Ko n s e p a l-M a s la h a h Ko n te m po re r

cxiii i p u m u m M a q â s i d a l - S y a r î ` a h Tabel 1: Perbandingan Model al-Maslahah Klasik

b. Ko n s e p a l-M a s la h a h Ko n te m po re r

cxiv Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya pada awal abad ke- 20 ada model rumusan m aslahah, dibuat para ahli hukum Islam setelah gerakan reformis awal yang diwakili oleh Rasyîd Ridâ dan ulama semisalnya, berbeda dari model m aslahah al-Tûfî, di mana penafsiran m aslahahnya masih diragukan sebagai tipe doktrin utilitarianisme. Para kritikus menuduh al-Tûfî perihal penggunaan nalar untuk membatasi perintah-perintah Tuhan dan dalam merubah keputusan hukum wahyu. 211 Ada beberapa faktor yang mendorong para yuris itu mereformulasi konsep al-m aslahah al-Tûfî dan memilih model lainnya yang dibuat para yuris pada periode Pertengahan. Pertam a, adanya keraguan menggolongkan model al-m aslahah al-Tûfî sebagai doktrin utilitarian. Kedua, adanya marjinalisasi hukum Islam yang terus berlangsung di negeri-negeri Timur Tengah dan Afrika Utara. Sedangkan pada permulaan abad ke14 20 hukum Islam dan pendukung-pendukungnya masih mempertimbangkan adanya pengaruh kekuasaan, yang pengaruh ini kemudian semakin mengendur seiring kehancuran kekuasaan Utsmânî setelah Perang Dunia I dan pembentukan serta kebangkitan negara-negara bangsa nation states . Kebanyakan negeri-negeri itu membangun prinsip- prinsip hukumnya yang secara luas didasarkan pada hukum Barat. Sedangkan hukum keluarga dan hukum status personal fam ily and personal status law , ahw âl al-sy akhsiy yah, yang secara besar termuat dalam hukum Islam, dikodifikasi. Pertumbuhan dalam legislasi sekular, seringkali dilakukan oleh pemerintah yang mengidentifikasi dengan ideologi-ideologi yang bukan agama, mempersempit kepentingan sosial hukum Islam. Mesir dan Tunisia, misalnya, menghapuskan peradilan Syarî` ahnya pada tahun 1370 -an 211 Bandingkan Badrân Abû al-` Ainain Badrân, Usûl al-Fiqh al-Islâm î Alexandria: Mu’assasat Syabâb al-J âmi` ah, 1984, h. 213; ` Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî` al-Islâm î Fî Ma Lâ Nassa Fîh Kuwait: Dâr al-Qalam, 1414 1993, h. 101; dan Opwis, ”Maslahah”, h. 201. cxv 1950 -an. Tuntutan agar hukum Islam dapat berfungsi dalam sistem negara modern dan agar tidak tereduksi kepada persoalan-persoalan status personal saja merupakan isu penting bagi para ahli hukum Islam sepanjang abad ke-14 20 . 212 Berdasarkan penelitian Opwis, 213 ada dua trend atau kecenderungan umum yang dapat dibedakan di antara para ahli hukum Islam yang menggunakan konsep m aslahah setelah para reformis awal. Para yuris yang termasuk dalam keagamaan tradisional yang mapan, yaitu m uftî atau para guru besar hukum Islam, yang berpendidikan dan atau berperan di lembaga seperti al-Azhar, lebih bersandar kepada model m aslahah al-Ghazâlî al-Râzî dan al-Qarâfî. Sedangkan para juris yang memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah bergaya Barat dan atau yang secara dekat terlibat dengan sektor negara non-keagamaan, seperti pengacara atau politisi, lebih tertarik kepada teori hukum al-Syâtibî. Di antara pemikir kontemporer yang membahas tentang m aslahah adalah al-Khâllâf, al-Bûtî, Taha, dan Mas’udi. Di sini pembahasan konsep m aslahah kontemporer dibatasi pada keempat pemikir tersebut. Pembatasan ini didasarkan beberapa alasan, di antaranya, keempatnya mempunyai pemikiran tentang m aslahah yang berbeda. Keempatnya mempunyai karya yang terkait langsung dengan pembahasan m aslahah. Bahkan di antara karya dan pemikiran mereka menjadi kontroversi. 214 Di samping itu, keempatnya mempunyai pengaruh yang kuat di tempatnya masing-masing, sehingga dapat dianggap mewakili tempatnya tersebut. 215 212 Opwis, ”Maslahah”, h. 20 1-20 2. 213 Opwis, ”Maslahah”, h. 20 2. 214 Misalnya karya Mas’udi, Agam a Keadilan, pernah menjadi kontroversi karena di dalamnya dikemukakan pendapatnya bahwa zakat dan pajak adalah sama. 215 Khallâf merefresentasikan Mesir, al-Bûtî merefresentasikan Tunisia, Taha merefresentasikan Sudan, dan Mas’udi merefresentasikan Indonesia, sebagai negara demokrasi yang berpenduduk mayoritas Muslim, bahkan terbesar di dunia. cxvi Berikut diuraikan sekilas tentang model m aslahah para pemikir kontemporer dimaksud, secara berurutan, mulai dari al- Khallâf, al-Bûtî, Taha, hingga Mas’udi. 1 Mo del M a sla ha h Khallâf Konsep m aslahah yang digunakan Khallâf adalah model m aslahah al-Ghazâlî al-Râzî. 216 Tujuan eksplisitnya adalah untuk menolak klaim orientalis bahwa sumber-sumber Syarî` ah tidak fleksibel dan tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan masyarakat. Dia ingin menunjukkan bahwa sumber-sumber legislasi Islam tidaklah terbatas pada teks-teks atau konteks historis tertentu namun lebih dari itu, termasuk praktek ijtihâd, mewariskan kemajuan legislatif dan pembuatan hukum yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan negara-negara Muslim. Di sinilah peran ijtihâd. 217 Meskipun Khallâf mendiskusikan m aslahah m ursalah lagi di bawah kerangka istislâh, dia sama sekali tidak menambahkan dimensi ataupun membuat teori atau pendekatan ijtihâd yang baru. Seperti halnya yang dia sebutkan bahwa m aslahah m ursalah itu berada dalam kerangka ini hanya untuk membedakannya dari metode istihsân. Istislâh, menurut Khallâf, berada di dalam kategori analogi legal qiyâs dan ratio legisnya m unâsib m ursalah. 218 Derivasi suatu hukum berdasarkan m aslahah m ursalah merupakan 216 Lihat Opwis, ”Maslahah”, h. 210 . Uraian m aslahahnya dimuat dalam bukunya, Masâdir al-Tasy rî` al-Islâm î fî Mâ lâ Nassa Fîh Sumber-sumber Legislasi Islam dalam Kasus tanpa Nass. 217 ` Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasy rî` al-Islâm î fî Mâ lâ Nassa Fîh, Kairo: Dâr al-Qalam, 1979, h. 156-157, Opwis, ”Maslahah”, h. 210 . Pada masa Khallâf hukum Islam semakin termarjinalkan dalam pengadilan orang-orang Mesir, di mana hukum Islam saat itu memperoleh model pembuatan perundangan-undangan yang diinspirasi oleh hukum Barat. Khallâf, sebagaimana kalangan reformis awal, berusaha mengcounter tantangan yang dihadapi hukum Islam tersebut dengan cara mempromosi-kan prinsip hukum yang dapat diterima oleh beragam kelompok Islam. Baginya konsep m aslahah tersebut merupakan cara untuk mencapai kesatuan -- dan kekuatan-- dalam legislasi Islam. Opwis, ”Maslahah”, h. 20 9-210 . 