Pengertian Adversity Quotient Tipe

Seorang wirausaha yang berani mengambil resiko merupakan seorang wirausaha yang berani mengubah kegagalan menjadi suatu peluang Stoltz, 2000. Peluang yang dimiliki seorang wirausaha diharapkan mampu menghadapi tantangan dan menyelesaikan hambatan-hambatan yang ditemui seorang wirausaha dalam mencapai kepuasan berwirausaha. Oleh karena itu, menurut Stoltz 2003 sangat diperlukan Adversity Quotient.

B. Adversity Quotient AQ

Adversity QuotientAQ merupakan satu konsep yang dikemukakan oleh Paul G.Stoltz 2000 mengenai kualitas pribadi yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang hidupnya. Stoltz 2003 menekankan pada unsur kesulitan adversity sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, kesuksesan seseorang dalam pekerjaan dan sebagian besar kehidupan ditentukan oleh Adversity Quotient. Sebagai sebuah teori ilmiah, Adversity Quotient memiliki pengertian dan dimensi-dimensi yang menyusunnya.

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan Stoltz, 2000. Universitas Sumatera Utara Stoltz 2000 mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan. Adversity quotient AQ juga menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi keadaan sulit adversity dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan yang tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan Stoltz, 2003. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan Adversity Quotient adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola –pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa –peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

2. Dimensi- dimensi Adversity Quotient

Adversity quotient terdiri atas empat dimensi yang tercakup dalam akronim CORE Control, Owenership, Reach, Endurance. Dimensi - dimensi Universitas Sumatera Utara CORE ini akan menentukan adversity quotient individu secara menyeluruh Stoltz, 2003. Adapun penjelasan dimensi- dimensi adversity quotient menurut Stolz, 2003 yaitu:

a. Control C

Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan. Stolz, 2003 menjelaskan bahwa dimensi Control terdapat dua pengertian yaitu : - Sejauh mana seseorang mampu secara positf memepengaruhi situasi? - Sejauh mana seseorang dapat mengendalikan tanggapan diri sendiri terhadap suatu situasi Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor control yang tinggi mampu mengubah situasisecara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang dengan skor control yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor control yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih efektif. Di sisi lain, individu dengan skor control yang sedang merespon peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu mungkin tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan individu yang memiliki tingkat control Universitas Sumatera Utara yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat dari kesulitan tersebut. Individu menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan akan menimbulkan pandangan hidup menyerah kepada nasib. Dalam hal ini Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi ini cenderung berpikir: “Ini di luar jangkauan saya”; “Tidak ada yang bisa saya lakukan sama sekali”; “Yah, tidak ada gunanya membenturkan kepala ke dinding”; “Anda tidak mungkin melawan mereka”. Sedangkan Mereka yang memiliki skor lebih tinggi, bila berada dalam situasi yang sama cendrung berpikir : “Wow, ini sulit Tapi, saya pernah menghadapi yang lebih sulit lagi”; “Pasti ada yang bisa saya lakukan”, “Saya tidak percaya saya tidak berdaya dalam situasi seperti ini, Sela lu ada jalan”; “Siapa berani, akan menang; Saya harus mencari cara lain”. Sehingga Orang-orang yang berAQ tinggi relatif tahan terhadap ketidakberdayaan.

b. Ownership

Ownership yaitu sejauh mana seseorang mau mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya Stolz, 2003. Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi origin, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat ownership yang rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain Universitas Sumatera Utara yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri Stolz, 2000, akan tetapi dalam buku Stolz tahun 2003 menyatakan bahwa yang penting adalah bukan siapa atau apa yang harus disalahkan origin tapi sejauh apa orang-orang mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit ownership untuk mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik Stolz, 2003. Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui akibat - akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut. Mereka yang memiliki skor rendah dalam dimensi owenership ini cenderung berpikir: “Ini semua kesalahan saya” ; “Saya memang bodoh sekali”; “Seharusnya saya lebih tahu”; “Apa yang tadi saya pikirkan, ya? “; “ Saya malah jadi tidak mengerti” ; “Saya sudah mengacaukan semuanya”; “Saya memang orang yang gagal”. Sedangkan Mereka yang skornya lebih tinggi, bila berada dalam situasi yang sama, cendrung akan berpikir: “Waktunya tidak tepat” ; “Seluruh industri sedang menderita”; “Kini, setiap orang mengalami masa-masa yang sulit”, “Ia hanya sedang tidak gembira hatinya”; “Beberapa anggota tim tidak memberikan kontribusi”; “Tak seorang pun bisa meramalkan datanya yang satu ini”; “Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, saya tahu ada cara Universitas Sumatera Utara untuk menyelesaikan pekerjaan dengan lebih baik dan saya aka menerapkannya bila lain waktu saya berada dalam situasi seperti itu lagi”.

c. Reach R

Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh mana orang membiarkan suatu kesulitan menjalarmasuk ke dalam sisi-sisi kehidupan yang lain Stolz, 2003. Reach menetapkan seberapa luas seseorang menganggap suatu masalah. Semakin luas masalah yang muncul, Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan seseorang menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas, menyerap kebahagiaan seseorang. Sementara itu, semakin tinggi skor R, semakin besar pula kemungkinan seseorang untuk membatasi jangauan masalah pada peristiwa yang sedang dihadapi Stolz, 2003. Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Individu dengan skor reach yang sedang merespon peristiwa yang mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun kadang membiarkan peristiwa itu memasuki wilayah lain dalam kehidupannya. Ketika individu merasa kecewa, mungkin dia akan menganggap kesulitan sebagai bencana, dan Universitas Sumatera Utara menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil tindakan.

d. Endurance E

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan yang konstruktif Stolz, 2003. Individu dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan selamanya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan. Individu yang melihat kemampuan diri mereka sebagai penyebab kegagalan penyebab yang stabil cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan sebagai usaha penyebab yang sifatnya sementara yang mereka lakukan Stolz, 2003. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kecerdasan dalam menghadapi rintangan tidak cukup hanya mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkannya, tetapi yang perlu diperhatikan adalah dimensi-dimensinya agar dapat memahami kecerdasan dalam menghadapi rintangan sepenuhnya.

3. Tipe

Adversity Quotient Individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka didorong oleh beberapa respon yang mengarahkan individu tersebut dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa respon yang mendorong individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka. Menurut Stolz 2003 ada tiga respon terhadap kesulitan yaitu dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stolz 2003 membagi orang-orang itu dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu: quitter, camper, dan climber.

1. Quitters