Hubungan Adversity Quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha Pada Wirauasaha Wanita
HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DENGAN
KEPUASAN BERWIRAUSAHA PADA
WIRAUSAHA WANITA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
SHOFFA MALINI
091301069
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2012/2013
(2)
“HubunganAdversity Quotient Dengan Kepuasan Berwirausaha Pada Wirausaha Wanita”
Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi mana pun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 16 Juli 2013
SHOFFA MALINI NIM 091301069
(3)
Hubungan Adversity Quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha Pada Wirauasaha Wanita
Shoffa Malini dan Siti Zahreni
ABSTRAK
Setiap orang yang tertarik dalam dunia kewirausahaan, karena didorong adanya imbalan yang potensial. Imbalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar yaitu income, leisure time dan psychological well being. Setiap imbalan inilah yang nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Di samping imbalan yang dapat diperoleh, tentu ada pula tantangan yang mungkin akan dihadapi, oleh karena itu dibutuhkan adanya adversity quotient. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adversity quotient terhadap kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Metode penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan menggunakan teknik purposive sampling yang melibatkan 155 orang wirausaha wanita yang menggeluti bisnis kuliner. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Implikasi dari penelitian ini dapat membantu wirausaha wanita lebih sadar dan mengetahui cara untuk meningkatkan adversity quotient untuk mencapai kepuasan dalam berwirausaha.
Kata Kunci: Kepuasan Berwirausaha, Adversity Quotient, Wirausaha Wanita.
(4)
ABSTRACT
Everybody who interested in entrepreneurship was motivated by the potential reward. This reward is grouped in three basic category, those are income, leisure time and psychological well being. This reward later results a satisfaction for those entrepreneurs. Beside the reward, there’s also a possible challenges, therefore, adversity quotient is needed. This research was aimed to examine the correlation of adversity quotient with women entrepreneurial satisfaction. The research method is quantitative correlation by using purposive sampling technique that involves 155 women entrepreneur do culinary business. The statistical analysis result showed there was a positive significant correlation between adversity quotient and women entrepreneurial satisfaction. The implication of this research could help women entrepreneurs more aware and find a way to raise the adversity quotient to reach satisfaction in entrepreneurship.
Key Words: Entrepreneurial Satisfaction, Adversity Quotient, Women Entrepreneur.
(5)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan pada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan ridho-Nya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Hubungan Adversity Quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha Pada Wirauasaha Wanita”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima arahan dan
bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Sehingga pada
kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua penulis “Drs. Mursito Kabu Kasuda dan Nurhaida, serta pada Nafis Qurthubi, S.E , Nur Cahaya, Nur Ainun, Spd dan Yusuf Wibisono, Amd
atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU
2. Kak Siti Zahreni, M.psi, psikolog sebagai dosen pembimbing yang telah
sepenuh hati, sabar dan selalu memberikan motivasi yang luar biasa, serta
ketersediaan waktu di tengah kesibukannya.
(6)
ii
4. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog dan Eka Danta Jaya Ginting, MA,
psikolog selaku dosen penguji yang bersedia meluangkan waktu untuk
menguji penulis dalam mempertanggung jawabkan skripsi ini
5. Para subjek penelitian yaitu wirausaha wanita di kota Medan yang telah
rela meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dalam pengambilan
data penelitian.
6. Keluarga Besar Biro Psikologi CPF yaitu Ibu Meutia Nauly, M.Si,
Psikolog, Ibu Josetta Maria R. Tupattinaja, M.Si,Psikolog, kak Lisa
Beserta seluruh staff di CPF yang telah memberikan dukungan dan
pengertian kepada penulis.
7. Kepada teman seperjuanganku Steven Tambi yang telah berjuang bersama
dalam pembuatan skripsi hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
8. Kepada teman-temanku tersayang Imam Damara, Adi Bento, Dika Widya,
Irma Harfianty, dan M. Fauzi, yang telah membantu penulis penyebarkan
skala penelitian dan memberikan dukungan.
9. Kepada teman-temanku sayangi Fadhilla, Rini, Ayik, Runa, Jelita, Mia,
Kiki, Rezky, dan Rani yang telah memberikan semangat dan membantu
penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini.
10. Untuk teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2009, terima kasih
atas kebersamaan dan pengalaman yang telah kita jalani bersama
(7)
iii
11. Seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi USU, yang telah membantu dan
mempermudah segala urusan yang berkaitan dengan administrasi, baik
saat masa perkuliahan maupun yang berhubungan dengan penelitian
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan saudara-saudara semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan
adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna
menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Atas segala
kekurangan dalam penulisan skripsi ini peneliti mohon maaf. Dan semoga skripsi
ini membawa manfaat bagi kita semua.
Medan, 16 Juli 2013
Penulis
(8)
iv
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ……… viii
DAFTAR GAMBAR ……… x
DAFTAR LAMPIRAN ………... xi
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ……… 6
C. Tujuan Penelitian ……….……… 6
D. Manfaat Penelitian ………... 7
E. Sistematika Penulisan ……….. 8
BAB II LANDASAN TEORI ……… 10
A. Kepuasan Berwirausaha a) Pengertian Kepuasan Berwirausaha... …. 10
b) Aspek- aspek Kepuasan Wirausaha ... 11
1. Income ………… 12
2. Psychological Well Being ……….. 12
3. Leisure Time ……….. 13
c) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Wirausaha 14 1. Karekteristik usaha ………. 14
a. Ukuran ……….. 14
b. Kompleksitas ………. 16
(9)
v
c. Keterlibatan ……….. 16
2. Motif untuk Start-Up ………... 16
3. Karakteristik pribadi ………. 17
a. Latar Belakang Budaya ………. 17
b. Usia ……… 18
c. Pasangan hidup ………. 18
d. Gender ………... 18
e. Risk Tolerance ………... 19
B. Adversity Quotient (AQ) ………... 20
1) Pengertian Adversity Quotient ……….. 20
2) Dimensi- dimensi Adversity Quotient ……….. 21
a. Control ……… 22
b. Ownership ……….. 23
c. Reach ………. 25
d. Endurance ………. 26
3) Tipe Adversity Quotient ………... 27
1) Quitters ……….. 27
2) Campers ……… 28
3) Climbers ………... 28
C. Wirausaha Pada wanita ………... 28
I. Karekteristik Wirausaha Wanita ………. 29
D. Hubungan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Berwirausaha 30 E. Hipotesis Penelitian ……… 32
(10)
vi
a. Kepuasan Berwirausaha ……….. 33
b. Adversity Quotient ……….. 34
B. Subjek Penelitian Dan Teknik Sampling ... 35
1. Subjek Penelitian ……… 35
2. Teknik pengambilan sampel ……… 35
3. Jumlah Sampel Penelitian ……….. 36
4. Lokasi Penelitian ……… 36
5. Metode Pengumpulan Data ………. 36
a. Metode self report……… 36
b. Metode Skala ………. 36
C. Uji Coba Alat ukur ………. 42
1. Validitas Alat Ukur ……….. 42
2. Reliabilitas alat ukur ... 43
3. Daya Beda Aitem ………. 44
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ………. 46
a. Hasil Uji Coba Alat Ukur Kepuasan Berwirausaha ……… 46
b. Uji Coba Alat Ukur Adversity Quotient ……….. 48
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 49
1. Tahap Persiapan ... 49
2. Pelaksanaan Penelitian ………. 51
(11)
vii
3. Pengolahan Data Penelitian ……….. 51
G. Metode Analisa Data ……… 52
1. Uji Normalitas ……….. 52
2. Uji Linearitas ……… 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 54
A. Deskripsi Subjek Penelitian ……… 54
1. Gambaran subjek penelitian Berdasarkan Usia Pengusaha 55
2. Gambaran Penelitian Berdasarkan Jumlah Pendapatan 56 3. Gambaran Subjek Berdasarkan Status Pernikahan 56
4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Usaha 56 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Suku 57 6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama usaha 58 B. Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas Sebaran ……….. 58
2. Uji Linearitas ……….. 61
3. Hasil Utama ……… 62
C. Hasil Tambahan ………... 63
D. Pembahasan ………. 66
BAB V 70 A. Kesimpulan ……… 70
B. Saran ………. 71
DAFTAR PUSTAKA 73
LAMPIRAN
(12)
viii
Tabel. 2 Blue print Skala Adversity Quotient Sebelum Uji coba ...42
Tabel 3. Distribusi Aitem Hasil Uji Coba Skala Kepuasan Berwirausaha ...46
Tabel 4. Distribusi Skala Kepuasan Berwirausaha yang Digunakan dalam Penelitian ... 47