218 Khallâf, Masâdir al-Tasy rî` , h. 85-88. cxvii metode yang sangat penting bagi persoalan-persoalan yang tidak ada petunjuk nassnya secara jelas. 219 Persoalan pokok istislâh tersebut adalah semua bidang kecuali bidang` ibâdât, hudûd, dan kaffârât, bagian-bagian warisan, dan persoalan-persoalan yang telah diberikan ketentuannya dalam al-Qur’ân, misalnya ` iddah perempuan yang dicerai ` iddat al-m utallaqah atau ` iddah karena kematian suaminya ` iddat al-m utaw affâ ` anhâ zaujuhâ. 220 Dengan demikian, model m aslahah Khallâf semakin meneguhkan model m aslahah para ulama Abad Pertengahan yang lebih membatasi m aslahah pada m aslahah yang m u` tabarah. Akan tetapi, Khallâf hanya sedikit memperluas m aslahah m ursalah, walaupun ia tetap mengabaikan m aslahah m ulghah secara mutlak. 2 Mo del M a sla ha h al-Bûtî Model m aslahah al-Bûtî mendapatkan pengaruh dari model m aslahah al-Ghazâlî al-Râzî. 221 al-Bûtî, dengan mengadopsi definisi m aslahah al-Ghazâlî al-Râzî, menekankan bahwa akal saja tidak mampu menyerap aturan yang telah diberikan dalam Syarî` ah atau mengerti maksud urgensi suatu kemestian darûrât. 222 Demikian juga, al-Bûtî menolak ide bahwa m aslahah dapat dibatasi ditentukan dengan kebiasaan adat masyarakat atau dengan tingkat kebahagiaan personal dari seorang individu atau sebuah 219 Khallâf, Masâdir al-Tasy rî` , h. 85. 220 Khallâf, Masâdir al-Tasy rî` , h. 39. 221 al-Bûtî merekapitulasi kembali sejumlah karya penting tentang konsep m aslahah para ulama dari rumusan-rumusan klasik kepada periode kontemporer. Dia mengkritik penafsiran m aslahah yang liberal, pada saat yang bersamaan ia pun memberikan kriteria detail untuk menentukan apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai m aslahah itu bisa dijadikan sebagai dasar yang valid bagi pembentukan ketentuan hukum. Dia ingin menghidupkan kembali penggunaan m aslahah sebagai sarana untuk membuat atau merubah ketentuan hukum tekstual dan bangunan hukum yang telah dibangun oleh para ulama generasi sebelumnya tanpa memilih pada sumber- sumber hukum seperti al-Qur’ân, Sunnah, dan qiy âs. Muhammad Sa` îd Ramadân al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah Fî al-Sy arî` ah al-Islâm iy y ah , edisi ke-4 Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1982, h. 11-15. 222 al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah, h. 48, 50 , 58-61, 65-66. cxviii kelompok. 223 Maslahah duniawi hanya dapat ditentukan berdasarkan atas sejumlah pernyataan tekstual al-Qur’ân, Sunnah dan analogi yang benar terhadap teks qiyâs sahîh. 224 Lebih lanjut, m aslahah agar absah secara legal harus menyinggung pada perlindungan lima elemen-elemen esensial al-kulliyyah al- kham sah : agama, jiwa kehidupan, akal, keturunan, dan harta. Singkatnya m aslahah, bukanlah dalil hukum yang mandiri sebagaimana pemikiran al-Tûfî. 225 al-Bûtî menolak formulasi, yang berulangkali digunakan Khallâf, bahwa ”dimanapun seseorang menemukan m aslahah¸ maka di sanalah terdapat Syariat Tuhan.” 226 Di samping fakta bahwa al-Bûtî mengadopsi model m aslahah al-Ghazâlî al-Râzî dan, seperti kita lihat, elemen-elemen pemikiran al-Qarâfî, dia meletakkan elaborasi m aslahahnya dalam bahasa yang digunakan al-Syâtibî. Dia mempertimbangkan realisasi m aslahah orang mukmin menjadi pengertian hukum yang universal; partikular-partikular yang menyinggung pada pengertian universal adalah ketentuan-ketentuan yang jelas yang bergantung pada kriteria yang mengindikasikan m aslahahnya. Ketika memerankan berbagai pertimbangan m aslahah dalam proses penemuan hukum, adalah mungkin bahwa sebuah aturan partikular berlawanan dengan aturan universal untuk mencapai m aslahah orang mukmin. Untuk mencapai keselarasan dan harmonitas di antara ketentuan-ketentuan yang tampak berlawanan itu, al-Bûtî menerapkan dua strategi: pertam a, pengertian m aslahah universal 223 al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah, h. 25-28. 224 al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah, h. 15, 60 . 225 al-Bûtî mengkritik al-Tûfî, lihat al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah, h. 129, 140 , 20 2-215. 226 al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah, h. 147; Khallâf, Masâdir al-Tasy rî` , h. 90 , 10 1, 160 . cxix diikat dibatasi dengan batasan-batasan daw âbit; dan kedua, m aslahah itu dihubungkan dengan dalil-dalil hukum yang jelas. 227 Menurut al-Bûtî, batasan-batasan yang tepat yang membatasi pengertian m aslahah universal, pada satu sisi, adalah m aslahah yang valid secara legal harus mengandung perlindungan al-kulliyyah al-kham sah pada tingkat kemestian darûriy y ât, kebutuhan hâjât, atau tersier tahsîniyy ât; dan pada sisi lainnya, m aslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan al- Qur’ân, Sunnah maupun qiy âs. Misalnya, penghapusan poligami berpijak pada kerangka m aslahah, seperti yang diundang- undangkan di Tunisia, menurut al-Bûtî tidaklah benar bahkan merupakan m aslahah m auhûm ah. Demikian juga, pembagian warisan sama untuk saudara-saudara perempuan dan anak laki-laki bukanlah didasarkan pada m aslahah yang nyata, dan bertentangan dengan ketentuan al-Qur’ân sehingga tidaklah absah. 228 227 al-Bûtî, Daw âbit al-Maslahah, h. 115-116. 