lvii partikular yang diletakkan oleh para fuqahâ’ awal dan abad pertengahan. Akan
tetapi, menurut Hallaq, prinsip ini kemudian ditanamkan oleh mereka secara agak nominal dangkal, dimanipulasi, dan prinsip-prinsip itu disusun kembali ke arah
yang lebih maju.
10 3
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh para fuqahâ’ tradisional dan pemaknaan mereka, pada satu sisi, dibuang oleh para liberalis keagamaan secara
keseluruhan, --meskipun masih jauh dari perkembangan yang baik--, merupakan fenomena baru dalam peradaban Islam. Sungguhpun demikian, hal itu bukanlah
asumsi-asumsi substantif mereka. Tampaknya mereka telah mengambil aspek rasional dari tesis ` Abduh bersama-sama pemikiran yang dikembangkan para
penerusnya, dalam hal ini ` Abduh mungkin diklaim, secara paradoks, sebagai bapak ideasional kaum utilitarianis, dan sekaligus intelektual-moderat yang jauh
dari kaum liberalis.
10 4
Berikut akan diuraikan kedua model pemahaman hukum Islam tersebut.
1. Mo del Utilitarian ism e Religius
Pada bagian ini pembahasan akan dibatasi pada bibit atau akar utilitarianisme religius dan sebuah pemikiran kelanjutan darinya.
Pemikiran hukum yang termasuk dalam aliran utilitarianisme religius, di antaranya, juga akan dibahas pada pembahasan tentang ”Konsep
Maslahah dalam Teori Hukum Islam Klasik dan Kontemporer”. Bibit
utilitarianisme religius ini, sebagaimana dalam penelitian Hallaq, dan J ohnston,
10 5
berasal dari tulisan ` Abduh, yang diwariskan kepada Ridâ, seorang pengikutnya, yang dimaksudkan untuk memberi bentuk dan isi
bagi ide yang secara potensial penuh dengan kekuatan. Landasan tesis aliran utilitarianisme ini adalah konsep al-m aslahah yang, seperti akan
10 3
Hallaq, A History , h. 214.
10 4
Hallaq, A History , h. 214.
10 5
Lihat Hallaq, A History , h. 214 , dan J ohnston, ”A Turn”, h. 256.
lviii dibahas pada bagian selanjutnya,
10 6
juga telah menjadi agak kontroversial di kalangan para juris tradisional.
Singkatnya, tentang doktrin Ridâ, sebagaimana dikatakan Halaq, sama dengan penolakan total terhadap teori hukum Islam tradisional.
Teori Ridâ menarik karena konsep yang sangat terbatas dan minor dalam teori hukum tradisional tersebut digambarkan oleh Ridâ secara ekstensif
dan diberikan penekanan pada konsep kepentingan darûriy y ah dan kebutuhan atau minat hâjah tahsîniy y ah.
10 7
Gagasan-gagasan tentang kepentingan, kebutuhan dan minat ini, terutama dikemukakan al-Tûfî
dan al-Syâtibî, menjadi paradigma yang mapan dalam teori Ridâ. Dengan demikian, di samping masalah-masalah ibadah ritual keagamaan yang
tetap berada dalam wilayah wahyu, Ridâ menguatkan teori hukum secara ketat yang berhenti pada hukum alami, di mana pertimbangan-
pertimbangan kebutuhan, kepentingan dan keperluan akan sangat mengemuka dalam uraian bangunan hukumnya. Teks-teks wahyu tertentu,
secara epistemologis mungkin dapat dikesampingkan bila bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Tampaknya, Ridâ sedang
mempersiapkan landasan bagi pemisahan total keagamaan dari bidang non keagamaan yang ketat, masalah-masalah duniawi. Akan tetapi, ia
merupakan teori yang tersusun dari perubahan radikal dari nilai-nilai keagamaan hukum tersebut, nilai-nilai yang sulit dilepaskan oleh dunia
Muslim. Kesulitan ini terjadi karena alternatif yang ditawarkan Ridâ kehilangan dasar keagamaan yang benar dan kedalaman teoritisnya yang
10 6
Yakni pada pembahasan Sub B tentang Konsep Maslahah Klasik. Ridâ berpandangan bahwa anggapan para mayoritas fuqahâ’ tradisional tentang m aslahah sebagai sesuatu yang asing,
sumber yang kontroversi m asdar al-tasy rî` al-m ukhtalaf fîh, merupakan sebuah miskonsepsi umum. Dengan berdasarkan fakta ia menegaskan bahwa m aslahah adalah metode integral untuk
proses-proses penemuan ratio legis alasan hukum yang tentu saja mempunyai kecocokan m unâsabah
atau relevan m ulâ’am ah. Lebih jauh tentang pandangan Ridâ lihat Rasyîd Ridâ, Yusr al-Islâm
w a Usûl al-Tasyrî` al-Am în Kairo: Matba` at Nahdat Misr, 1956, h. 72-76, dan 130.