Tabel. 5 Distribusi Aitem Hasil Uji Coba Skala Adversity Quotient ... 48
Tabel. 6 Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Pengusaha ...54
Tabel.7 Subjek penelitian Berdasarkan Jumlah Pendapatan ...55
Table. 8 Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan ………..56
Tabel. 9 Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Usaha ...56
Tabel.10 Subjek Penelitian Berdasarkan Asal Suku ...57
Tabel. 11 Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Berwirausaha ...58
Tabel 12. Normalitas Sebaran Variabel Kepuasan Berwirausaha dan Adversity quotient ...59
Tabel 13. Hasil Pengujian Linieritas ...61
Tabel. 14 Hasil Korelasi Variabel Adversity quotient Terhadap Kepuasan Berwirausaha ...62
Tabel. 15 Perbandingan Skor Hipotetik dan Skor Empirik ...63
Tabel. 16 Kriteria Kategorisasi Jenjang Data Empirik Kepuasan Berwirausaha dan Adversity quotient ...64
(13)
ix
Tabel.17 Kategorisasi Data Empirik Kepuasan Berwirausaha dan Adversity
quotient ...65 Tabel. 18 Matriks Hubungan Antar Variabel Dalam Bentuk Kategori ... 66
(14)
x
(15)
xi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
- Data Uji Coba Skala Kepuasan Berwirausaha
- Data Uji Coba Skala Adversity Quotient
LAMPIRAN B
- Lembar Validitas Isi Professional Judgement
- Reabilitas Dan Daya Beda Aitem Skala Kepuasa Berwirausaha
- Reabilitas Dan Daya Beda Aitem Skala Adversity Quotient
- Reabilitas Dan Daya Beda Aitem Skala Kepuasan Berwirausaha ( Valid)
LAMPIRAN C
- Uji Normalitas
- Uji Linearitas
LAMPIRAN D
- Identitas Subjek Penelitian
- Skor Total dan Kategori Data Penelitian
LAMPIRAN E
- Analisis Hasil Penelitian
- Data Mentah Subjek Penelitian
LAMPIRAN F
- Skala Kepuasan Berwirausaha
- Skala Adversity Quotient
(16)
ABSTRAK
Setiap orang yang tertarik dalam dunia kewirausahaan, karena didorong adanya imbalan yang potensial. Imbalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar yaitu income, leisure time dan psychological well being. Setiap imbalan inilah yang nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Di samping imbalan yang dapat diperoleh, tentu ada pula tantangan yang mungkin akan dihadapi, oleh karena itu dibutuhkan adanya adversity quotient. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adversity quotient terhadap kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Metode penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan menggunakan teknik purposive sampling yang melibatkan 155 orang wirausaha wanita yang menggeluti bisnis kuliner. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Implikasi dari penelitian ini dapat membantu wirausaha wanita lebih sadar dan mengetahui cara untuk meningkatkan adversity quotient untuk mencapai kepuasan dalam berwirausaha.
Kata Kunci: Kepuasan Berwirausaha, Adversity Quotient, Wirausaha Wanita.
(17)
The Correlation of Adversity Quotient Towards Entrepreneurial Satisfaction For Women Entrepreneurs
Shoffa Malini and Siti Zahreni
ABSTRACT
Everybody who interested in entrepreneurship was motivated by the potential reward. This reward is grouped in three basic category, those are income, leisure time and psychological well being. This reward later results a satisfaction for those entrepreneurs. Beside the reward, there’s also a possible challenges, therefore, adversity quotient is needed. This research was aimed to examine the correlation of adversity quotient with women entrepreneurial satisfaction. The research method is quantitative correlation by using purposive sampling technique that involves 155 women entrepreneur do culinary business. The statistical analysis result showed there was a positive significant correlation between adversity quotient and women entrepreneurial satisfaction. The implication of this research could help women entrepreneurs more aware and find a way to raise the adversity quotient to reach satisfaction in entrepreneurship.
Key Words: Entrepreneurial Satisfaction, Adversity Quotient, Women Entrepreneur.
(18)
1
A. Latar Belakang Masalah
Pada suatu negara yang sedang berkembang, peranan para wirausaha
tidak dapat diabaikan terutama dalam melaksanakan pembangunan. Di Indonesia
seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya, perkembangan wirausaha
wanita sangat berpotensi sebagai pendorong proses pemberdayaan wanita dan
transformasi sosial, yang pada akhirnya bisa sangat berdampak positif terhadap
penurunan tingkat kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia
(Tambunan, 2012).
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada saat ini sebagian besar dikelolah
oleh wirausaha wanita. Keberadaan wirausaha wanita dalam Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM) adalah realitas kehidupan ekonomi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Menurut data kepemilikan UMKM menunjukkan secara
rinci bahwa sebanyak 44,29% usaha mikro dikelola oleh wanita, demikian pula di
sektor usaha kecil sebanyak 10,28% (BPS, 2005, dalam Jati, 2009). Sedangkan,
laporan Menteri Negara Pemberdayaan Wanita (Oktober, 2007, dalam Jati,
2009) menyatakan bahwa 60% dari 41 juta pengusaha mikro dan kecil di
Indonesia adalah wirausaha wanita.
Alasan wanita berwirausaha beraneka macam. Menurut Scarborough dan
Zimmerer, (1992); Ryanti, (2007) para wanita berwirausaha dikarenakan mereka
(19)
2
ingin membantu ekonomi rumah tangga, frustasi terhadap pekerjaan sebelumnya,
sulit mendapat kerja formal, ingin menunjukkan prestasinya, mengisi waktu luang
serta meneruskan usaha keluarga. Motivasi yang mendorong mereka berwirausaha
antara lain karena melihat adanya peluang bisnis, mempraktekkan wawasan,
mencari pengalaman, mengasah kemampuan dan talenta agar memiliki flexibilitas
dan kontrol terhadap hidupnya sendiri, meraih pertumbuhan dan perkembangan
pribadi serta mandiri dari segi keuangan (Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007).
Dengan adanya wirausaha wanita menunjukkan bahwa wanita bisa
membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (Tambunan, 2012).
Sedangkan Ryanti, (2007) menjelaskan bahwa wirausaha wanita berpotensi
untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat
membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional. Oleh
karena itu, Wirausaha wanita didefinisikan sebagai wanita yang memiliki bisnis,
memiliki inisiatif, menerima segala resiko dan keuangan serta bertanggung jawab
secara administrasi dan sosial yang secara efektif memimpin dalam
manajemennya (Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007).
Pada dasarnya dalam diri seorang wanita terdapat beberapa traits yang
justru yang dapat membantunya berkembang sukses. Diantaranya adalah seorang
wanita dinilai sebagai individu Multi-task oriented, natural marketers, mudah
untuk berinteraksi dengan orang lain, sabar dapat menciptakan dan menggunakan
network yang ada, serta konsisten dalam menjalankan tugas keseharian. Dalam
hal ini semakin membuka peluang wanita untuk dapat menjadi seorang wirausaha
yang berhasil (Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007).
(20)
Dalam dunia wirausaha, seorang wirausaha yang berhasil harus siap untuk
mencari peluang, bersaing dan bahkan mampu memenangkan persaingan
tersebut. Dalam mencari peluang wirausaha secara terus-menerus mencari
kesempatan untuk memulai suatu bisnis. Bila dirinya berhasil dalam mencari
pasar dan mampu menjalankan bisnisnya, maka dapat dikatakan dirinya
bertindak sebagai seorang wirausaha yang berpotensi untuk memperoleh
keberhasilan berwirausaha (Sunarso, 2010).
Longenecker, Carlos, dan William (2001) menyatakan bahwa seorang
wirausaha yang mampu mengubah hambatan menjadi peluang bisnis tentunya
akan memberikan tingkat imbalan yang potensial. Setiap imbalan inilah yang
nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Imbalan ini dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori dasar yaitu income, leisure time dan
psychological well being. Dalam penelitian Carree dan Verheul (2011) tiga kategori dasar inilah yang nantinya merupakan aspek kepuasan dalam
berwirausaha.
Kepuasan berwirausaha juga dapat ditunjukkan dari kepuasan atas hasil
operasional dari usaha (Wall, Michie, Patterson, Wood, Sheehan, Clegg & West,
2004; Hasni, 2011) dan kepuasan karir menjadi wirausaha (Greenhaus,
Parasuraman, Wormley, 1990; Hasni, 2011). Dengan demikian, Secara
keseluruhan kepuasan didefinisikan sebagai reaksi emosional terhadap suatu
produk atau pengalaman sebelumnya (Spreng, MacKenzie, and Olshavsky, 1996;
Suyatini, 2004). Sedangkan kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana
wirausaha menyukai kegiatan wirausahanya (Suyatini, 2004). Tingkat kepuasan
(21)
4
berwirausaha dipengaruhi oleh karakteristik usaha , motif untuk start-up dan
karakteristik pribadi (Carree & Verheul, 2011).