228 Dari pandangan al-Bûtî di atas, tampak jelas bahwa ia tetap berpegang pada klasifikasi m aslahah m ulghah. Bahwa apa yang bertentangan dengan teks nass, meskipun terdapat kemaslahatan, seperti kemaslahatan dihapuskannya poligami untuk menghindarkan kemadaratan yang ditimbulkannya, dan keadilan serta kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam pembagian warisan tersebut, haruslah diabaikan m aslahah m ulghah. Menurut penulis, pada dasarnya dalam kasus pertama, yakni poligami, ada kemaslahatan, sehingga poligami boleh dilakukan. Meskipun demikian, dalam kasus tertentu, poligami bisa dibatasi, bukan berarti dihapuskan secara total. Artinya, tidak semua orang diperkenankan poligami. Dalam hal ini, syarat- syarat yang ketat perlu diterapkan, dan negara melalui lembaga pengadilan punya peran memberikan izin ataupun tidak terhadap seorang yang akan berpoligami. Penghapusan total poligami itu berarti meniadakan kemaslahatan yang bisa dicapai dari poligami itu. Sedangkan dalam kasus kedua, jelas keadilan merupakan tujuan Syariat yang mesti diwujudkan. Karena itulah, pembagian waris setara antara anak perempuan dan anak laki-laki selaras dengan tujuan Syariat, berupa keadilan, dan pemenuhan prinsip kesetaraan. Dalam konteks inilah, keadilan berarti fifty -fifty . Sungguhpun demikian, makna keadilan tersebut juga erat kaitannya dengan tanggung jawab yang dipikul oleh masing-masing ahli waris dalam hal ini anak laki-laki dan anak perempuan. Ketika tanggung jawab anak perempuan tersebut lebih besar dibandingkan saudara laki-lakinya, --misalnya ia yang membiayai nafkah orang tua mereka, atau saudara-saudara laki-lakinya yang sama-sama menjadi ahli waris orang tua yang meninggal dunia itu,-- maka sudah sewajarnya anak perempuan tersebut mendapatkan bagian setara dengan bagian saudara laki-lakinya, bahkan bisa jadi lebih banyak dibandingkan bagian saudara laki-lakinya tersebut. Inilah makna keadilan yang kedua, yaitu keadilan sesuai dengan besar kecilnya tanggung jawab yang dipikul. Menurut al-Bûtî satu-satunya metode yang benar untuk membatasi ketentuan asli teks adalah takhsîs spesifikasi. al-Bûtî membahas beragam spesifikasi ini, termasuk kasus di mana ketentuan umum al-Qur’ân dan Sunnah ditakhsîs dengan ketentuan hukum yang ditarik malalui cxx Teori m aslahah al-Bûtî telah menjadi pola tersendiri setelah model m aslahah al-Ghazâlî al-Râzî, meskipun dia lebih keras daripada para pendahulunya dalam menjadikan peran m aslahah dalam memperluas hukum yang hanya dapat dilakukan melalui prosedur qiy âs. Dia menafsirkan kembali m aslahah ghairu m u` tabarah dengan menggunakan prosedur pengecualian penggunaannya dari mengadaptasi hukum yang mapan. Dalam teori hukum al-Bûtî aturan-aturan wahyu lebih sedikit dapat diadaptasi atau diikuti daripada teori hukumnya Khallâf. Dibandingkan dengan para juris lainnya, dia beranjak lebih jauh dalam mempertahankan hukum Islam dalam bagian partikularnya. qiy âs . Misalnya, ayat al-Qur’ân yang melarang merampas atau mengambil harta milik orang lain secara paksa bisa ditakhsîs dengan qiy âs kepada al-Qur’ân yang membolehkan memakan bangkai m a’itah ketika dalam keadaan darurat. Dalam kasus darurat seperti itu boleh mengambil uang yang menjadi hak milik orang lain. Tipe takhsîs yang lainnya adalah ketika pernyataan-pernyataan tekstual ditakhsîs dengan persepsi-persepsi hukum, seperti ”kesukaran itu menarik kepada kemudahan” al-m asy aqqat tajlib al-taisîr. Validitas ketentuan hukum yang spesifik di atas ketentuan cabang-cabang umum menjadi ketentuan universal yang bertujuan pada pencapaian m aslahah bagi orang mukmin. Namun, bagi al-Bûtî, spesifikasi berarti bahwa ketentuan yang spesifik mempunyai dasarnya dalam teks-teks al-Qur’ân dan Sunnah. Maslahah yang tak terbatas tidak dapat menjadi m ukhassîs dan berada di luar ketentuan tekstual atau salah satunya berpijak pada qiy âs. J adi, adaptasi hukum yang mapan dari al-Qur’ân dan Sunnah kepada situasi-situasi baru dibatasi untuk membandingkan menyamakan ketentuan-ketentuan yang didasarkan kepada teks yang berbeda dan menentukan. Strategi al-Butî yang kedua untuk mencapai keserasian antara hukum yang bersifat universal, dalam rangka mencapai m aslahah mukmin, dan ketentuan-ketentuan konkret yang bersifat partikular adalah mengelaborasi kriteria apakah yang menetapkan sebuah m aslahah dalam kasus di mana nass diam, tidak membicarakannya. Dalam kasus seperti ini dia secara dekat mengikuti model m aslahah al-Ghazâli al-Râzî dan menyatukan m aslahah m ursalah dibawah rubrik qiy âs dalam bentuk karaktrek-karakter yang sepadan m unâsib m ulâ’im . Maksud dari skala al-Bûtî tersebut merefleksikan tujuan umumnya untuk menerapkan m aslahah sebagai sebuah dalil independen dalam proses pencarian hukum, secara langsung, tanpa mengalami kesulitan memberlakukan sumber-sumber hukum. Dalam konsep teori hukum al-Bûtî, m aslahah berfungsi sebagai sebuah kriteria untuk memperluas hukum di dalam kerangka qiy âs ketika nass tidak membicarakan hukum itu. Dengan mengadopsi model m aslahah al- Ghazâlî al-Râzî, al-Bûtî mampu memberikan ketentuan hukum yang diletakkan dalam kitab suci. Ini berarti bahwa m aslahah tidak dapat digunakan untuk mengadapsi hukum dengan membentuk ketentuan-ketentuan lain yang telah mapan dalam al-Qur’ân dan Sunnah. Ketentuan teks yang sahîh hanya mungkin tidak diikuti karena sejumlah ketentuan teks yang lain, yakni m aslahah m ursalah , dengan cara-cara mengkhususkan takhsîs atau persepsi-persepsi hukum seperti menghilangkan kesukaran raf` al-haraj, darurat em ergency, atau memberikan kemudahan taisîr . Penggunaan persepsi-persepsi hukumnya menyerupai model m aslahah al-Qarafî, meskipun ada sedikit perbedaan di mana al-Bûtî tidak mengikatkan persepsi-persepsi hukum itu kepada m aslahah namun kepada pernyataan-pernyataan dari al-Qur’ân dan Sunnah. cxxi Contoh-contoh kasus yang dia kemukakan di atas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan masa modern dewasa ini. Meskipun demikian ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan itu mungkin tidak begitu memenuhi keinginan kaum Muslim bagi pendapat-pendapat hukum, yang dalam pemikiran al- Bûtî merupakan tujuan Syâri` yang tidak kekal dalam mewahyukan hukum-Nya. 229 Dengan demikian, model m aslahah al-Bûtî tetap belum beranjak jauh dari model m aslahah konvensional; yakni tetap mengabaikan m aslahah m ulghah secara mutlak. 