10 7
Lihat Hallaq, A History , h. 219.
lix dapat bersaing, secara sukses, serta sesuai dengan prestasi-prestasi
intelektual yang telah mengesankan dari teori hukum tradisional.
10 8
Di antara pemikir yang mengikuti cara Ridâ dalam pemikiran tersebut adalah Hasan Turâbî, seorang pemikir dan politisi Sudan.
Meskipun demikian, pemikiran Turâbî ini tidaklah berarti sama dengan pemikiran hukum Ridâ. Turâbî termasuk orang yang meninggalkan
konvensi teori hukum yang dianggapnya sebagai sesuatu yang telah usang dan tidak ada hubungannya dengan realitas dan permasalahan-
permasalahan kehidupan modern. Menurutnya, tantangan-tantangan masyarakat modern memerlukan pendekatan yang holistik terhadap
persoalan-persoalan hukum, dan teori konvensional justeru mengurangi mekanisme itu untuk mengakomodasikannya menjadi suatu pendekatan.
Meskipun metode eklektik yang diadopsi dalam pembaruan hukum modern telah menguatkan ikatan-ikatannya dengan teori konvensional,
tetapi metode itu sendiri ternyata kekurangan suatu bangunan teori yang terartikulasikan secara baik. Oleh karena itu sepanjang identitas hukum
diperhatikan, Turâbî benar-benar sadar akan ketertinggalan teori konvensional yang juga membutuhkan artikulasi sebagai teori alternatif
yang dapat mendukung, secara sukses, struktur pokok hukum. Bagaimanapun, menurutnya, struktur ini mungkin diperlukan.
10 9
Dalam konteks teori alternatif tersebut, Turâbî mengusulkan dua teori, yang sebenarnya berakar dari teori hukum tradisional. Kedua teori
itu disebutnya sebagai اﻮ ا عﺎ
ا سﺎ ا al-qiyâs al-ijm â` li al-w âsi` , yakni analogi yang menyeluruh dan ekspansif, dan
اﻮ ا ح ا al-
istislâh al-w âsi` , yakni al-istislâh yang ekspansif. Yang pertama, dia
persamakan dengan apa yang dinamakannya sebagai ا سﺎ
ﺔ ﺮ ا ﺔ qiy âs al-m aslahah al-m ursalah, analogi kepentingan umum. Namun, ia
tidak mendefinisikan makna qiy âs ini secara tepat, dan penilaian
10 8
Hallaq, A History , h. 219-130 .
10 9
Lihat Hasan Turâbî, Tajdîd Usûl al-Fiqh Beirut dan Khartum: Dâr al-Fikr, 1980, h. 7-11.
lx terhadapnya sepenuhnya diserahkan kepada pembacanya. Sedangkan
istilah istislâh al-w âsi` , dikatakannya diambil dari teori tradisional, tetapi dengan cara pemutarbalikan. Agama, menurutnya, tidak pernah
bermaksud membatalkan naskh semua yang telah mendahuluinya. Nabi, misalnya, tidak mengubah semua praktik dan hukum-hukum
praIslam, tetapi beliau lebih bertujuan membetulkan kembali aspek-aspek kehidupan yang telah berlangsung salah dan melawan prinsip-prinsip
agama baru Islam.