Dalam penelitiannya Longenecker, Justin, Carlos dan Wiliam, (2001);
Suyatini (2004), menemukan karekteristik pribadi yang pada umumnya dimilki
oleh wirausaha yaitu kemampuan berinovasi, rasa percaya diri, keberanian
mengambil resiko, dan kebutuhan akan keberhasilan. Karekteristik pribadi
wirausaha tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap seseorang dalam
menjalankan usahanya sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kepuasan yang
lebih besar dalam bekerja (Suyatini, 2004).
Dalam mencapai suatu kepuasan diperlukan reaksi emosional dan
kemampuan untuk mengatasi kesulitan atau tantangan yang diperlukan dalam
perjalanan individu untuk meraih kesuksesan dalam pekerjaanya. Salah satu
karekteristik wirausaha haruslah memiliki kemampuan yang tidak hanya
menjawab tantangan yang muncul tetapi yang lebih utama adalah mampu
menjawab tantangan yang mungkin timbul di masa mendatang (Stolz,2003).
Kemampuan dalam menghadapi tantangan, menurut Stoltz (2003) sangat
diperlukan Adversity Quotient.
Adversity Quotient merupakan konsep yang dapat melihat seberapa jauh seseorang itu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk menghadapi
kesulitan itu, siapa yang mampu mengatasi kemampuan dan siapa yang akan
hancur. Adversity Quotient juga meramalkan siapa yang akan melampaui
harapan dan potensi serta siapa yang akan gagal, serta meramalkan siapa yang
akan menyerah dan siapa yang akan bertahan (Stolz, 2000).
(22)
Dengan adanya Adversity Quotient diharapkan para wirausaha mampu
menghadapi tantangan dan mengatasi permasalahan yang dihadapin wirausaha,
tantangan dan permasalahan yang dihadapin wirausaha diantaranya adalah
permasalahan bisnis, kerja keras dan waktu yang panjang, pendapatan yang tidak
pasti dan resiko yang sangat besar (Longenecker, Carlos, & William, 2001).
Dalam menghadapi tantangan dan mengatasi permasalahan yang
dihadapin wirausaha tersebut, dibutukan adanya adversity Quotient yang tinggi
yaitu kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika
dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme,
dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi. Apabila seorang
wirausaha tidak mampu meghadapi tantangan dan mengatasi permasalahan dalam
berwirausaha, maka wirausaha tersebut memiliki tingkat adversity Quotient yang
rendah yaitu individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir,
pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif (Stolz,
2000).
Beberapa studi melaporkan bahwa wanita memiliki tingkat kepuasan kerja
yang lebih tinggi daripada pria (Vanden Heuvel & Wood, 1997; Carree dan
Verheul, 2011). Meskipun kebanyakan penelitian berkonsentrasi pada kepuasan
kerja pada karyawan daripada pengusaha (Cooper & Artz , 1995; Carree &
Verheul, 2011). Akan tetapi studi menunjukkan bahwa seorang wirausaha lebih
memperlihatkan kepuasan terhadap pekerjaan mereka daripada karyawan
(Blanchflower and Oswald, 2007) dan wirausaha wanita yang berhasil dapat
memperlihatkan kepuasan terhadap bisnis yang mereka jalankan daripada
(23)
6
rekan pria mereka, meskipun wanita memiliki omset lebih rendah rata-rata per
bulan daripada laki-laki. (Carree & Verheul, 2011).
Pada saat ini di Indonesia, bisnis kuliner merupakan salah satu jenis bisnis
yang banyak di minati para pengusaha, terutama para wanita yang berwirausaha.
Menurut data dari program Wanita Wirausaha, dalam majalah wanita ternama,
dari 7.000 wanita wirausaha yang terjaring secara nasional, bisnis kuliner berada
di urutan kedua sebesar 19 persen setelah fashion sebesar 35 persen (Fazriyati,
2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa Bisnis kuliner semakin berkembang di
karenakan memiliki peluang yang cukup potensial dan kreatif dalam
pengelolaannya.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan
adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita yang menggeluti bisnis kuliner di kota Medan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat hubungan adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha
pada wirausaha wanita?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk mengetahui hubungan adversity quotient dengan
kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita.
(24)
D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keilmuan di
bidang psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Industri dan
Organisasi, terutama yang berkaitan dengan hubungan adversity quotient
dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita.
2) Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber
kepustakaan di bidang psikologi industri dan organisasi sehingga hasil
penelitian ini dapatdi jadikan untuk bahan penelitian lebih lanjut.
Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah :
a. Bagi masyarakat yang ingin menggeluti dunia wirausaha, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi bagaimana hubungan adversity
quotient dengan kepuasan berwirausaha pada wanita.
b. Bagi wirausaha wanita dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi berupa data tingkat adversity quotient dan data tingkat kepuasan
berwirausaha.
c. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam melakukan
penelitian dalam pokok permasalahan seputar kewirausahaan, khususnya
pada wanita.
(25)
8
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Bab I : Pendahuluan
Berisikan mengenai latar belakang masalah yang hendak dibahas,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Berisikan mengenai tinjauan kritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
permasalahan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
tentang kepuasan berwirausaha, adversity quotient , wirausaha pada wanita, dan
dinamika hubungan adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha, sehingga
menghasilkan hipotesa penelitian.
Bab III: Metode Penelitian
Berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu
identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat
ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, hasil uji coba skala penelitian,
prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.
(26)
Bab IV : Hasil dan Pembahasan
Dalam bab ini terdapat gambaran subjek penelitian, uji asumsi data
penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan penelitian dan pembahasan hasil
penelitian yaitu evaluasi antara hasil yang didapat dengan hipotesa penelitian.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini membahas mengenai kesimpulan penelitian, serta saran bagi
peneliti selanjutnya yang dapat memberikan inspirasi bagi para peneliti yang
tertarik pada bidang yang sama, saran bagi wirausaha wanita dalam menjalankan
usahanya, saran bagi UMKM dan saran bagi pemberi modal.
(27)
10
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan dijabarkan sejumlah teori yang menjadi kerangka
berpikir dalam melaksanakan penelitian. Penjabaran teori terbagi dalam sejumlah
bagian yaitu tinjauan teori mengenai kepuasan berwirausaha, Adversity Quotient.
Selain itu terdapat juga aspek-aspek dan faktor-faktor dari kepuasan berwirausaha
serta dimensi dari Adversity Quotient dan penjelasan wirausaha pada wanita. Pada
akhir bab ini diuraikan mengenai hubungan antara variabel Adversity Quotient
kepuasan berwirausaha, sehingga menghasilkan sebuah hipotesis dari penelitian
ini.
A. Kepuasan Berwirausaha
a) Pengertian Kepuasan Berwirausaha
Kepuasan didefinisikan sebagai reaksi emosional terhadap suatu produk
atau pengalaman sebelumnya (Spreng, MacKenzie, & Olshavsky, 1996; Suyatini,
2004). Sedangkan Kepuasan kerja adalah Sikap umum terhadap pekerjaan
seseorang, yang mununjukan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima
pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins,
2003). Definisi lain dikemukakan Luthans (2006) Kepuasan kerja adalah hasil
dari persepsi karyawan atau pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka
memberikan hal yang dinilai penting, yang meliputi 6 dimensi yang digunakan
(28)
untuk mengukur kepuasan kerja, antara lain pekerjaan itu sendiri, gaji, promosi
jabatan, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja.
Meskipun kebanyakan penelitian berkonsentrasi pada kepuasan kerja pada
karyawan daripada pengusaha (Cooper & Artz 1995 ; Carree & Verheul, 2011).
Akan tetapi studi menunjukkan bahwa seorang wirausaha lebih memperlihatkan
kepuasan terhadap pekerjaan mereka daripada karyawan (Blanchflower and
Oswald, 2007). Oleh karena itu kepuasan kerja pada saat ini tidak hanya berfokus
pada karyawan akan tetapi juga berfokus pada wirausaha.
Suryana dan Bayu (2010) menjelaskan bahwa wirausaha ialah orang yang
mempunyai kemampuan menjalankan usaha secara mandiri dan berwirausaha
berati melakukan kegiatan dengan menciptakan dan menjalankan usaha mandiri.
Sedangkan kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana wirausaha menyukai
kegiatan wirausahanya (Suyatini, 2004). Kepuasan berwirausaha adalah kepuasan
yang dibagi menjadi tiga aspek kepuasan, tiga aspek kepuasan itu adalah kepuasan
akan income, psychological well being dan leisure time (Carree & Verheul, 2011).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kepuasan berwirausaha adalah
tingkat dimana wirausaha menyukai kegiatan wirausaha yang ditinjau dari tiga
aspek kepuasan, yaitu income yang diterima, psychological well being yang
dirasakan ,dan leisure time yang dimiliki.
b) Aspek- aspek Kepuasan Wirausaha
Kepuasan berwirausaha terdiri dari tiga kategori imbalan dalam
berwirausaha yang nantinya akan memberikan kepuasan dalam berwirausaha
(Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001). Dalam penelitiannya Carree dan Verheul
(29)
12
(2011), Imbalan tersebut merupakan aspek kepuasan dalam berwirausaha. Aspek
kepuasan tersebut yaitu, income, psychological well being dan leisure time.
