahwa 64% dari species ikan dari ikan yang ada dan 90% dari biomassa merupakan ikan-ikan ekonomis penting. Hal ini dimungkinkan dengan adanya pemasangan artificial reef yang menyebabkan terciptanya makanan untuk stadia larva maupun dewasa sebagai tempat berlindung.

Beberapa spesies telah berhasil di lepaskan ke perairan umun. Tabel 1 memperlihatkan beberapa jenis spesies yang berhasil dikembangkan dalam program stock enhancement dan sea ranching

Tabel 1 Jenis spesies yang berhasil dikembangkan dalam Sea Ranching dan Stock Enhancement

Nama Spesies Nama Umun Ukuran Lepas (cm)

Lokasi Sumber Atractoscion nobilis White seabass - California, USA Blankership & Leber 1995 Gadus morhua Atlantic cod - Norwegia Svacand &

Meeren 1995 Lates calcarifer Barramundi >2,5 Australia Russell & Rimmer 1997 Mugil cephalus Striped mullet >7,0 Hawaii USA Leber 1995 Oncorhynchus

keta

Chum salmon 5,0 Jepang Kitada 1999 Pagrus major Red sea

bream

8,0 Jepang Kitada 1999 Paralichtys

olivaceus

Japanese flounder

7 - 10 Jepang Kitada 1999 Penaeus

chinensis

Fleshy prawn 1,0 Cina Deng 1997 Penaeus

japonicus

Kuruma prawn

1,5 Jepang Kitada 1999 Penaeus

monodon

Grass prawn 12-15 Taiwan Su et al., 1990 Sciaenops

ocellatus

Red drum - Texas, USA Liao at al.,1997 (Liao, 1997 dalam Moksness, 1999).


(39)

2.3 Ekosistem Terumbu karang dan Komunitas Ikan Karang 2.3.1 Ekosistem terumbu karang

Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota merupakan: a) tempat tumbuh biota laut (tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut), dan menjadi sumber protein bagi masyarakat pesisir; b) plasma nuftah; c) sumber bahan baku berbagai bagunan, perhiasan, dan penghias rumah; d) objek wisata bahari (keindahan ekosistem ini dengan keanekaragaman jenis dan bentuk biota, keindahan warna, serta jernihnya perairan yang mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, sehingga ideal untuk tempat rekreasi laut). Selain itu, ekosistem ini berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan ombak sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Nybaken, 1992; Soekarno,1995; Dahuri, 1996).

Hasil temuan Puslitbang Oseanografi-LIPI yang dilakukan pada tahun 2000 bahwa kondisi terumbu karang Indonesia saat ini 41,78% dalam keadaan rusak 28,30% dalam keadaan sedang; 23,72% dalam kondisi baik , dan hanya 6,20% dalam keadaan masih dalam kondisi sangat baik (DKP, 2004). Semakin rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak kepada kemerosotan terhadap keberadaan sumberdaya ikan karang Indonesia. Data pemanfaatan ikan karang pada tahun 2005 berdasarkan produksi 2002 dan potensi 2001 menunjukkan bahwa potensi ikan karang di 9 WPP di Indonesia adalah sebesar 162.201 ton/thn dengan produksi yang dihasilkan sebesar 121.903 ton/tahun.

Pulau Lombok sebagai salah satu pulau terbesar di Propinsi Nusa Barat, memiliki sebaran terumbu karang yang cukup luas. Pada kedalaman 3-50 meter, sebaran terumbu karang di beberapa lokasi bagian barat pulau tersebut diperkirakan seluas lebih kurang 728 hektar atau 20,2% dari perairan karang sekitar 3.602 hektar di propinsi tersebut (BPS Propinsi Dati I NTB, 2005). Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa perubahan dan kerusakan terumbu karang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang sangat cepat terutama di wilayah perairan Indonesia termasuk di kawasan Gili Indah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini terlihat dari hasil pemantauan P3O-LIPI (sebagian data diambil sebelum tahun 1990) menunjukkan, bahwa dari 27 stasiun pengamatan di perairan NTB termasuk di Gili Indah hanya 2 (7%) lokasi


(40)

yang dalam kondisi baik sekali, 7 (26%) lokasi kondisi baik, 4 (15%) lokasi kondisi sedang dan 14 (52%) lokasi kondisi rusak.

Ekosistem terumbu karang kawasan pesisir barat Lombok telah banyak memberikan kontribusi berbagai kegiatan produktif terutama dalam wisata bahari maupun sumberdaya laut kepada masyarakat lokal (terutama nelayan tradisional berskala kecil). Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang sedang dan telah berlangsung secara berlebihan, sehingga cenderung mengalami kerusakan yang parah. Di beberapa kawasan pesisir barat Pulau Lombok, penyebab kerusakan terumbu karang yang dominan adalah karena: 1) penambangan karang (coral mining); 2) penggunaan bahan peledak dan bahan beracun, teknik-teknik yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang; 3) kegiatan objek wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang.

