Latar Belakan g Masalah

xxvi

BAB I PEN D AH U LU AN

A. Latar Belakan g Masalah

Pembaruan hukum Islam 1 telah berlangsung di Indonesia. Pembaruan itu terlihat dari beberapa keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia MA RI. yang banyak didasarkan pada m aslahah m ulghah. 2 Dalam konteks pembaruan hukum Islam tersebut, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kemaslahatan yang banyak terkait dengan kepentingan umum m aslahah al- ` âm m ah , menurut Abdul Manan Hakim Agung MA RI., dalam penelitian Disertasinya, 3 metode al-m aslahah selayaknya digunakan tanpa membedakan antara m aslahah m u` tabarah, m aslahah m ursalah, 4 maupun m aslahah m ulghah , dalam rangka mewujudkan m aqâsid al-Sy arî` ah bagi warga negara. 5 1 Hukum Islam yang dimaksud adalah produk pemikiran hukum Islam, yang meliputi ”fiqh”, jurisprudensi, fatwa, kompilasi, dan perundang-undangan. 2 Maslahah m ulghah adalah salah satu dari 3 tiga kategorisasi m aslahah--secara bahasa berarti manfaat atau kepentingan m anfa` ah, interests-- dalam usul al-fiqh konvensional, yaitu m aslahah m u` tabarah m aslahah yang diungkapkan secara langsung baik dalam al-Qur’ân maupun dalam hadîts, m aslahah m ulghah m aslahah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum tersebut, dan m aslahah m ursalah m aslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber hukum tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya. J umhur ulama sepakat menggunakan m aslahah m u` tabarah, tetapi mereka juga sepakat dalam menolak m aslahah m ulghah. Sedangkan m aslahah m ursalah sebagai metode dalam berijtihad tetap menjadi kontroversi polemik di kalangan ulama. Lihat Najm al-Dîn Abî al-Rabî` Sulaimân bin ` Abd al-Qawî bin ` Abd al-Karîm ibn Sa` îd al-Tûfî, Sy arh Mukhtasar al-Raudah Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1990 , J uz III, h. 20 4-217, Amir Syarifuddin, Usûl al-Fiqh J akarta: Logos, 20 0 5, J ilid 2, h. 332, juga Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam J akarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 141-143. 3 Disertasi S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum di Program Pascasarjana PPs. Universitas Sumatera Utara Medan, 20 0 4. 4 Maslahah m ursalah, dalam pengertian sebagai tujuan, adalah kemaslahatan yang tidak ada petunjuk dari nass maupun ijm â’ yang mengakuinya i` itibâr maupun mengabaikannya ilghâ’ , seperti kodifikasi m ushaf, dan pembuatan lembaga-lembaga ilmu dan sebagainya. Lihat Muhammad ` Abd Allâh Darrâz dalam al-Syâtibî, al-Muw âfaqât, J uz II, h. 27. 5 Lihat Abdul Manan, Reform asi Hukum Islam di Indonesia J akarta: Rajawali Press, 20 0 6, h. 336-340 . xxvii al-Maslahah ﺔ ا 6 atau al-istislâh ح ا itu merupakan salah satu konsep dalam usûl al-fiqh 7 yang mengalami dinamika polemik di kalangan Usûliy y în ulama usûl al-fiqh. al-Maslahah atau al-istislâh lebih lanjut dapat dilihat dari dua sisi: sebagai metode penggalian hukum m anhaj al-ijtihâd, 8 dan tujuan atau alasan hukum m aqâsid al-Sy arî` ah au ` illat al-hukm , وأ ﺔ ﺮ ا ﺪ ﺎ ﻜ ا ﺔ . Sebagai metode ijtihâd, ia telah berperan sangat penting dalam menjadikan hukum Islam bersifat fleksibel dan dinamis. Ijtihâd yang menggunakan m aslahah disebut al-ijtihâd al-istislâhî ا دﺎ ﻬ ا. 9 Sungguhpun demikian, tetap saja kontroversi. Pada mulanya, menurut 6 al-Maslahah sendiri sebagai sebuah konsep dalam epistemologi usûl al-fiqh, telah mengalami perkembangan. Ia telah dirumuskan oleh para ulama intelektual klasik dan didukung atau dikembangkan oleh para pemikir modern. Para ulama klasik misalnya, Imâm Mâlik, al- J uwainî, al-Ghazâlî, Fakhr al-Dîn al-Râzî, al-Qarâfî, al-Tûfî, dan al-Syâtibî. Konsep m aslahah mereka telah memberikan pengaruh terhadap sejumlah pemikir kontemporer. Di antara pemikir kontemporer adalah Subhî Mahmâsânî