clix dirasakan pelakunya, dan oleh sebagian kalangan orang Barat
dikatakan bukan perbuatan buruk, tetapi jelas-jelas ia bertentangan dengan salah satu prinsip Islam yang merupakan m aqâsid al-Syarî` ah
berupa kehormatan diri al-karâm ah. Kehormatan atau kemuliaan diri dalam hubungan intim seseorang dengan lawan jenisnya dalam
Islam dilakukan melalui lembaga nikah. Filosofi yang jelas dari lembaga atau pranata nikah yang merupakan manifestasi dari prinsip
kehormatan atau kemuliaan diri adalah mengangkat derajat manusia yang membedakannya dengan derajat binatang hewan. Hewan tidak
terkena taklîf, sehingga tidak ada lembaga nikah baginya. Adapun al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd
didefinisikan sebagai metode penggalian hukum m anhaj al-ijtihâd dengan penalaran yang menekankan pada m aqâsid al-Syarî` ah --
dengan tidak terikat pada kategori m u` tabarah, m ulghah maupun m ursalah
. Artinya, bahwa bila terdapat m aslahah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tujuan-tujuan Syarî` ah, memenuhi
kebutuhan atau realitas kehidupan manusia, baik itu disebutkan oleh nass
untuk diraih, maupun disebutkan oleh nass untuk dihindari, maupun sama sekali tidak ada keterangan nass baik yang
memerintahkan untuk diraih maupun yang melarang untuk dijauhi, maka itulah m aqâsid al-Sy arî` ah yang harus dijadikan pertimbangan,
pijakan dan diterapkan dalam suatu interpretasi terhadap nass istidlâl
maupun untuk memecahkan masalah hukum apapun tanpa melalui nass ijtihâd.
c. Ke ran gka Ope ras io n al
Kerangka operasional ini dimaksudkan untuk memperjelas mekanisme kerja metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Dengan adanya
kerangka operasional ini, letak perbedaan antara metode al-Maslahah al-Maqsûdah
dengan metode-metode yang lainnya akan menjadi
clx
jelas. Mekanisme kerja metode al-Maslahah al-Maqsûdah diuraikan
sebagai berikut. Pertam a,
titik starnya dalam memahani nass ijtihâd istinbât berangkat dari tujuan-tujuan Sy ari` ah m aqâsid al-Sy arî` ah, bukan
dari bunyi tekstual nass ظﺎ ﺎ ﺪ ﺎ ﺎ ةﺮ ا, al-` ibrah bi al-m aqâsid
lâ bi Alfâz .
285
Maqâsid al-Sy arî` ah ini adalah qat` î, dari segi landasan hukum, dapat dipertanggungjawabkan. Qat` î yang dimaksud
adalah qat` î bukan dalam arti mutlak-hakiki, sebab m aqâsid al- Sy arî` ah
merupakan hasil rumusan manusia ijtihâd, sehingga tetap bersifat nisbi, karena bisa benar dan bisa salah. Oleh karena itu, ia
menjadi sesuatu yang penting dalam penetapan hukum.