2.3.2 Komunitas ikan karang 1. Karakteristik Kelompok Ikan

Kelompok ikan karnivora di daerah terumbu karang sekitar 50-70%, dan hampir meliputi jenis ikan di daerah ini. Kelompok ikan-ikan pemakan karang dan herbivor sekitar 15%. Ikan-ikan dari kelompok ini sangat tergantung kepada kesehatan karang untuk mengembangkan populasinya. Kelompok planktivor dan omnivor hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (Choat dan Bellwood, 1991).

Sebagian besar ikan karang memiliki diversitas yang tinggi, jumlah spesies yang sangat banyak, dan kisaran morpologi yang luas. Menurut Dartnall dan Jones (1986), ikan karang dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan pengelolaannya yaitu : (i) kelompok jenis ikan indikator, (ii) kelompok ikan target (komsumsi), (iii) kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan (kelompok utama)

2. Karakteristik Ekologi

Terumbu karang tidak hanya terdiri hanya dari terumbu karang, tetapi juga daerah berpasir, bermacam-macam goa dan lubang/celah, wilayah alga, perairan dangkal, perairan dalan serta adanya zonasi terumbu karang. Diversitas dan densitas ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang. Ikan-ikan tersebut memiliki relung ekologi yang


(41)

lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya dapat bergerak dalam area tertentu. Sebagai akibat dari keadaan ini, ikan-ikan terbatas pada terlokalisasi di area tertentu pada terumbu karang. Selain itu juga diantara ikan-ikan tersebut yang dapat bermigrasi dan bahkan beberapa spesies melindungi wilayahnya (Nybakken, 1992).

Keterkaitan ikan karang dengan karang dalam suatu ekologi yang sama pada suatu area adalah kompleks, sebagai contoh keterkaitan khusus yang terjadi pada spesies pemakan bentik sessil dan invertebrata kecil. Hal ini menghasilkan banyak diversitas yang harus diidentifikasi. Kerumitan substrat sebagai tempat perlindungan lebih mencirikan karakteristik ekologi dari populasi ikan karang dibandingkan substrat sebagai sumber pakan (Choat dan Bellwood, 1991).

3. Karakteristik habitat

Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan kelompok ikan. Oleh karena itu, interaksi intra dan inter spesies berperan penting dalam penentuan penguasaan ruang (spacing) sehingga banyak ikan-ikan yang menempati ruang tertentu. Tiap kelompok ikan masing-masing mempunyai habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies mempunyai habitat yang lebih dari satu. Pada umumnya setiap spesies mempunyai kesukaan dan referensi terhadap habitat tertetu (Hutomo, 1986).

Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruit secara langsung dalam terumbu karang. Stadia planktonik ikan karang selalu berada pada subtrat karang, ikan-ikan ini terdiri dari Scarids, Acanthurids, Siganids, chaetodontids, Pomacantids dan banyak spesies labrids dan pomacentrids. Anggota dari populasi ini tidak selalu berasosiasi dengan karang tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan struktur khusus dan keadaan biotik dari karang. Keberadaan ikan karang dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas air sebagai habitatnya.

4. Pola Distribusi

Salah satu fenomena yang menarik mengenai distribusi ikan karang adalah adanya perbedaan jenis ikan pada siang dan malam hari. Pada malam hari spesies diurnal bersembunyi di karang sedangkan spesies nokturnal mencari


(42)

makan, sebaliknya pada siang hari spesies diurnal mencari makan dan spesies nokturnal bersembunyi. Pada habitat terumbu karang, keberadaan ruang lebih menjadi faktor pembatas dibanding pakan, sehingga ruang di daerah terumbu karang dapat menggambarkan distribusi ikan karang. Selain itu, beberapa ikan berdistribusi berdasarkan keadaan pasang surut (Russel, Anderson, Golman, 1987).

Asosiasi habitat dapat digunakan untuk menjelaskan pola distribusi ikan karang dan banyak spesies mempunyai distribusi geografis yang luas. Kelompok ikan yang selalu berasosiasi dengan karang akan mencapai kelimpahan yang sangat tinggi dalam habitat yang mempunyai kisaran geografis besar. Asosiasi ini kemungkinan dapat dijadikan sebagai penjelasan tentang biogeografi (Choat dan Bellwood, 1991). Menurut White (1987), dasar perairan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan pola distribusi dan kelimpahan ikan karang.

Beberapa famili ikan karang yang umum dijumpai di daerah terumbu karang yang dikelompokkan berdasarkan peranannya adalah sebagai berikut (

Kuiter, R. H. 1992 );

1. Ikan target: Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti; Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae. Salah satu contoh ikan target adalah Ikan kerapu dari famili Seranidae dalam dunia internasional dikenal dengan nama grouper/trout. Ikan jenis ini merupakan ikan konsumsi yang dipasarkan dalam keadaan hidup.

2.Ikan indikator: Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili Chaetodontidae (kepe-kepe).

3. Ikan mayor (Mayor Family): Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut seperti: Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dll. Contoh: ikan badut (Clown fish) dari famili Pomacanthidae.