Libanon, ` Allâl al-Fâsî Maroko, Mahmûd Muhammad Taha Sudan, Muhammad al-Tâhir ibn ` Âsyûr Tunisia, ` Abd al-Wahhâb Khallâf Mesir, dan Sa` îd Ramadân al-Bûtî Syiria. Dalam penelitian Felicitas Opwis dari Yale University, Departement of Near Eastern Languages and Civilizations, New Haven, Mahmâsânî, al-Fâsî, dan Taha merupakan pendukung konsep m aslahahnya al-Syâtibî. Sedangkan Khallâf dan al-Bûtî merupakan pendukung konsep m aslahahnya al-Ghazâlî al-Râzî --konsep yang lebih terbatas restrictive dibandingkan dengan konsep al-m aslahahnya al-Syâtibî. Lihat Facilitas Opwis, ”Maslahah in Contemporary Islamic Legal Theory”, dalam Islam ic Law and Society 12, 2, Leiden, 20 0 5, h. 20 1 dst. 7 Usûl al-Fiqh= teori hukum Islam. Yakni penyimpulan dengan metode induksi istiqrâ’ hal-hal prinsip-prinsip yang universal dari dalil-dalil Sy arî` ah dengan cara sedemikian rupa hingga mereka menjadi pedoman bagi mujtahid. Lihat Abû Ishâq al-Syâtibî Ibrâhim bin Mûsâ al- Lakhamî al-Gharnatî al-Mâlikî, al-I` tisâm , Maktab al-Buhûts wa al-Dirâsah, ed. Beirut: Dâr al- Fikr, 20 0 3, J uz 1, h. 22. Lihat juga al-Syâtibî, al-Muw âfaqât fî Usûl al-Sy arî` ah, ` Abd Allâh Darrâz, ed. Beirût: Dâr al-Kutub al-` Ilmiyyah, 20 0 3, J uz II, h. 29-31. Definisi lainnya, yang serupa, Usûl al-Fiqh adalah prinsip-prinsip yang dipergunakan oleh m ujtahid untuk menarik hukum-hukum Sy arî` ah yang bersifat praktis dari dalil-dalilnya yang spesifik. Lihat misalnya, Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islam ic Law : The Methodology of Ijtihâd, Islamabad: Islamic Research Institute, t.t., h. 29. 8 Ijtihâd menurut bahasa berarti ”pengerahan kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Atas dasar ini maka tidak tepat jika kata ”ijtihâd” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah ringan. Pengertian ijtihâd menurut bahasa ini relevan dengan pengertian ijtihâd menurut terminologi, di mana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu dilakukan oleh setiap orang. Ijtihâd, menurut terminologi fuqahâ’ , adalah pengerahan segenap kesanggupan dalam melakukan pengkajian terhadap sesuatu yang terpuji, disertai daya kekuatan badzl al-m ajhûd w a istifrâ` al-w us` fî fi` l sy ai` fîhî kulfah w a juhd . Tentang ijtihâd lihat misalnya Fakhr al-Dîn al-Râzî, al-Mahsûl fî ` Ilm al-Usûl, Tâhâ J âbir al-` Alwânî, ed. Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1992, J uz VI, h. 6 dst. Hasan Hanafî, Min al- Nass ilâ al-W âqi` Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 20 0 5, J ilid II, h. 444 dst., Muhammad Hâsyim Kamâlî, Principles of Islam ic Jurisprudence, reprint Cambridge: Islamic Texts Society, 1991, h. 366 dst. 9 Kam âlî, Pr in cip le s o f Is la m ic Ju r is p r u d e n ce, h . 3 79 -3 8 0 . xxviii Muhammad Khâlid Mas` ûd, m aslahah merupakan metode umum pengambilan keputusan hukum ijtihâd oleh para yuris dan karenanya merupakan prinsip yang bebas, 10 tetapi kemudian, dalam disiplin usûl al-fiqh konvensional, dipersempit aplikasinya hanya pada m aslahah m ursalah saja. Sedangkan sebagai tujuan atau ilat hukum, m aslahah hanya dibatasi dipersempit aplikasinya pada m aslahah m u` tabarah dan m aslahah m ursalah saja. 11 Bahkan, seringkali m aslahah digunakan dalam pengertian yang terbatas m u` tabarah dan direduksi sebatas m aslahah darûriy y ah maslahat yang bersifat keniscayaan, em ergency . 12 Tentu saja, penyempitan ini menimbulkan implikasi penafsiran atau penetapan hukum yang mendalam, karena sesuatu yang dikategorikan sebagai m aslahah m ulghah maka tidak boleh digunakan untuk landasan hukum dalil, hujjah. Padahal dari segi substansinya ada yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam atau tujuan-tujuan Sy arî` ah m aqâsid al- 10 Muhammad Khâlid Mas` ûd, Islam ic Legal Philosophy : a Study of Abû Ishâq al- Sy âtibî’s Life and Thought , Delhi: International Islamic Publishers, 1989, h. 160 . 