3 Mo del M a sla ha h Mahm ûd Muham m ad Taha Maslahah dalam pemikiran Taha diletakkan dalam teori naskh evolusi tentang hukum-hukum yang prinsipil dan hukum- hukum yang cabang. Model Maslahah Taha banyak dipengaruhi oleh model Maslahah al-Syâtibî. 230 Maslahah dalam pemikiran Taha diletakkan dalam teori naskhnya tentang hukum-hukum yang prinsipil usûl dan hukum-hukum yang cabang furû` . Taha menekankan bahwa wahyu Makkah yang pertama adalah berwujud prinsip-prinsip usûl al-Qur’ân yang tetap tidak berubah, qat` î, sedangkan wahyu hukum yang termasuk dalam surat-surat Madaniy y ah adalah cabang-cabang turunannya furû` al-Qur’ân , 231 yang sifatnya tidak tetap ghair qat` î. Prinsip-prinsip universal, yang menjadi landasan pemi- kiran Taha di atas, antara lain adalah kebebasan al-hurriy y ah, 229 Opwis, ”Maslahah”, h. 220 . 230 Model m aslahah al-Syâtibî lihat pada bahasan sebelumnya. 231 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 116-119, The Second Message, h. 130-134. cxxii freedom , 232 kesetaraan al-m usâw ah, equality , 233 dan keadilan al-` adâlah, justice . 234 Prinsip-prinsip ini dijadikan bingkai kerangka yang disebutnya dengan istilah pesan kedua Islam al- Risâlah al-Tsâniy y ah m in al-Islâm , the Second Message of Islam , 235 yang bersifat permanen, terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah, yang tepat diterapkan pada abad XX-an ini, menggantikan pesan pertama Islam yang lebih bersifat temporer, seperti ketentuan-ketentuan hukum Islam abad VII hijrah. 236 Taha berpendapat bahwa wahyu Madaniy y ah yang berasal dari hukum-hukum yang prinsipil itu mewakili aturan-aturan yang sesuai bagi masyarakat di mana wahyu al-Qur’ân itu diturunkan. 237 Sebagaimana al-Syâtibî, pemahamannya pada hukum-hukum Islam 232 Berdasarkan prinsip kebebasan, dia menegaskan bahwa perbudakan yang masih terdapat dalam pesan pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam; al-hijâb bukanlah ajaran murni Islam; ia merupakan cabang saja al-far` , yang merupakan ajaran murni al-asl Islam adalah al-sufur, karena sesuai dengan prinsip kebebasan. Demikian itu, karena tujuan Islam adalah ` iffah kesucian yang terletak dalam hati. Menurut Taha, prinsip kebebasan dalam Islam ini adalah mutlak. Kebebasan mutlak ini merupakan hak setiap individu sebagai manusia HAM, tanpa memandang agama ataupun etinisnya. Namun, perlu digaribawahi, bahwa kebebasan mutlak ini merupakan hak yang harus diimbangi dengan kewajiban. Hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban, dan kewajiban tersebut adalah menggunakan kebebasan secara baik. Kebebasan menjadi terbatas hanya ketika kebebasan tidak diimbangi dengan sikap konsisten dengan kewajibannya. Dalam kondisi seperti ini, kebebasan dicabut untuk kemudian dibatasi dengan batas-batas di mana ia tidak sanggup untuk menjalankannya, dan dicabut dengan UU. UU dalam Islam al-qaw ânîn al-dustûriy y ah fî al-Islâm adalah suatu peraturan yang memiliki kemampuan untuk memadukan antara kebutuhan individu hâjat al-fard terhadap kebebasan mutlak individual dengan kebutuhan kelompok hâjat al-jam â` ah terhadap keadilan sosial yang menyeluruh. UU ini tidak mengorbankan individu untuk kepentingan kelompok m aslahah al- jam â` ah , dan tidak pula mengorbankan kelompok untuk kepentingan individu m aslahah al- fard tetapi merupakan UU yang seimbang antara keduanya. J adi, menurut Taha kebebasan akan terwujud ketika UU tersebut diaplikasikan, dengan segala bagian-bagiannya, kepentingan individu dan kepentingan kelompok secara bersama-sama, dalam satu sistem yang sama. Lihat Mahmûd Muhammad Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah m in al-Islâm , edisi ke-5 T.Tp.: TP, t.t., h. 39; Mahmûd Muhammad Taha, The Second Message of Islâm , penerjemah ` Abd Allâh Ahmad al- Na` îm New York: Syracuse University Press, 1996, h. 64-65. 233 Prinsip kesetaraan yang berwujud kesetaraan ekonomi econom ic equality , kesetaraan politik political equality dan kesetaraan sosial social equality , menjadi landasan untuk membentuk masyarakat yang baik ﺎ ا ا, the good society. Lihat Taha, al-Risâlah al- Tsâniyyah , h. 142-143, The Second Message, h. 152-153. 234 Berdasarkan prinsip keadilan, misalnya, poligami yang masih ada dalam pesan atau misi pertama Islam, bukanlah ajaran murni Islam. 235 Lihat dalam Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 134 dst., The Second Message, h. 146-dst. 236 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah, h. 9-10 , The Second Message, h. 40 -41. 237 Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah, h. 134-135 , The Second Message, h. 146-147. cxxiii yang prinsipil di atas bersandar pada penafsiran kembali reinterpretasi terhadap konsep naskh. 238 Menurut Taha, pembatalan ayat-ayat al-Qur’ân tidaklah dimaksudkan permanen, namun lebih karena penerapannya itu dimaksudkan untuk ditunda sampai masyarakat siap memahami dan menerima pesan Islam yang benar. 239 Hukum-hukum yang bersifat historis dari wahyu Madaniyyah, menurutnya, tidak hanya menghilangkan keaslian pengikatannya di bawah situasi yang mengalami perubahan, bahkan harus dirubah ketika penerapan hukum-hukum yang prinsipil itu dapat dicapai. 240 Menurut Taha, masyarakat kontemporer telah mening- katkan perluasan agar ketentuan-ketentuan hukum dalam ayat- ayat Madaniy y ah di atas bisa terjadi. 241 Namun, dalam hal ini, sebagaimana kebanyakan juris Islam, Taha mengecualikan ketentuan-ketentuan seputar ` ibâdât dari adanya perubahan, namun ia berpendapat bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan ibadat mungkin mengalami perubahan. Misalnya, zakât adalah sebuah kewajiban yang tetap tidak berubah, namun ukuran-ukuran zakat harus ditafsirkan dalam kerangka aturan-aturan prinsipil atas pemerataan kesejahteraan. 242 Dalam pandangan al-Na` îm, implikasi utama dari argumen Taha di atas terkait dengan maksud studi pembaruan metodologi pemahaman Islam, di mana hukum publik Syarî` ah selama ini lebih didasarkan pada al-Qur’ân dan Sunnah periode Madinah daripada masa Makkah. Hal ini dilakukan oleh para ahli hukum 238 Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah, h. 110 , The Second Message, h. 126, Opwis, ”Maslahah”, h. 20 7. 239 Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah, h. 10 8-111, The Second Message, h. 124-126. 240 Dikutip dalam Opwis, ”Maslahah”, h. 20 7. 241 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniy y ah, h. 164, The Second Message, h. 167, Opwis, ”Maslahah”, h. 20 7. 242 Lihat Taha, al-Risâlah al-Tsâniyyah, h. 161-166, The Second Message, h. 126, 166-169. cxxiv perintis melalui proses naskh, dengan berpegang pada teks-teks al- Qur’ân dan Sunnah periode Madinah untuk mengganti dan menghapus --demi tujuan hukum positif Syarî` ah-- semua teks periode Makkah yang tidak sesuai dengan diturunkan sebelumnya. 243 Masalahnya apakah naskh itu permanen, yang dengan demikian teks-teks Makkah yang lebih awal tidak dapat dipraktekkan di masa depan. Menurut Taha, ini tidaklah mungkin Sebab jika demikian halnya, maka tidak ada gunanya pewahyuan teks-teks tersebut mubadzir, sia-sia belaka. Ia juga berpendapat bahwa membiarkan naskh dalam arti menghapuskan pesan-pesan teks-teks Makkah menjadi permanen berarti membiarkan umat Islam menolak bagian dari agama mereka yang terbaik. Ia menjelaskan bahwa naskh secara esensial merupakan proses logis dan dibutuhkan dalam penerapan teks-teks yang tepat dan menunda penerapan teks-teks yang lain sampai saat memungkinkan penerapan teks-teks itu tiba. 244 Dalam konteks itulah, m aslahah dipahami sebagai aturan- aturan prinsipil yang tidak mengalami perubahan. Menerapkan hukum dari pesan-pesan Islam yang prinsipil itulah, menurut Taha, harus menerima m aslahah individual dan m aslahah publik. Dia memimpikan agar penggunaan penafsiran hukum Islamnya itu mengantarkan sebuah masyarakat pada kesetaraan, sosialism e, dan dem okrasi, nilai-nilai yang dia terima sebagai pesan Islam yang prinsipil sebagaimana yang diwahyukan dalam surat-surat Makkiyah. 245 Prinsip penafsiran evolusioner Taha tersebut dapat diterapkan terhadap paket-paket hukum yang spesifik yang 243 ` Abd Allâh Ahmad al-Na` îm, Tow ard an Islam ic Reform ation: Civil Liberties, Hum an Rights, and International Law New York: Syracuse University Press, 1996, h. 109. 244 al-Na` îm, Tow ard an Islam ic Reform ation, h. 110 . 245 Lihat Taha, Risâlah al-Tsâniy y ah, h. 134-160 , The Second Message, h, 146-167, Opwis, ”Maslahah”, h. 20 8. cxxv dianggap diskriminasi terhadap perempuan dan nonMuslim. Misalnya, tentang larangan perkawinan antara seorang perempuan Muslim dan laki-laki non-Muslim. Aturan ini didasarkan pada kombinasi perwalian laki-laki, dalam hal ini suami, atas isterinya, dan perwalian seorang Muslim atas nonMuslim. Karena seorang suami yang nonMuslim tak mungkin menjadi wali atas isterinya yang Muslim, maka perkawinan demikian diharamkan Sy arî` ah. Atas dasar ditolaknya perwalian seorang suami atas isterinya, atau seorang Muslim atas nonMuslim, menjadikan pembenaran larangan terhadap perkawinan antara seorang perempuan Muslim dan laki-laki non-Muslim. Kedua bentuk perwalian itu yang berujung pada pelarangan perkawinan beda agama PBA, dalam hal ini perkawinan antara perempuan Muslim dengan laki-laki nonMuslim ditiadakan oleh Taha. Dengan teori nasknya, yang menempatkan prinsip-prinsip kesetaraan nondiskriminasi, dan kebebasan, yang menjadi standar HAM, memberikan pandangan positif terhadap perempuan. 246 Model m aslahah Taha yang dikemas dalam teori naskh-nya di atas relevan dijadikan sebagai salah satu metode ijtihâd alternatif. Argumentasinya adalah karena teori naskh ini berpijak kuat pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang merupa-kan m aqâsid al-Sy arî` ah , yang sifatnya qat` î, dalam penger-tian tepat diterapkan untuk segala ruang dan waktu. Selain itu, karena teori naskh tersebut berasal dan berakar kuat dari tradisi Islam, meskipun penggunaan term naskh itu berbeda. Dengan berakar pada tradisi Islam, teori naskh tersebut diasumsikan diharapkan mempunyai signifikansi yang lebih dapat diterima oleh kalangan 246 al-Na` îm, Tow ard an Islam ic Reform ation, h. 180 -181. cxxvi Muslim sendiri. 247 Dalam fakta-nya, teori naskh Taha sangat relevan dengan HAM yang menjadi tuntutan dewasa ini. HAM itu sendiri, jika ditelusuri secara teliti, dalam kajian keislaman, inspirasinya berasal dari konsep m aslahah m aqâsid al-Sy arî` ah. 4 Mo del a l-M a sla ha h Masdar F. Mas’udi al-Maslahah dijadikan Masdar sebagai asas ijtihâd, untuk merekonstruksi penafsiran hukum. Begitu pentingnya m aslahah bagi asas ijtihâd, ia membuat suatu kaidah m aslahah yang berbunyi: ﻮﻬ ﺔ ا اذإ ﻬ هﺬ J ika sahih suatu m aslahah maka ia menjadi peganganku. Kaidah ini sebagai respons dan sekaligus revisi atau rekonstruksi terhadap kaidah yang selama ini dipegang teguh di dunia fiqh, yang berbunyi: هﺬ ﻮﻬ ﺪ ا اذإ J ika sahih suatu hadîts maka ia menjadi peganganku. Untuk membangun penafsiran hukum yang baru yang berasaskan m aslahat , terlebih dahulu perlu dilakukan rekonstruksi terhadap konsep qat` î-zannî, yang kemudian dijadikan sebagai basis rekonstruksi penafsiran dan metode penemuan hukum ijtihâd. Menurutnya, pandangan umum mengenai ijtihâd yang selama ini berjalan, bisa dikatakan hanya menjangkau hal-hal yang bersifat zannî , dan kurang mencermati dimensi ajaran yang diyakini sebagai qat` î . Dengan meletakkan kembali m aslahah sebagai asas ijtihâd, maka konsep lama tentang qat` î -zannî terasa begitu gagap untuk menyahuti pelbagai persoalan kontemporer yang terus berkembang. Dari sini, Masdar melihat pentingnya merekonstruksi kedua konsep qat` î dan zannî tersebut agar lebih punya tenaga pow er 247 Perihal signifikansi sesuatu yang punya akar kuat dalam tradisi Islam ini misalnya seperti dikatakan oleh Khâlid Abû al-Fadl. Lihat Abû al-Fadl, Speaking in God’s Nam e, h. 100. cxxvii dalam memberikan assist dan kontitum pemecahan berbagai masalah. 