2.4 Interaksi Ikan Karang dengan Karang

Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan, dengan adanya


(43)

keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung, dan daerah di luar karang sebagai tempat mencari makan (Barnes, 1980)

Interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang sebagai habitat telah dipelajari oleh Choat dan Bellwood (1991), yang memperoleh tiga hubungan berbentuk umum yaitu :

(a) Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda.

(b) Interaksi dalam mencari makan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga.

(c) Interaksi tidak langsung sebagi akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen.

Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan di wilayah terumbu karang memperlihatkan hubungan yang positif dengan penutupan karang hidup (Bell et al., 1985; Adrim, Hutomo, 1989). Satmanatran (1992) , menemukan kekayaan jenis ikan berkolerasi tidak nyata dengan berbagai komponen-komponen penutupan karang (Acropora, non-Acropora, total karang hidup dan total karang mati), sedangkan kelimpahan individu berkorelasi sangat nyata dengan komponen non-Acroporadan total karang hidup.

2.5 Perkembangan Pariwisata dan Interaksinya dengan Kegiatan Perikanan Pembangunan pariwisata mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional, terutama sebagai penghasil devisa, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan taraf hidup serta menstimulasi sektor-sektor lainnya (Novita, 1996). Dalam kaitannya dengan kegiatan perikanan, sebenarnya pariwisata dapat memberikan kontribusi yang cukup baik dan menguntungkan. Produksi dan hasil tangkap dari nelayan dengan mudah dapat dijual, dengan harga yang cukup baik, bahkan dapat digolongkan mahal. Disamping itu dengan meningkatkan penampilan dan keberhasilan perahu-perahu nelayan, para nelayan dapat memfungsikan perahu mereka untuk angkutan pariwisata terbatas misalnya, mengantar wisatawan di sekitar pantai untuk menikmati keindahan pantai, dan mengantar wisatawan memancing.

Program sea ranching merupakan hal yang penting untuk mengembangkan dan mengelola pariwisata perikanan. Sea ranching dan stock enhancement dapat memperbaiki sumberdaya perikanan untuk wisata perikanan


(44)

yang berkelanjutan (Liao, 1997 in Moksness, 1999). Di Taiwan, wisata perikanan seperti wisata memancing (recreation fishing) telah mengalami perkembangan yang signifikan sejak penerapan sea ranching dan stock enhancement, akibat terjadinya penurunan secara terus menerus karena maraknya penggunaan trawl. Dengan penggunaan artifisial reef sangat efektif dalam menciptakan habitat yang baik bagi sumberdaya perikanan.

Kegiatan perikanan tangkap yang terletak pada kawasan yang sama dengan pariwisata pantai atau bahari, selama ini belum begitu banyak dikembangkan sebagai potensi yang bisa memikat wisatawan di Indonesia. Bahar dan Bahruddin (1993) menyatakan bahwa negara-negara maju seperti Amerika, kegiatan berupa memancing sudah sejak lama dikembangkan sebagai kegiatan rekreasi. Nelayan tradisional yang memanfaatkan perahu jukung sebagai sarana untuk menuai hasil, dapat dijadikan sebagi aktraksi yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Mengoperasikan alat tangkapan ikan merupakan pekerjaan sehari-sehari bagi nelayan. Situasi ini mempunyai daya tarik tersendiri, karena dengan hasil tangkapan yang mereka peroleh dapat dijual kepada para pelancong/wisatawan sebagai oleh-oleh. 2.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya (berhubungan dengan penggunaan tertentu, mempunyai penekanan yang tajam) , yaitu mencari lokasi yang mempunyai sifat-sifat yang sesuai berhubungan dengan keberhasilan produksi atau penggunaannya (Wibowo, 1993). Untuk dapat mengetahui lokasi yang sesuai dapat dilaksanakan dengan jalan pencocokan (matching) antara karakteristik dari kualitas lahan yang bersangkutan dengan persyaratan penggunaan lahan yang dipertimbangkan.

Berdasarkan jenis data dan cara analisanya, kesesuaian lahan dibedakan menjadi dua macam kesesuaian yaitu kesesuaian lahan kuantitatif dan kesesuaian lahan kualitatif. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan atas dasar fisik lahan dan analisis tanpa memperhitungkan biaya dan keuntungan ekonomis. Sedangkan kesesuaian lahan kuantitif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan atas faktor-faktor sosio-ekonomi dengan mengutamakan biaya dan keuntungan ekonomis (FAO, 1997).

Meaden dan Kapetsky (1991) mengemukakan bahwa kesesuaian lahan dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan sekarang (present land suitability)


(45)

dan kesesuaian lahan potensial (potential land suitability). Kesesuaian lahan sekarang adalah kesesuaian lahan yang dinilai berdasarlan keadaan lahan saat dilakukan penelitian tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang diperlukan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuian lahan yang dinilai bersadarkan lahan setelah diadakan perbaikan-perbaikan tertentu yang diperlukan.