286
Maqâsid al-Sy arî` ah
itu tidak terbatas pada al-kulliy y ah al-kham sah an sich, yakni hifz al-dîn melindungi agama dan kebebasan beragama, hifz
al-nafs melindungi jiwa, termasuk melindungi kehormatan diri, hifz
al-nasl melindungi keturunan generasi, hifz al-` aql melindungi
kebebasan berpendapat, dan hifz al-m âl melindungi harta, tetapi meliputi keadilan al-` adl al-` adâlah, kesetaraan al-m usâw ah,
kebebasan al-hurriy yah, kerahmatan al-rahm ah, kebijaksanaan al-hikm ah
, sebagai landasan dan prinsip yang mendasar, yang praktisnya dikongkritkan ke dalam hak-hak sosial-kemasyarakatan,
perekonomian, kebudayaan, dan perpolitikan al-huqûq al- ijtim â` iy y ah w a al-iqtisâdiy y ah w a al-tsqâfiy y ah w a al-siy âsiy y ah
. Untuk memperjelas mekanisme ini, berikut diberikan beberapa
contohnya. Tentang sesuatu yang memabukkan, misalnya. Dengan menggunakan mekanisme ini, yakni dengan berdasarkan tujuan
Sy arî` ah berupa memelihara akal hifz al-` aql, misalnya, maka
sesuatu yang memabukkan, merusak akal adalah haram. Biasanya metode atau pendekatan yang dipakai adalah qiy âs. J ika ditelaah,
285
Achmad ` Aly MD, ”Mengembangkan Fikih Etika”, Artikel diakses pada 13 J uli 20 0 7 dari http: www. islamemansipatoris.com artikel.php?id=194
286
Lih. al-Syâtibî, al-Muw âfaqât, J uz III, h. 3-5.
clxi sebenarnya qiy âs tersebut menandaskan pada m aslahah. Minuman
yang memabukkan dikiyaskan kepada kham r dalam hal adanya persamaan ` illat hukumnya, yaitu memabukkan li ajl au li al-iskâr,
atau mengacaukan akal, padahal memelihara kejernihan akal adalah wajib termasuk dalam lima prinsip universal al-kulliy y ât al-
kham sah, al-m aqâsid al-kham sah . Dengan demikian sebenarnya
metode qiyâs ini sudah cukup dihandle oleh metode al-Maslahah al- Maqsûdah
. Karena alur metode al-m aslahah ini adalah berangkat dari tujuan Sy arî` ah, bukan berangkat dari teks. Berbeda dengan qiy âs
yang berangkat dari nass. Berdasarkan tujuan Syarî` ah itu, karena untuk
memelihara akal hifz al-` aql, maka apapun yang merusak dan atau mengacaukan akal, maka hukumnya haram. Dengan kata lain,
karena mengacaukan dan atau merusak akal, padahal ini
bertentangan dengan m aqâsid al-Sy arî` ah, maka sesuatu yang dimaksud itu diharamkan. Meskipun kesimpulan hukum yang ditarik
melalui penalaran qiy âs dengan al-Maslahah al-Maqsûdah sama,
namun jelas cara istidlâlnya berbeda. Uraian ini membuktikan bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah dapat menggantikan metode qiyâs,
dan lebih luas jangkauannya dibandingkan qiyâs. Atas dasar inilah, minum khamer adalah perbuatan buruk, sehingga harus dijauhi.
Lebih lanjut, untuk membuktikan bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah
ini dapat menggantikan metode yang lain, istihsân, misalnya, berikut aplikasi mekanisme tersebut. Mengenai kasus tidak
boleh melihat aurat orang lain, berdasarkan teks menggunakan qiy âs
hukumnya haram, namun bagi seorang dokter boleh melihat aurat pasiennya ketika untuk mengobatinya, menjadi boleh
berdasarkan istihsân. Sebenarnya bolehnya melihat aurat dalam kasus itu hanya karena adanya kemaslahatan. Dengan demikian metode
istihsân ini juga cukup dihandle oleh metode al-m aslahah tersebut.
Karena adanya hajat tujuan untuk mengobati pasien yang tidak bisa
clxii dihindarkan terlihatnya aurat pasien tersebut, maka melihat aurat
dalam kasus ini menjadi boleh. J ika pada model istihsân dasarnya karena darurat, namun pada al-Maslahah al-Maqsûdah landasan
atau pertimbangan hukumnya adalah karena adanya kemaslahatan untuk si pasien.