1. Income
Income merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi aktivitas dan
kelangsungan dari suatu usaha. Income dapat dijadikan sebagai indikator naik
turunnya suatu usaha yang dijalankan. Income yang dihasilkan juga berpengaruh
terhadap kepuasan dari seorang pengusaha. Income bagi pengusaha merujuk
kepada imbalan berupa laba. Sehingga Kepuasan terhadap income sangat relevan
bagi pengusaha yang memulai usaha untuk mendapatkan hidup atau untuk
kesuksesan finansial (Andersson 2008; Feldman & Bolino, 2000; Carree &
Verheul, 2011; Hasni, 2011).
Hasil finansial dari bisnis apapun harus dapat mengganti kerugian waktu
(ekuivalen dengan upah) dan dana (ekivalen dengan tingkat bunga atau deviden)
sebelum laba yang sebenarnya dapat direalisasikan. Wirausaha mengharap hasil
yang tidak hanya mengganti kerugian waktu dan uang yang mereka investasikan,
tetapi juga memberikan imbalan yang pantas bagi resiko dan inisiatif yang mereka
ambil dalam mengoperasikan bisnis mereka sendiri (Longenecker, Carlos &
William, 2001).
2. Psychologial Well Being
Psychological Well Being memiliki peranan penting dalam kepuasan
berwirausaha khususnya selama fase start-up yang bisa menimbulkan stres
(Andersson, 2008 ; Feldman & Bolino, 2000; Carree & Verheul, 2011). Stress
yang dialami pada pengusaha tersebut dapat menguatkan/melemahkan para
(30)
pengusaha untuk mendapatkan Psychologial Well Being yang berasal dari
dukungan dari dalam dan dari luar. Dukungan dari dalam dapat diperoleh dari
kecerdasan emosional pada diri tiap pengusaha, dan dukungan dari luar dapat
diperoleh dari dukungan sosial dari orang di sekitar pengusaha.
Wirausaha sering kali menyatakan kepuasan yang mereka dapatkan dalam
menjalankan bisnisnya sendiri. Beberapa wirausaha menyatakan bahwa pekerjaan
yang mereka lakukan merupakan suatu kesenangan tersendiri. Psychological Well
Being yang mereka dapatkan mungkin berasal dari kebebasan mereka, dalam
Psychologial Well Being tersebut merefleksikan pemenuhan kerja secara pribadi
(Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).
3. Leisure Time
Income dan Leisure Time adalah dua sumber utama tradisional utilitas di
bidang ekonomi (Bonke, Deding, & Lausten, 2009; Carree & Verheul,
2011). Beberapa orang memulai usaha dengan memiliki jam kerja yang lebih
fleksibel untuk menggabungkan jam kerja dirumah tangga dan tanggung jawab
pekerjaan. Seseorang dapat mengatur waktunya sendiri untuk memulai membuka
usahanya sendiri, bahkan jika usahnya mengambil tempat di rumah, maka
seseorang tidak perlu meninggalkan rumah (Longenecker, Carlos & Wiliam,
2001).
Wirausaha seperti orang bebas tanpa adanya ikatan waktu tertentu yang
mempunyai tanggung jawab.Wirausaha menggunakan kebebasan untuk menyusun
kehidupan dan perilaku kerja pribadinya secara flexibel (Longenecker, Carlos &
Wiliam, 2001).
(31)
14
c) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Wirausaha
Cooper dan Artz (1995); Carree & Verheul (2011) menyatakan bahwa
faktor yang menjadi Tingkat kepuasan kewirausahaan yaitu adanya pengaruh dari
karakteristik usaha, motif untuk start-up dan karakteristik pribadi.
1. Karekteristik usaha
Pada beberapa studi Carree dan Verheul, (2011) membedakan antara tiga
utama pada usaha yaitu :
a. Ukuran
Usaha baru yang ukurannya lebih besar biasanya datang dengan tanggung
jawab yang lebih tinggi dan harapan dan dapat mengakibatkan lebih banyak
stres. Di sisi lain, besar start-up biasanya membutuhkan lebih persiapan dan harus
berurusan dengan pengawasan luar, misalnya, oleh pemasok modal, sehingga
mengurangi kemungkinan kerugian yang tak terduga. Hal yang mempengaruhi
ukuran perusahaan adalah jumlah karyawan, jumlah modal awal, dan apakah
bisnis beroperasi dari rumah atau tempat usaha yang terpisah. Memulai dan
menjalankan bisnis di luar rumah mungkin menjadi indikator kehati-hatian dari
pihak pengusaha, dan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan Leisure
time.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ada beberapa kriteria yang dipergunakan
(32)
untuk mendefinisikan Pengertian dan kriteria ukuran Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Pengertian-pengertian UMKM tersebut adalah :
1) Usaha Mikro
Usaha Mikro adalah Peluang Usaha Produktif milik orang perorangan atau
badan Usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dengan asset
Maks. 50 Juta /tahun dan omset Maks. 300 Juta. Contoh usaha mikro adalah
pedagang kaki lima.
2) Usaha kecil
Usaha Kecil adalah Peluang Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan Usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha menengah atau
Usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Dengan asset usaha lebih dari
50 Juta – 500 Juta/tahun dan omset lebih dari 300 Juta – 2,5 Miliar. Contoh usaha kecil adalah pedagang grosiran di pasar.
3) Usaha menengah
Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan Usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau
Usaha besar. Dengan asset usaha lebih dari 500 Juta – 10 Miliar/tahun dan omset usaha lebih dari 2,5 Miliar – 50 Miliar. Contoh usaha menengah adalah industri makanan dan minuman.
(33)
16
b. Kompleksitas
Kompleksitas lingkungan yang lebih besar dapat menyebabkan
ketidakpuasan pada pengusaha, dengan adanya dihadapkan beberapa sumber
kemunduran tak terduga. Ukuran yang digunakan dalam kompleksitas yaitu:
apakah start-up dalam high- sektor teknologi, dan apakah pengusaha percaya
bahwa ia mampu bersaing dengan semua perkembangan yang relevan.
c. Keterlibatan
Alokasi waktu untuk tugas kewirausahaan berbagai mungkin bervariasi di
setiap start-up. Pengusaha yang dihadapkan dengan tekanan waktu yang cukup
besar mungkin berasal kurang kepuasan dari perusahaan mereka. Pada penelitian
Haile (2009) menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang (lebih 48 jam setiap
minggunya) di temukan adanya efek positif dan berhubungan secara signifikan
dengan kepuasan pencapaian akan prestasi.
2. Motif untuk start-up
Pada motif start-up ini seseorang berniat untuk melakukan usaha
mempersiapkan segala seuatu yang diperlukan,di awali dengan melihat peluang
usaha baru yang mungkin,apakah membuka usaha baru atau melakukan
franchising. Juga memilih usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian,industri atau manufaktur, maupun produksi atau jasa. Motif Start-up
pengusaha memiliki konsekuensi penting pada tingkat kepuasan sebagai yang
harapkan pengusaha untuk mengevaluasi kinerja dengan menghubungkan hasil
(34)
perusahaan sebagai tujuan awal mereka dan yang diharapkan (Carree & Verheul,
2011).
3. Karakteristik pribadi
Karakteristik merupakan ciri atau sifat yang berkemampuan untuk
memperbaiki kualitas hidup, sedangkan karakteristik pribadi adalah ciri khas yang
menunjukkan perbedaan seseorang tentang motivasi, inisiatif, kemampuan untuk
tetap tegar menghadapi tugas sampai tuntas atau memecahkan masalah atau
bagaimana menyesuaikan perubahan yang terkait erat dengan lingkungan yang
mempengaruhi kinerja individu. Karakteristik pribadi dapat dipengaruhi oleh
faktor sosial-demografi seperti :
a. Latar Belakang Budaya
Manusia tidak akan lepas dari lingkungan sekitarnya, sehingga secara
tidak langsung tingkah laku mereka dibatasi oleh norma atau nilai budaya
setempat. Oleh karena itu kewirausahaan bearsal dari berbagai jenis kebudayaan.