Menurut azas penataan ruang yang dijabarkan secara operasional dalam bentuj kaidah utama ruang, evaluasi kesesuaian meliputi tiga aspek yaitu: fisik, sosial dan ekonomi. Untuk memenuhi hal diatas biasanya dijumpai beberapa kendala di daerah, diantaranya yaitu: a) peta landuse yang tersedia sudah cukup lama sehingga tidak sesuai dengan keadaan saat ini, b) pengadaan peta baru, umumnya terkendala antara lain oleh dana, waktu dan keahlian yang terbatas. Untuk mengatasi kendala tersebut, teknologi penginderaan jarak jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan alternatif untuk memecahkan permasalahan dia atas. Dengan menggunakan teknik ini ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu waktu relatif cepat, biaya relatif murah, penguasaan teknologi relatif murah (Wibowo, 1993).

2.7 Sistem Informasi Geografis

SIG pada dasarnya adalah suatu sistem informasi (perangkat lunak) yang bereferensi dan berbasis komputer yang mampu menampung, menyimpan, mengolah, dan mensimulasi data spasial, sehingga menghasilkan output sesuai tujuan. SIG bermanfaat untuk melakukan perencanaan agar karakteristik dan potensi suatu wilayah dapat digambarkan dengan baik. Mampu mengintegrasikan beberapa data/peta dan mempunyai kemampuan sebagai pangkalan data yang selalu dapat diperbaharui dan ditambah isinya sedemikan rupa sehingga data dapat dipilih dan dipergunakan bagi kepentingan dalam pengambilan keputusan. Dalam SIG data disimpan dalam dua bentuk yaitu: data spasial dan atribut. Untuk keperluan analisis data spasial, data atribut disimpan secara terpisah, kemudian diintegrasikan (ESRI, 1990).

SIG berperan dalam penyusunan data dasar dalam model analisis spasial, sehingga akan didapatkan model dasar. Model dasar dan data dasar yang dibuat digunakan sebagai pertimbangan untuk menyusun skenario perencanaan dan identifikasi kegiatan-kegiatan pembangunan dengan


(46)

menggunakan kriteria-kriteria setiap kegiatan. Selanjutnya dengan SIG dapat diperoleh suatu kesesuaian pemanfaatan ruang yang terkoordinasi yang melibatkan sejumlah data dan informasi yang bervariasi (Maquire, 1991).

Dalam penerapannya, SIG dapat diterapkan dalam bidang kelautan dan perikanan. Ruang lingkup SIG dapat dibedakan ke dalam beberapa areal yaitu daerah pantai (coastal zone), bawah laut dan laut terbuka (Davis dan Davis, 1998). Setiap zona tersebut, menuntut cara survei, analisis dan kebutuhan teknik pemetaan yang khusus, dan tentunya membutuhkan struktur dan basis data yang berbeda (Sutrisno dan Sutrisno, 1993).


(47)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan TWAL Gili Indah Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasi penelitian ini meliputi tiga kawasan yaitu Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air (Gambar 4). Pelaksanaan penelitian dilakukan pada Maret sampai dengan Mei 2006.

Gambar 4 Lokasi Penelitian di Perairan TWAL Gili Indah.

Metode penentuan titik stasiun untuk sumber data biofisik (terumbu karang, ikan karang, kualitas air) dengan metode purposif sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil antara lain berupa daerah perairan terumbu karang, cakupan lokasi penelitian yang cukup luas, transportasi, keselamatan peneliti serta waktu dan biaya. Jumlah titik stasiun dalam penelitian ini terdiri dari 12 stasiun diambil di kawasan yang masih memiliki terumbu karang yang relatif baik dan dianggap mewakili setiap gili baik bagian selatan, utara, timur serta barat Gili indah.


(48)

3.2 Sumber Data

Secara garis besar sumber data yang diambil ada dua, yaitu data biofisik dan data sosial. Data biofisik berupa penutupan terumbu karang dan pengamatan terhadap kepadatan ikan karang serta data kondisi perairan. Data sosial berupa aktivitas penangkapan ikan, metoda penangkapan ikan, keadaan sosial ekonomi dan kelembagaan nelayan setempat. Secara keseluruhan sumber data primer dan sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini disajikan Tabel 2 dan 3:

Tabel 2 Sumber data primer

no Primer Alat Pengukuran Metode

pengukuran

1 Suhu (oC) YSI 2000 insitu

2 Salinitas YSI 2000 insitu

3 pH YSI 2000 insitu

4 Kecerahan Secchi disk insitu 5 Material dasar perairan - insitu

6 Tipe pantai - insitu

7 Kedalaman perairan - insitu

8 Keterlindungan - insitu

9 Penutupan lahan pantai - insitu 10 Penutupan terumbu

karang

- Line intercept

transect

11 Ikan karang - Visual sensus

12 Oksigen terlarut YSI 2000 insitu

13 Nitrat Spektrofotometer laboratorium

14 Arus Curent meter insitu

15 ortopospat Spektrofotometer laboratorium 16 Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi budidaya

ikan karang dengan sistem sea ranching dalam mendukung wisata bahari.