Untuk memperjelas aplikasi mekanisme yang pertama dari metode al-Maslahah al-Maqsûdah tersebut, lebih lanjut dapat
dipergunakan untup menjawab sebuah kasus berikut. Sebuah pengandaian mengenai kasus perkawinan jika dilakukan seorang
perempuan yang telah berganti alat kelaminnya melalui operasi medis, seperti Dorce, apakah hukumnya boleh ataukah tidak. Berdasarkan
metode al-Maslahah al-Maqsûdah, karena memelihara kehormatan diri hifz al-` ird dalam memenuhi kebutuhan biologisnya sebagai
fitrah manusia --maupun memelihara keturunan meski oleh medis
dinyatakan mandul karena memelihara keturunan memperoleh anak saat ini bisa ditempuh melalui berbagai cara, kalau hifz al-nasl hanya
seperti ini merupakan tujuan dari perkawinan, maka hukumnya boleh. Namun jika konsisten dengan pendekatan qiy âs yang dipakai,
maka hukum perkawinan seperti itu tidak boleh. Pendekatan qiy âs ini, sebagai implikasi lanjutan dari fatwa NU di J awa Timur tahun 1989,
yang menetapkan haramnya operasi ganti kelamin tersebut, sehingga ia tetap dihukumi sebagai laki-laki hukum asal, meskipun faktanya
secara medis sudah berbeda: ia menjadi berjenis kelamin perempuan.
287
Padahal implikasi dari penelaran seperti ini justeru tidak menghilangkan beban kesukaran raf` al-haraj, dan tidak
mempermudah atau memberikan keringanan dalam persoalan interaksi manusia m u` âm alah, justeru malah mempersulitnya dan
287
Fatwa NU tersebut dihasilkan dalam Seminar yang bertema ”Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin yang diadaan oleh PWNU J atim bekerjasama dengan J awa Pos di
pesantren Nurul J adid Probolinggo pada 26-28 Agustus 1989. Tentang hal ini lihat Qamar, NU ”Liberal”
, h. 129.
clxiii tidak selaras dengan tujuan Syarî` ah itu sendiri yang merupakan
rahmat dan kemaslahatan bagi manusia. Kedua, na
ss ditempatkan sebagai tekstur terbuka terhadap interpretasi. Interpretasi ini menggunakan pertimbangan m aqâsid al-
Sy arî` ah dan HAM atau realitas sosial. Atas dasar inilah, beberapa
nass menjadi bersifat zannî, di mana hukum yang ditarik darinya
dapat mengakomodasi pelbagai perubahan sosial yang terjadi, seiring perkembangan sains dan teknologi.
Ketiga, memerankan akal al-` aql al-ra’y secara penuh dalam
mencermati realitas sosial dengan mengkorelasikannya pada m aqâsid al-Sy arî` ah
dan HAM, serta mengolah, dan menerapkannya dalam suatu kasus. Sebab akal adalah dalil mandiri dalîl m ustaqill,
288
juga menjadi sumber Syari` ah dan alat penting dalam menerapkan
interpretasi dan ijtihâd.
289
Dalam ijtihâd ini perlu digunakan trilogi kesadaran, yaitu kesadaran historis, kesadaran linguistik atau ideal
kesadaran eidetis, dan kesadaran praksis. Yang dimaksud dengan kesadaran historis adalah kesadaran terhadap teks-teks keagamaan
khususnya wahyu al-Qur’ân, tidak menafikannya. Bahwa ajaran- ajaran moral etiknya sangatlah vital. Kesadaran eidetis ialah
kesadaran dalam membangun interpretasi teks-teks wahyu untuk memahami dan mencapai maknanya yang lebih tepat relevan
sehingga bisa diarahkan pada kehidupan praksis. Adapun yang dimaksud kesadaran praksis ialah kesadaran yang muncul sebagai
produk dari kesadaran historis yang menjamin validitas historis wahyu, baik dari oral maupun tulisan, dan juga produk puncak dari kesadaran
eidetis yang membangun pemahaman dan interpretasi. Perhatiannya
288
al-Tûfî, dalam Abdullah M. al-Husain al-Amiri, Dekonstruksi Sum ber Hukum Islam : Pem ikiran Hukum Najm al-Dîn al-Tûfî
, penerjemah Abdul Basir Pamulang: Gaya Media Pratama, 20 0 4, h. 42.