11 Pembatasan penyempitan m aslahah tersebut, ”secara ketat” pada m aslahah m u` tabarah dilakukan oleh pengikut Syâfi` î dan sejumlah m utakallim ûn: bahwa m aslahah dapat diterima hanya ketika memiliki basis tekstual asl yang spesifik. Sedangkan penyempitan m aslahah ”secara lebih longgar sedikit” dibandingkan kelompok pertama, dilakukan oleh imam Syâfi` î dan mayoritas pengikut Hanafî. Bagi kelompok ini, m aslahah masih dapat diterima sepanjang ia masih serupa dengan m aslahah yang secara anonim diterima sy abîhah bi al- m asâlih al-m u` tabarah atau yang secara tekstual telah mapan. Adapun Imam Mâlik, pendiri mazhab Mâlikî, menggunakan m aslahah m ursalah ”secara paling longgar” mutlak, tanpa persyaratan tersebut. Artinya tanpa pertimbangan apa pun mengenai kondisi keserupaan atau apakah ia sejalan dengan nass-nass ataukah tidak, namun pertimbangannya adalah lebih bersifat reasonable ra` y ; m a` qûliy y ah . Lihat al-J uwainî, al-Burhân, h. 161-162; al-Syâtibî, al-I` tisâm , 351- 368. J uga Masud, Islam ic Legal Philosophy , h. 150 -151. Namun, m aslahah m ursalah dalam mazhab Mâlik kemudian diberi persyaratan, misalnya, oleh al-Syâtibî, di samping reasonable juga relevan m unâsib dengan kasus hukum yang ditetapkan, serta bertujuan memelihara sesuatu yang darûrî dan menghilangkan kesulitan raf` al-haraj. Lihat al-Syâtibî, al-I` tisâm , J uz II, h. 93-94. J adi, dalam usul al-fiqh konvensional terdapat 3 tiga kategorisasi m aslahah yaitu m aslahah m u` tabarah , m aslahah m ulghah, dan m aslahah m ursalah. J umhur ulama sepakat menggunakan m aslahah m u` tabarah, tetapi mereka juga sepakat dalam menolak m aslahah m ulghah . Sedangkan m aslahah m ursalah sebagai metode dalam berijtihad tetap menjadi kontroversi polemik di kalangan ulama, sebagaimana telah disinggung di atas. Lihat al-Tûfî, Sy arh Mukhtasar al-Raudah , J uz III, h. 20 4-217, Syarifuddin, Usûl al-Fiqh, J ilid II, h. 332, juga Djamil, Filsafat Hukum Islam , h. 141-143. 12 Muhammad Muslih al-Dîn, Philoshopy of Islam ic Law and The Orientalist A Com parative Study of Islam ic Legal System Delhi: Markaz Maktab Islâmî, 1985, h. 168. xxix Sy arî` ah , seperti keadilan al-` adâlah, justice, kesetaraan al-m usâw ah, equality , dan kebebasan al-hurriy y ah, freedom . 13 Dengan demikian, dalam literatur Usûl al-Fiqh konvensional, baik konsep al-Ghazâlî 450 -50 5 H. 10 58-1111 M., al-Râzî 544-60 6 H. 1149-1210 M., al- Qarâfî w. 684 H., al-Tûfî w. 716 H. 1316 M., maupun al-Syâtibî w. 790 H. 1388 M., misalnya, belum ada formulasi ulang yang utuh dan sistematis terhadap m aslahah m ulghah. Meskipun konsep al-Tûfî dianggap oleh banyak pemikir kontemporer, seperti Muhammad Mustafâ Syâlabî, Muhammad Abû Zahrah, Khallâf, Mustafâ Zaid, dan al-Bûtî, 14 lebih maju dalam hal: m aslahah lebih diutamakan ketika berbenturan dengan nass dalam persoalan m u` âm alah, tidak dalam persoalan ` ibâdah dan hudûd hukuman yang telah ada ketentuan sy ar` î nya 15 atau m uqaddarât ketentuan-ketentuan mengenai ukuran yang berdasarkan syar` î, 16 seperti persoalan pembagian harta warisan. Nass yang dimaksud al-Tûfî menurut mereka adalah nass yang bersifat qat` î meyakinkan, pasti 17 . Padahal, dalam penelitian Yûsuf al-Qarâdâwî, 18 bahwa nass yang dimaksud itu, bukanlah nass yang bersifat qat` î, tetapi zannî tidak meyakinkan, tidak pasti. 13 Contohnya adalah model pembagian waris setara antara laki-laki dan perempuan dikategorikan sebagai m aslahah m ulghah, sehingga tidak dibolehkan secara hukum Islam fiqh. Padahal model pembagian seperti ini sesuai dengan prinsip kesetaraan al-m usâw ah dan keadilan al-` adâlah, yang merupakan ciri-ciri ajaran Islam. 