Wawancara/kui sioner

Tabel 3 Sumber data sekunder

No Jenis data Sumber Data

1 Rencana pemanfaatan ruang TWAL Gili Indah

Bappeda Kab/kota Lombok barat 2 Demografi, sosekbud BPS Kabupaten Lombok Barat 3 Penggunaan Lahan Bappeda Lombok Barat

4 Sarana dan prasarana BPS Kabupaten Lombok Barat Batas administrasi Bappeda Lombok Barat

3 Oseanografi (batimetri, pasang surut, gelombang, arus laut)

Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL 4 Penutupan karang Citra Satelit 2004 (Landsat TM) 5 Peta Lingkungan Pantai Indonesia

Skala 1: 50.000, Peta Lingkungan Laut Nasional 1: 500.000


(49)

3.3 Pengumpulan Data Terumbu Karang

Penelitian karang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan secara kualitatif dilakukan dengan pengamatan secara visual dengan metode mantaw tow tentang profil habitat. Pengamatan Kuantitatif dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) (Kinze III and Snider, 1978, dalam Stoddart and Johannes, 1978). Lokasi pengamatan secara kuantitatif dilakukan pada lokasi-lokasi pengamatan pada penelitian-penelitian terdahulu disekitar kawasan TWAL Gili Indah. Transek dilakukan dengan menarik garis pita dengan panjang 50 meter, sejajar garis pantai. Persentase tutupan karang dan biota lain diukur dengan menghitung panjang rol meter yang menyinggung masing-masing biota yang dilaluinya dengan ketelitian mendekati sentimeter, dibagi panjang transek. Dilakukan identifikasi lifeform dan jenis karang dengan bantuan buku Karang Indonesia (Suharsono. 1996).

Ikan Karang

Pengukuran kepadatan ikan karang dilakukan dengan metode Belt Transect (English, Wilkinson, Baker 1994). Garis transek dengan panjang 50 meter dipasang sejajar garis pantai. Ikan kemudian disensus mengikuti garis transek yang elah dipasang dengan lebar pengatan 2,5 meter sisi kiri dan kanan garis transek. Sehingga luas bidang pengamatan ikan adalah 250 meter persegi. Sensus ikan (jenis dan jumlah) dilakukan pada kedalaman kedalaman 3 meter dan 10 meter. Pengukuran ikan karang dilakukan pada sisi barat, timur, selatan dan utara masing-masing pulau.

Penjaringan isu mengenai kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman di bidang perikanan untuk analisis SWOT ditentukan oleh tokoh masyarakat dan nelayan dengan pertimbangan yaitu penguasaan kondisi wilayah TWAL Gili Indah. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 25 orang terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang terkait dengan kajian penelitian seperti tokoh masyarakat dan nelayan (10 orang), pengusaha wisata (3 orang), LSM (1 orang), BAPPEDA (2 orang), BKSDA (2 orang), Dinas Pariwisata (2 orang), DKP Propinsi dan Kabupaten (4 orang) serta perguruan tinggi (1 orang). Untuk keperluan analisis AHP dalam pemilihan jenis ikan karang yang akan di restoking, responden dipilih dari seluruh jumlah responden sebagai key informan yang dianggap mengerti dan mempunyai kemampuan dalam kajian penelitian.


(50)

3.4 Analisis Data

3.4.1 Deskripsi Kondisi Terumbu Karang dan Ikan Karang.

Data primer diperoleh dengan metode survei dimana pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan/observasi oleh peneliti, wawancara dan pengisian kuesioner terhadap responden yang telah ditentukan. Identifikasi lifeform dan jenis karang dengan bantuan buku Karang Indonesia. Selanjutnya dari perolehan data tersebut di atas digambarkan oleh peneliti melalui metode deskriptif untuk menerangkan kondisi terumbu karang beserta aktivitas pemanfaatannya di kawasan Gili Indah

1) Penutupan karang

Pengamatan dilakukan terhadap bentuk pertumbuhan (lifeform) karang yang berada dibawah garis transek kemudian dicatat dengan ketelitian sampai dengan sentimeter. Karang yang teridentifikasi langsung dicatat sedangkan yang tidak teridentifikasi digambar atau diambil contohnya untuk diidentifikasi di daratan/ labolatorium.

Penutupan karang dihitung dengan rumus : C =

A

a

x 100%

dengan ”a” adalah tutupan untuk satu jenis karang hidup/mati dalam cm dan ”A” adalah tutupan semua komponen ekosistem terumbu karang dalam cm. Selanjutnya data persentasi tutupan karang hidup dikategorikan sebagai berikut (Gomez dan Yap 1988, diacu dalam Dirjen P3K, DKP 2002) :

(a) 0.0% – 24.9% : penutupan karang kategori buruk (b) 25% – 49.9% : penutupan karang kategori sedang (c) 50% – 74.9% : penutupan karang kategori bagus (d) 75% – 100% : penutupan karang kategori memuaskan

2. Pengamatan Ikan Karang

Kepadatan ikan karang berdasarkan pendataan

sensus visual dan koleksi bebas menurut Dartnal dan Jones (1986), diacu dalam Azkab et al., (1996) yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kemampuan. Data yang diperoleh selanjutnya digambarkan oleh peneliti melalui metode deskriptif untuk menerangkan kepadatan ikan karang.


