ccxxxvii Pemikiran tentang zakat perusahaan di atas di atas memperkuat
argumentasi para ulama yang mewajibkan zakat ini. Di samping itu juga memperkuat UU tentang Pengelolaan Zakat yang mewajibkan zakat
perusahaan untuk dipatuhi. Meskipun tidak menunaikan zakat perusahaan tidak dikenai sanksi menurut UU tersebut, namun kesadaran
umat Islam tetap diperlukan. Kesadaran ini tentu saja harus ditopang dengan landasan yang kuat tentang kewajiban zakat perusahaan. Dalam
kaitan inilah, pemahaman terhadap penalaran yang menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah menjadi penting. Perluasan obyek
zakat ini tentu saja diperuntukkan atas orang yang tetap ingin mengeluarkan zakat, di samping membayar pajak.
B. Bidan g H ukum Perdata
a. Perkaw inan Beda Agam a
Perkawinan beda agama interfaith m arriage, selanjutnya disingkat PBA, yang dimaksud di sini, adalah perkawinan yang dilakukan
antara orang yang berlainan agama, yaitu orang Islam pria wanita dengan orang nonIslam, lawan jenisnya pria wanita. Masalah PBA,
sampai saat ini, tetap kontroversial dan mendapat sorotan kritis khususnya oleh para pengamat dan aktivitas HAM baik dari kalangan
Muslim maupun dari nonMuslim.
452
452
Pada umumnya mereka terbagi dalam tiga kategori:
452
pertam a, dikenal liberal dan dekat dengan Barat, yang mencoba mendekonstruksi tafsir teks-teks Islam agar selaras dengan
HAM universal, khususnya pasal 16 ayat 1 tentang kebebasan perkawinan, bisa diterima oleh umat Muslim yang mempunyai pandangan keras mengenai hal ini. Di sana didapatkan
pernyataan: ”Men and w om en of full age w ithout any lim itation due to race, nationality , or religion, have the right to m arry and to found a fam ily ”.
Artinya: ”Pria dan wanita yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk nikah dan
untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan pada saat perceraian.” Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa laki-laki
ataupun wanita yang cukup umur tanpa adanya pembatasan yang bertalian dengan ras, kewarga-
ccxxxviii Problematika PBA ini akan dikaji dalam perspektif hukum Islam,
dengan menggunakan metode al-m aslahah al-m aqsûdah. al-Qur’ân, sebagai sumber utama hukum Islam, telah memberikan ketentuan
tentang PBA. Terdapat beberapa ayat al-Qur’ân yang menjelaskan tentang PBA ini. Dalam al-Quran, PBA secara garis besar dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu perkawinan orang Mukmin Muslim dengan orang Ahl al-Kitâb
; dan orang Mukmin Muslim dengan orang m usy rîk. Term Ahl al-Kitâb dan m usy rik adalah berbeda. Ahl al-Kitâb
adalah orang yang mempercayai salah seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah terjadi
penyimpangan pada mereka dalam bidang akidah atau amalan. Sedangkan orang m usy rîk adalah bukan hanya mempersekutukan Allah
s.w.t. tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli; di
samping tidak seorang nabi dari nabi-nabi pun yang mereka percayai. Sedangkan yang disebut orang-orang m ukm în adalah orang-orang yang
percaya dengan risalah Nabi Muhammad s.a.w. baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam, yang berasal dari Ahl al-Kitâb
atau kaum musyrîk, ataupun dari agama mana saja.
453
Ayat al-Qur’ân yang terkait dengan PBA, antara lain, adalah surat al-Mâ’idah 5 ayat 5 yang berkaitan dengan Ahl al-Kitâb, dan surat al-
Baqarah 2 ayat 221 yang berkaitan dengan orang musyrik, yang dijadikan sebagai dasar bagi PBA.
negaraan, dan agama berhak melangsungkan perkawinan dan membangun keluarga. Kedua, yaitu kelompok yang mempertahankan teks-teks Islam serta menolak beberapa ketentuan HAM,
khususnya pasal 16 di atas. Pada umumnya ulama mufasir dan umat Islam termasuk ke dalam golongan yang kedua ini. Ketiga, mereka yang agnostik sekuler, yang menganggap isu perkawinan
adalah hak personal manusia, tanpa campur tangan agama.
Dewi Sukarti, Perkaw inan Antaragam a m enurut al-Qur’ân dan Hadîts
, Seri ”Isu-isu Kontemporer dalam Perspektif al-Qur’ân dan Hadîts” Jakarta: PBB UIN dan KAS, 2003, h. 1-2.
453
Lihat Abû al-A` lâ al-Maudûdî dalam al-Islâm fî Muw âjahah al-Tahaddiy ah al- Mu` âsarah
, dan Badrân Abû al-` Ainain Badrân, al-` Alâqah al-Ijtim â` iy y ah Bain al-Muslim în w a Ghair al-Muslim în
, dikutip Zainun Kamal, ”Menafsir Kembali Perkawinan antar Umat Beragama”, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga ed., Tafsir Ulang Perkaw inan
Lintas Agam a: Perspektif Perem puan dan Pluralism e J akarta: KAPAL Perempuan, 2004, h. 150.
ccxxxix
☺
☺ ⌧
⌧ ☺
”…Dan dihalalkan kam u m engaw ini w anita-w anita y ang m enjaga kehorm atan di antara w anita-w anita y ang
berim an dan w anita-w anita y ang m enjaga kehorm atan di antara w anita-w anita y ang diberi al-Kitâb sebelum kam u, bila
kam u telah m em bay ar m askaw in m ereka dengan m aksud m enikahiny a, tidak dengan m aksud berzina dan tidak pula
m enjadikanny a gundik-gundik…”
. QS. al-Mâ’idah [5]: 5
454
⌧ ☺
454
Bustami A. Gani, dkk., Al-Qur’ân dan Tafsirny a T.t.p.: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’ân Departemen Agama R.I. 1982 1983, t.t., J ilid II, h. 377.
Ayat di atas berkenaan dengan beberapa orang Islam yang menyatakan tentang bagaimana hukum mengawini wanita-wanita ahli kitab, padahal mereka berlainan agama. Ibn
J arîr meriwayatkan dari Qatâdah, bahwa dia berkata, diceritakan kepada kami, bahwa ada beberapa orang Islam yang mengatakan, ”Bagaimana wanita-wanita mereka itu kita kawini?”
Maksudnya, wanita-wanita Ahl al-Kitâb. ”Sedang mereka itu berlainan agama dengan kita?” Maka diturunkanlah oleh Allah,
ﺮ ﻜ و ….” J adi, dihalalkannya mereka oleh Allah untuk dikawini,
bukanlah tanpa ilmu. Ayat itu juga bertujuan menegaskan betapa agungnya nilai dari apa yang dihalalkan Allah dan apa yang diharamkanNya, di samping merupakan ancaman berat bagi siapa
pun yang sengaja menentang atau melanggarnya. Pada ayat ini Allah menerangkan tiga macam yang halal bagi orang mukmin, di antaranya
mengawini perempuan-perempuan merdeka bukan budak dari perempuan-perempuan mukmin dan perempuan ahli kitab. Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksudkan dengan al-m uhsanât
adalah perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dirinya. Lihat Ahmad Mustafâ al- Marâghî, Tafsir al-Marâghî Beirut: Dâr al-Fikr, 2006, J ilid II, h. 267, Alî al-Sâyis, Tafsîr Ây ât al-
Ahkâm
Mesir: Mu’assasat al-Mukhtar, 20 0 1, J ilid I, h. 347.
ccxl
⌧ ☺
☺ ⌧
”Janganlah kam u m engaw ini w anita-w anita m usyrik, sebelum m ereka berim an. Sesungguhny a w anita budak y ang
m ukm in lebih baik dari w anita m usy rik w alaupun dia m enarik hatim u. Dan janganlah kam u m engkaw inkan orang-orang
m usy rik dengan w anita-w anita m ukm in sebelum m ereka berim an. Sesungguhny a budak y ang m ukm in lebih baik dari
orang m usy rik w alaupun ia m enarik hatim u. Mereka m engajak ke neraka, sedang Allah m engajak ke surga dan am punan dengan
izin-Nya. Dan Allah m enerangkan ayat-ayat-Nya perintah- perintah-Nya kepada m anusia supaya m ereka m engam bil
pelajaran”
. QS. al-Baqarah [2]: 221 Berdasarkan tekstual kedua ayat di atas, PBA dapat dibedakan
menjadi dua macam, pertam a, perkawinan orang Muslim dengan Ahl al- Kitâb
, yang meliputi perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al- Kitâb
yang hukumnya dibolehkan, namun perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb secara m afhûm m ukhâlafah tidak
dibolehkan; kedua, perkawinan orang Muslim baik laki-laki maupun perempuan dengan orang musyrik diharamkan.