110
Singkatnya, tajdîd teori hukum Turâbî masih bersifat umum dan tidak jelas. Dengan demikian, karena tidak ada artikulasi sebuah teori
yang terurai dan rinci yang dibuat Turâbî, dapat dikatakan, ia tidak menawarkan sebuah program hukum yang memadai untuk mendukung
apa yang disebut sebagai ”Revolusi Turâbî”.
111
Berdasarkan analisis di atas, pada akhirnya, dapat dinyatakan bahwa kepercayaan atas konsep istislâh dan keperluan necessity , dua
unsur utama dalam teori-teori yang didukung oleh aliran utilitarianisme keagamaan, menjadi suatu subyektivisme yang kurang signifikan dalam
pandangan beberapa reformis yang berlawanan dengan aliran ini.
112
Meskipun demikian, usulan yang dikemukakan Turâbî tersebut memperkuat upaya penggalian metode ijtihâd alternatif. Secara lebih
spesifik, hal itu mendukung perlunya reformulasi al-m aslahah yang menjadi konsen penelitian ini.
2 . Mo del Liberalism e Religius
Menurut Hallaq,
113
pendekatan liberalis ini dipandang sebagai prinsip-prinsip yang bermanfaat karena kebutuhan darûrah, dan
keperluan hâjâh tahsîniy y ah, yang dipandang oleh Liberalis sebagai
110
Lihat Hallaq, A History , h. 228.
111
Lihat Hallaq, A History , h. 230 .
112
Hallaq, A History , h. 231.
113
Hallaq, A History , h. 231.
lxi prinsip yang diadopsi oleh para reformis, namun metodologi mereka
tidaklah sama. Minimnya penggunaan metodologi tersebut, tidak dapat disangkal, membawa mereka kepada hal-hal negatif daripada positif,
yakni kecenderungan mereka menafsirkan teks secara literal tradisional yang di samping tidak tepat juga tidak bisa mengadopsi hukum pada
setiap perubahan situasi. Di antara pemikiran yang termasuk dalam aliran liberalisme ini
adalah pemikiran hukum al-` Asymâwî,
114
Rahman, dan Syahrûr. Berikut akan diuraikan pemikiran hukum mereka, secara berurutan.
Kerangka teori al-` Asymâwî sangat membedakan antara agama sebagai ide murni dan sebagai pemikiran untuk menguraikan ide murni
tersebut. Agama sebagai suatu ide atau sistem ide dan kepercayaan bersifat Ketuhanan dan tidak bisa diletakkan dalam konteks
kemanusiaan. Sementara pemikiran keagamaan seluruhnya adalah produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat, tidak bisa
dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat.
115
Dengan pemahaman akan perbedaan antara agama dengan pemikiran ini, pertama-tama al-` Asymâwî membebaskan hukum
tradisional dari sisi-sisi idealis keagamaannya. Sisi-sisi idealis ini dikupasnya secara lengkap dalam apa yang disebutnya sebagai ”Usûl al-
Sy arî` ah” Prinsip-prinsip Umum Syariat.
116
Prinsip-prinsip umum ini memuat beberapa prinsip yang dilegitimasi oleh al-Qur’ân dan
lingkungan konteks di mana al-Qur’ân diturunkan asbâb al-nuzûl.
117
114
al-` Asymâwî adalah seorang yang mempunyai karir akademis dan pengacara, memegang jabatan sebagai penasehat pengadilan tinggi dan anggota komisi pemerintah pembuat
UU. Ia juga menjadi ketua pengadilan perkara pidana dan guru besar bidang hukum Islam dan perbandingan di Universitas Kairo.