(51)

=

S i

N

ni

N

ni

1

ln

Data ikan karang yang diperoleh selanjutnya dihitung kelimpahan indeks keanekaragaman dan dominansi ikan karang dengan rumus sebagai berikut : (a) Kelimpahan (Bo) = d x L

dengan Bo (kelimpahan ikan karang dalam ind), d (kepadatan dalam ind/m2), L (luas daerah penelitian dalam m2)

(b) Keanekaragaman (H’) =

dengan H’ (Indeks keanekaragaman), i (Jumlah jenis), ni (Jumlah individu dalam spesies ke-i), dan N (Jumlah seluruh individu), S (jumlah jenis yang muncul)

Selanjutnya keanekaragaman (H’) menurut Shannon dan Wiener (1963), diacu dalam Dirjen P3K, DKP (2002) dari ikan karang di lokasi penelitian dikategorikan sebagai berikut :

(1) H’ < 3.32 : Rendah (2) 3.32 < H’ < 9.97 : Sedang (3) H’ > 9.97 : Tinggi

(c) Dominansi : Untuk menghitung dominansi jenis digunakan indeks Simpson yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

D =

= n i

pi

1 2

=

n

N

ni

1

)

/

(

2

dengan D = Indeks Dominansi, P = ni/N, ni = jumlah individu spesies ke-i, N= jumlah total individu semua spesiesi = 1,2,3,…,s

Nilai D berkisar antara 0 sampai 1 (Odum, 1971), artinya :

Jika nilai D mendekati 0, berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi. Jika nilai D mendekati 1, berati ada salah satu genera yang mendominasi

3.4.2. Kesesuaian Lingkungan Perairan untuk Budidaya dengan Sistem Sea Ranching

Analisis Spasial

Data kondisi biofisik perairan Gili Indah, sosial dijadikan acuan dalam menentukan kriteria kesesuaian lingkungan perairan. Penentuan lokasi perairan


(52)

yang layak bagi ikan karang dengan sistem sea ranching dilakukan dengan bantuan perangkat sistem Informasi Geografis (SIG). Perangkat lunak yang dijadikan adalah software ArcView GIS versi 3.3.

Tahapan analisis dengan SIG

Seleksi lokasi untuk kegiatan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching dengan menggunakan teknologi SIG melalui beberapa tahapan penting antara lain :

Pengumpulan dan penyiapan data

Tahapan awal dalam melakukan analisis SIG adalah menyiapkan peta dasar yang menjadi acuan pemasukan data spasial maupun data atribut. Peta dasar yang digunakan adalah peta Lingkungan Pantai Indonsia (skala 1: 50.000), yang diperoleh dari bakosurtanal. Selain itu citra satelit Landsat 5 ETM tahun 2004 dari LAPAN dijadikan sebagai bahan untuk memutakhirkan peta dasar sehingga diperoleh kondisi terkini. Penggunaan lahan administrasi diperoleh dari Bappeda Kabupaten Lombok Barat dalam bentuk peta analog. Setelah peta dasar dan peta lainnya yang dibutuhkan tersedia, selanjutnya dilakukan scanning untuk mengkonversi peta analog tersebut menjadi peta digital. Data deskripsi yang berhubungan dengan data spasial bersumber dari laporan, statistik maupun hasil pengukuran langsung dari lapangan.

Penyusunan Basis data (data base)

Setelah data dikumpulkan maka dilakukan penyusunan basis data yang merupakan tahapan kedua dalam pengaplikasian Sistem Informasi Geogarfis (SIG). Penyusunan basis data sangat tergantung pada maksud dan tujuan dari penggunaan SIG. Basis data SIG berisi kumpulan data yang berasal dari berbagai sumber dan jenis data, baik berupa data spasial maupun data atribut.

Citra satelit diolah untuk mengahasilkan data digital yang dilakukan dalam beberapa tahapan yakni: proses pemulihan citra (koreksi geometrik), penajaman citra, dan klasifikasi citra untuk mengelompokkan objek yang sama ke dalam kelas tertentu dengan bantuan software ER Mapper versi 6.0.

Penyusunan matriks kesesuaian lingkungan perairan ini didasarkan pada parameter kesesuaian lingkungan perairan untuk sea ranching. Dalam penelitian ini kelas kesesuaian dibagi dalam 3 kelas yaitu Sangat Sesuai, Sesuai, Tidak Sesuai yang didefinisikan sebagai berikut:


(53)

1. Kelas S1; Sangat Sesuai (higly suitable), yaitu perairan yang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lingkungan perairan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari biasa yang dilakukan dalam pengusahaan lingkungan perairan tersebut.