Dengan menerapkan al-Maslahah al-Maqsûdah, berdasarkan m aqâsid al-Sy arî` ah
berupa prinsip kesetaraan, kebebasan, khususnya kebebasan memeluk beragama, maupun berkeyakinan, dan prinsip
kemaslahatan, maka PBA tersebut hukumnya boleh. Kebolehan ini tentu saja bukan didasarkan pada tekstual ayat tersebut, namun didasarkan
pada prinsip-prinsip yang merupakan m aqâsid al-Sy arî` ah, berupa
ccxli kesetaraan, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan rahmat, serta
kemaslahatan. Lebih lanjut, masalah perkawinan bukanlah ibadah m akhdah
, ia lebih tepat digolongkan ke dalam bidang m u` âm alah, hukum perdata ahw âl al-sy akhsiy y ah. Pada bidang hukum perdata ini,
pada dasarnya lebih fleksibel dibanding dengan ketentuan bidang ibadah. Dengan demikian, pada dasarnya PBA ini boleh hukumnya. Meskipun
demikian, hukum itu kemudian, tidak dapat diterapkan begitu saja untuk semua orang. Sebagaimana halnya kaidah bahwa hukum itu dapat
berubah sesuai dengan masa, ruang, person, adat-istiadat, dan motivasi. Hukum bolehnya PBA yang ditarik melalui metode al-Maslahah al-
Maqsûdah ini, juga serupa dengan salah satu pendapat ulama atau pemikir
kontemporer, meskipun dengan metode atau pendekatan yang berbeda. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam berbagai literatur, khususnya
fiqh klasik, pembahasan masalah PBA ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl
al-Kitâb , dan perempuan Muslimah dengan laki-laki Ahl al-Kitâb, serta
perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Musyrikah maupun sebaliknya.
Pertam a, halâl laki-laki Mukmin Muslim mengawini perempuan
Ahl al-Kitâb , dengan syarat-syarat memberikan mahar, sebagai
kewajiban,
455
dan tidak ada maksud untuk berzina secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, maupun dijadikan gundik.
456
Kedua, perempuan Mukmin Muslim haram kawin dengan laki-laki baik Ahl al-
Kitâb .
457
455
Menurut al-Marâghî diikatnya kehalalan menikahi dengan keharusan membayar mahar, adalah sebagai tekanan bahwa mahar itu memang benar-benar wajib, bukan hanya
merupakan syarat kehalalan pernikahan. al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid II, h. 267.
456
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid I, h. 211.
457
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid I, h. 211.
ccxlii Pendapat di atas merupakan pendapat J umhur Ulama, dan al-
a’im m ah al-arba` ah imam empat,
458
yakni Imam Mâlik, Abû Hanîfah, al- Syâfi` î, dan Ahmad bin Hanbal. Pendapat seperti ini dikemukakan juga,
misalnya, oleh al-Marâghî
459
dalam Tafsîr al-Marâghî,
460
Rasyîd Ridâ dalam Tafsîr al-Manâr,
461
Muhammad ` Alî al-Sâb ǔnî dalam Tafsîr Âyât
al-Ahkâm m in al-Qur’ân , para penulis pengarang dalam al-Qur’ân dan
Tafsîrnya ,
462
dan Hamka dalam Tafsîr al-Azhar.
463
Para ulama yang membolehkan perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb masih berbeda pendapat tentang siapa
Ahl al-Kitâb pada ayat tersebut. Sebagian ulama membatasi Ahl al-Kitâb
terbatas pada penganut Yahudi dan Nasrani Kristen di masa Rasul saja, sementara sebagian ulama lainnya, termasuk Muhammad Quraish
Shihab, memaknai Ahl al-Kitâb mencakup semua penganut Yahudi dan Nasrani Kristen, dari keturunan siapa pun, sampai masa kini.
464
Al- Marâghî termasuk ulama yang tidak membatasi Ahl al-Kitâb pada zaman
Rasul saja.
465
458
Muhammad ` Alî al-Sâb ǔnî, Tafsîr Âyat al-Ahkâm m in al-Qur’ân Beirut: Dâr al-
Kutub al-` Ilmiyyah, 1999, J ilid I, h. 20 3.
459
Guru Besar Hukum Islam dan Bahasa Arab pada Fakultas Dâr al-` Ulûm Mesir.
460
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid II, h. 267.
461
al-Sayyid al-Imâm Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm al-Masy h ǔr bi
Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Kutub al-` Ilmiyyah, 1999, J jilid VI, h. 159.
462
Para mufasir Indonesia dalam al-Quran dan Tafsirny a, yang diterbitkan oleh Depag R.I., berpendapat bahwa laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan tersebut dengan
kewajiban memberikan nafkah asalkan tidak ada maksud-maksud lain yang terkandung dalam hati seperti mengambil mereka untuk berzina dan tidak pula untuk dijadikan gundik. Ringkasnya
laki-laki mukmin boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas. Akan tetapi wanita-wanita Islam tidak boleh kawin dengan laki-laki ahli kitab
apalagi dengan laki-laki kafir yang bukan ahli kitab. Alasan mengapa tidak ada maksud-maksud berzina, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi adalah karena, tujuan
perkawinan adalah agar si laki-laki terpelihara dan isterinya juga terpelihara, masing-masing memelihara kesuciannya terhadap yang lain, dan menjadikan perkawinan sebagai benteng yang
dapat mencegahnya dari perbuatan mesum dalam bentuk apapun. J adi, si laki-laki hendaknya jangan berzina secara terang-terangan maupun rahasia, dengan memelihara seorang gundik khusus
untuknya. Demikian pula si wanita. Gani, dkk., al-Quran dan Tafsirnya, h. 379, lihat pula Hamka, Tafsir al-Azhar
, h. 144.
463
Hamka, Tafsir al-Azhar, J akarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983, J uz VI, h. 143.
464
Muhammad Quraish Shihab, W aw asan al-Quran, Bandung: Mizan, 1996, h. 368.
465
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid II, h. 267.
ccxliii Argumentasi yang digunakan oleh jumhur ulama kelompok
pertama antara lain, bahwa QS. al-Baqarah 2 ayat 221 bukanlah sebagai yang menasakh menghapuskan hukum ayat al-Mâ’idah 5 ayat 5 di
atas, karena al-Baqarah merupakan permulaan ayat surat yang turun di Madinah, sedangkan al-Mâ’idah merupakan yang turun kemudian. Dan
kaidah yang berlaku adalah bahwa al-m uta’akhkhir y ansakh al- m utaqaddim lâ al-` aks
bahwa ayat yang turunnya kemudian itu menasakh ayat yang turun sebelumnya, bukan sebaliknya.
466
Menurut Hamka, alasan pelarangan Islam terhadap perempuan mukmin Muslim bersuamikan Ahl al-Kitâb, adalah sebab bagaimanapun
perempuan tidaklah akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah tangganya, apalagi dalam agama-agama lain yang tidak memberikan
jaminan kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan, sebagaimana dipunyai oleh Islam.