115
al-` Asymâwî, Usûl al-Sy arî` ah, Beirut: Dâr Iqrâ’, 1983, h.52-53.
116
Lihat al-` Asymâwî, Usûl al-Sy arî` ah, h. 55.
117
Prinsip-prinsip umum tersebut sebagai berikut. Pertam a, penurunan Sy arî` ah berhubungan dengan berdirinya masyarakat-agama, dan penerapannya bergantung pada
keberadaan masyarakat ini. Artinya Sy arî` ah lebih dari sekedar kumpulan UU dan sanksi. Sy arî` ah
adalah pandangan hidup w eltanschaung, jika kita menghendakinya. Kedua, Sy arî` ah turun karena sebab-sebab yang menghendakinya, dan sebab-sebab turunnya Sy arî` ah itu tidak
lxii Pengelaborasian prinsip-prinsip umum tersebut, dikatakan al-
` Asymâwî, bukanlah hanya sekedar menyusun teori tetapi lebih, dan ini tujuan utamanya, sebagai landasan bagi sistem hukum positif yang
fungsinya untuk menghadapi, secara efektif, realitas yang terjadi di masyarakat maupun perubahan situasi dan kondisi lingkungannya.
Namun, sebagai teori hukum yang membatasi dirinya pada sebuah visi ideal, konsekuensinya adalah justeru akan terpisah dari realitas masyarakatnya
dan kemudian menjadi sangat kontradiksi dengan semangat Islam.
118
Adapun pemikiran hukum Rahman, yang termasuk dalam kategori liberalisme religius ini, adalah The Double Movem ent Theory Teori
Gerak Ganda. Teori Gerak Ganda ini memuat dua gerakan: gerakan pertam a
adalah pemunculan prinsip umum dari khusus ke umum, dan dari umum ke khusus. Adapun gerakan kedua dimulai dari pandangan
memiliki kesesuaian m unâsabah dengannya. Prinsip ini berarti bahwa interpretasi yang benar terhadap Sy arî` ah adalah harus mendasarkan kepada alasan-alasan khusus untuk dilaksanakan
bersama realitas manusia. Ketiga, prinsip bahwa Sy arî` ah dipandang untuk maksud melayani kepentingan umum, dan penghilangan terhadap salah satu ayat oleh ayat yang lain nâsikh tidak
memiliki fungsi untuk melayani kepentingan itu. Keem pat, prinsip bahwa perubahan ayat al- Qur’ân yang secara langsung atau tidak berkenaan dengan Nabi, mengacu pada pembagian hukum
klasik dan pertengahan, yaitu ayat yang mempunyai arti universal dan ayat yang khusus untuk diri Nabi. Yang pertama diperuntukkan untuk seluruh manusia, sementara yang kedua tidak,
meskipun kebanyakan ayat secara jelas memiliki suatu klasifikasi, ada juga ayat yang tidak secara jelas bisa diklasifikasikan dikategorikan. Ayat seperti ini melalui penafsiran bisa ditentukan
masuk dalam salah satu dari dua kategori tersebut. Kelim a, hubungan dengan masa lalu praIslam tidak terputus, akar-akarnya juga tidak terputus dari masyarakat tempat diturunkan
Sy arî` ah
, tetapi Sy arî` ah mengambil sesuatu dari pranata-pranata dan budaya-budaya masyarakat untuk dijadikan sebagai hukum. Keenam , kesempurnaan Sy arî` ah bisa diraih dengan
menyesuaikan pada kondisi sosial dan kepentingan manusia yang terus menerus berubah. Di sini ia kembali pada perbedaan antara agama, sebagai ide murni, dan sistem agama sebagai kreasi
manusia yang didasarkan pada ide murni tersebut. Sy arî` ah tidak lain kecuali suatu cara atau metode m inhâj untuk menyatakan kepercayaan manusia kepada Tuhan, dan masing-masing
kelompok atau negara menyusun cara tertentu yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk menyatakan kepercayaannya pada satu-satunya Tuhan. Lihat al-` Asymâwî, Usûl al-Sy arî` ah, h.