2. Kelas S2; Sesuai (suitable), yaitu perairan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Pembatas tersebut mengurangi produkvitas perairan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan (input) untuk mengusahakan lingkungan perairan. 3. Kelas (N) ; Tidak Sesuai (not suitable), yaitu perairan yang mempunyai

pembatas yang sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin untuk dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari.

Analisis kelayakan dilakukan dengan menggunakan metode Weight Sum Model (WSM) yaitu data kualitas air yang diperoleh dibandingkan dengan nilai kritea yang sesuai dengan kecocokan budidaya dengan sistem sea ranching kemudian dikalikan dengan skor dimana:

¾ Skor 1 jika parameter yang teramati tidak sama dengan kriteria/nilai yang diinginkan atau diperbolehkan.

¾ Skor 2 jika parameter yang teramati sama dengan dengan kriteria/nilai yang diperbolehkan.

¾ Skor 3 jika parameter yang teramati sama dengan dengan kriteria/nilai yang diinginkan.

Pembobotan diberikan berdasarkan nilai penting atau pengaruh suatu parameter terhadap pembudidayaan dengan sistem sea ranching yaitu:

¾ Bobot 1, jika parameter tidak mempunyai pengaruh bagi pembudidayaan ikan karang dengan sistem sea ranching.

¾ Bobot 2, jika parameter mempunyai pengaruh sedikit dan tidak terlalu penting bagi pembudidayaan ikan karang dengan sistem sea ranching. ¾ Bobot 3, jika parameter mempunyai pengaruh dan keterbatasan yang

besar bagi pembudidayaan ikan karang dengan sistem sea ranching. Kriteria ini disusun berdasarkan parameter biofisik yang relevan dengan kegiatan budidaya perikanan. Adapun kriteria yang digunakan dalam penyusunan matriks kesesuaian sebagai acuan dalam penentuan lokasi sea ranching terdapat dalam Tabel 4.


(1)

Lampiran 4 (lanjutan)

Kepadatan Spesies Ikan Karang Gili Meno (Ind/250m2)

famili spesies barat utara timur selatan

CHAEDONTIDAE H. pleuratania 1 2 0 1

H. varwis 2 0 4 0

C. tifaciatus 1 1 0 1

Heniochus chrysostomus 1 0 2 1

C. rainfordi 4 3 2 5

C. vagabundis 1 0 0 0

POMACENTRIDAE Chromis xanthura 20 50 10 0

Abudefduf vaigensis 10 1 1 0

Choromis analis 5 30 30 0

Choromis margaritifera 100 3 50 0

Chrysiptera parasema 49 30 0 25

Chrysiptera rex 0 0 11 0

Dasyllus anuaris 0 1 0 0

Neoglyphidodon erossi 0 2 0 0

Plectoglyhidodon lacrymathis 0 0 3 0

Pomacenthurus adenalis 0 0 5 0

Pomacenthurus lepidogenys 22 0 3 0

ACANTHURIDAE Acanthurus lineatus 0 4 4 3

Acanthurus alivaceatus 0 0 0 1

POMACHANTHIDAE Pomachanthus annularis 2 1 1 12

Pomachanthus diacanthus 0 0 0 0

LABRIDAE Anampes lennardi 1 1 4 0

Labroides dimidiatus 0 0 2 0

Leptojolis sianopleiura 20 1 0 0

Thalassoma purpurem 1 1 0 39

MULLIDAE Parupeneus bifasciatus 1 1 4 0

SCARIDAE Scarus ghoban 1 1 0 0

Scarus ovicep 1 0 1 0

ZANCLIDAE Zanclus canescens 1 0 0 2

HOLOCENTRIDAE Myriprisitis pralinia 1 3 2 1

BALISTIDAE Melichtys niger 1 1 0 0

NEMIPTERIDAE Sclopsis lineatua 0 0 1 2


(2)

Lampiran 4 (lanjutan)

Kepadatan Spesies Ikan Karang Gili Air (Ind/250m2)

Famili Spesies barat utara timur Selatan

AULOSTOMIDAE Fistularia commersonii 1 1 1 2

TETRAODONTIDAE Chanthigaster 0 1 1 1

POMACENTRIDAE Chromis alpha 1 0 9 0

Chromis analis 2 0 4 2

Chromis xamthura 20 5 3 7

Chrysepthera biocelatus 1 2 11 1

Chrysiptera paresema 2 18 6 143

ACANTHURIDAE Acanthurus gramuptilus 2 4 1 3

Anampses femininus 1 2 2 0

Anamphes lennardi 0 6 0 0

Anampses neoguinaicus 2 1 3 4

LABRIDAE Coris sp 0 1 2 2

Cirrhilabrus temmincki 2 3 2 2

Halichoeres chrysus 1 1 1 2

Halischoeres melanurus 1 2 2 2

Halischoeres trimaculatus 1 2 2 0

Thallosoma lunare 2 3 3 2

Halichoeres biocellatus 2 1 1 3

Leptojulis cyanoplura 0 1 0 4

Labroids pectoralis 2 13 2 4

Thallosoma purpureum 0 1 2 1

CHETODONTIDAE Chaetodon auriga 1 1 2 3

Chatodon vagabundus 3 0 0 1

Chaetodon lineolatus 1 3 1 2


(3)