14 Muhammad Mustafâ Syâlabî dalam kitab Ta` lîl al-Ahkâm ; Muhammad Abû Zahrah dalam kitab Mâlik, dan Ibn Hanbal; dan Usûl al-Fiqhnya; Syaikh Khallâf dalam Masâdir al- Tasy rî` fî Mâ Lâ Nass fîh ; Mustafâ Zaid dalam al-Maslahah fî al-Tasy rî` al-Islâm î w a Najm al- Dîn al-Tûfî ; serta al-Bûtî dalam Daw âbit al-Maslahah fî al-Sy arî` ah al-Islâm iy y ah. Demikian penelitian kritis yang dilakukan oleh Yûsûf al-Qarâdâwî. Lihat Yûsûf al-Qarâdâwî, al-Siy âsah al- Sy ar` iy y ah fî Da’ui Nusûs al-Sy arî` at w a Maqâsidihâ Kairo: Maktabah Wahbah, 1998, h. 160 . 15 Hudûd jamak dari hadd: ` uqûbah m uqaddarah sy ar` an, hukuman kejahatan yang telah ditentukan oleh syara` . Hadd berbeda dengan ta` zîr, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan atas pendapat qâdi hakim. Lihat ` Abd al-Rahmân Dimasyqiyyah, Mausû` at Ahl al- Sunnah Riyâd: Dâr al-Muslim, 1997, J uz 2, h. 954. 16 Lihat al-Tûfî, Sy arh al-Arba` în, dalam apendiks Mustafâ Zaid, al-Maslahah fî Tasy rî` al-Islâm î w a Najm al-Dîn al-Tûfî Kairo: Dâr al-Fikr al-` Arabî, 1954, h. 18. Lihat juga al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islâm î , h. 818. 17 Qat` î adalah istilah lain dari m uhkam , yaitu nass yang jelas penunjukannya terhadap hukum, tidak dapat dinasakh, baik karena nass itu sendiri atau karena tidak ada nass lain yang menasakhnya. Lihat Syarifuddin, Usûl al-Fiqh, h. 12. 18 Lihat al-Qarâdâwî, al-Siy âsah al-Sy ar` iy y ah, h. 160 . xxx J adi, menurut Mas` ûd, konsep m aslahah yang mulanya merupakan metode umum pengambilan keputusan oleh para yuris ijtihâd dan karenanya merupakan prinsip yang bebas, akhirnya dibatasi oleh penentangnya melalui dua pertimbangan. Pertam a, adanya determinisme teologis yang cenderung mendefisikan m aslahah sebagai apa saja yang diperintahkan Tuhan. Kedua, adanya determinisme metodologis yang, dengan tujuan menghindari apa yang nampak sebagai kesemena-menaan metode, mencoba mendudukkan m aslahah kepada qiyâs dengan tujuan mengaitkannya dengan suatu landasan yang lebih pasti. Lanjut Mas` ûd, kedua pertimbangan ini tidaklah memadai. Alasan atau argumentasinya adalah, pertam a, untuk memutuskan bahwa sesuatu adalah m aslahah , bahkan mengatakan bahwa perintah-perintah Tuhan didasarkan pada m aslahah , suatu kriteria yang berada di luar perintah-perintah tersebut mutlak harus diterima. Inilah persisnya yang diingkari oleh determinisme teologis. Kedua, untuk bergerak lebih jauh kepada qiyâs, orang mesti mencari ` illah, yang diingkari karena alasan-alasan teologis atau ditafsirkan sebagai ”ayat”. Implikasi-implikasi pandangan ini jelas sekali. Di satu pihak, ia bersikukuh bahwa perluasan aturan- aturan haruslah dalam satuan-satuan; setiap kesimpulan baru harus memiliki kaitan spesifik dalam Syarî` ah. Ia mengingkari perluasan hukum secara keseluruhan. Di lain pihak, ia menolak mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan sosial, karena ia bersikukuh pada penyimpulan hukum dari aturan-aturan spesifik Syarî` ah , bahkan tidak dari tujuan umum hukum m aqâsid al-Syarî` ah. 19 Kedudukan a l-m aslahah dalam usûl al-fiqh konvensional tergambar dalam skema berikut. al-Mu` tabarah m uttafaq ` alaih al-Maslahah al-Mulghah Implikasi m ardûd al-Mursalah m ukhtakaf fîh Seringkali tidak selaras dengan prinsip-prinsip fundamental tujuan Sy arî` ah m aqâsid al-Sy arî` ah HAM Islam, dan HAM Internasional Skem a 1: al-Maslahah dalam Usûl al-Fiqh Konvensional 19 Mas` ûd, Islam ic Legal Philosophy , h. 160 . xxxi Dengan demikian, studi usûl al-fiqh konvensional masih berputar-putar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif, dan bersifat sui-generis. Hal ini diakibatkan karena hukum Islam masih sangat didominasi dengan model penarikannya yang diderivasikan dari teks-teks wahyu saja m in adillatihâ al- tafsîliy y ah; law in book , sedangkan realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat living law kurang mendapatkan perhatian yang memadai dan tempat yang proporsional dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik tersebut. Pada intinya, ”keterkungkungan” pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif, dan bersifat sui-generis dalam metode penemuan hukum Islam selama ini, disinyalir oleh banyak pihak, seperti ` Abd al-Hamîd Abû Sulaimân, 20 Wael B. Hallaq, 21 Akh. Minhaji, 22 dan Luoy Safi, 23 disebabkan karena miskinnya analisis sosial empiris lack of em piricism . 