55-70 .
Signifikansi prinsip di atas dikritik Hallaq, bahwa tidak seluruhnya jelas. Mungkin yang menarik untuk dipertimbangkan dalam agenda liberal al-` Asymâwî adalah bahwa ia
memperkenalkan prinsip supaya bisa menggali doktrin Abad Pertengahan, di mana doktrin Abad Pertengahan ini mengacu pada ayat-ayat yang relevan pada diri Nabi, tetapi tidak relevan secara
universal, dan jumlah ayat ini sedikit. Dengan hanya mengupas isi ayat-ayat yang berkaitan terbatas hanya pada diri Nabi, secara terbatas, mungkin bisa disimpulkan bahwa al-` Asymâwî
ingin mengurangi sejumlah ayat dan meminimalisir peran al-Qur’ân dengan hukum positif kontemporer, tetapi pendapatnya ini belum jelas dalam tulisannya. Hallaq, A History , h. 234-235.
118
Lihat Hallaq, A History , h. 236.
lxiii umum yakni, yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama
menjadi pandangan-pandangan spesifik the spesific view yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang
bersifat umum tersebut harus dirumuskan em bodied dalam konteks sosio-historis yang kongkret sekarang ini.
119
Maksud dari gerakan kedua, adalah agar prinsip-prinsip umum yang diperoleh dari pemahaman ayat
dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat Islam dewasa ini, sebagaimana perlunya asbâb al-nuzûl untuk memahami maksud ayat.
Ketika situasi sekarang ini tidak bisa diidentikkan dengan situasi pada zaman Nabi dan ketika bisa dibedakan dari hal-hal penting tertentu, maka
prinsip-prinsip umum al-Qur’ân dan Sunnah perlu diterapkan pada situasi sekarang dengan cara mengembangkan yang baik dan apa yang
seharusnya ditolak. Tetapi, di sini Rahman menjelaskan secara jelas untuk menjawab pertanyaan tentang kriteria apa yang digunakan untuk
menolak hal penting tersebut. Sebab jika hal ini penting dan tetapi dinetralisir, makin tidak ada jaminan bahwa unsur pokok al-Qur’ân atau
Sunnah atau bahkan prinsip-prinsipnya tidak akan dibatalkan. Metodologi Rahman ini pun, tidak lepas dari kritik, dipandang
masih menyisakan kelemahan. Hal itu karena tidak disandarkan pada semua mekanisme gerakan kedua, yakni pengaplikasian prinsip-prinsip
yang sistematis yang didapat dari teks dan konteksnya pada situasi baru. Lebih lanjut, seperti dikatakan Hallaq, beberapa kasus yang kadang-
kadang dia ulang dalam tulisannya tidak mewakili semua spektrum kasus hukum. Metodenya tidak berupa outline garis besar yang komprehensif,
yang bisa disumbangkan kepada dunia Islam modern untuk memecahkan problem-problem mereka secara alamiah. Hal ini tampak berbeda dari
119
Fazlur Rahman, Islam Modernity : Transform ation of an Intellectual Tradition, 8
th
edisi Chicago: The University of Chicago Press, 1996, h. 7.
lxiv apa yang selalu dikatakannya.