Perbedaan budaya menimbulkan perbedaan nilai dan kepercayaan. Ada
kebudayaan yang dikenal memiliki orientasi prestasi tinggi dan dapat
memunculkan wirausaha yang berhasil. Ada budaya yang menganggap
kewirausahaan sebagai suatu pekerjan yang positif, namun ada kebudayaan yang
menganggapnya sebagai suatu pekerjaan yang merendahkan harga diri. ( Lambing
& Kuehl, 2000 ; Nasution, Noer & Suef, 2001)
Beberapa budaya di Indonesia memang mengagungkan profesi wirausaha
sehingga banyak wirausaha tangguh yang berasal dari suku tersebut. Namun
(35)
18
secara umum budaya masyarakat Indonesia masih mengagungkan profesi
yang relatif “tanpa risiko” seperti menjadi pegawai negeri, ABRI atau bekerja di perusahaan besar (Sunarso, 2010).
b. Usia
Kepribadian manusia bersifat dinamis, berkembang sesuai dengan
bertambahnya usia. makin berumur seseorang diharapkan makin mampu bersifat
toleran, mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lain yang menunjukkan
intelektual dan psikologis (Carree & Verheul, 2011).
c. Pasangan hidup
Pasangan hidup berguna untuk mengurangi stres yang didapat dari
pekerjaan dengan berbagi masalah dan juga dapat membantu keuangan dari
wirausaha itu sendiri. Clark, Oswald, dan Warr, (1996); Carree dan Verheul,
(2011) menemukan bahwa pekerja yang menikah memiliki kepuasan kerja yang
tinggi, terutama kepuasan pada pendapatan. Penelitian dari Blanchflower dan
Oswald, (2007) menunjukkan bahwa adanya efek positif antara pernikahan
dengan kebahagiaan pekerja, baik itu pekerja yang digaji maupun wirausaha.
Selain itu, mereka juga mendapatkan efek negatif terdapat pada pekerja tanpa
pasangan hidup seperti pada janda, orang yang bercerai, dan individu yang telah
berpisah.
d. Gender
Beberapa peneltian menemukan bahwa perempuan memiliki kepuasan
kerja yang lebih tinggi daripada yang dimiliki pria (Carree & Verheul, 2011).
Didukung oleh penelitian dari Cooper dan Artz, (1995); Carree & Verheul (2011)
(36)
yang menyatakan bahwa wirausaha wanita lebih puas dalam menjalankan
bisnisnya daripada wirausaha pria.
Seorang pria memiliki kepercayaan diri berlebih dalam menjalankan
bisnisnya yang membuat dirinya memiliki ketergantungan kerja yang tinggi pada
usahanya (Lundeberg, Fox & Punchocar, (1994); Carree & Verheul, 2011) dan
biasanya tugas yang berat itu lebih ditujukan pada karakter maskulin yang
memiliki jiwa kewirausahaan (Beyer & Bowden, 1997; Carree & Verheul, 2011).
Selain itu, penelitian dari Gazioglu dan Tansel, (2006) menyatakan tentang efek
partisipasi dimana wanita biasanya dianggap sebagai pendukung pencari nafkah
dan mereka dapat membuat keputusan cepat untuk berhenti dari pekerjaan ketika
mereka tidak puas akan pekerjaan itu.
e. Risk tolerance
Wirausaha biasanya memiliki toleransi resiko yang tinggi daripada
karyawan yang bekerja (Kihlstrom & Laffont, 1979 Carree & Verheul, 2011).
Risk tolerance dimana ketika ada masalah wirausaha lebih suka menganggapnya
sebagai sebuah hal yang positif atau sebagai tantangan bagi dirinya.
Wirausaha harus menghadapi secara sadar segala bentuk resiko. Riyanti
(2007) perilaku mengambil resiko merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki
oleh seorang wirausaha. Jika seorang wirausaha tidak berani mengambil resiko
maka hal tersebut akan menjadi penyebab internal kegagalan dalam usahanya
(Ryanti, 2007). Penelitian dari Carree dan Verheul, 2011 menyatakan bahwa
wirausaha yang memiliki risk tolerance yang tinggi lebih mendapatkan kepuasan
terhadap income yang didapatkan dan lebih sedikit mengalami stress.
(37)
20
Seorang wirausaha yang berani mengambil resiko merupakan seorang
wirausaha yang berani mengubah kegagalan menjadi suatu peluang (Stoltz, 2000).
Peluang yang dimiliki seorang wirausaha diharapkan mampu menghadapi
tantangan dan menyelesaikan hambatan-hambatan yang ditemui seorang
wirausaha dalam mencapai kepuasan berwirausaha. Oleh karena itu, menurut
Stoltz (2003) sangat diperlukan Adversity Quotient.
B. Adversity Quotient (AQ)
Adversity Quotient(AQ) merupakan satu konsep yang dikemukakan oleh Paul G.Stoltz (2000) mengenai kualitas pribadi yang dimiliki oleh seseorang
untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di
berbagai bidang hidupnya. Stoltz (2003) menekankan pada unsur kesulitan
(adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Dalam hal ini,
kesuksesan seseorang dalam pekerjaan dan sebagian besar kehidupan ditentukan
oleh Adversity Quotient. Sebagai sebuah teori ilmiah, Adversity Quotient memiliki
pengertian dan dimensi-dimensi yang menyusunnya.
1. Pengertian Adversity Quotient
Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.
AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual
yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua,
AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang
ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk
memperbaiki respons terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).
(38)
Stoltz (2000) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk
mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas,
kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan,
dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan,
kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting
dan keuletan.
Adversity quotient (AQ) juga menginformasikan pada individu mengenai
kemampuannya dalam menghadapi keadaan sulit (adversity) dan kemampuan
untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan yang tidak mampu
menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka
yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang
dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan
dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2003).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam
menghadapi rintangan (Adversity Quotient) adalah suatu kemampuan untuk
mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan.
melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang
membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa –peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.
2. Dimensi- dimensi Adversity Quotient
Adversity quotient terdiri atas empat dimensi yang tercakup dalam
akronim CORE ( Control, Owenership, Reach, & Endurance). Dimensi - dimensi
(39)
22
CORE ini akan menentukan adversity quotient individu secara menyeluruh
(Stoltz, 2003). Adapun penjelasan dimensi- dimensi adversity quotient menurut
Stolz, (2003) yaitu:
a. Control (C)
Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan.
Stolz, ( 2003) menjelaskan bahwa dimensi Control terdapat dua pengertian yaitu :
- Sejauh mana seseorang mampu secara positf memepengaruhi situasi?
- Sejauh mana seseorang dapat mengendalikan tanggapan diri sendiri
terhadap suatu situasi
Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun
itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor control yang tinggi mampu mengubah
situasisecara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang
dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang
dengan skor control yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor control
yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap
peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih
efektif.
Di sisi lain, individu dengan skor control yang sedang merespon peristiwa
buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya,
tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu mungkin tidak
mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada
tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan individu yang memiliki tingkat control
(40)
yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa
peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal
ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat
dari kesulitan tersebut. Individu menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan
dan akan menimbulkan pandangan hidup menyerah kepada nasib.
Dalam hal ini Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi ini
cenderung berpikir: “Ini di luar jangkauan saya!”; “Tidak ada yang bisa saya lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan Mereka yang
memiliki skor lebih tinggi, bila berada dalam situasi yang sama cendrung
berpikir : “Wow, ini sulit! Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”; “Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak berdaya
dalam situasi seperti ini, Selalu ada jalan”; “Siapa berani, akan menang; Saya
harus mencari cara lain”. Sehingga Orang-orang yang berAQ tinggi relatif tahan terhadap ketidakberdayaan.
b. Ownership
Ownership yaitu sejauh mana seseorang mau mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya
(Stolz, 2003). Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi origin, yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ownership seseorang, maka semakin
besar derajat pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau
permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat
ownership yang rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain
(41)
24
yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui
akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri ( Stolz, 2000),
akan tetapi dalam buku Stolz tahun 2003 menyatakan bahwa yang penting adalah
bukan siapa atau apa yang harus disalahkan (origin) tapi sejauh apa orang-orang
mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit (ownership) untuk
mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik ( Stolz, 2003).
Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari
suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk
memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui
akibat - akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan
menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi
masalah tersebut.
Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi owenership ini
cenderung berpikir: “Ini semua kesalahan saya” ; “Saya memang bodoh sekali”; “Seharusnya saya lebih tahu”; “Apa yang tadi saya pikirkan, ya? “; “ Saya malah jadi tidak mengerti” ; “Saya sudah mengacaukan semuanya”; “Saya memang orang yang gagal”. Sedangkan Mereka yang skornya lebih tinggi, bila berada
dalam situasi yang sama, cendrung akan berpikir: “Waktunya tidak tepat” ; “Seluruh industri sedang menderita”; “Kini, setiap orang mengalami masa-masa
yang sulit”, “Ia hanya sedang tidak gembira hatinya”; “Beberapa anggota tim tidak memberikan kontribusi”; “Tak seorang pun bisa meramalkan datanya yang satu ini”; “Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, saya tahu ada cara
(42)
untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan saya aka menerapkannya
bila lain waktu saya berada dalam situasi seperti itu lagi”.
c. Reach (R)
Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh mana orang membiarkan suatu kesulitan menjalar/masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan
yang lain (Stolz, 2003). Reach menetapkan seberapa luas seseorang menganggap
suatu masalah. Semakin luas masalah yang muncul, Semakin rendah skor R,
semakin besar kemungkinan seseorang menganggap peristiwa-peristiwa buruk
sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas, menyerap kebahagiaan
seseorang. Sementara itu, semakin tinggi skor R, semakin besar pula
kemungkinan seseorang untuk membatasi jangauan masalah pada peristiwa yang
sedang dihadapi (Stolz, 2003).
Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon
kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan
menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas
jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan
pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach
seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan
masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.
Individu dengan skor reach yang sedang merespon peristiwa yang
mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun kadang membiarkan
peristiwa itu memasuki wilayah lain dalam kehidupannya. Ketika individu merasa
kecewa, mungkin dia akan menganggap kesulitan sebagai bencana, dan
(43)
26
menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu
dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan
terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan,
dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil
tindakan.
d. Endurance (E)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama
kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan
berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon
kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu,
dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi,
optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi
kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang
sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang
berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan
yang konstruktif ( Stolz, 2003).
Individu dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap
kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan
selamanya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang
harapan. Individu yang melihat kemampuan diri mereka sebagai penyebab
kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan dibandingkan
dengan orang yang mengaitkan kegagalan sebagai usaha (penyebab yang sifatnya
sementara) yang mereka lakukan (Stolz, 2003).
(44)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui
kecerdasan dalam menghadapi rintangan tidak cukup hanya mengetahui apa yang
diperlukan untuk meningkatkannya, tetapi yang perlu diperhatikan adalah
dimensi-dimensinya agar dapat memahami kecerdasan dalam menghadapi
rintangan sepenuhnya.
3. Tipe AdversityQuotient
Individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka
didorong oleh beberapa respon yang mengarahkan individu tersebut dalam
pengambilan keputusan. Ada beberapa respon yang mendorong individu dalam
menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka. Menurut Stolz (2003) ada tiga
respon terhadap kesulitan yaitu dengan menganalogikan pada pendakian gunung,
Stolz (2003) membagi orang-orang itu dalam pendakian itu dalam tiga golongan,
yaitu: quitter, camper, dan climber.
1. Quitters
Quitters merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga
menutup segala peluang dan kesempatan yang datang menghampirinya, karena
peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus dengan masalah dan
tantangan. Tipe quitter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta masalah
yang membungkus peluang tersebut.
(45)
28
2. Campers
Campers merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan
untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada, namun mereka
melihat bahwa perjalanannya sudah cukup sampai disini. Berbeda dengan
kelompok sebelumnya (quitter), kelompok ini sudah pernah menerima, berjuang
menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu bidang tertentu, namun
karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih
untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.
3. Climbers
Climbers merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan untuk berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik
itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal-hal lain yang terus dapat
setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus berjuang tanpa mempedulikan
latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus mendaki dan
mendaki.
C. Wirausaha Pada wanita
Wirausaha wanita adalah wanita yang memiliki bisnis, memiliki inisiatif,
menerima segala resiko dan keuangan serta bertanggung jawab secara
administrasi dan sosial yang secara efektif memimpin dalam manajemennya
(Meng & Liang, 1996; Ryanti, 2007).
Defenisi lain yang lebih umum dari wirausaha wanita sebagai pemilik dan
manager dari bisnis. Dengan kata lain, wirausaha wanita adalah pemilik bisnis
(46)
yang menjalankan bisnisnya sendiri atau bersama rekan bisnisnya, yang
membayar pegawai ataupun yang tidak membayar pegawai ( Ryanti, 2007).
I. Karakteristik Wirausaha Wanita
Dari kacamata peran gender tradisional wanita bukan sebagai pencari
nafkah, melainkan peran domestik seperti mengurus suami, anak dan rumah
tangga. ( Hurlock, 2004). Wanita tidak diharapkan bekerja di luar rumah kecuali
kondisi ekonomi memaksa, dan apabila hal ini terjadi, wanita diharapkan bekerja
dibidang pelayanan seperti perawat, guru dan sekretaris. Tapi ada sejumlah
wanita yang berinvestasi dan membangun usaha sendiri. Bukan hanya itu saja,
banyak wanita yang menjalankan peran ganda, mengelolah bisnis sekaligus juga
mengerjakan berbagai tanggung jawab dalam rumah tangga seperti mengasuh
anak ( Ryanti, 2007).
Menurut Nasution Noer dan Suef (2001) menjelaskan bahwa karekteristik
wanita memiliki feminitas antara lain: emosional, sensitif, peka, kooperatif, penuh
kasih, cermat, hangat, simpati dan intuitif. Pada wanita yang makin tinggi
pendiidkannya maka makin luas pula wawasan mereka dan berpengaruh terhadap
perkembangan jiwa wirausahanya. Dari segi usianya makin berumur maka para
wirausaha wanita ini makin toleran dan semakin matang sifat-sifat wirausahanya.
Dengan adanya kemampuan yang wanita miliki, wanita terus berjuang
untuk melawan arus perbedaan gender. Wirausaha wanita ini berusaha untuk
(47)
30
menjadi wirausaha yang baik, yang tidak kalah dengan wirausaha pria, baik dalam
keputusan yang mereka buat serta dalam perilaku mengambil resiko.
D. Hubungan Adversity Quotient terhadap Kepuasan Berwirausaha
Seorang wirausaha sering kali di hadapkan pada kondisi ekonomi yang
belum bisa diprediksikan. Oleh karena itu, seorang wirausaha harus berusaha
untuk membuat perhitungan yang matang, artinya bahwa dalam kondisi
yang cepat berubah, mereka harus mampu mengambil tindakan secara bijaksana
dan mampu mengubah hambatan menjadi suatu peluang bisnis (Sunarso, 2010).
Menurut Stolz (2000) konsep mengubah tantangan dan hambatan menjadi suatu
peluang adalah adversity quotient.
Adversity quotient pada wirausaha merupakan gambaran sejauh mana kinerja seorang wirausaha dalam menghadapi tantangan dan menyelesaikan
permasalahan dalam mengembangkan usaha. Tantangan tersebut dapat berupa
finansial, emosional, fisik, pergaulan dan yang berkaitan dengan pengembangan
karier dari wirausaha (Stolz, 2003). Tanpa adanya adversity quotient yang tinggi
maka dikhawatirkan seseorang akan mengalami frustasi dan kegamangan dalam
menjalani proses menjadi seorang wirausaha nantinya (Stoltz, 2000). Sedangkan
wirausaha yang memiliki adversity quotient yang tinggi tidak akan menyerah, dan
tetap bertahan dimasa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk
menghadapi tantangan selanjutnya (Stolz, 2003) dan dapat menjadikan sebuah
hambatan menjadi peluang bisnis (Stolz, 2000).
Seorang wirausaha yang mampu mengubah hambatan menjadi peluang
bisnis tentunya akan memberikan tingkat imbalan yang potensial. Setiap imbalan
(48)
inilah yang nantinya menghasilkan kepuasan bagi wirausaha tersebut. Imbalan ini
dapat dikelompokkan dalam tiga kategori dasar yaitu income, leisure time dan
psychological well being (Longenecker, Carlos, & William, 2001). Carree dan Verheul (2011) menyatakan bahwa tiga kategori dasar inilah yang menentukan
kepuasan dalam berwirausaha.
Wirausaha sering kali menyatakan kepuasan yang mereka dapatkan dalam
menjalankan bisnisnya sendiri (Carree & Verheul, 2011). Kepuasan yang di
rasakan tentu saja di dapatkan dari perjuangan dalam menghadapi tantangan
selama berwirausaha seperti permasalahan bisnis, kerja keras, waktu yang
panjang, dan pendapatan yang tidak pasti dan resiko yang sangat besar. Sehingga
di butuhkan pengorbanan untuk dapat memperoleh imbalan tersebut
(Longenecker, Carlos, & William, 2001) dan dibutuhkan adanya adversity
quotient untuk menghadapi tantangan tersebut (Stolz, 2003). Seorang wirausaha yang menyukai tantangan dan menjadikannya sebuah peluang bisnis akan
menimbulkan kesenangan tersendiri bagi wirausaha tersebut, sehingga dapat
meningkatkan adversity quotient (Stolz, 2000).
Beberapa wirausaha menyatakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan
merupakan suatu kesenangan tersendiri (Longenecker, Carlos & Wiliam, 2001).
Sehingga berpengaruh kepada kepuasan yang mereka dapatkan. Kepuasan
tersebut dapat merefleksikan pemenuhan kerja secara pribadi (Longenecker,
Carlos & Wiliam, 2001). Kepuasan ini secara tidak langsung akan memotivasi
dirinya untuk lebih giat bekerja agar perkembangan usaha semakin lama semakin
baik dan kuat dalam menghadapi persaingan (Suryana, 2006).