467
Menurut Mahmûd Syaltût, dalam kitabnya Min Taw jihât al-Islâm , sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, hikmah dibolehkannya
pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb adalah sebagai salah satu strategi dakwah. Dalam posisi sebagai suami, laki-laki
memiliki hak untuk mendidik keluarga: istri dan anak-anak mereka dengan akhlak Islam. Pernikahan itu diharapkan untuk mengeliminir
kebencian dan dendam orang-orang nonMuslim terhadap Islam, terutama di hati istri. Demikian juga, istri dengan perlakuan suaminya yang baik
terhadapnya diharapkan akan lebih mengenal keindahan dan keutamaan Islam, sehingga dari dampak perlakuan baik itu, ia mendapatkan
ketenangan dan kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna. Akan tetapi, kalau harapan itu tidak dapat diwujudkan sebaiknya
pernikahan tersebut dilarang.
468
466
` Alî al-Sâb ǔnî, Tafsîr Âyât al-Ahkâm , h. 204.
467
Hamka, Tafsir al-Azhar, J uz II, h. 195-196.
468
Mahmûd Syaltût dikutip Syihab, W aw asan al-Quran, h. 198; juga Musdah Mulia, ”Menafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama,” dalam Anshor dan Sinaga ed., Tafsir Ulang
ccxliv Kedua
, perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik; dan perempuan Muslimah dengan laki-laki musyrik.
Menurut Ridâ, yang dilarang dalam surat 2:221 adalah perkawinan laki-laki Muslim dengan perempuan musyrik m usy rikât, dalam arti
perempuan musyrik zaman Nabi. Kata m usy rikât dalam surat 2:221 adalah perempuan musyrik Arab di zaman Nabi.
469
QS. 2: 221 digunakan sebagai dalil PBA, tepatnya antara orang Islam dengan orang
musyrik. Asbâb al-nuzûl ayat ini QS. 2:221, menurut suatu riwayat oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hâtim dan al-Wâhidi yang bersumber dari
Muqâtil, adalah sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Abi Murtsid al- Ghanawî yang meminta idzin kepada Nabi s.a.w. untuk menikah dengan
seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang.
470
Namun menurut al-Suyûti, sebagaimana dikutip oleh ` Alî al-Sâbûnî, riwayat tersebut
bukanlah merupakan sebab turunnya ayat di atas QS. al-Baqarah [2]: 221, tetapi merupakan sebab turunnya ayat al-Nûr 24 ayat 3:
471
Perkaw inan Lintas Agam a , h. 123.
Mengomentari pendapat Syaltût di atas, Quraisy Shihab mengatakan kalau pernikahan perempuan Muslim dengan laki-laki nonMuslim dilarang karena
kekhawatiran akan terpengaruh oleh agama suami, maka demikian pula sebaliknya, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitâb harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan
ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Syihab, W aw asan al-Quran, h. 199.
469
Lihat Ridâ, Tafsîr al-Manâr, J ilid VI, h. 159.
470
Lihat al-Suyûtî, Lubab al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzul, dalam Ahmad al-Sâwî al-Mâlikî, Hâsy iy y at al-` Allâm ah al-Sâw î
` alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992, J uz I, h. 142, juga Saleh, dkk., Asbâb al-Nuzûl: Latar Belakang Historis Turunny a Ay at-ay at al-Quran,
Bandung: Diponegoro, 1990 , h. 73.
471
al-Sâbûnî, Tafsîr Ây at al-Ahkâm , J uz I, h. 220 . Ayat dimaksud adalah:
⌧ ⌧
☺
”Laki-laki y ang berzina tidak m engaw ini m elainkan perem puan y ang berzina, atau perem puan y ang m usy rik; dan perem puan y ang berzina tidak dikaw ini m elainkan oleh laki-laki
y ang berzina atau laki-laki m usy rik, dan y ang dem ikian itu diharam kan atas orang-orang y ang m ukm in.”
Dalam riwayat lain oleh al-Wâhidi dari al-Suddî dari Abî Mâlik yang bersumber dari Ibnu ` Abbâs, dikemukakan bahwa kelanjutan ayat tersebut di atas, dari ”
ﺔ و”… sampai akhir ayat, berkenaan dengan Abdullah bin Rawâhah yang mempunyai seorang hamba sahaya wanita amat
yang hitam. Pada suatu waktu ia marah kepadanya, sampai menamparnya. Ia sesali kejadian itu, lalu menghadap kepada Nabi s.a.w. untuk menceritakan hal itu: ”Saya akan m erdekakan dia dan
m engaw ininya” . Lalu ia laksanakan. Orang-orang pada waktu itu mencela dan mengejeknya atas
ccxlv Dalam masalah ini juga terdapat dua pendapat. Pertam a,
pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan orang Muslim dengan orang musyrik selama belum beriman masuk Islam, baik laki-laki
Muslim dengan wanita musyrik, maupun wanita muslim dengan laki-laki musyrik secara mutlak menurut nass ayat di atas, maupun ijm â` al-
m uslim în adalah haram.
472
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain, al-Marâghî, para penafsir al-Quran dan Tasfirny a, dan Hamka.
Adapun argumentasi kelompok pertama, kelompok yang tidak membolehkan perkawinan orang Islam dengan orang nonMuslim
musyrik, secara mutlak, yakni baik laki-laki Muslim dengan wanita nonMuslim musyrik maupun perempuan Muslimah dengan laki-laki
nonMuslim musyrik, menurut al-Marâghî, misalnya, karena perempuan adalah tempat lelaki meletakkan kepercayaan
ﺮ اﺔ ﻮ ةءﺮ ا ذإ, idz al-
m ar’ah m audi` tsiqat al-rajul .
473
Lelaki mempercayakan dirinya, anak- anaknya dan hartanya kepadanya. Sedangkan kecantikan tidak menjamin
seorang wanita itu bisa diberi kepercayaan. Perempuan musyrik tidak mempunyai agama yang melarangnya berlaku khianat, memerintah-
kannya berlaku kebajikan dan melarangnya berbuat kejelekan. Dan seorang perempuan musyrik, terkadang mengkhianati suaminya serta
merusakkan akidah anak-anaknya.
474
perbuatannya itu. Ayat tersebut 2:221 juga menegaskan bahwa kawin dengan seorang hamba sahaya Muslimah, lebih baik daripada kawin dengan wanita musyrik. al-Sâbûnî, Tafsîr Ây at al-
Ahkâm , J uz 1, h. 73-74.
472
Lihat al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâm , J uz 9, h. 6613-6614.
473
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid I, h. 211.
474
al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, J ilid I, h. 211. Hamka juga memberikan argumentasi tentang pelarangan Islam terhadap perempuan mukmin Muslim kawin dengan laki-laki
musyrik. Menurutnya, perempuan Muslim bersuamikan laki-laki Ahl al-Kitâb, tetap saja ia tidaklah akan melebihi kekuasaan suaminya dalam rumah tangganya, apalagi dalam agama-
agama lain yang tidak memberikan jaminan kebebasan yang luas dalam peraturan agamanya terhadap perempuan, sebagaimana dipunyai oleh Islam. Hamka, Tafsir al-Azhar, J uz II, h. 195-
196. Sedangkan orang musyrik bukanlah tergolong orang yang beragama seperti Ahl al-Kitâb.
Dalam al-Qur’an dan Tafsirny a disebutkan bahwa ketidak halalan perkawinan antara orang Muslim dengan orang musyrik juga sangat terkait dengan persoalan agama. Perkawinan, erat
hubungannya dengan agama. Orang musyrik bukan orang beragama. Mereka menyembah selain Allah. Di dalam soal perkawinan dengan orang musyrik ada batas tembok yang kuat, tetapi dalam
soal pergaulan, bermasyarakat itu bisa saja terjadi. Sebab perkawinan, erat hubungannya dengan
ccxlvi Perkawinan perempuan Muslim dengan Ahl al-Kitâb memang
tidak disebut secara langsung dalam Qur’ân surat al-Mâ’idah 5: 5. Artinya berdasarkan tekstual ayat, laki-laki Muslim boleh kawin dengan
perempuan Ahl al-Kitâb. Karena perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb tidak disebut secara eksplisit dalam ayat ini, tentu
saja dapat dipahami perkawinan ini boleh. Meskipun demikian, dalam praktek, orang-orang tidak menyetujui perkawinan perempuan Muslim
dengan laki-laki Ahl al-Kitâb sejak zaman dahulu. Karena, perempuan dari golongan agama lain, memang akan merasa senang jika tinggal dalam
rumah tangga orang Islam, mengingat kedudukan dan hak yang diberikan oleh Islam kepada kaum wanita; tetapi wanita Islam akan
merasa susah jika tinggal dalam keluarga bukan orang Islam, karena mereka kehilangan hak yang mereka nikmati dalam masyarakat Islam.
475
Berdasarkan atas praktek di atas, ia berkesimpulan perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb tidak diperbolehkan.
Maulana Muhammad Ali termasuk mufasir yang tergolong mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan laki-laki Ahl al-
Kitâb dan musyrik. Menurutnya, terdapat permusuhan antara orang
Muslimin dengan orang musyrik; orang musyrik hendak menghancurkan kaum Muslimin. Hal ini akan menyebabkan timbulnya keadaan baru.
Perkawinan dengan orang yang sedang dalam keadaan perang dengan kaum Muslimin, pasti menyebabkan kesukaran besar dan menimbulkan
banyak keruwetan. Bahkan lanjut Muhammad Ali, ditegaskan bahwa, karena perang, hubungan suami-isteri dengan pihak mereka harus
dihentikan. Oleh sebab itulah, perkawinan mereka dilarang. Dengan demikian konteks dilarangnya perkawinan antara orang Muslim baik laki-
laki maupun perempuan dengan orang musyrik karena situasi tidak
keturunan dan keturunan berhubungan dengan harta pusaka, berhubungan dengan makan dan minum dan ada hubungannya dengan pendidikan dan pembangunan serta masa depan Islam.
475
Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur’an: Arabic Text, English Translation and Com m entary
Qur’an Suci: Teks Arab, Terjem ah dan Tafsir Bahasa Indonesia, penerjemah M. Bachrun, cet. ke-3 J akarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1984, h. 312.
ccxlvii normal, yaitu perang, di mana hubungan Islam dengan orang-orang
musyrik masih bermusuhan.
476
Atas dasar inilah, ketika kondisi zaman berbeda, di mana dalam sebuah negara, hubungan antara orang-orang
Muslim dengan orang-orang musyrik stabil normal, maka perkawinan antara mereka diperbolehkan.
Karena perkawinan dengan orang musyrik dianggap membahayakan seperti keterangan di atas, maka tegas-tegas Allah
melarang perkawinan dengan mereka. Golongan orang musyrik itu akan selalu menjerumuskan umat Islam ke dalam bahaya di dunia, dan
menjerumuskannya ke dalam neraka di akhirat, sedang ajaran-ajaran Allah kepada orang-orang mukmin selalu membawa kepada kebahagiaan
dunia dan masuk surga di akhirat.
477
Kelompok kedua, para intelektual Indonesia, seperti Zainun Kamal dan Siti Musdah Mulia,
478
yang berpendapat bahwa boleh perkawinan Muslim dengan nonMuslim, tidak terbatas bagi laki-laki saja,
melainkan juga bagi perempuan. Dalam hal ini yang dimaksud nonMuslim bukanlah orang musyrik pada zaman Nabi s.a.w. Selain itu,
Nuryamin Aini, termasuk dalam kelompok ini, bahkan menggunakan alasan bahwa adanya kekhawatiran perkawinan antara perempuan
Muslimah dengan laki-laki nonMuslim akan berakibat pada si isteri itu dan masa depan anak-anaknya akan menjadi murtad, tidak relevan lagi.
Argumentasi kelompok ini adalah nass al-Quran surat al-Baqarah ayat 221 di atas, di samping juga surat al-Mumtahanah 60 : 10 dan al-
Mâ’idah 3: 5. Namun, pembacaan kelompok yang berpendapat demikian, berbeda dengan pembacaan kelompok yang pertama. Menurut
kelompok yang memperbolehkan perkawinan tersebut adalah bahwa ayat 221 surat al-Baqarah di atas hanya melarang pernikahan seorang muslim
dengan musyrik, di mana menurut Ridâ, yang dikehendaki dengan
476
Muhammad Ali, The Holy Qur’an, h. 118-119.
477
Hamka, Tafsir al-Azhar, J uz II, h. 396-397.
478
Musdah Mulia, dalam Tafsir Ulang Perkaw inan Lintas Agam a: h. 124.
ccxlviii perempuan-perempuan musyrik dalam ayat 221 di atas adalah terbatas
pada perempuan musyrik Arab --di zaman Nabi.
479
Dan itulah pendapat yang dipilih dan yang diunggulkan oleh Ibnu J arîr al-Tabarî. Bahwa orang
Majusi, Sabi’în, penyembah berhala baik orang Hindia, Cina dan semisalnya adalah sebagaimana al-y âbâniy y în yaitu para pemilik kitab-
kitab yang mencakup tauhîd sampai sekarang ini. Dan yang zâhir dari sejarah dan penjelasan al-Qur’ân adalah bahwa pada semua umat itu ada
seorang rasul yang diutus untuk mereka, dan kitab-kitab mereka adalah kitab-kitab sam âw îyah di mana terjadi penyimpangan terhadapnya
seperti terjadi pada kitab-kitab Yahudi dan Nasrani yang merupakan kitab-kitab paling awal dalam sejarahnya.
480
Lebih lanjut, kata Ridâ, pendapat yang dipilih al-m ukhtar menurut kami adalah bahwa pada asalnya hukum dalam perkawinan itu
adalah boleh al-asl fî al-nikâh al-ibâhah dan karenanya datang nass tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi, dan bahwa firman
Allah setelah menjelaskan perempuan-perempuan yang haram dikawini pada QS. al-Nisâ’ 4: 23-24 dan dihalalkan bagi kam u apa-apa y ang
selain itu QS: 4:24 memberikan pengertian hukum halalnya mengawini
perempuan mereka selain yang disebutkan di ayat tersebut, sehingga tidak ada seorang pun yang boleh mengharamkan kecuali dengan nass
yang menasakh ayat ini atau mentakhsîs keumumannya.
481
Argumentasi lain yang digunakan mereka yang memperkuat alasan bolehnya perkawinan antara laki-laki Muslim dengan perempuan
nonMuslim dan sebaliknya, pada zaman sekarang, adalah bahwa dalam teks ayat itu di samping disebutkan larangan kawin dengan orang musyrik
juga diikuti anjuran kawin dengan budak. Ini menunjukkan bahwa konteks diharamkannya perkawinan itu adalah perkawinan yang
479
Lihat Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân, h. 159.
480
Lihat Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân, h. 159-160 .
481
Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân, h. 160 .
ccxlix dilakukan dengan orang-orang musyrik di zaman Nabi, dan mereka sudah
tidak ada lagi sekarang.
482
Untuk menunjukkan bahwa alasan dilarangnya perempuan Muslim kawin dengan laki-laki nonMuslim adalah terkait dengan masa
depan si pasangan yang Muslim dan anak-anaknya yang dapat menjadi murtad. Padahal kecenderungan agama dari anak pasangan PBA menarik
untuk dijadikan pertimbangan boleh tidaknya PBA ini. Dalam Islam, laki- laki muslim tidak jadi soal menikahi perempuan nonMuslim, tetapi tidak
sebaliknya; perempuan Muslim kawin dengan laki-laki nonMuslim. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nuryamin Aini,
483
didapatkan data bahwa pada tahun 1980 , laki-laki Muslim yang menikah kawin
dengan perempuan nonMuslim, 50 dari anaknya menjadi Muslim. Akan tetapi bila ibunya Muslim dan bapaknya nonMuslim, angka
kecenderungan anak menjadi Muslim justru lebih tinggi: sampai 77. Angka itu naik lagi pada tahun 1990 menjadi 79. J adi bisa dikatakan
bahwa kemampuan perempuan Muslim untuk mengislamkan anaknya ketika menikah dengan laki-laki nonMuslim jauh lebih tinggi
dibandingkan laki-lakinya yang muslim. Dominasi figur ibu tak dapat dipisahkan dari peran nurturancei-nya dan intensitas waktu yang lebih
banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Atas dasar kekhawatiran itulah, larangan perempuan Muslim kawin dengan laki-laki
nonMuslim zaman sekarang menjadi kurang relevan lagi. Dengan demikian, konteks kekhawatiran anak-anak pasangan PBA
akan menjadi nonMuslim, menjadi dugaan semata. Menurut Zainun Kamal, karena dewasa ini, pendidikan anak-anak lebih banyak, kalau
tidak sepenuhnya, diarahkan oleh ibu. Karena itu, masa depan akidah anak-anak cenderung diarahkan oleh sang ibu pula. Di lain segi, tidak ada
482
Pendapat Zainun Kamal dan Musdah Mulia, masing-masing lihat dalam Anshor, Tafsir Ulang Perkaw inan Lintas Agam a
, h. 166, dan 124.
483
Lihat ”Fakta Empiris Nikah Beda Agama”, Wawancara Ulil Abshar-Abdalla Jaringan Islam Liberal, JIL dengan Nuryamin Aini, diakses pada 31 Januari 2008 dari
http: islamlib.com id index. php ?page=articleid=347
ccl jaminan bahwa laki-laki lebih teguh dalam memegang prinsip akidah
agamanya dibandingkan perempuan. Menurutnya, adagium, “perempuan mengikuti agama suaminya,” kini, sudah sulit memperoleh pembenaran.
Bahkan, dalam banyak kasus, justru perempuanlah yang berhasil menarik suaminya, atau calon suaminya, mengikuti agama yang dianutnya.
484
Ringkasnya, penafsiran para ulama cendekiawan terhadap PBA terbagi menjadi tiga: pertam a, semua ulama sepakat, pada prinsipnya
perkawinan antara lali-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb adalah boleh al-ibâhah berdasarkan QS. al-Mâ’idah 5: 5; tetapi jika dapat
menimbulkan mafsadat, seperti si lelaki suami menjadi murtad, atau terabaikannya pendidikan anak-anak mereka menurut ajaran Islam,
perkawinan tersebut menjadi tidak dibolehkan.
485
Kedua, terdapat perbedaan pendapat mengenai perkawinan wanita Muslim dengan laki-
laki Ahl al-Kitâb. Menurut J umhur ulama perkawinan ini hukumnya haram, tetapi menurut sekelompok pemikir Indonesia, perkawinan
tersebut adalah boleh, sebagaimana perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb. Alasannya, bahwa larangan perkawinan dengan Ahl
al-Kitâb konteksnya terkait dengan situasi perang. Ketiga, terdapat
kesepakatan tentang hukum haram secara mutlak perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita musyrikat Arab zaman Nabi, maupun sebaliknya,
yakni wanita Muslim dengan lelaki musyrik Arab zaman Nabi, berdasarkan QS. al-Baqarah 2: 221. Hukum haram itu terkait dengan
konteksnya, bahwa ketika itu umat Islam sedang dalam keadaan perang dengan orang-orang musyrik, di mana hubungan dengan perempuan
mereka dapat menimbulkan bahaya dan kesukaran. Tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang perkawinan antar mereka di zaman
484
Kamal dalam Anshor, Tafsir Ulang Perkaw inan Lintas Agam a, h. 166.
485
Hal itu karena anak yang dilahirkan dari hubungan mereka berstatus Islam, mengikuti ayahnya, dalam hal ini Muslim,-- maka perkawinan itu dilarang, bukan persis sama
dengan pengertian diharamkan, artinya tidak sama persis hukumnya dengan hukum haram, sebab haram dasarnya adalah nass al-Qur’an atau sunnah hadis Nabi s.a.w. Tetapi sama-sama dapat
berimplikasi dosa melakukan perkawinan dalam kasus tersebut.
ccli sekarang. J umhur mufasir tetap mengharamkannya, namun sekelompok
mufasir, seperti Ridâ membolehkannya, berdasarkan penafsiran terhadap makna kata musyrik dalam ayat di atas, yang diartikan terbatas pada
musyrik Arab zaman Nabi saja. Adapun al-Qur’ân surat al-Mumtahanah 60: 10 yang melarang
mengembalikan perempuan yang telah menjadi Mu’min kepada laki-laki suaminya, sangatlah terkait dengan konteks ketika itu. Pada masa itu
umat Islam masih mengadakan perjanjian Hudaibiyyah dengan kafir Quraisy Makkah, yang isinya agar jika orang kafir dalam arti umum, baik
laki-laki maupun perempuan hijrah ke Madinah, tanpa seidzin walinya, agar dikembalikan ke orang kafir di Mekah, namun jika orang Muslim
bergabung dengan orang kafir, tidak dikembalikan. Pada akhirnya perjanjian itu pun dihapus, karena di kemudian hari diingkari oleh kaum
kafir tersebut.
486
Menurut sekelompok orang, bahwa perihal keumuman dalam akad perjanjian itu bukan berasal dari wahyu, namun merupakan
ijtihâd Nabi.
487
J adi jelas konteks larangan mengembalikan perempuan kafir yang telah masuk Islam adalah konteks hubungan kedua pihak
kaum Muslim dan kafir yang masih belum stabil. Di antara pendekatan tafsir yang digunakan di atas, terdapat
kesimpulan hukum yang membolehkan PBA. Kesimpulan ini sama dan sekaligus mendukung terhadap kesimpulan yang diperoleh dengan
menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Dengan metode al- Maslahah al-Maqsûdah
, berdasarkan prinsip-prinsip, seperti, kebebasan beragama, kesetaraan, kerahmatan, dan kemaslahatan, yang merupakan
m aqâsid al-Sy arî` ah dan HAM, PBA secara mutlak boleh atau halal
hukumnya. Dalam hal ini, ayat yang terkait dengan PBA ditempatkan sebagai tekstur terbuka yang menerima interpretasi, konsekuensinya
486
al-Sâyis, Tafsîr Ây ât al-Ahkâm , J uz IV, h. 334, Yohanan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islâm : Interfaith Relations in the Muslim Tradition
New York: Cambridge University Press, 20 0 3, h. 175-176.
487
al-Sâyis, Tafsîr Ây ât al-Ahkâm , J uz IV, h. 335.
cclii tekstual ayat tersebut tidaklah qat` î. Interpretasi yang dimaksud di sini
menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah yang berlandaskan prinsip-prinsip di atas, di samping didukung dengan data fakta empiris.
Meskipun kesimpulan hukum sama, metode atau pendekatan yang digunakan jelas berbeda. Pendekatan tafsir yang digunakan dengan cara
mengkaji ulang terhadap ayat yang mengharamkan perkawinan antara wanita Muslim dengan laki-laki Ahl al-Kitâb dan perkawinan orang
Muslim dengan orang musyrik zaman sekarang, baik laki-laki Muslim dengan wanita musyrik maupun perempuan Muslim dengan laki-laki
musyrik, berpijak pada konteks pengharaman PBA tersebut. Konteks diharamkannya itu terkait dengan keadaan perang, di mana hubungan
suami istri antara mereka dilarang. Untuk konteks sekarang dalam rangka menjalankan kehidupan sosial yang harmonis, PBA ini menjadi
signifikan. Di samping itu, musyrik zaman sekarang juga mempunyai kitab-kitab suci yang mengajarkan kedamaian, dan kebaikan.
b. W aris Be da Agam a
al-Qur’ân telah memberikan ketentuan tentang warisan secara umum, namun tidak memberikan ketentuan mengenai waris beda agama
selanjutnya disingkat WBA. Dalam ayat-ayat waris,
488
al-Qur’ân tidak membedakan antara yang Muslim dan non Muslim, yang merdeka
maupun budak, yang membunuh dengan sengaja maupun yang tidak membunuh. Penjelasan dan perincian tentang warisan di atas ada dalam
Sunnah, karena Sunnah berfungsi sebagai bay ân terhadap al-Qur’ân. Penjelasan mengenai WBA ini ada dalam hadis-hadis Nabi, antara lain
hadis yang diriwayatkan oleh Usâmah bin Zaid ra. berikut:
488
Ayat dimaksud adalah Surat al-Nisâ’ 4 ayat 8, 11, 12, dan 13.
ccliii
لﺎ و ﷲا ﻰ
ا نأ :
ﺮ ﺎﻜ ا ا ثﺮ
ﺮ ﺎﻜ ا ثﺮ و ا
. .
489
”Seorang Muslim tidak m ew arisi seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak m ew arisi seorang Muslim ”.
Muttafaq ` Alaih
Hadis ini ditakhrîjkan oleh para ahli hadis, al-Bukhârî, Muslim, al- Tirmîdzî, Abû Dâwud, Ibn Mâjah, Ahmad bin Hanbal, dan al-Dârimî,
dalam kitabnya masing-masing.
490
Hadis ini secara jelas berkualitas sahîh, karena diriwayatkan oleh al-Syaikhâni, dan termasuk hadis m uttafaq ` alaih disepakati oleh
keduanya, yakni hadis yang ditakhrîjkan oleh keduanya secara bersama- sama dari jalan satu sahabat,
491
yaitu Usâmah bin Zaid. Berdasarkan hadis ini, seorang muslim tidak dapat mewarisi kepada seorang kafir, dan
begitu pula sebaliknya, seorang kafir tidak bisa mewarisi kepada seorang Muslim. J adi haram saling waris mewarisi di antara keduanya. Ini adalah
pendapat J umhûr. Pendapat jumhur ini, selain didasarkan kepada hadis tersebut,
492
sebagaimana diakui Ibnu Rusyd, juga didasarkan kepada ayat yang bersifat umum, yaitu QS. al-Nisâ 4: 141.
493
489
Hadis ini ditakhrîjkan oleh al-Bukhârî, dalam
ﺮ ﺎﻜ ا و ﺮ ﺎﻜ ا ا ثﺮ بﺎ
اذإو ا
ثاﺮ ثاﺮ ا نأ أ, yang redaksi lengkapnya:
ﺪ ز ﺔ ﺎ أ نﺎ وﺮ بﺎﻬ ﺮ ﺎ ﻮ أ ﺎ ﺪ
ا ثﺮ لﺎ و ﷲا ﻰ ا نأ ﺎ ﻬ ﷲا
ر ا ﺮ ﺎﻜ ا و ﺮ ﺎﻜ ا
.
Dalam redaksi lainnya, hadis No. 40 32, al-Bukhârî menggunakan redaksi ﺆ ا bukan
ا
sebagai berikut:
ﺆ ا ﺮ ﺎﻜ ا ثﺮ و ﺮ ﺎﻜ ا ﺆ ا ثﺮ لﺎ ....
...
490
Hadis ini ditakhrîjkan oleh al-Bukhârî dalam Kitâb al-Hajj no. 1485, dan al-Farâid, hadis No. 6267, Muslim dalam al-Farâid, hadis No. 30 27, al-Tirmîzî: al-Farâid no. 20 33, Abû
Dâwud: al-Farâid no. 2521, Ibn Mâjah: al-Farâid, No. 2719 dan 2720 , Ahmad ibn Hanbal J uz 5 h. 20 0 , 20 1, 20 2, 20 8, dan 20 9, Mâlik: al-Farâid no. 959, dan al-Dârimî: al-Farâid no. 2870 , 2872,
dan 2873. Lihat CD Room, al-Bay ân, hadis No. 943.
491
Tentang pengertian hadis m uttafaq ` alaih di atas misalnya dikemukakan oleh Imâm al-Kahlânî 10 59-1182. Lihat Muhammad bin Ismâ` il al-Kahlânî al-San` ânî al-Ma` rûf bi al-Amîr,
Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm m in Adillat al-Ahkâm T.Tp.: Dâr al-Fikr, t.t., juz I, h. 13.
492
Selain hadis di atas, juga hadis riwayat ` Abd Allâh bin ` Umar r.a.:
ccliv Dengan demikian, menurut J umhûr, hadis-hadis tersebut menjadi
m ukhasssis al-Qur’ân, yang bersifat umum.
494
Berdasarkan hadis-hadis dan ayat di atas, menurut J umhur WBA hukumnya haram. Tetapi ada
pendapat lainnya, yaitu orang Muslim dapat mewarisi dari orang kafir, namun tidak sebaliknya. Versi ini diriwayatkan dari Mu` âdz,
Mu` âwiyyah, Masrûq, Sa` îd bin al-Musayyab, Ibrâhîm al-Nakha` î, dan Ishâq. Pendapat ini dipegangi oleh al-Imâmiyyah dan al-Nâsir. Dasar
yang dijadikan pijakan adalah hadis Nabi riwayat Mu` âdz, ia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
495
نأ و ﺪ ﺰ م
ا
”Islam itu bertam bah dan tidak berkurang
, m aka ia orang Islam m ew arisi orang non-Islam ”
HR. Ahmad.
ﱢ ﱠ ا ْ ﱠ و ْ ﱠ ا ﻰﱠ
لﺎ ا هأ ثﺮ ﺎ
.
”Dari Nabi s.a.w . beliau bersada: ”Tidaklah saling m ew arisi pem eluk dua agam a y ang berbeda”
. HR. Ahmad, Abû Dâwûd, Ibn Mâjah, al-Tirmîdzî, al-Nasâ’î, dan al-Hâkim. Dua agama yang dimaksud di atas menurut J umhûr adalah agama kafir dan Islâm,
sehingga ketentuan hadis tersebut sama dengan hadis riwayat Usâmah di atas. Hadis tersebut mempunyai dua isnâd: pertam a, sahîh ditakhrîj oleh al-Tirmîdzî dari J âbir, dan al-Nasâ’î dan al-
Hâkim dari Usâmah. Kedua, hasan, ditakhrîj oleh Ahmad, Abû Dâwûd, dan Ibn Mâjah, dari Ibn ` Amr. Lihat dalam al-Kahlânî, Subul al-Salâm , J uz 3, h. 99.
493
Ayat dimaksud adalah: ....
⌧ ”…Dan Allah sekali-kali tidak akan m em beri jalan kepada orang-orang kafir untuk
m em usnahkan orang-orang y ang berim an.”
494
Lihat al-Kahlânî, Subul al-Salâm , J uz 3, h. 99.
495
Ditakhrîj oleh Ahmad dalam Musnad Ahm ad, hadis No. 220 58, J ilid V, h. 20 3; hadis No. 22110 , J uz V, h. 236. Abû Dâwûd, hadis No. 2912. Lihat Muhammad ` Alî al-Sâyis, Tafsîr Ây ât
al-Ahkâm , editor ` Abd al-Hamîd Hindâwî, Kairo: Mu’assasat al-Mukhtâr, 20 0 1, J ilid I, h. 234.