289
Muhammad Hâsyim Kamâli, ”Law and Society”: the Interplay of Revelation and Reason in the Syarî` ah”, dalam J ohn. L. Esposito, ed., The Oxford History of Islam New York:
Oxpord University Press, 1999, h. 123.
clxiv adalah untuk merealisasikan orientasi-orientasi wahyu, pelaksanaan
tuntutan-tuntutan pikiran dan melakukan tindakan praksis bagi persoalan yang kontekstual bagi manusia, yakni tujuan terciptanya
kemaslahatan. Oleh karena itulah, dalam interpretasi terhadap teks agar selaras dengan m aqâsid al-Sy arî` ah ini, jelas akal selalu
dibutuhkan dan lebih diutamakan. Hal ini karena ketentuan yang didukung oleh akal nalar dipandang lebih kuat daripada ketentuan
yang tidak didukung oleh nalar.
290
Keem pat, di samping berangkat dari m aqâsid al-Syarî` ah,
juga harus dilingkarkan dengan realitas fakta yang terjadi pada seseorang atau masyarakat. Karena ijtihâd yang tepat adalah suatu
rumusan hukum yang dihasilkan dari kolaborasi, take and give interaksi positif antara hukum dan realitas.
291
Realitas-realitas dimaksud, misalnya hak kebebasan, dan nondiskriminasi, sebagai
HAM yang telah diakui HAM Internasional, yakni UDHR DUHAM, maupun sejumlah UU RI. UU dimaksud adalah UUD 1945 hasil
Amandemen Kedua dan Ketiga,
292
UU No. 39 1999 Tentang HAM, dan dua UU lainnya, yaitu UU No. 11 dan UU No. 12 tahun 20 0 5.
293
Kelim a , dalam hal memformulasikan kemaslahatan atau
kebijakan publik m aslahah al-` âm m ah, yang dipakai adalah pertimbangan rasio publik al-` aql al-m ujtam a` dengan tetap
berpijak pada substansi nass m aqâsid al-Sy arî` ah, bukan bunyi tekstualnya
ا ه ﺔ ﺎ ا ﺔ
ﺎ ةﺮ ا ا
صﻮ ا , al-
` ibrah bi al-m aslahah al-` âm m ah hiy a ` aql al-m ujtam a` tahqîq al-
290
Mengenai ketentuan ini lihat Abû al Fadl, Speaking in God’s Nam e, h. 45.
291
Lihat Ahmad al-Raisûnî, dalam al-Ijtihâd: al-Nass, al-W âqi` , al-Maslahah, Edisi ke-2 Suriyah, Dâr al-Fikr, 20 0 2, h. 62.
292
Lihat misalnya Pasal 28E ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
293
UU RI No. 11 20 0 5 Tentang Pengesahan International Covenant on Econom ic, Social and Cultural Rights
Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, dan UU RI No. 12 20 0 5 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights
Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
clxv nusûs bi ` aql al-m ujtam a`
. Dalam konteks ini kemaslahatan publik diutamakan daripada kemaslahatan individu, sebab ketentuan yang
mendukung kepentingan umum dipandang lebih kuat daripada ketentuan yang mendukung kepentingan pribadi.
294
Kriteria yang digunakan dalam m aslahah al-` âm m ah ini secara umum ada dua,
yaitu memelihara kepentingan umum dengan kebajikan umum hifz m asâlih al-` âm m ah bi m asâlihihâ
dan mewujudkan kepentingan umum tahqîq m asâlih al-` âm m ah dengan bersandar utamanya
kepada dua segi, yaitu keadilan dan kebenaran.
295
Kepentingan umum di sini dapat dikatakan mutlak, ketika menjadi konsensus, yang
diwujudkan dalam perundang-undangan, sehingga kemudian bersifat mengikat pada semua orang yang berada di bawah perundang-
undangan tersebut. Meskipun, tetap ada yang tidak mematuhinya, hal ini termasuk dalam m ustatsnay ât atau istitsnâ’iy y ât perkecualian.