248 Dalam pandangannya, apa yang disebut sebagai dalil qat` î - -sesuai makna harfiyahnya, sebagai sesuatu yang bersifat pasti tetap, tidak berubah-ubah sehingga bersifat fundamental-- adalah nilai kemaslahatan dan keadilan itu sendiri yang merupakan ruh jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan yang masuk dalam kategori zannî adalah seluruh ketentuan hukum teks, yakni ketentuan normatif yang dimaksudkan untuk menerjemahkan yang qat` î nilai kemaslahatan dan keadilan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, benar adanya jika dikatakan bahwa ijtihâd tidak bisa terjadi pada wilayah qat` î, dan hanya bisa dilakukan dalam wilayah zannî. 249 Berdasarkan hal ini, ketentuan-ketentuan teknis dalam nass, semisal potong tangan atas pencuri, rajam lempar batu bagi pezina, presentase jumlah pembagian waris, monopoli hak talak bagi suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan ketentuan-ketentuan teknis lainnya, yang bersifat nonetis, masuk ke dalam kategori nass yang zannî. Ketentuan-ketentuan ini pada gilirannya akan mengalami perubahan, sebab secara teoritis, ’perubahan atas ketentuan- ketentuan syara` baik al-Qur’ân maupun hadis, apalagi hasil ijtihâd ulama yang bersifat teknis adalah bisa dan mungkin, walaupun tidak harus berubah. 250 Secara eksplisit, rekonstruksi konsep qat` î-zannî ini mengancam ketentuan formalitas. Kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis itu, dengan sendirinya akan menanggalkan banyak ketentuan 248 Masdar F. Mas’udi, ”Meletakkan Kembali Maslahah sebagai Acuan Sy arî` ah”, dalam ` Ulûm al-Qur’ân , No. 3, Vol. VI, 1995, h. 97. 249 Mas’udi, ”Melatakkan Kembali”, h. 97-98. 250 Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak– hak Reproduksi Perem puan: Dialog Fiqh Pem berday aan Bandung: Mizan, 1997, h. 37 dan 39. cxxviii legal-formal, karena dipandang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan. Cita kemaslahatan dicoba diletakkan di atas patokan formal. Cita kemaslahatan itu mengendalikan arah pemahaman terhadap ketentuan nass yang legal-formal. Ayat-ayat teknis, aplikatif, dan instrumental itu tidak mengikat, dan karenanya tidak harus diubah. Sebab relevansinya masih dapat dipakai pada konteks tertentu. Namun si sisi lain, terbuka bagi kita untuk membangun tawaran teknis baru, yang akan terasa lebih efektif untuk diaplikasikan. Dengan demikian, perubahan yang terjadi, semata tergantung pada rasa keadilan kita. 251 Cita kemaslahatan inilah yang harus menjadi landasan bagi ketentuan formal atau legal dalam perundang-undangan. Salah satu bentuk aplikasi dari metode rekonstruksi qat` î- zannî yang dilandasarkan kepada cita kemaslahatan adalah masalah zakat pajak. 252 Berangkat dari konsep qat` î-zannî yang ditawarkan tersebut, Masdar menawarkan konsep baru tentang zakat pajak. Dalam pengamatannya, zakat merupakan ajaran pokok Islam yang paling dekat dengan inti persoalan yang banyak dihadapi umat manusia, yakni ketidakadilan. Menurutnya, umat Islam, terutama para pemimpin dan ulama, tidak bisa melepaskan tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan semesta yang disebabkan oleh negara. Dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak, umat Islam dapat dikatakan benar-benar memisahkan negara dari agama. Akibat yang ditimbulkan dari pemisahan ini adalah umat Islam menanggung beban berat beban ganda, doble duty, melaksanakan dua kewajiban: menunaikan zakat sebagai kewajiban agama dan membayar pajak sebagai kewajiban 251 Lihat Mas’udi dalam Mujammil Qamar, NU ”Liberal”, h. 20 4. 252 Masalah lainnya adalah perluasan harta-harta yang wajib dizakati, dan masalah hak- hak reproduksi perempuan. cxxix warga negara. Akibatnya, kewajiban mengeluarkan zakat seringkali bahkan bisa selalu terkalahkan oleh keharusan membayar pajak. Relasi antara ”zakat” sebagai konsep keagamaan keruhanian, pada satu sisi, dan ”pajak” sebagai konsep keduniawian kelembagaan, pada sisi yang lain, sama sekali bukan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud yang dialektis. Pembayaran pajak dengan niat zakat akan menumbuhkan kesadaran bahwa pajak yang dibayarkan itu bukan sebagai persembahan atau pembayaran utang kepada negara, melainkan kewajiban yang harus ditunaikan karena Allah s.w.t., sesuai dengan perintah-Nya. Menurutnya, ikrar batiniah ini dapat menjadikan pembayaran pajak ini bersifat duniawi namun bernilai ukhrawi, dan sekaligus memberian efek pembebasan dari kungkungan negara. Ide integrasi penggabungan antara zakat dan pajak yang digagas Masdar ini merupakan ide yang memang sangat kontroversial dan sering disalahpahami sebagai upaya menya- makan antara zakat dan pajak. Dalam hal ini, ia sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa zakat adalah sebuah konsep etik dan moral untuk pajak. Pada akhirnya, pemikiran Masdar agar tidak ada beban ganda tersebut diadopsi dalam perundang-undangan di Indonesia. Sungguhpun demikian, adopsi tersebut belum secara keseluruhan, hanya bagian kecil dari maksud agar tidak terkena beban ganda. Maksudnya, zakat hanya merupakan salah satu pengurang harta kena pajak. Perundang-undangan dimaksud adalah UU No. 38 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. 253 253 Dalam pasal 14 ayat 3 UU tersebut disebutkan, ”Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ini menunjukkan pemberlakuan pajak dalam zakat dengan alasan agar tidak terjadi beban dua kali cxxx Pemikiran hukum Masdar seperti yang diuraikan di atas cenderung menampakkan sisi-sisi kritis terhadap ideologi pembangunan, terutama ketika ideologi ini diambil menjadi pola kebijakan dan pembanguan resmi negara. 