120
Meskipun tetap saja ada kelemahan dalam pendekatan Rahman tersebut, pendekatan yang ditawarkannya,
terkait dengan penelusuran konteks ayat asbâb al-nuzûl, menjadi penting dalam merumuskan metode ijtihâd yang bersandar para prinsip-
prinsip umum, dalam hal ini m aqâsid al-Sy arî` ah. Inilah relevansi pendekatan Gerak Ganda yang ditawarkan Rahman, yang bida
dikembangkan untuk mendukung upaya reformulasi al-m aslahah. Adapun pemikiran hukum Syahrûr, yang termasuk dalam model
liberalisme religius ini, adalah دوﺪ ا ﺔ ﺮ Theory of Lim its, Teori Limit
[Teori Batas]. Tampaknya Teori Batas ini lebih revolusioner dan jelas dibandingkan dua teori sebelumnya. Teori Batas Syahrûr dapat dijelaskan
bahwa perintah Tuhan yang diekspresikan dalam al-Kitâb
121
dan al-Sunnah mengatur memberikan batas yang lebih rendah
ﻰ د ا ﺪ ا, a Low er Lim it dan batas yang lebih tinggi
ﻰ ا ﺪ ا, a Upper Lim it kepada seluruh perbuatan-perbuatan manusia, Batas Bawah mewakili ketentuan hukum
minimum dalam sebuah kasus tertentu partikular, dan Batas Atas yang merupakan batasan maksimumnya. Batasan minimum tersebut adalah
ketentuan yang diperkenankan secara hukum, dan tak ada sesuatu yang melebihi batasan maksimum yang mungkin diterima menurut hukum.
Ketika batasan-batasan ini dipentingkan, hukuman-hukuman menjadi dapat dijamin, sesuai dengan ukuran pelanggaran kesalahan yang
dilakukan.
122
120
Elaborasi metodologi Rahman dikritik oleh Hallaq, tampaknya lebih terbatas pada pemahaman teks al-Qur’ân daripada mengelaborasikan suatu metodologi hukum yang lebih
sempurna. Hallaq, A History , h. 236.
121
Syahrûr membedakan istilah al-Qur’ân dan al-Kitâb. Yang terakhir lebih luas cakupannya dari daripada yang pertama. al-Qur’ân merupakan bagian dari al-Kitâb. Al-Kitâb
adalah istilah umum generic term yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis m ushaf
, yang dimulai dari surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs. Sedangkan al- Qur’ân
adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitâb. Hal ini telah terlihat dari judul bukunya Muhammad Syahrûr, al-Kitâb w a al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu` âsirah,
Mesir: Sînâ li al-Nasyr- al-A` âlî, 1992.
122
Syahrûr membagi 6 enam tipe Batas. Tentang keenam tipe Batas ini lihat Syahrûr, al- Kitâb w a al-Qur’ân
, h. 453-466, Hallaq, A History , h. 248-250 .
lxv Teori Batasnya Syahrûr di atas menggunakan Sunnah sepadan
dengan al-Kitâb. Sunnah, dalam pandangannya, merefresentasikan sebuah model metodologi hukum. Sunnah --dinyatakannya secara jelas,
sebagaimana al-Kitâb, tidak memberikan ketentuan secara niscaya terhadap kasus-kasus hukum spesifik dan kongkret, tetapi lebih
menyediakan jalan metodologi m inhâj untuk konstruksi sebuah sistem hukum. Bagian-bagian dalam Sunnah yang demikian adalah kondusif
untuk membuat metodologi, dan Teori Batas yang akan diambil sebagai sesuatu teori yang relevan. Hal itu, tidak akan diambil sebagai sesuatu
yang ekslusif begitu saja dari kehidupan pribadi Nabi dan sebagai yang tidak mengikat seorang pun, tapi mengikat mereka yang hidup pada masa
beliau. Artinya, sunnah bersifat temporer, tidak permanen, tidak berlaku untuk setiap zaman, namun berlaku pada masa sunnah itu berlangsung.
Teori Batas Syahrûr tersebut dihasilkan melalui pembacaan kontemporer
ةﺮ ﺎ ةءاﺮ , qirâ’ah m u` âsirah terhadap konsep al-Qur’ân dan Sunnah tepatnya pembacaan hermeneutika hukum al-Qur’ân
kontemporer. Qirâ’ah m u` âsirah didasarkan kepada prinsip-prinsip pembacaan kontemporernya.