Untuk membuat suatu kebijakan publik yang baik setidaknya harus terpenuhi di dalamnya 3 tiga hal pokok: pertam a, di dalamnya
ada aturan hukum atau peraturan perundangan yang legitim ate. Kedua,
adanya aspek prosedural yang harus diikuti, yaitu mulai dari pembuatan hingga implementasinya harus melalui prosedur atau
aturan main yang telah ada, dan tidak boleh menyimpang dari prosedur yang sudah ada. Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah
adanya substansi yang betul-betul memihak pada kepentingan publik dari kebijakan-kebijakan publik tersebut.
296
Konsep kebijakan publik ini sebenarnya hadir dan diciptakan untuk memudahkan sebuah
294
Mengenai ketentuan ini lihat Abû al-Fadl, Speaking in God’s Nam e, h. 45. Kaidah ini pada dasarnya tidak berarti menafikan kemaslahatan personal, sebab m aslahah al-` âm m ah
m ajm û` ah m in m asâlih al-afrâd kemaslahatan publik itu bermula dari sekumpulan maslahat
personal. Maksudnya, memang kemaslahatan publik itu benar-benar kemaslahatan yang terbentuk dari atau mencerminkan kemaslahatan individu. Aplikasi kaidah m aslahah al-` âm m ah
m uqaddam ah ` alâ m aslahah al-afrâd mesti harus ditempatkan dalam konteks tertentu.
295
Bandingkan Yusdani, Peranan Kepentingan Um um , h. 117.
296
Muchsin dan Fadilah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik: Analisis atas Praktek Hukum dan Kebijakan Publik dalam Pem bangunan Sektor Perekonom ian di Indonesia
, Malang, Averroes Press, 20 0 2, h. 175.
clxvi konstitusi dasar yang merupakan jelmaan dari sebuah cita-cita luhur
mayoritas menjadi sebuah kenyataan.
297
Dalam menyoroti keragaman hukum Islam dan wujud taqnîn perundang-undangan di pelbagai belahan negara Islam, kita melihat
tidakadanya keseragaman yang menunjukkan universalitas ajaran Islam di satu pihak dan elastisitasnya di pihak lain. Universalitas dan
elastisitasnya itu menunjukkan bahwa ajaran Islam mengadaptasi aspek- aspek sosial-budaya masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar ajaran Islam seperti keadilan dan kesetaraan di bawah hukum dan tujuan-tujuan syariat. Tradisi atau budaya masyarakat
memainkan peran yang menentukan bagi formulasi hukum Islam. Dengan didukung oleh fakta, bahwa banyak hukum Islam telah
mengakar dalam tradisi budaya masyarakat Arab pada masa nabi saw. Ini tidaklah berarti bahwa setiap masyarakat muslim di luar Arab
”harus” memformulasikan hukum Islam sesuai dengan praktek masyarakat Arab tersebut. Berbagai perbedaan tradisi dalam terma
politik, ekonomi, dan struktur sosial, muslim nonArab telah memformulasikan inti pokok dari hukum Islam meskipun berbeda
selama masih didasarkan pada prinsip-prinsip Islam Islam ic principles, m aqâsid al-Sy arî` ah
.
298
Keenam , ketika terjadi pertentangan antara tekstual nass, baik
al-Qur’ân , Sunnah, maupun ijm â’, dengan kemaslahatan sebagai inti
dari m aqâsid al-Sy arî` ah, maka yang dijadikan pijakan dalam merumuskan hukum adalah kemaslahatan
ﺪ نﺎآ ﺎ أﺮ ،
ا ﻰ ﺔ ا
ﺎ ﺎ إ وأ ﺔ وأ, taqdîm al-m aslahah ` alâ al-nass, Qur’ânan kâna au sunnah ijm â` an
. Nass yang dimaksud adalah nass yang bersifat teknis aplikatif, seperti yang memuat jenis hukuman tertentu, bukan
297
Muchsin, Hukum dan Kebijakan Publik, h. 177. Artinya, keanekaragaman ini memungkinkan dinamika dan pembaruan fiqh yang tidak pernah berhenti.