(49)
32
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis, maka hipotesis dari penelitian ini adalah
adanya hubungan positif antara adversity quotient dengan kepuasan berwirausaha
pada wirausaha wanita. Semakin tinggi tingkat adversity quotient wirausaha
wanita maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dalam berwirausaha dan
semakin rendah tingkat adversity quotient wirausaha wanita maka semakin rendah
juga kepuasan dalam berwirausaha.
(50)
33
Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian
ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan
apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan (Hadi, 2000). Pada
penelitian ini mengenai hubungan Adversity Quotient terhadap kepuasan
berwirausaha pada wanita yang akan menggunakan metode penelitian
korelasional.
A. Identifikasi Variabel
Untuk dapat menguji hipotesa penelitian terlebih dahulu diidentifikasi
variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian ini variabel-variabel penelitian yang
digunakan terdiri dari :
Variabel tergantung (VT) : Kepuasan Berwirausaha
Variabel bebas (VB) : Adversity Quotient
B.Definisi Operasional Va riabel a. Kepuasan Berwirausaha
Kepuasan berwirausaha adalah tingkat dimana wirausaha menyukai
kegiatan berwirausaha, yang ditinjau dari tiga aspek kepuasan yaitu income yang
diterima, psychological well being yang dirasakan ,dan leisure time yang dimiliki.
(51)
34
Kepuasan berwirausaha diukur dengan skala kepuasan berwirausaha yang
dikemukakan oleh Longenecker (2001), yang meliputi 3 aspek yaitu : yaitu
income, psychological well being,dan leisure time.
Skor total pada skala kepuasan berwirausaha merupakan petunjuk bagi
tinggi rendahnya kepuasan berwirausaha pada wanita. Semakin tinggi skor yang
dicapai maka semakin tinggi pula kepuasaan dalam berwirausaha pada wanita.
Semakin rendah skor yang dicapai maka semakin rendah pula kepuasaan dalam
berwirausaha pada wanita.
b. Adversity Quotient
Adversity Quotient adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan dalam mencapai tujuan, melalui kemampuan
berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan. Adversity Quotient diukur
dengan skala Adversity Quotient yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi AQ
menurut Stoltz (2003), yang meliputi 4 dimensi Adversity Quotient yaitu :
Control, Owenership, Reach, dan Endurance.
Skor total pada skala Adversity Quotient merupakan petunjuk bagi tinggi
rendahnya Adversity Quotient pada wirausaha wanita. Semakin tinggi skor yang
dicapai maka semakin tinggi pula Adversity Quotient pada wirausaha wanita.
Semakin rendah skor yang dicapai maka semakin rendah pula Adversity Quotient
pada wirausaha wanita.
(52)
C. Subjek Penelitian Dan Teknik Sampling 1. Subjek Penelitian
Dalam suatu penelitian, masalah populasi dan sampel yang dipakai
merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan (Hadi, 2000). Populasi
adalah semua individu, untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari
sampel itu akan digeneralisasikan (Hadi, 2000). Dari populasi yang ditentukan
akan diambil wakil dari populasi yang disebut sampel penelitian. Sampel harus
dapat mewakili ciri-ciri populasinya. Sampel adalah sebagian dari populasi yang
dikenakan dalam penelitian (Hadi, 2000).
Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah wirausaha wanita di kota
Medan. Karakteristik atau ciri sampel dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a) Wirausaha wanita yang menggeluti bisnis kuliner.
b) Berwirausaha minimal 1 tahun
c) Wirausaha dalam kategori mikro dan kecil
2. Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability
(besarnya peluang anggota populasi untuk terpilih sebagai sampel tidak diketahui)
yaitu dengan teknik purposive sampling karena pemilihan sekolompok subjek
didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai
sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Hadi, 2000).
(53)
36
1. Jumlah Sampel Penelitian
Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 155 orang wirausaha
wanita yang sedang menggeluti bisnis kuliner. Menurut Azwar (2003), secara
tradisional statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 (enam puluh)
orang dikatakan sudah cukup banyak.
2.Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan sepanjang pinggir jalan Kota Medan.
3.Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data hendaknya disesuaikan dengan tujuan
penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Data
penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode self report dan skala.
a. Metode self report
Metode ini digunakan untuk memperoleh data identitas diri yaitu mengenai
nama, usia, jumlah pendapatan per bulan, jenis usaha, status pernikahan, suku dan
lama berwirausaha serta lembar pernyataan kesedian mengisi skala. Dalam hal ini
subjek diminta untuk menuliskannya pada kolom yang telah disediakan pada skala
penelitian.
b. Metode Skala
Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat
ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang
menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2012). Skala psikologi ini
(54)
berupa pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak di ukur
(Azwar, 2012). Skala yang digunakan adalah skala psikologi yang berbentuk skala
likert dengan beberapa pilihan, yaitu dengan cara menyebarkan skala yang berisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga
subjek penelitian dapat mengisi dengan mudah (Azwar, 2012). Ada dua buah
skala yang digunakan yaitu skala adversity quotient dan skala kepuasan
berwirausaha.
1) Skala Kepuasan Berwirausaha
Skala disusun mengacu pada aspek kepuasan berwirausaha yang
dikemukakan oleh Longenecker (2001) yaitu income yang diterima, psychological
well being yang dirasakan dan leisure time yang dimiliki.
Skala yang digunakan adalah Skala model likert dengan 5 (lima) buah
alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai
(TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan
mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable) . Nilai setiap pilihan
bergerak dari 1 sampai 5. Bobot penilaian untuk pernyataan mendukung yaitu
SS= 5, S= 4, N=3, TS=2 dan STS=1. sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan
tidak mendukung yaitu SS=1, S=2, N=3, TS= 4 dan STS= 5.
(55)
38
Tabel 1. Blueprint skala kepuasan berwirausaha sebelum uji coba
Variabel Aspek Indikator Aitem Jumlah %
Fav Unfav
Kepuasan Bewirausaha
Income - Senang akan
penghasilan yang dicapai.
- Penghasilan
memotivasi dalam berwirausaha.
- Penghasilan
memberikan hasil yang sesuai terhadap pengeluaran. 1,2,7, 8,9 16,17, 22,23, 24
10 33,3%
Psychological well being
- Menyenangi dalam kegiatan
berwirausaha.
- Semangat dalam berwirausaha.
- Dukungan sosial dalam berwirausaha. 3,4,10 ,11,12 18,19, 25,26, 27
10 33,3%
Leisure time - Mempunyai waktu
kerja flexibel.
- Tidak ada
keterikatan waktu. - Menikmati
kebebasan terhadap waktu bekerja dan istirahat. 5,6,13 ,14,15 20,21, 28,29, 30
10 33,3%
Total 30 100%
(56)
2) Skala AdversityQuotient
Skala disusun mengacu pada dimensi Adversity Quotient yang
dikemukakan oleh Stolz (2003) yaitu CORE, Control, Ownership, Reach,
Endurance.
1. Control, menunjukkan kendali dan respon individu terhadap kesulitan (Stolz,
2003).
Individu dengan skor control yang tinggi memiliki tingkat kendali yang
kuat atas peristiwa buruk dan sangat bermanfaat untuk kinerja, produktifitas dan
kesehatan individu dalam jangka panjang. Semakin tinggi skor control, semakin
besar kemungkinannya bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan dan tetap teguh
untuk mencari penyelesaian.
Individu dengan skor control yang sedang memiliki respon terhadap
peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berat dalam
kendalinya, tergantung pada besarnya peristiwa itu, tetapi individu sulit
mempertahankan kemampuan memegang kendali bila dihadapkan pada tantangan
yang lebih berat.
Individu yang memiliki skor control rendah merasa bahwa peristiwa buruk
berada di luar kendalinya. Individu sering merasa tidak berdaya dalam
menghadapi kesulitan.
2. Owenership, menunjukkan cara individu mau mengandalkan diri sendiri
untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya
(Stolz, 2003).
(57)
40
Individu dengan skor ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari
suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk
memperbaikinya.
Individu dengan skor owenership yang sedang, Individu kadang
menganggap dirinya bertanggung jawa atas akibat yang timbul dari suatu
kesulitan, tetapi individu tersebut membatasi tanggung jawabnya pada hal-hal
yang dianggapnya merekalah yang menjadi penyebab langsung.
Individu dengan skor ownership yang rendah tidak mengakui
akibat-akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak
mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah
tersebut.
3. Reach, menunjukkan sejauh mana orang membiarkan suatu kesulitan
menjalar/masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan yang lain (Stolz, 2003).
