untuk kegiatan diversifikasi ternyata diversifikasi tomat dan caisin lebih rendah tingkat risiko produksinya 0,26 dibandingkan dengan kegiatan spesialisasi
antara tomat dan brokoli 0,38. Tarigan 2009, dalam penelitiannya melakukan perbandingan tingkat risiko
produksi antara brokoli, bayam hijau, tomat dan cabai keriting kemudian usahatani spesialisasi tersebut dibandingkan dengan tingkat risiko pada usahatani
diversifikasi antara tomat dengan bayam hijau dan cabai keriting dengan brokoli. Hasilnya yaitu pada kegiatan spesialisasi dari keempat komoditas yang
dibandingkan ternyata risiko produksi bayam hijau yang paling tinggi 0,225 dan yang paling rendah yaitu cabai keriting 0,048. Hal ini dikarenakan bayam hijau
sangat rentan terhadap penyakit terutama pada musim penghujan. Sedangkan pada kegiatan diversifikasi, risiko produksi komoditas cabai keriting dan brokoli lebih
rendah 0,067 dibandingkan komoditas brokoli dalam kegiatan spesialisasi 0,112. Utami 2009 membandingkan hasil penelitiannya dengan yang dilakukan
oleh Tarigan 2009, dimana hasilnya jika dibandingkan dengan tingkat risiko produksi pada komoditas brokoli 0,112, tomat 0,055, dan cabai keriting
0,048 maka risiko produksi bawang merah lebih tinggi 0,203. Penelitian yang dilakukan oleh Situmeang 2011 bahwa risiko produksi cabai
merah keriting yang dihadapi oleh petani dalam kelompok tani yaitu sebesar 0,5. Risiko produksi yang dihadapi oleh petani disebabkan oleh serangan hama dan
penyakit, keadaan cuaca dan iklim, keterampilan tenaga kerja, serta kondisi tanah.
2.4 Tinjauan Strategi dalam Mengurangi Risiko
Strategi dalam mengurangi risiko merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk meminimalisir kerugian dalam berbisnis. Beberapa upaya yang dilakukan untuk meminimalkan tingginya tingkat kerugian seperti
menggunakan benih yang tahan terhadap penyakit dan kekeringan, pengembangan teknologi irigasi dan diversivikasi terhadap kegiatan usahataninya. Selain itu
dilakukan upaya penyediaan sarana dan prasarana penyimpanan secara berkelompok, melakukan sistem kontrak baik secara vertikal maupun horizontal,
dan menciptakan kelembagaan pemasaran sebagai upaya untuk meminimalisir risiko harga yang dihadapi para petani Fariyanti 2008.
Penanganan risiko menurut Tarigan 2009 dan Sembiring 2010 yaitu dengan melakukan diversifikasi, kemitraan dalam pengguanaan input,
pengendalian hama dan penyakit tanaman, perlakuan pada saat pemanenan dan pengemasan
, serta perbaikan manajemen usaha. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamilah 2010, penanganan risiko yang dilakukan
antara lain penyiraman pada musim kemarau sesuai dengan kebutuhan, pengendalian hama secara terpadu PHT, meningkatkan kesuburan lahan dengan
pemupukan dan sistem rotasi tanaman, penggunaan input yang sesuai, meningkatkan sumberdaya manusia melalui pelatihan dan penyuluhan, dan
melakukan diversifikasi dengan cara tumpang sari. Utami 2009 menerapkan strategi preventif yang bertujuan untuk
menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang dilakukan antara lain, meningkatkan kualitas perawatan sebagai upaya untuk menghindari risiko
yang diakibatkan oleh cuaca dan iklim, membersihkan area yang dijadikan kumbung untuk mencegah datangnya hama, melakukan perencanaan pembibitan
yang dilakukan dengan memastikan semua bahan baku memiliki kualitas yang baik, mengembangkan sumberdaya manusia dengan pelatihan dan penyuluhan
seputar jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril. Dapat dilihat bahwa masing-masing unit usaha akan memiliki risiko yang
berbeda sehingga penanganan terhadap risiko yang dilakukan oleh berbagai pihak bermacam-macam. Namun, diharapkan komoditas yang memiliki risiko yang
paling tinggi harus didahulukan dalam penanganannya walaupun strategi penanganan risiko hanya digunakan untuk mengurangi tingkat risiko yang ada
bukan untuk menghilangkan risiko.
2.5 Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu