Tujuan Pen elitian Kajian Pustaka

xxxviii 3 . Perum usan Masalah Masalah utama yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana rumusan al-Maslahah al-Maqsûdah dapat dijadikan sebagai metode ijitihâd alternatif kontemporer. Masalah utama ini dikongkritkan ke dalam rumusan masalah: mengapa metode al-Maslahah al-Maqsûdah dijadikan sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, apakah karena relevansinya dengan m aqâsid al-Sy arî` ah atau karena mendukung HAM yang merupakan realitas empiris, ataukah kedua-duanya?

C. Tujuan Pen elitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun konsep al- m aslahah dengan pendekatan m aqâsid al-Sy arî` ah, yang disebut al-Maslahah al-Maqsûdah , sebagai salah satu metode ijtihâd alternatif kontemporer dalam memahami dan menetapkan hukum Islam. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk menjelaskan alasan mengapa metode al-Maslahah al-Maqsûdah dijadikan sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, apakah karena relevansinya dengan m aqâsid al-Sy arî` ah atau karena mendukung HAM yang merupakan realitas empiris, atau kedua-duanya. D . Sign ifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan secara teoritis berguna untuk mengembangkan sebuah pendekatan alternatif baru dalam rangka memahami dan menetapkan hukum Islam kontemporer ijtihâd, sehingga dapat memberikan jawaban hukum yang lebih tepat dengan kebutuhan kemaslahatan manusia. Sedangkan secara praktis penelitian ini berguna untuk menjadi bahan kajian, pemikiran maupun penelitian lebih lanjut dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. xxxix