Berikut redaksi lengkapnya riwayat Ahmad, hadis No. 220 58:
ﻰ ةﺪ ﺮ ﷲا ﺪ ﻜ أ وﺮ ﺔ ﺎ ﺮ ﺪ ﺎ أ ﺪ ﷲا ﺪ ﺎ ﺪ
ﻰ ا ذﺎ لﺎ ﺎ ﺎ أ كﺮ و تﺎ ﺮ ز إ اﻮ رﺎ اﺮهﺎ ذﺎ نﺎآ لﺎ ﺪ ا دﻮ ا أ ﺮ
و ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر
ﺪ ﺰ م ا نا لﻮ
رﻮ و
.
Menurut al-Kahlânî hadis ini, yang menjadi landasan pendapat yang kedua di atas, didukung oleh hadis yang ditakhrîjkan oleh Musaddad: ”Bahw a ada dua orang bersaudara
seorang Muslim dan Yahûdi y ang m engadukan perkarany a kepada Mu` âdz y ang ay ah keduany a seorang Yahûdî m eninggal dunia
. Anakny a y ang Yahûdî itu m em peroleh w arisan- ny a, saudarany a y ang Muslim m enentangny a. Kem udian Mu` âdz m em buat keputusan
m em berikan w arisan itu kepada seorang Muslim tersebut”. Ibn Abî Syaibah dari jalan ` Abd
Allâh bin Maghfal mengeluarkan hadis, ia berkata: ”Say a tidak m elihat keputusan y ang paling baik dibandingkan keputusan Mu` âw iy y ah, kam i m ew arisi dari Ahl al-Kitâb, nam un m ereka
tidak m ew arisi kam i, seperti haly a bagi kita halal nikah dengan m ereka, nam un m ereka tidak halal nikah dari perem puan kita”
. Lihat al-San` ânî, Subul al-Salâm , J uz III, h. 99.
cclv Menurut al-Kahlânî, hadis ini diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan
disahihkan oleh al-Hâkim. Akan tetapi, menurut Muhammad ` Alî al- Sâyis, hadis ini da` îf diriwayatkan oleh Ahmad dan Abû Dâwud. Lanjut
al-Sâyis, hadis ini pun bukan merupakan nass adanya orang Muslim mewarisi dari orang kafir nonMuslim, sebagaimana halnya orang kafir
tidak dapat mewarisi dari Muslim ia pun tidak bisa menghalangi orang Muslim mendapatkan warisan. Namun menurut Ibn Mas` ûd, orang kafir
itu dapat menghalangi orang Muslim mendapatkan warisan. Menurut al- Sâyis
496
perkataan Ibn Mas` ûd ini bukanlah dalil yang jelas; karena Sy arî` ah
menjadikan orang kafir dalam bidang waris sebagaimana hukum sesuatu yang tidak ada, demikian halnya dalam bab penghalang
warisan, karena hal ini termasuk dalam salah satu hukum warisan, dan demikian pula orang kafir itu tidak termasuk dalam ayat ”Allah berw asiat
pada anak-anak kalian”,
497
juga ia tidak masuk dalam ayat ”jika ia m em iliki seorang anak”
.
498
J umhûr ulama menilai bahwa hadis yang m uttafaq ` alaih di atas merupakan nass tentang larangan halangan pewarisan tersebut, dan
hadis Mu` âdz itu bukan merupakan petunjuk pada pengkhususan warisan, namun ia hanya memuat ikhbâr informasi bahwa agama Islam
melebihi semua agama selainnya, ia bertambah tinggi dan tidak berkurang.
499
Adapun hikmah di balik larangan saling mewarisi antara orang Muslim dan nonMuslim, menurut ` Alî Ahmad al-J urjâwî,
50 0
karena orang kafir itu keluar dari agama dan persaudaraan Islam ikhw ah al-
Islâm iy y ah yang merupakan ikatan yang paling kokoh antara sesama
Muslim. J adi landasan penghalang waris karena prinsip persamaan agama dan persaudaraan seislam. Padahal, di lain pihak menurutnya,
496
Alî al-Sâyis, Tafsîr Ây ât al-Ahkâm , J ilid I, h. 234.
497
QS. al-Nisâ’ 4: 11.
498
QS. al-Nisâ’ 4: 12.
499
Lihat al-San` ânî, Subul al-Salâm , J uz 3, h. 99.
500
Al-J urjâwî, Hikm at al-Tasy rî` , h. 269.
cclvi syariat waris itu tujuannya adalah untuk saling mengasihi ta’âluf, tolong
menolong ta` âw un, dan kemanfaatan bagi para kerabat isâl al- m anfa` ah ilâ al-aqârib
.
50 1
J ustru dengan adanya saling mewarisi tersebut, tujuan saling mengasihi, tolong menolong, dan memberikan
kemanfaan itu menjadi terwujud. Dalam hal ini, tidak dibedakan antara yang Muslim dan yang nonMuslim.
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari dalil yang dijadikan landasan hukum, pendapat J umhurlah yang râjih. Dengan demikian,
berdasarkan nass Sunnah tersebut, hukum WBA, yakni antara orang Muslim dengan non Muslim, adalah haram.
Pemandangan ini menjelaskan, bahwa para ulama terdahulu masih mencoba untuk mencari ”jalan alternatif” dalam kaitannya dengan
agama lain. Hal ini tampak dalam masalah WBA tersebut. Dalam kasus ini, terdapat perbedaan cara pandang terhadap agama lain. Akan tetapi,
yang tersosialisasikan kadangkala hanya pandangan mayoritas al- jam âhir
, sedangkan pandangan ulama minoritas yang membela hak-hak nonMuslim cenderung ”dilupakan” atau dihilangkan begitu saja.
Pandangan kelompok kedua yang memberikan ruang WBA merupakan wilayah ijtihadi yang perlu diapresiasi, karena mau mengakomodasi
nonMuslim.
50 2
Meskipun demikian, dalam pandangan kelompok kedua itu pun, tetap saja berimplikasi diskriminasi atau marjinalisasi terhadap
nonMuslim. Diskriminasi atau marjinalisasi ini tampak jelas dalam kasus orang Muslim dapat mewarisi orang nonMuslim, namun tidak sebaliknya.
Terhadap ayat, yakni yaitu QS. al-Nisâ 4: 141, yang dijadikan dalil pengharaman WBA di atas, tidaklah tepat, karena ayat tersebut bersifat
umum. J ustru hadis yang dijadikan dalil oleh J umhur itulah yang bersifat khusus, mentakhsis ayat tersebut. Dengan demikian ayat tersebut tidak
serta merta dapat dijadikan landasan untuk melarang WBA. Sedangkan
501
Al-J urjâwî, Hikm at al-Tasy rî` , h. 269.
502
Sirri, ed., Fiqh Lintas Agam a, h. h. 166.
cclvii hadis di atas masih perlu dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’ân yang
bersifat substantif, mengenai akomodasi terhadap agama-agama samawi, selain Islam Kristen, Yahudi, dan Sabi’in dan mereka yang beramal
saleh. Dalam ayat ini mereka pun dijanjikan akan mendapatkan surga di hari akhirat kelak.
50 3
Oleh karena itulah, dalam meyoroti problematika kawin beda agama ini, metode al-Maslahah menjadi penting dan relevan
diaplikasikan. Metode ini, sebagaimana diuraikan di muka, menggunakan paradigma m aqâsid al-Sy arî` ah yang telah dikembangkan, dan
menggunakan acuan HAM. Telah jelas bahwa dalam Islam ada prinsip- prinsip mendasar m aqâsid al-Sy arî` ah, yaitu prinsip kesetaraan,
prinsip kebebasan memeluk agama, persaudaraan, dan keadilan, di samping prinsip kemaslahatan. Prinsip-prinsip ini selaras dengan HAM.