24 Hal tersebut dapat dilihat dari orientasi utama dalam kajian Usûl al-Fiqh, sebagaimana dikatakan oleh al-Tâhir ibn ` Âsyûr, ”Sungguh ruang terbesar persolan-persoalan usûl al-fiqh tidaklah berorientasi pada pelayanan hikmah syar` i dan tujuannya, tetapi berputar-putar orientasinya pada penarikan hukum- hukum dari lafal-lafal Sy âri` istinbât al-ahkâm m in alfâz al-Sy âri` , dengan melalui kaidah yang dapat digunakan oleh seorang yang mengetahui hukum- hukum tersebut dari penyimpangan cabang-cabang darinya atau dari sifat-sifat yang dapat ditarik darinya melalui prinsip qiyâs, yang dinamakan ` illah .” 25 20 Pimpinan Research Board of the International Islamic University Malaysia. Kritiknya lihat ` Abd al-Hamîd A. Abû Sulaimân, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2 th Edition Herdon: Virginia, IIIT, seperti dikutip dalam Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Em ansipatoris Yogyakarta: LKiS, 20 0 5, h. 257-258. 21 Guru Besar Hukum Islam di McGill University. Kritiknya tersebut lihat dalam Wael B. Hallaq, A History of Islam ic Legal Theories: an Introduction to Sunnî Usûl al-Fiqh, United Kindom: Cambridge University, 1997, h. 245-253. 22 Guru Besar Hukum Islam di Universitas Islam Negeri UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Kritiknya tersebut lihat dalam Akh. Minhaji, ”Reorientasi Kajian Usûl al-Fiqh”, dalam al-Jâm i` ah: Journal of Islam ic Studies , No. 63 VI tahun 1999, h. 16-17. 23 Intelektual asal Malaysia. Kritik itu seperti tampak dalam bukunya The Foundation of Know ledge: A Com parative Study in Islam ic and W estern Methods of Inquiry Kualalumpur: International Islamic University Malaysia dan International Institute of Islamic Thought, 1996. 24 Lihat Fuad, Hukum Islam di Indonesia, h. 257-258. 25 Muhammad al-Tâhir ibn ` Âsyûr, Maqâsid al-Sy arî` ah al-Islâm iy y ah Kairo: Dâr al- Salâm, 20 0 5, h. 4. xxxii Dalam konteks pemikiran hukum Islam kontemporer, untuk memecahkan problematika tersebut, setidaknya ada beberapa pembaruan pemikiran, yakni pendekatan alternatif dalam memahami hukum Islam ijtihâd, misalnya yang dilakukan oleh Taha, asal Sudan w. 1985, Fazlur Rahman, sarjana dan pembaru Pakistan w. 1988, 26 Masdar F. Mas’udi, intelektual Muslim Indonesia 1954-…, 27 dan Muhammad Syahrûr, pemikir jenius asal Syiria. Teori pendekatan ijtihad alternatif tersebut, misalnya Nazariyyat al-Hudûd Teori Batas yang dirumuskan oleh Syahrûr. Dalam teorinya, klasifikasi m aslahah m ulghah tidak digunakan lagi. 28 Implikasinya meskipun sesuatu itu termasuk m aslahah m ulghah --menurut konsep ulama klasik-- dalam Teori Batas bila terdapat ”kemaslahatan” dapat dipergunakan. Misalnya dalam persoalan waris: dalam Teori Batas, perempuan dapat memperoleh 26 Metodologi Rahman, dalam memahami hukum Islam, sebagaimana dikatakan Hallaq, adalah ”the Double Movem ent Theory ” Teori Gerak Ganda. Gerak pertama berawal dari yang partikular kepada yang general yakni menghadirkan prinsip-prinsip umum dari kasus-kasus tertentu. Sedangkan gerak kedua, prinsip general yang didapatkan dari sumber wahyu dihadirkan pada kondisi masyarakat Muslim saat ini. Lihat Hallaq, A History, h. 244. 