E. Kajian Pustaka

Telah ada beberapa penelitian dalam bentuk buku, dan artikel, yang berkaitan dengan tema pembahasan al-m aslahah m aqâsid al-Sy arî` ah dan pemikiran hukum Islam kontemporer, antara lain: 4. ”Maslahah in Contem porary Islam ic Legal Theory”, Facilitas Opwis dalam Islam ic Law and Society, 20 0 5. Dalam artikel ini, Opwis menguraikan konsep m aslahah klasik dan modern kontemporer. Tesis yang diangkatnya adalah bahwa ada empat model m aslahah klasik. 42 Yaitu model al-Ghazâlî al- Râzî, model al-Qarâfî, model al-Tûfî, dan model al-Syâtibî. Dalam konsep m aslahah kontemporer ada kecenderungan atau model yang mendukung atau mengembangkan konsep m aslahah klasik tersebut. Mahmâsânî, al-Fâsî, dan Taha merupakan pendukung konsep m aslahahnya al-Syâtibî. Sedangkan Khallâf dan al-Bûtî merupakan pendukung konsep m aslahahnya al-Ghazâlî al-Râzî -- konsep yang lebih terbatas restrictive dibandingkan dengan konsep al- m aslahah nya al-Syâtibî. 43 Namun, setelah menguraikan dan menganalisa masing- masing konsep tersebut, Opwis tidak melakukan rekonstruksi atau reformulasi terhadap konsep m aslahah m ulghah. Opwis juga belum memberikan tawaran metode teori ijtihâd alternatif terhadap konsep m aslahah yang ditelitinya untuk memberikan jawaban hukum terhadap persoalan-persoalan kontemporer. Konsep m aslahah Taha di atas, misalnya, yang dibungkus dalam teori naskh nya, menekankan pada prinsip-prinsip universal seperti: kebebasan al- hurriy y ah , kesetaraan al-m usâw ah, dan keadilan al-` adâlah. 44 Prinsip- 42 Opwis, ”Maslahah”, h. 193-197. 43 Opwis, ”Maslahah”, h. 20 1 dst. 44 Ia menegaskan bahwa perbudakan yang masih terdapat dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam; al-hijâb bukanlah ajaran murni Islam, yang merupakan ajaran murni Islam adalah al-sufur, karena sesuai dengan prinsip kebebasan, persamaan kesetaraan al- m usâw ah : misalnya dalam hal kesetaraan ekonomi, kesetaraan politik dan kesetaraan sosial, dan keadilan al-` adâlah, misalnya poligami yang masih ada dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam. Pengertian al-hijâb seperti yang dimaksudkan oleh Sy arî` ah, adalah menutupi seluruh bagian tubuh perempuan hingga yang tampak hanya bagian wajah dan tangannya. al-Sufur, di lain pihak, lawan dari al-hijâb boleh memakai pakaian menurut selera tradisi modern. Al-Sufur ini merupakan salah satu prinsip asli dalam Islam, karena ia konsisten xl prinsip tersebut dijadikan bingkai kerangka yang yang disebutnya dengan istilah pesan kedua Islam al-risâlah al-tsâniy y ah m in al-Islâm ; the second m essage of Islâm . 45 Teori naskh Taha di atas menarik untuk dijadikan sebagai salah satu teori landasan bagi reformulasi m aslahah yang menjadi kajian utama penelitian ini. Hal itu karena konsep naskh merupakan konsep yang berasal dan berakar kuat dari tradisi Islam. Dan dengan demikian, diasumsikan diharapkan mempunyai signifikansi yang lebih dapat diterima oleh kalangan Muslim sendiri. 46 Lebih lanjut, karena konsep naskh Taha mempunyai keunikan, yakni berbeda dengan konsep naskh klasik konvensional. 47 Taha menerapkan arti naskh dalam pengertian menunda pemberlakuan suatu ajaran ketentuan yang lebih awal karena adanya situasi yang belum memungkinkan bagi penerapan ajaran ketentuan tersebut. 48 5. ”A Turn in the Epistem ology and Herm eneutics of Tw entieth Century Usûl al-Fiqh” , karya David J ohnston, dan A History of Islam ic Legal Theories: an Introduction to Sunnî Usûl al-Fiqh , karya Hallaq. Kedua karya ini membahas dengan prinsip asli kebebasan the original principle of freedom . Lihat Mahmûd Muhammad Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah m in al-Islâm , edisi ke-5 T.Tp.: TP, t.t., h. 131-133, Mahmûd Muhammad Taha, The Second Message of Islâm , penerjemah ` Abd Allâh Ahmad al-Na` îm New York: Syracuse University Press, 1996, h. 143-145. 45 Lihat dalam bukunya al-Risâlah al-Tsâniy y ah atau The Second Message of Islam . 46 Perihal signifikansi sesuatu yang punya akar kuat dalam tradisi Islam ini misalnya seperti dikatakan oleh Khâlid Abû al-Fadl, bahwa ”Penting untuk tidak mencangkokkan sebuah epistemologi yang tidak benar-benar mencerminkan pengalaman umat Islam sendiri. Tetapi yang penting adalah kenyataan bahwa pendekatan-pendekatan epistemologis tertentu kemungkinan hanya sedikit memperoleh legitimasi dalam konteks Islam tidaklah kemudian menjadi rekomendasi bagi pendekatan-pendekatan konservatif yang mengakui struktur kekuasaan dan gagasan tentang hirarki. Ini bukan berarti bahwa mengambil epistemologi dari satu budaya tertentu untuk dicangkokkan pada budaya lainnya tidak dibenarkan, tapi saya hanya mengatakan bahwa pencangkokan semacam itu harus dilaksanakan dengan terukur dan rasional sehingga gugus budaya yang menerima proses pencangkokan itu tidak bereaksi keras.” M. Khâlid Abû al- Fadl, Speaking in God’s Nam e: Islam ic Law , Authority , and W om en, Oxford: Oneworld, 20 0 1, h. 10 0 . 47 Dalam teori naskh klasik umumnya naskh diartikan sebagai penghapusan terhadap ajaran ketentuan yang terdahulu oleh ajaran ketentuan baru yang belakangan. Naskh secara lughaw î digunakan untuk arti al-izâlah yang berarti al-i` dâm menghilangkan, dan al-naql mengalihkan. Secara terminologi, menurut al-Âmidî, misalnya, merupakan ketentuan atau hukum khitâb yang menunjukkan penghapusan terhadap hukum yang berlaku pada ketentuan sebelumnya. Lihat al-Âmidî, al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm Beirut: Dâr al-Fikr, 1416 1996, J uz III, h. 72-74. 