298
Lihat Akh. Minhaji, Islam ic Law under the Ottom an Em pire, dalam The Dy nam ics of Islam ic Civilization
, Issa J . Boullata peng., Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h. 198-199.
clxvii seperti nass tentang haramnya zina. Taqdîm yang dimaksud adalah
bentuk bay ân, tafsîr atau takhsîs. Sebab kemaslahatan manusia pada dasarnya adalah tujuan di dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini,
kemaslahatan dimaksudkan sebagai sesuatu yang ”menjelaskan” bay ân tafsîr takhsîs
terhadap maksud nass tersebut. Implikasinya, memelihara perlindungan kemaslahatan manusia hifz m asâlih al-
insân merupakan prinsip hukum tertinggi atau sumber hukum yang
paling kuat aqw âm adillati al-sy ar` , bukan sumber-sumber hukum tradisional para ahli hukum, dan merupakan tujuan utama Islam atau
poros tujuan hukum qutb m aqsûd al-sy ar` .
299
Di samping itu karena memelihara kemaslahatan manusia adalah sesuatu yang substansial,
prinsipil dan riil yang tidak diperselisihkan lagi ri` âyat al-m aslahah am run darûriyyun lâ yukhtalafu fîh
.
30 0
Ini tidak berarti menentang ketentuan nass, tetapi sesungguhnya menerapkan substansi tujuan dari
nass itu sendiri, yakni mewujudkan kemaslahatan, sebagaimana pernah
dilakukan oleh ` Umar ibn al-Khattâb.
30 1
Di samping itu karena m aqâsid al-Syarî` ah
itulah yang ”qat` î”, dan kebanyakan teks-teks tidaklah qat` î, sebab masih mengandung berbagai kemungkinan makna
299
Hal ini seperti pandangan al-Tûfî dalam al-Husain al-Amiri, al-Tufi’s Refutation, h. 42.
30 0
al-Tûfî dalam al-Husain al-Amiri, al-Tufi’s Refutation, h. 42, lhat juga al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh
, J ilid 2, h. 80 4.
30 1
Berikut contoh pendapat kebijakan ra’y , j. arâ’ ` Umar r.a., yang merupakan ijtihâd al-tatbîqiy y ah
. Ia menghapuskan bagian zakat yang diberikan kepada orang-orang Muslim atau nonMuslim tertentu untuk ”mendekatkan atau melunakkan hati mereka” m u’allaf qulûbuhum ,
sebagaimana diperintahkan QS. al-Taubah 9: 60 . Ia tidak membagi-bagikan tanah rampasan perang ghanîm ah di Irak dan Syiria kepada para sahabat tentara yang berperang, namun ia
cenderung pada keuntungan yang didapat kaum Muslimin secara umum m asâlih al-` âm m ah daripada kepentingan masing-masing mereka m asâlih al-afrâd. Keadilan sosial menuntut
bahwa tanah tersebut tidak dibagikan di antara tentara yang berperang. Inilah contoh dari penyimpangan diri dari aturan yang sudah mapan demi kepentingan keadilan dan kesejahteraan
sosial. Demikian juga ia tidak menerapkan hukuman potong tangan terhadap pencuri ketika musim paceklik, maupun terhadap sejumlah budak yang mencuri seekor unta betina,
menyembelih dan memakannya beramai-ramai. J usteru ia memerintahkan pemilik budak-budak itu agar membayar diy at, yaitu mengganti unta betina itu dengan dua kali harganya dan mencabut
perintah sebelumnya, yaitu pemotongan tangan pada pencurinya.. J elas dalam penerapan diyat tersebut didasarkan kepada m aqâsid al-Sy arî` ah, berupa kemaslahatan, keadilan, kebijaksanaan,
dan kerahmatan. Tentang arâ` ` Umar ihat Ahmed Hasan, The Early Developm ent of Islam ic Jurisprudence
Delhi: Adam Publishers Distributors, 1994, h. 119-121.