Lampiran 5

KONDISI TERUMBU KARANG GILI INDAH

Bentuk pertumbuhan karang terdapat di Gili Indah

Soft coral Acropora submassive

Coral massive

Acropora tabular

Acropora branching Coral foliose

Acropora branching ral encrusting


(4)

Lampiran 6 JENIS IKAN KARANG YANG DITEMUKAN DI GILI INDAH

Crimileotes altivelis

Acanthurus olivaceus

Acanthurus dussumiery

Acanthurus lineatus

Melictys niger

L

opsis lineatus


(5)

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di perairan Gili Indah termasuk ke dalam kategori buruk hingga sedang. Kepadatan ikan karang yang relatif rendah khususnya untuk ikan karang konsumsi, sehingga untuk meningkatkan produkvitas ikan karang konsumsi melalui sistem sea ranching diperlukan perbaikan habitat secara alami maupun secara buatan.

Lingkungan pesisir Gili Indah ditinjau dari aspek biofisik ekosistem penunjang dan parameter fisik serta aspek sosial wilayah pesisir adalah sesuai (layak) untuk dikembangkan budidaya sistem sea ranching. Dari hasil analisis spasial diperoleh luasan perairan yang Sangat Sesuai adalah sebesar 165,6 ha dan Sesuai 1226,9 ha.

Jenis Ikan karang yang paling sesuai untuk dikembangkan dalam budidaya sistem sea ranching adalah kerapu dengan bobot tertinggi yakni 41,54% (0,41540), hal ini karena ketersedian benih yang dapat diperoleh dari pusat pembenihan (hatchery) Loka Budidaya Sekotong memiliki nilai jual, serta mempunyai habitat yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Sebuah pengelolaan dalam rencana pengembangan budidaya ikan karang dengan sistem sea ranching diperlukan agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pengelolaan tersebut berupa pembuatan rencana strategi antara lain: (1) Mencitapkan usaha yang ramah lingkungan, (2) Rehabiltasi karang secara alami maupun artifisial dan restocking (pengkayaan stok), (3) Peningkatan Kualitas sumberdaya manusia, (4) Memfungsikan tata ruang laut yang sudah ditetapkan, (5) Meningkatkan kapasitas kelembagaan, (6) Pemberdayaan masyarakat, (7) Pengembangan pola kemitraan (co-manajemen).


(6)

6.2 Saran

1. Dalam pengembangan usaha sea ranching di TWAL Gili Indah perlu dilakukan pendampingan teknis kepada masyarakat nelayan yang didukung dengan penguatan kelembagaan.

2. Perlu sebuah metode yang tepat untuk monitoring terhadap ikan karang yang ditebar.

3. Adanya penelitian lanjutan tentang daya dukung dan kerentanan secara ekologi terkait dengan sea ranching

4. Dalam penelitian ini terdapat berbagai kelemahan terkait dengan terbatasnya data-data sekunder maupun primer, oleh karena itu untuk mendapatkan hasil yang lebih baik diharapkan untuk melanjutkan penelitian ini, adanya kesiapan data primer dan sekunder yang lebih memadai.


Dokumen yang terkait

Analisis Perubahan Fungsi Lahan Di Kawasan Pesisir Dengan Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Dan Langkat Timur Laut)

1 62 6

Studi Keanekaragaman Ikan Karang Di Kawasan Perairan Bagian Barat Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam

2 37 76

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL TERHADAP PROSEDUR PEMBERIAN KREDIT PUNDI (Studi Kasus Pada Bank Nusa Tenggara Barat Cabang Praya, Lombok)

0 6 19

Konsep Komunikasi Pembentukan Positioning Daerah Tujuan Wisata Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009 (Studi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB)

0 6 2

Kualitas pengasuhan anak di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) di Indonesia: PSAA Al-Ikhlas kabupaten Lombok Barat provinsi Nusa Tenggara Barat

1 6 56

Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Bau Nyale Suku Sasak Di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (Studi Etnografi Komunikasi Pada Aktivitas Dalam UPacara Adat Bau NYale Suku Sasak Di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat)

0 4 21

Potensi Hasil Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Satu Tahun Budidaya di Lahan Kering Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat Yield Potential of Physic Nut (Jatropha curcas L.) at the First Years Cultivation on Dry Land of West Lombok, West Nusa Tenggara

0 0 7

View of Analisa Kinerja Pengelolaan Irigasi Di Daerah Irigasi Lemor, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat

0 0 10

i TUGAS AKHIR - Desain interior museum sasak di Mataram Lombok – Nusa Tenggara Barat dengan konsep modern kontemporer

1 1 13

Pelatihan Bahasa Inggris Bagi Karang Taruna Di Desa Wisata Lombok Kulon Bondowoso

1 1 6