123
Dalam Teori Batas Syahrûr, yang dihasilkannya melalui pembacaan kontemporer, terutama dialektika antara al-istiqâm ah dan al-
hanîfiy y ah tersebut, tampak bahwa kemaslahatan dibingkai dengan
batasan yang terdapat dalam ketentuan yang tersebut dalam suatu nass.
123
Prinsip-prinsip ini memuat antara lain konsep al-Tanzîl al-Hakîm , tentang tidak adanya nâsikh-m ansûkh di antara lembaran-lembaran m ushaf yang mulia itu al-Quran. Setiap
ayat memiliki area dan setiap hukum memiliki ruang untuk pengamalannya. Prinsip-prinsip ini merupakan hal yang relevan untuk dijadikan landasan bagi pembacaan kedua al-qirâ’ah al-
tsâniy y ah terhadap al-Qur’ân dan Sunnah yang diakui Syahrûr bukanlah sesuatu yang telah final.
Melalui pembacaannya terhadap ayat-ayat al-Qur’ân ia menemukan kandungan dua istilah yaitu hanîfiyyah dan istiqâm ah. Hanîfiy y ah diartikan oleh Syahrûr sebagai penyimpangan dari
jalan yang lurus. Istiqâm ah, sebagai lawan hanîfiy y ah, berarti mengikuti jalan yang lurus. Hubungan antara keduanya hanîfiy y ah dan istiqâm ah itu sepenuhnya dialektis, kesatuan dan
perubahan, yang saling mengikat. Dialektika ini diperlukan karena hal itu menunjukkan bahwa hukum itu bisa atau dapat beradaptasi di setiap waktu dan tempat sâlih likulli zam ân w a m akân.
Hubungan inilah yang melahirkan Teori Batas di atas. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahw a Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâm î: Fiqh al-Mar’ah [al-W asiyyah, al-Irts, al-Qiw âm ah, al-Ta` addudiyyah,
al-Libâs]
, Suriyyah: al-Ahâlî li al-Tibâ` ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî` , 2000, h. 189-193.
lxvi Kemaslahatan yang diambil tetap harus berada dalam lingkaran
kemaslahatan yang ditunjuk oleh nass, -- dalam konsep Usûl al-Fiqh konvensional disebut m aslahah m u` ta-barah, meskipun tidak harus
persis sama dengan ketentuan eksplisit nass. Adapun kasus hukum yang tidak ada ketentuan eksplisitnya dalam nass, seperti masalah pajak, bea
cukai, dan semisalnya, di mana terdapat kemaslahatan di dalamnya, maka termasuk ke dalam kategori m asâlih m ursalah.
124
Di sinilah relevansi Teori Batas Syahrûr, di mana lebih fleksibel jika dibandingkan dengan
pendekatan literalis yang memahami hukum berdasarkan tekstual nass. Meskipun demikian, Teori Batasnya tetap saja mengandung kelemahan,
antara lain, masih terikat pada batasan yang ada dalam nass. Meskipun demikian, dia telah memberikan kontribusi yang penting bagi pemikiran
hukum Islam. Menurut Hallaq, dari seluruh usaha untuk mereformulasi teori
hukum, baik dari aliran utilitarianisme religius maupun liberalisme religius, pandangan-pandangan Syahrûr, hingga kini paling meyakinkan,
walaupun pandangan Rahman tidak tertinggal jauh. Menurut Hallaq,
125
puncak keberhasilan dari suatu metodologi hukum bergantung tidak hanya integritas intelektual dan tingkat kepintaran dalam berteori akan
tetapi bergantung juga pada kemungkinan dibuatnya metodologi hukum itu dalam konteks sosial. Inilah letak perbedaan lain yang mungkin dapat
dibuat antara apa yang disebut Hallaq dengan kaum utilitarianis yang sedikit banyak telah terimplementasikan dalam sistem-sistem hukum di
banyak negara-negara Islam. Pada kenyataannya, mazhab ` Abduhlah yang
124
Dalam kasus-kasus demikian, yakni masalah-masalah yang tidak ada nassnya, Syahrûr mengikuti tradisi para juris tradisional, yang menempatkan masalah tersebut ke dalam lingkup
m asâlih m ursalah , yang semuanya harus ditentukan aturannya sendiri oleh sebuah otoritas
pemerintahan atau lainnya. Negara dan masyarakatlah yang menetapkan ketentuannya terhadap persoalan-persoalan yang tidak diatur ketentuannya oleh nass. Dalam masalah pajak, misalnya,
Batas Bawah adalah nol zero, sedangkan Batas Atasnya harus ditentukan sesuai dengan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang cocok dengan suatu tempat dan waktu tertentu. Syahrûr,
al-Kitâb w a al-Qur’ân
, h. 474-475.