27 Pendekatan alternatif yang ditawarkan Mas’udi adalah rekonstruksi penafsiran hukum dengan menggunakan rekonstruksi konsep qat` î-zannî sebagai basis rekonstruksi penafsiran dan metode penemuan hukum. Menurutnya, pandangan umum mengenai ijtihâd yang selama ini berjalan, bisa dikatakan hanya menjangkau hal-hal yang bersifat zannî, dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat` î. Dengan meletakkan kembali m aslahah sebagai asas ijtihâd , maka konsep lama tentang qat` î-zannî terasa begitu gagap untuk menyahuti pelbagai persoalan kontemporer yang terus berkembang. Dari sini, Masdar melihat pentingnya merekonstruksi kedua konsep qat` î dan zannî tersebut agar lebih punya pow er tenaga dalam memberikan assist dan kontitum pemecahan berbagai masalah. Lihat Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Sy arî` ah”, dalam ` Ulûm al-Qur’ân, No. 3, Vol. VI, 1995, h. 97. 28 Demikian itu karena Syahrûr tidak memaknai arti hukum dan kandungannya dalam suatu nass, ayat al-Qur` an tentang pembagian waris, misalnya, secara literal, menurut arti bunyi nass itu, tetapi kandungan hukumnya ditempatkan dalam kerangka batas, yang dikenal sebagai teori hudûd; di mana ada batas atas dan ada batas bawah, yang mana ketentuan hukum dalam satu titik dapat bergerak dalam batasan bawah dan atas, sehingga dalam banyak hal ketentuan tekstual nass akan tampak menjadi lebih bersifat longgar dan fleksibel. Pembacaan tersebut dilakukan dengan pembacaan kontemporer qirâ’ah m u` âsirah, bukan dengan pendekatan konsep m aslahah klasik. Dalam masalah tersebut, Syahrûr menggunakan metode ”metaforik saintifik” yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta metaforik. Lebih terperinci dalam soal penafsiran ayat-ayat waris ia menerapkan ilmu eksakta matematika modern, yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Rene Descartes, yang memadukan antara hiperbola al-kam m al-m uttasil dan parabola al- kam m al-m unfasil . J uga matematika analitik tentang konsep keturunan diferensial al-m usy taq dan integral al-takâm ul yang digagas oleh Newton, teknik analitik dan teori himpunan nazariy y at al-m ajm û` ât , di samping matematika klasik masih digunakan. Lihat Muhammad Syahrûr, Nahw a Usûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâm î: Fiqh al-Mar’ah [al-W asiy y ah, al-Irts, al- Qiw âm ah, al-Ta` addudiy y ah, al-Libâs] Suriyyah: al-Ahâlî li al-Tibâ` ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî` , 2000, h. 222. xxxiii bagian yang sama dengan laki-laki, 29 meskipun menurut konsep m aslahah klasik, pembagian model itu termasuk ke dalam kategori m aslahah m ulghah. 30 Meskipun terdapat sejumlah pembaruan pemikiran kontemporer, berupa teori pendekatan alternatif dalam memahami hukum Islam, seperti yang diajukan oleh Taha, Rahman, dan Syahrûr, maupun Mas’udi di atas, terasa masih belum memberikan jawaban yang tegas tentang persoalan miskinnya analisis sosial empiris lack of em piricism . 31 Memang ada kajian yang mengarahkan dari kajian teks kepada realitas m in al-nass ilâ al-w âqi` . Realitas kehidupan kemanusiaan diteropong oleh si pembaca teks tersebut, sehingga, menurut Hasan Hanafî, meskipun pengalaman kemanusiaan itu satu, sesungguhnya pengalaman sang pengarang teks itu sendiri adalah pengalaman sang pembaca teks, walaupun terjadi perubahan masa. Keadaan inilah yang menjadikan adanya satu tujuan, yaitu tujuan teks itu sendiri, tujuan sang empunya teks, dan tujuan si pembaca teks. 32 Meskipun demikian, penekanan pada realitas sosial belum menjadi orientasi utama dalam pendekatan hukum Islam yang ada selama ini. Dengan demikian, kecenderungan mendasar tekstualitas sekaligus kurangnya analisis empiris dalam metode penemuan hukum Islam masih belum terselesaikan secara tepat. Untuk itu, upaya mereformulasi konsep al-m aslahah merupakan sebuah dinamisasi, 33 di mana, sebagaimana dikatakan oleh cendekiawan terkemuka, Nurcholish Madjid almarhum, ”Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena 29 Muhammad Syahrûr, al-Kitâb w a al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu` âsirah Mesir: Sînâ li al- Nasyr al-A` âlî, 1992, h. 487-488, Munawir Sjadzali termasuk di antara tokoh nasional yang gencar menegaskan tentang pembagian warisan yang setara tersebut. Karena pembagian waris antara laki-laki dan perempuan: 1: 2 dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Lihat Munawir Sjadzali, Ijtihad Kem anusiaan J akarta: Paramadina, 1997, h. 4 dst. 30 Model pembagian waris perempuan bisa sebanding dengan laki-laki merupakan m aslahah m ulghah di atas sebagaimana secara eksplisit dicontohkan Amir Syarifuddin. Lihat Syarifuddin, Usûl al-Fiqh, h. 331-332. 31 Pendapat demikian, seperti dikemukakan oleh Hallaq. Lihat Hallaq, A History, h. 245-254. 32 Hasan Hanafî, Min al-Nass ilâ al-W âqi` , al-Juz al-Aw w al: Takw în al-Nass, Muhâw alah Li’i` âdâh Binâ’ ` Ilm Usûl al-Fiqh , Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 2004, h. 27. 33 Hal serupa tentang reformulasi al-m aslahah, yakni pengembangan prinsip m aslahah istislâh di atas juga diusulkan oleh A. Qadri Azizy. Lihat A. Qodri Azizy, Reform asi Berm azhab: Sebuah Ikhtiar m enuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern J akarta: Teraju, 20 0 3, h. 94-10 1. xxxiv takut salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.” 34 Reformulasi al- m aslahah tersebut menghasilkan formulasi baru yang disebut al-Maslahah al- Maqsûdah ةدﻮ ا ﺔ ا yang dijadikan sebagai sebuah metode ijtihâd alternatif dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. al-Maslahah al-Maqsûdah didefinisikan sebagai sebuah metode manhaj yang berangkat dari cita-cita Islam dan tujuan-tujuan Sy arî` ah m aqâsid al- Sy arî` ah , disertai dengan pertimbangan hak asasi manusia HAM dan realitas sosial, tanpa mempertimbangkan apakah m u` tabarah, m ulghah, ataupun m ursalah , untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan hukum yang lebih membawa kepada kemaslahatan manusia. Upaya reformulasi al-m aslahah yang dikaitkan dengan m aqâsid al- Sy arî` ah , juga didorong oleh sebuah hasil penelitian yang dilakukan David J ohnston, bahwa kajian hukum Islam pada abad ke-20 beralih dari alur pendekatan tekstual kepada pendekatan m aqâsid al-Sy arî` ah 35 atau substansial- kontekstual. Dalam penelitian J ohnston dan Wael B. Hallaq, disebutkan bahwa pendekatan yang menegaskan dan menekankan pada m aqâsid al-Sy arî` ah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua alur model: pendekatan ”religious utilitarianism ” utilitarianisme religius atau pendekatan m aqâsidi ”purposeful” atau ”purposive”; dan pendekatan religious liberalism liberalisme religius. 36 Pendekatan utilitarian pendekatan m aqâsidî dalam teori hukum Islam adalah teori yang berangkat dari tujuan-tujuan hukum wahyu dan bergerak dari yang general kepada yang spesifik, bukan hanya menggunakan pertimbangan kepentingan publik m aslahah dan keniscayaan darûrah sebagai perangkat- perangkat pembimbing ke arah perumusan hukum, tetapi juga mendasarkan pada perintah-perintah etis im peratives ethical seperti keadilan justice, dan terlebih lagi, perdamaian dan rekonsiliasi. Sedangkan pendekatan kelompok 34 Nurcholish Madjid, ”Taqlîd dan Ijtihâd: Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama”, dalam Budhy Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah , cet. ke-2 J akarta: Paramadina, 1995, h. 349. 35 Lihat dalam Hallaq, A History , h. 214, dan David J ohnston, ”A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Usûl al-Fiqh”, dalam Islam ic Law and Society, 11, 2 , Leiden: Koninklijke Brill NV, 2004, h. 255. 36 Hallaq, A History , h. 214, dan David J ohnston, ”A Turn”, h. 255. xxxv kedua itu berpijak pada pengungkapan pemahaman wahyu baik teks dan konteksnya. ”Ini berarti bahwa hubungan antara teks wahyu dan masyarakat modern tidak didasarkan pada penekanaan terhadap hermeneutika literalist, namun lebih pada interpretasi spirit dan penekanan atau tujuan utama yang terdapat di balik bahasa spesifik teks”. 37 Perhatian pada m aqâsid al-Sy arî` ah itu juga diperlukan bagi pelbagai proyek Islam saat ini. Sebagaimana ditegaskan oleh Walid Saif untuk kebutuhan saat ini proyek Islam harus ditekankan pada prinsip-prinsip Islam dan tujuan Sy arî` ah m aqâsid al-Sy arî` ah untuk memproduk sebuah model modern bagi kemajuan dan peradaban yang merefleksikan nilai-nilai universalnya. Ini pada esensinya merupakan proses kesejarahan yang dapat dicapai dengan pencerahan enlightenm ent , partisipasi aktif dalam pelbagai urusan dunia, produksi pengetahuan dan akumulasi kemajuan-kemajuan dalam semua level kehidupan sosial masyarakat. 38 Di samping itu, penelitian terhadap metode al-m aslahah dengan pendekatan m aqâsidî dan relevansinya dengan perkembangan hukum Islam kontemporer menjadi pertimbangan tersendiri untuk melakukan reformulasi, karena belum ditemukan kajian akademik dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi yang membahas pemikiran konsep al-m aslahah dengan pendekatan paradigma m aqâsidî secara komprehensif. Yaitu kajian kritis dengan mengemukakan berbagai teori para pemikir klasik yang diperbandingkan komparasi, antara konsep para pemikir klasik, maupun antara konsep para pemikir kontemporer. 39 Upaya mereformulasi al-m aslahah dikaitkan dengan m aqâsid al- Sy arî` ah juga didasarkan pada alasan adanya manfaat yang dapat diperoleh, 37 Lihat J ohnston, ”A Turn”, h. 233-235. 38 Lihat Walid Saif, ”Human Rights and Islamic Revivalism”, dalam Tarik Mitri ed. Religion, Law and Society: a Cristian-Muslim Discussion Geneva: WCC Publication, 1995, h. 123. 39 Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan antara konsep m aslahah al-Ghazalî al- Râzî, dengan al-Qarâfî, al-Syatibî dan al-Tufî. Adapun konsep para pemikir kontemporer seperti konsep m aslahahnya al-Khallâf, al-Bûtî, Taha, dan Mas’udi. Di samping juga teori Gerak Ganda Rahman dengan Teori Batasnya Syahrûr. Perbandingan ini dimaksudkan untuk pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. xxxvi yaitu dapat m em perkay a dan m em perkuat pemikiran Islam kontemporer, serta m engarahkan kepada sasaran yang tepat. 40 Lebih lanjut, konsep m aqâsid al-Sy arî` ah sendiri ternyata terus mengalami reformulasi oleh para pemikir kontemporer. Kajian m aqâsid al- Sy arî` ah semakin dikembangkan lagi muatannya lebih dari sekedar m aqâsid al- Sy arî` ah yang dikenal dengan al-kulliy y ah al-kham sah lima tujuan universal: hifz al-dîn perlindungan agama, hifz al-nafs perlindungan jiwa kehidupan, hifz al-nasl perlindungan keturunan, hifz al-` aql perlindungan akal, dan hifz al-m âl perlindungan harta, tetapi lebih mendasar lagi meliputi al-` adâlah justice, keadilan, al-m usâw ah equality , egalitarian, al-hurriy y ah freedom , kebebasan, al-huqûq al-ijtim â` iy y ah w a al-iqtisâdiy y ah w a al-siy âsiy y ah hak-hak sosial, ekonomi, dan politik. 41 Dalam konteks modern, pengertian perlindungan prinsip-prinsip tersebut dikenal sebagai HAM hak asasi manusia, meskipun dalam tataran konsepnya berbeda. al-Kulliyy ah al-kham sah yang merupakan m aqâsid al-Sy arî` ah diambil dari spirit Islam yang berdasarkan wahyu, sedangkan HAM universal HAM Internasional, merupakan produk akal manusia. HAM universal tersebut dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB pada tahun 1948, yang dikenal dengan Universal Declaration of Hum an Rights UDHR, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [DUHAM]. Sungguhpun demikian, keduanya saat ini sama-sama dipandang bersifat universal, penting untuk dijadikan sebagai landasan gerak dalam berbagai sendi kehidupan.

B. Perm asalahan