clxviii dan interpretasi menurut konteks ruang, waktu, dan kondisi parsial
yang berbeda. Bahwa telah maklum hukum itu dapat berubah sesuai dengan ada tidaknya suatu ` illat hukumnya legislative cause. Bahwa
hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan perbedaan waktu, ruang, kondisi manusia, motivasi dan adat-istiadat kebiasaan
taghay y ur al-fatw â [al-ahkâm ] w a ikhtilâfuhu bi hasb taghay y ur al-azm inah w a al-ahw âl w a al-niy y ât w a al-` aw â’id
.
30 2
Dengan demikian, yang tidak qat` î mengikuti yang qat` î, karena yang qat` ilah
yang bisa dijadikan dasar secara menyakinkan, sebab yang tidak qat` î merupakan dugaan-dugaan zann w ahm belaka. Hal lain yang perlu
diperhatikan di sini adalah bahwa perhatian manusia adalah bagaimana mengunifikasi m aqâsid al-Syâri` dan m aqâsid al-
m ukallaf , dan mewujudkan kepentingan Tuhan di dalam kepentingan
manusia. Berdasarkan hal ini, ketentuan yang mengedepankan tujuan hukum, berupa kemaslahatan manusia tahqîq m asâlih al-` ibâd
dipandang lebih kuat daripada ketentuan yang tidak mengedepankan tujuan hukum tersebut.
30 3
Ketujuh, sebagai kelanjutan dari rekonstruksi sistematika
metode-metode penalaran hukum, konsekuensinya, metode cabang, yang sifatnya lebih operatif, seperti qiyâs, tidak boleh bertentangan
dengan metode sentral, sebab seperti kaidah fiqh al-tâbi` tâbi` , yakni al-tâbi` yatba` al-m atbû
` yang parsial atau turunan, tidak bisa lepas dari mengikuti yang pokok. Suatu bangunan parsial furû` mengikuti
pondasi atau yang sentral, pokok usûl. Bangunan itu berpijak pada fondasinya. Maksudnya, pada hakikatnya metode cabang itu hanyalah
sebagai pelengkap bagi metode sentral agar lebih praktis, meskipun sudah bisa dihandle oleh metode sentral tersebut.
30 2
Hal ini sebagaimana pandangan Ibn Qayyim al-J auziyyah. Lihat Ibn Qayyim al- J auziyyah, I` lâm al-Muw aqqi` în, J ilid II, h. 3.
30 3
Tentang ketentuan ini lihat Abû al-Fadl, Speaking in God’s Nam e, h. 45.
clxix Cara kerja al-Maslahah al-Maqsûdah dapat diilustrasikan
dalam skema berikut.
MM
Hasil Ijtihâd Produk Hukum
R MSy
H AM MM:
al-Maslahah al-Maqsûdah MSy: Maqâsid al-Sy arî` ah
: Arah gerak pijakan HAM: Hak Asasi Manusia
: Interaksi Sinergis Skem a 3: Cara Kerja al-Maslahah al-Maqsûdah
Selanjutnya kejelasan keterkaitan metode al-Maslahah al- Maqsûdah
dengan m aqâsid al-Syâri` ah dan HAM, sehingga memperkuat kerangka operasionalnya diuraikan lebih lanjut pada Bab III.
clxx
BAB III RELEVAN SI AL-M ASLAH AH AL-M AQSÛ D AH
D EN GAN M AQÂSID AL-SY AR Î` AH DAN H AK ASASI MAN USIA
A. Relevansi a l-Ma sla ha h a l-Ma qsûd a h dengan Ma qâ sid a l-Sy a rî` a h
1. Maqâsid a l-Sy arî` ah dan Pengem bangan Pengertiannya
Kata Maqâsid al-Sy arî` ah merupakan gabungan dari dua kata
m aqâsid bentuk jamak dari m aqsûd, yang berarti tujuan-tujuan, dan
Sy arî` ah ,
30 4
yang berarti jalan, --dalam arti luas ajaran Islam. Secara
bahasa m aqâsid al-Sy arî` ah berarti tujuan-tujuan Sy arî` ah.