48 Lihat al-Na` îm, ”Introduction”, dalam Taha, The Second Message of Islam , h. 40 . xli tentang perkembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Tesis yang diangkat dalam kedua karya tersebut adalah bahwa ilmu-ilmu Sy arî` ah dan kajian-kajian keislaman saat ini, sejak abad ke-20 M., mengalami kebangkitan dan consern dalam lapangan m aqâsid al-Syarî` ah dan pemikiran al-m aqâsidî ”purposeful”, ”purposive” . Pendekatan yang menekankan m aqâsid al-Sy arî` ah ada dua alur model, seperti dikatakan Hallaq dan J ohnston, yaitu: pendekatan ”religious utilitarianism ” utilitarianisme religius, dan ”religious liberalism ” liberalisme religius. 49 Di antara teori yang termasuk ke dalam model liberalisme religius adalah Nazariyyat al-Hudûd Teori Batas Syahrûr. Secara singkat, Teori Batas Syahrûr ini dapat dijelaskan bahwa hukum yang merupakan titah wahyu yang diungkapkan dalam al-Kitâb dan al-Sunnah, mempunyai Batas Bawah a Low er Lim it dan Batas Atas a Upper Lim it; Batas Atas mewakili ketentuan minimum yang legal mengenai kasus tertentu partikular, dan Batas Atas merupakan batasan maksimumnya. Batasan minimum tersebut adalah ketentuan yang diperkenankan oleh hukum, dan tak ada ketentuan hukum yang melebihi batasan maksimum tersebut dinyatakan sebagai ketentuan yang absah. Kedudukan batasan-batasan ini sangat penting, karena hukuman-hukuman dapat terjamin terpenuhi, dalam standar yang dapat diterapkan terhadap suatu pelanggaran hukum. 50 Dengan demikian, dalam Teori Batas Syahrûr, di antaranya yang terkait dengan pembagian warisan setara antara anak laki-laki dan anak perempuan, terdapat kelenturan hukum bila dibandingkan dengan konsep teori m aslahah klasik: khususnya m aslahah m ulghah. Berbagai pendekatan hukum Islam di atas, baik yang tergolong ”religious utilitarianism ” maupun ”religious liberalism ” tidak lepas dari kritik. Meskipun Hallaq mengkritik pendekatan pemahaman hukum Islam tersebut, namun ia tidak menawarkan pendekatan alternatif lain dalam memahami hukum Islam agar mampu memberikan jawaban terhadap persoalan hukum kontemporer. Sebagaimana halnya Hallaq, J ohnston juga melakukan kritik, namun tetap tidak 49 Lihat Footnote No. 35 dan 36. 50 Lihat Hallaq, A History , h. 248. xlii memberikan pendekatan alternatif dalam menjawab permasalahan hukum kontemporer. Dia hanya menegaskan bahwa kesiapan untuk melakukan perdebatan terbuka berkenaan kesejarahan al-Qur’ân perlu dilakukan. Tanpa pergulatan serius dengan persoalan ini, ia meragukan teori hukum Islam kontemporer mampu mengartikulasikan sebuah sistem yang komprehensif, koheren, dan konteks yang spesifik. 51 6. Reform asi Hukum Islam di Indonesia, karya Abdul Manan, 2006. 52 Tesis yang disimpulkan di sini adalah bahwa pembaruan hukum Islam telah berlangsung di Indonesia. Pembaruan itu terlihat dari beberapa keputusan MA RI. yang banyak didasarkan pada m aslahah m ulghah. J adi dalam konteks pembaruan hukum Islam, khususnya dalam kaitannya dengan masalah kemaslahatan yang banyak menyangkut kepentingan umum, menurut penulis buku ini, Abdul Manan Hakim Agung MA RI, metode al-m aslahah selayaknya digunakan tanpa membedakan antara m aslahah m u` tabarah, m aslahah m ursalah , maupun m aslahah m ulghah, dalam rangka mewujudkan m aqâsid al- Sy arî` ah bagi warga negara. 53 Buku ini memang tidak memberikan pendekatan alternatif secara sistematis dan utuh, namun cukup mendukung upaya reformulasi al-m aslahah dalam konteks pengembangan pemikiran atau pembaruan hukum Islam di Indonesia. Beberapa karya dalam kajian kepustakaan di atas menunjukkan perlunya suatu pendekatan yang tepat dalam menghadapi permasalahan hukum kontemporer. Selain itu, setidaklah juga ditutnjukkan perlunya upaya reformulasi al-m aslahah; tesis yang hendak dibangun dalam penelitian ini. Dalam konteks inilah, upaya reformulasi al-m aslahah perlu dilakukan. Reformulasi al-m aslahah ini berarti merumuskan ulang konsep al-m aslahah konvensional yang ada selama ini. Hasil reformulasi al-m aslahah tersebut dinamakan al-m aslahah al-m aqsûdah, yaitu suatu bentuk metode ijtihâd 51 J ohnston, ”A Turn”, h. 282. 52 Buku ini berasal dari disertasi S3 Program Doktor Ilmu Hukum di PPS Universitas Sumatera Utara Medan, 20 0 4. 53 Lihat Manan, Reform asi Hukum Islam di Indonesia, h. 336-340 . xliii alternatif kontemporer, yang menggunakan paradigma m aqâsid al-Syarî` ah dan HAM. Penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam bentuk tesis mengenai pemikiran al-m aslahah yang bersifat spesifik, dan bersifat holistik komprehensif, dalam konteks pengembangan pemikiran hukum Islam. Dikatakan spesifik karena menggunakan m aqâsid al-Syarî` ah dan HAM sebagai paradigma metode al- Maslahah al-Maqsûdah . Dikatakan komprehensif karena dapat diaplikasikan ke dalam pelbagai persoalan hukum kontemporer. Selain itu, karena mengambil sisi positif dari pelbagai konsep, model maupun pendekatan yang telah ditawarkan para ulama klasik maupun pemikir kontemporer. Komprehensifitas itu juga terlihat dari segi pemakaian rujukan literatur yang digunakan untuk melakukan reformulasi m aslahah. Literatur tersebut merupakan kombinasi berbagai literatur ulama klasik dan pemikiran para pemikir kontemporer, seperti teori naskh Tâhâ, teori m aslahah Masdar F. Mas’udi, dan Nazariyy at al-Hudûd Syahrûr, untuk melakukan sebuah formulasi al-Maslahah al-Maqsûdah di atas. Dengan demikian penelitian ini bersifat kritis dan konstruktif yang memang menjadi tugas disiplin filsafat. 54 Yakni suatu bentuk penafsiran pemikiran yang bersifat membangun kembali atau mengembangkan terhadap suatu konsep pemikiran yang telah ada. Ini bukan berarti meruntuhkan total konsep pemikiran tersebut, tetapi memberikan pengembangan dengan alternatif atau sudut pandang tertentu, dengan mempertimbangkan dan memperhatikan penggunaan analisis sosial empiris, sehingga lebih memberikan jawaban solutif terhadap persoalan kontemporer.

F. Keran gka Teo ri