Prevalensi Pendekstunting pada Anak Balita Per

RAD-PG Provinsi Jawa Tengah 2011-2015 10 KabupatenKota dengan kondisi kurang baik atau tertinggi angka prevalensi pendek dan sangat pendek yaitu di Kabupaten Blora sebesar 45,84 dikarenakan minimnya pengetahuan tentang pola pangan beragam, bergizi, berimbang sehat dan aman yang antara lain ditunjukkan rendahnya angka rata-rata konsumsi energi. Sedangkan prevalensi pendek dan sangat pendek terendah di Kota Magelang sebesar 12,13. Upaya penanggulangan masalah balita stunting terintegrasi dalam kegiatan perbaikan gizi pada masa kehamilan, penerapan ASI Eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI pada balita. Tiga belas KabupatenKota dengan prevalensi kependekan total di atas target MDGs meliputi : Blora, Magelang, Rembang, Pekalongan, Kota Tegal, Pemalang, Boyolali, Kendal, Purworejo, Kota Surakarta, Purbalingga, Temanggung, dan Grobogan. Gambar 2. Prevalensi stunting Anak Balita per KabupatenKota Dibandingkan Provinsi Jawa Tengah dan Target MDGs Sumber : PSG Kadarzi Jateng 2010 Indikator Tinggi Badan menurut Umur TBU menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, RAD-PG Provinsi Jawa Tengah 2011-2015 11 seperti : kemiskinan, rendahnya asupan pada ibu hamil, pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan sanitasi yang kurang baik. Kategori status gizi anak balita berdasarkan TBU adalah Normal, Pendek, dan Sangat Pendek. Status gizi Pendek dan Sangat Pendek dikelompokkan lagi menjadi satu kategori yang disebut stuntingpendek. 2.1.1.3 Prevalensi Gizi Kurang dan Buruk pada Anak Balita Indeks BBU di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan Nasional dan target MDGs. Upaya yang telah dilakukan dalam perbaikan gizi masyarakat, utamanya penurunan gizi kurang dan buruk pada anak balita melalui usaha perbaikan gizi keluarga, penentuan status gizi oleh bidan desa, pelatihan kader dan masyarakat secara intensif serta penanganan responsif terhadap balita penderita gizi buruk. Hal tersebut ditunjukkan dari dataangka prevalensi gizi kurang dan buruk pada anak balita berdasarkan indeks BBU di Provinsi Jawa Tengah 12,13. Data tersebut berarti berada dalam kondisi baik karena lebih rendah dari rata-rata nasional 17,9 dan target MDGs tahun 2015 15,5 seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3. Prevalensi Gizi Kurang dan Buruk Anak Balita Indeks BBU di Provinsi Jawa Tengah, Nasional dan Target MDGs Sumber : PSG Kadarzi Jateng 2010, Riskesdas 2010 12,1 17,9 15,5 5 10 15 20 Jawa Tengah Indonesia MDGs Gizi Kurang dan Buruk RAD-PG Provinsi Jawa Tengah 2011-2015 12

2.1.1.4 Prevalensi Gizi Kurang dan Buruk pada Anak Balita

Indeks BBU Per KabupatenKota di Provinsi Jawa Tengah dibandingkan target MDGs. Terdapat sembilan KabupatenKota di Provinsi Jawa Tengah yang berada pada kondisi kurang baik karena memiliki prevalensi anak balita dengan gizi kurang dan buruk di atas rata- rata prevalensi gizi kurang dan buruk pada anak balita yang ditetapkan oleh target MDGs tahun 2015 15,5 meliputi : Blora, Brebes, Kota Tegal, Demak, Rembang, Kota Magelang, Pekalongan, Jepara, dan Kota Pekalongan, sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Gambar 4. Prevalensi Gizi Kurang dan Buruk Anak Balita Indeks BBU Per KabupatenKota di Provinsi Jateng dibandingkan dengan Target MDGs Sumber : PSG Kadarzi Jateng 2010 Indikator berat badan menurut umur BBU memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi anak balita dengan berat badan rendah gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan ada-tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan gambaran apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. RAD-PG Provinsi Jawa Tengah 2011-2015 13

2.1.1.5 Status Gizi Balita berdasarkan Indikator BBTB

Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan BBTB menggambarkan status gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu pendek karena diare atau sakit lainnya. Dalam keadaan demikian berat badan anak akan cepat turun sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badan dan anak menjadi kurus. Penemuan kasus gizi buruk berdasarkan indikator BBTB dilakukan melalui beberapa kegiatan sebagai berikut : 1 Pemantauan Kasus Gizi Buruk. Pelaksanaan pemantauan kasus gizi buruk terintegrasi dalam kegiatan pemantauan pertumbuhan di Posyandu. Pemantauan gizi buruk menghasilkan jumlah kasus gizi buruk sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Persentase posyandu yang memiliki sarana dan prasarana pemantauan pertumbuhan hingga tahun 2011 sebanyak 25 dari 48.399 posyandu dan akan ditingkatkan menjadi 80 pada tahun 2015. Selain itu juga melalui peran aktif kader dengan dukungan teknis petugas kesehatan di Puskesmas dan PKD. Persentase balita ditimbang berat badannya DS tahun 2011 mencapai 78 dan ditargetkan pada tahun 2015 dapat mencapai 90. Anak balita yang dalam penimbangan di Posyandu plot BB-nya pada KMS berada di bawah garis merah, dilakukan pengukuran kembali BB dan TB-nya dan dibandingkan dengan Baku Standar WHO, 2006. Apabila hasil perhitungan berada di bawah -3 Standar Baku maka balita tersebut termasuk kategori berstatus Gizi Buruk. Pengukuran juga dilakukan pada anak balita yang ditemukan tampak kurus sekali di luar pelaksanaan Posyandu. Anak balita dengan tanda klinis marasmus dan kwashiorkor juga termasuk kategori berstatus Gizi Buruk.