30 5
Tujuan Sy arî` ah
pada intinya adalah kemaslahatan al-m asâlih yang bersifat langgeng, universal, dan umum
ﺎ ﺎ و ﺎ آو ﺎ ﺪ أ, abadiyyan w a kulliyyan w a ` âm m an
.
30 6
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Islam mengenai
30 4
Sy arî` ah secara literal berarti sumber air, jalan, atau jejak langkah. Istilah Sy arî` ah pada mulanya mengacu kepada ajaran Islam secara keseluruhan, baik bidang akidah, hukum, dan
moral akhlâq. Pengertian demikian diambil dari makna ayat QS. al-Syûrâ 42: 13 dan QS. al- J âtsiyyah 45: 18. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, istilah itu mengalami
penyempitan makna sebatas ajaran agama yang menyangkut hal-hal lahiriah eksoterik, sehingga pengertian Sy arî` ah menjadi identik dengan fiqh hukum Islam, kendati keduanya mengandung
perbedaan kecil. Sementara itu pengertian fiqh sendiri juga mengalami penyempitan makna dari pemakaian istilah semula secara bahasa berarti pemahaman atau pengertian mengandung
makna pemahaman terhadap ajaran agama secara keseluruhan. Pengertian demikian berakar dari ekspresi al-Quran QS. al-Taubah [9]:122. Singkatnya, Sy arî` ah berbeda dengan fiqh. Sy arî` ah
adalah kehendak Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tetapi fiqh merupakan hasil upaya manusia memahami Kehendak Tuhan tersebut. Dalam pengertian ini, Sy arî` ah selalu dipandang
sebagai yang terbaik, adil dan seimbang, sementara fiqh hanyalah upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan Sy arî` ah m aqâsid al-Sy arî` ah. Menurut fuqahâ, tujuan Sy arî` ah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia tahqîq m asâlih al-` ibâd, dan tujuan fiqh adalah untuk memahami dan menerapkan Sy arî` ah.
Tentang karakteristik Sy arî` ah lihat al-Syâtibî, al-Muw âfaqât fî Usûl al-Sy arî` ah, ` Abd Allâh Darrâz, ed. Beirût: Dâr al-Kutub al-` Ilmiyyah, 20 0 3, J uz II, h. 29, 44-53, 10 4 dst., Syams
al-Dîn Abî ` Abd Allâh Muhammad bin Abî Bakr Ibn Qayyim al-J auziyyah, I` lâm al-Muw aqqi` în ` an Rabb al-` Alam în
, Sidqî Muhammad Jamîl al-` Attâr, ed. Beirut: Dâr al-Fikr, 2003, Jilid II, h. 3.
30 5
Lihat Bernard G. Weiss, The Spirit of Islam ic Law London: the University of Georgian Press, 1998, h. 80 .
30 6
Kemaslahatan sebagai tujuan inti syariat di atas, adalah pendapat sebagian ulama yang meringkas tujuan-tujuan Sy arî` ah yang banyak jumlahnya. J amâl al-Dîn ` Atiyyah, Nahw a Taf` îl
Maqâsid al-Sy arî` ah , Damaskus: Dâr al-Fikr dan al-Ma` had al-` Älamî li al-Fikr al-Islâmî, 20 0 1,
h. 111. Tentang sifat tujuan Sy arî` ah itu lihat al-Syâtibî, al-Muw âfaqât, J uz II, h. 29.