Prinsip kesetaraan al-m usâw ah menegaskan bahwa pada hakikatnya manusia itu kedudukannya adalah setara. Tidak ada
perbedaan yang mendasar antara manusia baik yang berbeda jenis kulitnya, rasnya, maupun agamanya. Sebenarnya yang menjadi ukuran
kualitas manusia adalah kualitas ketakwaan, dan kebaikannya.
50 4
Ketakwaan ini lebih terkait dengan hubungan vertikal. Sedangkan kebaikan lebih terkait dengan hubungan horisontal. Baik Muslim maupun
nonMuslim bisa meraih kualitas kebaitan dalam level horisontal ini.
503
Ayat dimaksud, misalnya, QS. al-Baqarah 2: 62, sebagai berikut: ☺
☯ ”Sesungguhny a orang-orang m ukm in, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Sabi’în, siapa saja diantara m ereka y ang benar-benar berim an kepada Allah, hari kem udian dan beram al saleh, m ereka akan m enerim a pahala dari Tuhan m ereka, tidak ada
kekhaw atiran kepada m ereka, dan tidak pula m ereka bersedih hati”. Sabi’în
ialah orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi zaman dahulu atau orang- orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. Amal saleh ialah perbuatan yang baik yang
diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak.
504
Hal ini berdasarkan QS. al-Hujurât 49: 13 yang artinya: ”…Sesungguhny a orang y ang paling m ulia diantara kam u disisi Allah ialah orang y ang paling taqw a diantara kam u…”.
cclviii Prinsip kebebasan beragama al-hurriy ah, freedom of faith mengakui
eksistensi masing-masing manusia, tidak memandang nonMuslim sebagai golongan nomor dua yang akibatnya didiskriminasikan. Kualitas
kemulian seseorang tidak hanya diukur berdasarkan agama, yang lebih tepatnya hubungan vertikal habl m in Allâh, namun berdasarkan
hubungan horizontal yang baik habl m in al-nâs. Adapun Prinsip persaudaraan al-ukhuw w ah sebenarnya tidaklah terbatas pada
persaudaraan seagama, lebih sempit lagi seIslam, namun juga persaudaraan kemanusiaan al-ikhw ah al-insâniy y ah.
Demikian juga, terasa tidaklah adil jika sama-sama anak, misalnya, hanya karena ada yang berbeda agama dengan orang tua yang meninggal
pewaris, maka ia tidak memperoleh warisan. Demikian juga, terdapat kemaslahatan dari adanya saling waris mewarisi antara agama ini, yaitu
bisa menimbulkan hubungan yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda. Kemaslahatan inipun jelas ada jika harta waris itu menjadi hak
tanpa memandang perbedaan agama. Bagaimana jika keadaannya, salah satu dari dua orang anak yang orang tuanya sebagai pewaris seorang
Muslim, sedangkan anak yang kebetulan nonMuslim dalam keadaan miskin dan sangat membutuhkan, sedangkan saudaranya seorang yang
berkecukupan bahkan kaya raya. Dalam kasus inilah, jelas tidak ada rasa keadilan, dan kemaslahatan tidak didapatkan anak yang miskin tersebut
jika ia tidak mendapatkan hak warisan, bukan karena adanya penghalang lain, semisal pembunuhan yang dilakukannya terhadap pewaris yang
meninggal dunia tersebut.
50 5
505
Di samping model pembagian warisan di atas, memang masih ada cara lain agar ahli waris meskipun berbeda agama dapat saling mewarisi. Cara lain dimaksud adalah melalui w asiyyah
w ajîbah . W asiyyah w ajîbah adalah diberikan kepada seseorang yang tidak termasuk dalam dzaw î
al-furûd ahli waris yang mendapatkan bagian warisan berdasarkan ketentuan nass, seperti anak
angkat, dan cucu yang ayahnya sudah meninggal terlebih dahulu ahli waris pengganti. W asiyyah w ajîbah
ini dapat dilakukan oleh hakim atas dasar kemaslahatan, karena ahli waris nonMuslim itu sangat membutuhkannya, sedangkan pewaris ketika masih hidupnya tidak pernah dirugikan oleh
ahli waris yang nonMuslim itu. Pemberian porsi ahli waris nonMuslim atas dasar w asiyyah w ajîbah tersebut kadar bagiannya dari harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris adalah sama dengan
bagian ahli waris Muslim yang lainnya. Cara seperti ini misalnya, telah ditempuh oleh MA dalam
cclix Dalam konteks HAM, larangan saling mewarisi antara agama di
atas bertentangan dengan HAM. Sebab hak kesetaraan, hak keadilan, hak kebebasan beragama adalah HAM yang harus direalisasikan.
50 6
Dengan demikian, hadis tentang larangan WBA tersebut tidak sejalan dengan m aqâsid al-Sy arî` ah dan HAM. Oleh karena itu, agar
hadis tersebut sejalan dengan m aqâsid al-Sy arî` ah dan HAM, maka ia harus ditempatkan sebagai tekstur terbuka, menerima interpretasi baru:
dimaknai secara temporer terbatas, yakni ia berlaku pada waktu itu, ketika hubungan Muslim dan nonMuslim masih belum normal.
Maksudnya, hadis tentang larangan WBA bukan dibuang, namun ditempatkan dalam kerangka konteks historis hubungan orang Muslim
dengan nonMuslim zaman Nabi, yang berada dalam hubungan yang tidak harmonis. Di samping itu, kedudukan orang nonMuslim pada masa awal
Islam, masih subordinat dari orang Muslim. Berbeda dengan konteks saat ini, di mana orang Muslim maupun nonMuslim sama-sama sebagai warga
negara yang mempunyai kedudukan dan hak-hak HAM yang sama. Selain itu, hadis tersebut tidak dapat digunakan untuk mentakhsîs
keumuman al-Qur’an, terlebih lagi prinsip-prinsip yang ditarik dari al- Qur’ân itu sendiri, yakni prinsip kesetaraan, kebebasan beragama,
persaudaraan, dan keadilan. Dalam persoalan inilah, metode al-Maslahah al-Maqsûdah
menekankan pada prinsip kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan ini. Dari perspektif ini, maka terdapat maslahat dari waris tersebut.
Sebaliknya konsep m aslahah konvensional memandang maslahat
Putusan Kasasinya, Nomor 51.K AG 1999, terhadap kasus WBA tersebut. Landasan w asiyyah w ajîbah
itu adalah kemaslahatan. Akan tetapi model w asiyyah w ajîbah ini berbeda dengan model pembagian waris tanpa ada batasan agama, karena pada w asiyyah w ajîbah porsi warisan hanya
dibatasi sepertiga dari harta warisan saja. Sementara dalam pembagian waris tanpa memandang perbedaan agama terdapat kemungkinan porsi waris lebih besar dari model w asiyyah w ajîbah
sepertiga harta tersebut. Tentang wasiyyah w ajîbah dapat dilihat dalam Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihâd: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontem porerdi Indonesia
, ed. Abdul Halim J akarta: Ciputat Press, 2002, h. 88-89, 132-133, dan Abdul Manan, Reform asi Hukum
Islam di Indonesia J akarta: Rajawali Press, 20 0 6, h. 316-322.
506
Lihat Pasal-pasal DUHAM, dalam lampiran.
cclx tersebut sebagai m aslahah m ulghah yang harus dihindarkan, karena
jelas-jelas ada nass yang menjelaskan larangan saling mewarisi ini. J adi maslahat yang muncul dari saling mewarisi antar beda agama
ini adalah dapat meningkatkan hubungan yang harmonis, persaudaraan dan perdamaian antara mereka. J ustru dengan adanya saling mewarisi ini
hubungan-hubungan yang harmonis di antara mereka dapat lebih terwujud. Dengan demikian, hukum WBA secara mutlak, baik Muslim
terhadap nonMuslim, dan sebaliknya, maupun sesama nonMuslim, adalah boleh m ubâh halâl.
C. Bidan g H ukum Pidan a