Individu yang memiliki skor reach yang tinggi, semakin besar
kemungkinan Individu merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan
terbatas.
Individu yang memilki skor reach yang sedang akan merespon peristiwa
yang memandang kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik. namun kadang-kadang
individu akan membiarkan peristiwa-peristiwa yang tidak perlu masuk ke dalam
wilayah lain dalam kehidupan.
Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon
kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan
(1)
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat sejumlah situasi tentang berbagai hal yang mungkin dirasakan atau dialami di dalam dunia kewirausahaan. Baca dan pahami baik-baik setiap situasi. Bayangkan situasi ini seolah-olah terjadi pada Anda.
Lingkari angka yang menunjukkan jawaban Anda terhadap pernyataan di setiap situasi.
CONTOH:
Anda kehilangan pekerjaan Anda
(Bayangkan hal ini terjadi pada Anda. Gambarkan keadaan ini dalam pikiran Anda)
Lingkarilah angka yang menyatakan jawaban Anda terhadap pernyataan yang ada di bawah setiap situasi.
1. Sejauh mana Anda dapat mengendalikan situasi tersebut agar di kemudian hari Anda tidak kehilangan pekerjaan:
Tidak bisa saya kendalikan
1 2 3 4
Bisa saya kendalikan sepenuhnya
Keterangan:
(1) Anda sepenuhnya tidak dapat mengendalikan situasi tersebut
(2) Anda hampir sepenuhnya tidak dapat mengendalikan situasi tersebut (3) Anda cukup yakin dapat mengendalikan situasi tersebut tetapi ada faktor
lain yang dapat membuat Anda kurang yakin untuk mengendalikan situasi tersebut
(4) Anda hampir sepenuhnya dapat mengendalikan situasi tersebut (5) Anda sepenuhnya dapat mengendalikan situasi tersebut
2. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap hilangnya pekerjaan Anda: Bukan tanggung
jawab saya sama sekali
1 2 3 5 Tanggung jawab saya sepenuhnya
4
5
(2)
Keterangan:
(1) Sepenuhnya bukan tanggung jawab Anda sendiri
(2) Hampir sepenuhnya bukan tanggung jawab Anda sendiri
(3) Tanggung jawab Anda dan orang lain yang berhubungan dengan situasi tersebut
(4) Hampir sepenuhnya tanggung jawab Anda sendiri (5) Sepenuhnya tanggung jawab Anda sendiri
3. Hilangnya pekerjaan Anda akan mempengaruhi: Semua situasi
kehidupan saya
1 2 4 5 Situasi saat ini saja
Keterangan:
(1) Semua situasi kehidupan Anda seperti keadaan ekonomi, hubungan dengan keluarga, hubungan dengan teman, harga diri, kepercayaan diri dan lain-lain
(2) Hampir semua situasi kehidupan atau salah satu situasi kehidupan (3) Mempengaruhi sebahagian situasi kehidupan saya
(4) Hampir sepenuhnya mempengaruhi situasi ini saja (5) Sepenuhnya mempengaruhi situasi ini saja
4. Dampak dari hilangnya pekerjaan Anda akan: Berlangsung
lama
1 2 3 5 Bersifat sementara dan cepat berlalu Keterangan:
(1) Berlangsung seumur hidup (2) Berlangsung hingga setahun (3) Berlangsung hingga sebulan (4) Berlangsung hingga seminggu (5) Berlangsung hingga sehari
SELAMAT MENGERJAKAN
3
(3)
Ketika anda kesulitan dalam meyakinkan calon pembeli yang ingin membeli barang dagangan Anda
1. Sejauh mana Anda dapat mengendalikan situasi tersebut agar di kemudian hari Anda tidak kesulitan dalam meyakinkan calon pembeli yang ingin membeli barang dagangan Anda.
Tidak bisa saya kendalikan
1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan sepenuhnya
2. Kesulitan Anda dalam meyakinkan calon pembeli yang ingin membeli barang dagangan Anda akan mempengaruhi:
Semua situasi kehidupan saya
1 2 3 4 5 Situasi saat ini saja
3. Dampak dari kesulitan Anda dalam meyakinkan calon pembeli yang ingin membeli barang dagangan Anda akan:
Berlangsung lama
1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan cepat berlalu
Penghasilan yang anda dapatkan sedang menurun
4. Sejauh mana Anda dapat mengatasi situasi tersebut agar di kemudian hari penghasilan Anda tidak menurun kembali:
Tidak bisa saya kendalikan
1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan sepenuhnya
5. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap penghasilan yang sedang menurun:
Bukan tanggung jawab saya sama sekali
1 2 3 4 5 Tanggung jawab
saya sepenuhnya 6. Penghasilan Anda yang sedang menurun akan mempengaruhi:
Semua situasi kehidupan saya
(4)
7. Dampak dari penghasilan yang sedang menurun akan:
Berlangsung lama 1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan cepat berlalu
Anda kesulitan untuk menentukan prioritas utama dalam mengatasi masalah keluarga dengan berjualan.
8. Sejauh mana Anda dapat mengendalikan situasi tersebut agar di kemudian hari Anda tidak kesulitan untuk menentukan prioritas utama antara masalah keluarga dengan berjualan:
Tidak bisa saya kendalikan
1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan sepenuhnya
9. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap kesulitan Anda untuk menentukan prioritas utama antara masalah keluarga dengan berjualan:
Bukan tanggung jawab saya sama sekali
1 2 3 4 5 Tanggung jawab saya sepenuhnya
10. Kesulitan Anda untuk menentukan prioritas utama antara masalah keluarga dengan berjualan akan mempengaruhi:
Semua situasi kehidupan saya
1 2 3 4 5 Situasi saat ini saja
11. Dampak dari kesulitan Anda untuk menentukan prioritas utama antara masalah keluarga dengan berjualan akan:
Berlangsung lama
1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan cepat berlalu
Ketika perencanaan penjualan yang Anda lakukan mendatangkan kegagalan
12. Sejauh mana Anda dapat mengendalikan situasi tersebut agar di kemudian hari perencanaan penjualan yang Anda lakukan tidak gagal :
Tidak bisa saya kendalikan
1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan sepenuhnya
(5)
13. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap perencanaan penjualan yang telah dilakukan gagal:
Bukan tanggung jawab saya sama sekali
1 2 3 4 5 Tanggung jawab saya sepenuhnya
14. Kegagalan perencanaan penjualan yang anda lakukan akan mempengaruhi: Semua situasi
kehidupan saya
1 2 3 4 5 Situasi saat ini saja
15. Dampak dari kegagalan perencanaan penjualan yang Anda lakukan akan: Berlangsung lama 1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan
cepat berlalu
Anda mengalami kesulitan dalam hal meningkatkan penjualan yang Anda miliki
16. Sejauh mana Anda dapat mengendalikan situasi tersebut agar di kemudian hari Anda tidak kesulitan dalam hal meningkatkan penjualan yang Anda miliki: Tidak bisa saya
kendalikan
1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan sepenuhnya
17. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap kesulitan Anda dalam hal meningkatkan penjualan :
Bukan tanggung jawab saya sama sekali
1 2 3 4 5 Tanggung jawab saya sepenuhnya 18. Kesulitan Anda dalam hal meningkatkan penjualan akan mempengaruhi:
Semua sitausi kehidupan saya
1 2 3 4 5 Situasi saat ini saja
19. Dampak dari kesulitan Anda dalam hal meningkatkan penjualan akan: Berlangsung lama 1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan
(6)
Anda mendapat keluhan dari pembeli
20. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap keluhan dari pembeli: Bukan tanggung jawab
saya sama sekali
1 2 3 4 5 Tanggung jawab saya sepenuhnya
21. Dampak adanya keluhan dari pembeli akan: Berlangsung
lama
1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan cepat berlalu
Hasil keuntungan yang Anda dapatkan tidak memuaskan
22. Sejauh mana Anda dapat mengendalikan situasi tersebut agar di kemudian hari hasil keuntungan yang Anda peroleh bisa memuaskan:
Tidak bisa saya kendalikan
1 2 3 4 5 Bisa saya kendalikan sepenuhnya
23. Sejauh mana Anda bertanggung jawab terhadap situasi dimana keuntungan yang Anda peroleh tidak memuaskan:
Bukan tanggung jawab saya sama sekali
1 2 3 4 5 Tanggung jawab saya sepenuhnya
24. Hasil keuntungan yang Anda dapatkan tidak memuaskan akan mempengaruhi: Semua situasi
kehidupan saya
1 2 3 4 5 Situasi saat ini saja
25. Dampak dari hasil keuntungan yang Anda dapatkan tidak memuaskan akan: Berlangsung lama 1 2 3 4 5 Bersifat sementara dan
cepat berlalu
MOHON PERIKSA KEMBALI JAWABAN ANDA, PASTIKAN
TIDAK ADA JAWABAN YANG KOSONG