254 Relevansi pemikiran Masdar tentang m aslahah di atas dengan upaya reformulasi m aslahah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah rekontruksi penafsiran qat` î-zannî. Bahwa yang qat` î adalah prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan, dan inilah yang penulis maksud dengan m aqâsid al-Sy arî` ah, yang sejalan dengan HAM. Untuk memperjelas keempat model m aslahah yang telah diuraikan di atas, berikut ditampilkan tabel perbandingannya. o . M o d e l T i p e K l a s i f i I m p l i k a beban ganda bagi umat Islam, sebagaimana secara jelas dinyatakan dalam penjelasan ayat 14 3 UU tersebut yang berbunyi, ”Pengurangan zakat dari laba pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.” Tampaknya penggunaan metode istihsân al-m aslahah sangat berperan dalam rumusan pasal di atas. Kemaslahatan yang dimaksud adalah untuk menghindarkan beban ganda wajib zakat dan pajak, maka zakat dikurangkan dari laba pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak. Lihat UU ini dalam Departemen Agama RI Direktorat J enderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Undang-undang Republik Indonesia Nom or 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Menteri Agam a RI Nom or 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nom or 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat T.Tp.: 20 0 0 , h. 7 dan 19. 254 Pemikiran Masdar mengenai integrasi zakat dan pajak di atas sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Karl Marx, yang menurutnya telah memberikan pencerahan untuk memahami Islam. Tentang pengaruh pemikiran Karl Mark terhadap pemikiran integrasi zakat dan pajak ini lihat tulisan Masdar, ”Zakat: Konsep Harta Yang Bersih”, dalam Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi , h. 423-429. cxxxi k a s i K r i t e r i a s i 1 . K h a l l â f T r a d i s i o n a l s e p e r t i h a l n y a k l a m a s l a h a h m u l g h a h t cxxxii s i f i k a s i y a n g d i b u a t o l e h a l - G h a z i d a k b i s a d i j a d i k a n h u j j a h cxxxiii â l i a l - R â z î 2 . a l - B û t î t r a d i s i o n a l I d e m m a s l a h a h m u l g h a h t i d a k cxxxiv b i s a d i j a d i k a n h u j j a h 3 . T a h a l i b e r a l m o d t i d a k m e m b u m a s l a h a h d i cxxxv e r n m a s l a h a h d i k e m a s d a l a m T e o r i a t k l a s i f i k a s i s e p e r t i d u a m o d e l p a h a m i s e b a g a i a t u r a n - a t u r a n p r i n cxxxvi N a s k h m a s l a h a h d i a t a s . A y a t - a y a t M a k k i s i p i l m a q â s i d a l - S y a r î ` a h y a n g cxxxvii y a h b e r s i f a t q a t ` î , m e n g g a n t i k a n t i d a k m e n g a l a m i p e r u b a h a n ; m e r u p a cxxxviii a y a t - a y a t M a d a n i y y a h y a n g b e r s i f k a n d a l i l h u k u m cxxxix a t z a n n î 4 . M a s ’ u d i l i b e r a l m o d e r a t , r e k o n s t t i d a k m e n g k l a s i f i k a n m a s l h u k u m - h u k u m d a l a m n a s s - n a cxl r u k s i q a t ` î - z a n n î a h a h k e d a l a m m u ` t a b a r a h , m u l g h a h s s h u k u m y a n g b e r s i f s t t e k n i s , a p cxli , d a n m u r s a l a h l i k a t i f , d a n i n s t r u m e n t a l , s e p e r t cxlii i r a j a m , t i d a k l a h q a t ` î , t e t a p i b cxliii e r s i f a t t e m p o r e r . a l - M a s l a h a h a d a l cxliv a h d a l i l h u k u m . Tabel 2: Perbandingan Model al-Maslahah Kontem porer 2 . a l-M a s la h a h a l-M a q s û d a h Se bagai Me to de Ijt ih â d Alte rn atif a. Ke ran gka Re fo rm ulasi a l-M a s la ha h Epis te m o lo gi 2 55 U s û l a l-Fiq h s an gatlah pe n tin g digu n akan dalam kajian h u ku m Is lam fiq h , s e bab ia m e ru pakan lan das an u n tu k ”m e n e lu rkan ” fiq h . Fiq h s e n diri m e n e m pati ru an g te rbe s ar dalam pe radaban Arab h a d â r a t 255 Epistemologi dalam filsafat ilmu adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan khususnya empat pokok persoalan seperti kebahasaan, struktur, batas, dan sumber. Lihat Tim Penulis Rosda, Kam us Filsafat Bandung: Remaja Rosda Karya Offset, 1995, h. 96-97, Donny Gahral Adian, Meny oal Objektivism e Ilm u Pengetahuan: Dari David Hum e Sam pai Thom as Kuhn J akarta: Teraju, 20 0 2, h. 17-18, dan Ainur Rafiq, Menaw arkan Epistem ologi Jam â` î sebagai Epistem ologi Usûl al-Fiqh: Sebuah Tinjauan Filosofis , dalam Ainur Rafiq, ed, ”Madzhab” Yogy a: Menggagas Paradigm a Usûl al-Fiqh Kontem porer Yogyakarta: ar-Ruzz Press, 20 0 2, h. 52. cxlv a l-` Ar a b yan g m e ru pakan pe radaban te ks , s e bagaim an a dikatakan al-Jâbirî. 2 56 Te rdapat tiga e pis te m o lo gi po la pikir dalam n alar Arab Is lam , e pis te m e paradigm a b a y â n î, paradigm a b u r h â n î dan paradigm a ` ir fâ n î. 2 57 Bah w a u s û l a l-fiq h tidak h an ya m e n gam bil s atu paradigm a s aja di an tara tiga paradigm a di atas , n am un sesun gguh n ya u sû l a l-fiq h m e lin gkupi trilo gi e piste m o lo gi al-Jâbirî te rse but. 2 58 Argum e n tasi yan g m e n du ku n g pe m ikiran in i adalah bah w a u s û l a l-fiq h itu tidak s e kadar be rke n aan de n gan s alah s atu as pe k s aja dari ke tiga as pe k itu , yakn i as pe k bah as a atau lin gu is tik yan g dikaji m e lalu i pe n de katan b a y â n î, atau as pe k ras io n alitas yan g dikaji de n gan pe n de katan b u r h â n î, m au pu n as pe k e s e n s i s u bs tan s i h a q îq a h r û h a l-Sy a r î` a h yan g dikaji de n gan pe n de katan ` ir fâ n î s aja. Te tapi kajian u s û l a l-fiq h m e lipu ti s e m u a as pe k di atas baik te ks , prilaku praks is m an u s ia m u k a lla f, h u bu n gan ve rtikal dan h o rizo n tal, ju ga in tu is i: n alar ke adilan , ke be bas an , dan ke tidak te rbe le n ggu an yan g be rim plikas i ps iko lo gis . Ole h kare n an ya pe n de katan yan g ada dicaku p dan diko m bin as ikan dit a lfiq kan s e bagai e pis te m o lo gi ja m â ` î Us û l a l-Fiq h e pis te m o lo gi 256 Muhammad ` Âbid al-J âbirî, Takw în al-` Aql al-` Arabî Beirut: al-Markaz al-Tsaqafî al-` Arabî, t.t., h. 6. 