125
Hallaq, A History , h. 253-254.
lxvii telah memainkan peranan utama dalam membawa bentuk perubahan-
perubahan. Kaum utilitarianis belakangan, seperti Khallâf,
126
telah merasionalisasikan kemapanan, daripada menelorkan suatu teori hukum
baru atau merumuskan sebuah metodologi. Di lain pihak, pemikir aliran keagamaan liberalis seperti Syahrûr ternyata telah menghadapi tantangan
keras dari sebuah kelompok pergerakan Islamis yang kuat dan besar. Syahrûr merupakan salah satu dari pemikir liberalis religius yang secara
khusus menawarkan konsepsi hukum dan metodologi hukum baru yang telah dibuktikannya, meskipun tidak lepas dari pelbagai kelemahan, yang
hingga kini pun masih asing bagi mayoritas umat Islam.
127
Penolakan terhadap kaum liberalis tersebut terasa aneh dan ironis, karena mereka tidak hanya menawarkan metodologi hukum yang padu
dan baik, tetapi juga lebih menjalankan sistem pemikiran yang Islami. Kaum keagamaan utilitarian, seperti Ridâ, Turâbî, dan lainnya,
memberikan tidak lebih dari sekedar lips service terhadap nilai-nilai hukum Islam. Puncak bingkai rujukan mereka tetap terbatas pada
konsep-konsep bunga, kebutuhan darûriy y ât, dan keperluan hâjiyy ât. Dalam analisis terakhir ini, teks-teks wahyu menjadi patuh kepada
perintah-perintah dari konsep-konsep tersebut. Di lain pihak, metodologi- metodologi Rahman dan Syahrûr tidak mau menerima pada konsep-konsep
itu. Penggunaan ide-ide yang tersusun dari analisis tekstual dan kontekstual dimaksudkan untuk menempatkan sebuah hukum humanis yang akan
mendorong dan membimbing secara umum, dan bukan didekte secara literal dan tekstual oleh maksud wahyu.
128
Dalam konteks inilah, pendekatan yang diusulkan Rahman dan Syahrûr tersebut lebih dekat
kepada maksud wahyu yang lebih bersifat substantif. Maksud wahyu yang
126
Dalam hal ini termasuk juga al-Fâsî. Ia mengadopsi konsep hukum al-Syâtibî, al-Fâsî berpendapat bahwa hukum Islam bisa menjadi sistem hukum bagi negara modern. Dia
berpendapat bahwa Sy arî` ah berbeda dari setiap sistem hukum yang lain dalam menegakkan keadilan ` adl, ` adâlah. Tentang pandangan al-Fâsî lihat Opwis, ”Maslahah”, h. 20 6.
127
Hallaq, A History , h. 254.
128
Hallaq, A History , h. 254.
lxviii substantif tersebut merupakan m aqâsid al-Sy arî` ah yang menjadi
paradigma bagi upaya reformulasi al-m aslahah.
D. a l-M a sla ha h a l-M a q sûd a h: Model Reform ulasi a l-M a sla ha h