257 Pola penalaran epistemologi bay ânî ialah pola pemikiran keislaman atau tauhid yang lebih menekankan atau mengedepankan pemahaman pada teks-teks naqliy y ah wahyu atau nass --dengan sedikit “bumbu” ` aqliy y ah-- secara tekstual. Burhânî ialah pola pikir atau pendekatan yang lebih menekankan pada peranan rasio dan bukti empiris atau dengan kata lain pendekatan yang lebih mendasarkan diri pada rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika dan hukum- hukum sosial serta ilmu humaniora. Sedangkan ` irfânî ialah pola pikir yang lebih bersifat afektif dan eksperiensif karena unsur utama yang mendukung epistemologi ini adalah perasaan atau dzauq . Lihat dalam Ainur Rafiq, ed., ”Madzhab” Jogja: Menggagas Paradigm a Usûl al-Fiqh Kontem porer Yogyakarta: al-Ruzz Press, 20 0 2, h. 50 -52; dan M. C. J andra, ”Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural”, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun J inan ed., Agam a dan Pluralitas Kebuday aan Lokal Yogyakarta: PSB-PS UMS, 20 0 3, h. 77. 258 Mengenai sejarah trilogi al-J âbirî ini lihat bukunya Takw în al-` Aql al-` Arabî Formasi Nalar Arab. cxlvi ko m pre h e n s if, kare n a bis a be rs u m be r pada te ks , m e n ggun akan pe n de katan b i d a lâ la t a l-n a s s te kstu al atau b a y â n î, m aupun n o n te ks: re alitas alam , so sial, hum an itas te ks k a u n iy y a h dan ijt im â ` iy y a h de n gan pe n de katan b u r hâ n î, juga tidak le pas dari pe n ge tahuan Tuhan yan g dipero leh m e lalui w u jd â n iy y a h dan h ati n uran i m an usia de n gan pe n de katan ` ir fâ n î. 2 59 U n tu k itu lah , s alah s atu u paya yan g pe rlu dilaku kan adalah re ko n s tru ks i s is te m atika s u m be r-s u m be r dan u ru tan dalil-dalil atau m e to de U s û l a l-Fiq h itu s e n diri. Bah w a dalam U s û l a l-Fiq h ko n ve n s io n al, s u m be r-s u m be r h u ku m m a s â d ir a l-a h k â m yan g dis e pakati o le h a l-a ’im m a h a l- a r b a ` a h 2 6 0 --yan g m e n gaku i q iy â s -- ada e m pat, yaitu al- Qu r’ân , Su n n ah , ijm â ` dan q iy â s . 2 6 1 D i s am pin g ju ga s u m be r-s u m be r dalil-dalil h u ku m yan g dipe rs e lis ih kan di an tara u lam a m u k h t a la f fîh , s e pe rti m a s la h a h m u r s a la h , is t ih s a n , dan s a d d a l-d z a r î` a h . 2 6 2 Ijm â ` dan q iy â s te rs e bu t 259 Lihat Rafiq, ed., ”Mazhab” Jogja, h. 50 -52. 260 Imam madzhab empat, yakni Hanâfî, Mâlikî, al-Syâfi` î dan Ahmad ibn Hanbal. 261 Muhammad Amîn al-Ma` rûf bi Amîr Bâdasyâh, Taisîr al-Tahrîr Sy arh ` alâ Kitâb al- Tahrîr fî Usûl al-Fiqh al-Jâm i` Baina Istilâhai al-Hanafiy y ah w a al-Sy âfi` iy y ah li Kam âl al-Dîn Muham m ad ibn ` Abd al-W âhid ibn ` Abd al-Ham îd ibn Mas` ûd al-Sy ahîr bi Ibn Hum m âm al- Dîn al-Askandarî al-Hanafî T.Tp: Dâr al-Fikr, t.t., J uz 4, h. 171. 262 Menurut klasifikasi Wahbah al-Zuhailî, bahwa m anhaj yang m ukhtalaf fîh ada yang m asy hûr dan ada yang ghairu m asy hûr. Yang pertama ada 7 tujuh macam, dan yang kedua terbagai 2 dua macam: ada sumber lebih tepatnya dalil --pen. fiqh sy ar` iy y ah yang meliputi 3 macam: al-asl fî al-asy y â’ pertimbangan hukum menurut asalnya yakni haram pada sesuatu yang membawa kepada kemadlaratan, dan selainnya kemanfaatan berati halal, al-istiqrâ’ penelitian empirik, dan al-akhdz bi aqalli m â qîla ` inda al-Sy âfi` î mengambil pendapat yang paling sedikit ringan menurut yang dipegangi Syafi’î. Sedang yang kedua sumber fiqh ghairu sy ar` iy y ah yang meliputi 4 empat macam, yaitu at-tasy rî` atau al-` aql perundang-undangan atau hasil kreativitas nalar manusia, al-tafw îd perwakilan parlementer atau al-` ism ah keterpeliharaan imam, yakni memberikan kekuasaan kepada Nabi, atau pakar alim untuk membuat keputuskan hukum sesuai kehendaknya, mengenai berbagai masalah tanpa berdasarkan dalil, al-ihâlah pengelakan hukum, suatu cara untuk mengelakkan suatu aturan hukum dengan cara hukum, dan al-qanûn ar-Rum ânî undang-undang Rumawi. Dalil-dalil syara` secara umum – baik yang disepakai maupun yang diperselisihkan menurut fuqahâ’ mencapai 19 dalil, bahkan menurut sebagian fuqahâ’ termasuk al-Tûfî mencapai 40 lebih lih. al-Zuhailî, Usûl al- fiqh al-Islâm î , juz 2, h. 734-927. cxlvii le bih te pat dis e bu t s e bagai m e to de pe n ggalian h u ku m m a n h a j a l-ijt ih â d a u a l-is t id â l , daripada s u m be r h u ku m . al-Qu r’ân dan Su n n ah itu lah yan g dapat dan te pat dikatakan s e bagai s u m be r h u ku m . U n tu k itu yan g le bih re le van dikatakan adalah bah w a s u m be r h u ku m adalah te ks n a q liy y a h al-Qu r’ân dan s u n n ah , dan te ks q h a ir u n a q liy y a h , yaitu n alar a l-` a q l , re alitas e m piris atau alam s e m e s ta a y a h k a u n iy y a h , s o s ial ke m an u s iaan ijt im â ` iy y a h dan in tu is i w u jd â n . Bila dipe rs e m pit lagi s u m be r h u ku m te rs e bu t h an ya ada du a, yakn i s u m be r h u ku m yan g te rtu lis n a q liy y a h , n a s s dan s u m be r h u ku m yan g tak te rtu lis g ha ir u a l-n a s s : ayat-ayat k a u n iy y a h, ijt im â ` iy y a h dan w u jd â n iy y a h. De n gan dem ikian , re ko n struksi siste m atika urutan sum be r dalil hukum m e n jadi: p er t a m a , a l-Qu r ’â n a l-K a r îm w a a l-Su n n a h, k ed u a , m a n zû m a h a l-q a y y im a l-hâ k im a h li a l- Qu r ’â n a l-K a r îm w a a l-Su n n a h, 2 6 3 yakn i prin sip-prin sip ke bijaksan aan yan g te rdapat dalam al-Qur’ân dan Sun n ah atau disebut se bagai tujuan -tujuan hukum m a q â s id a l- Sy a r î` a h; k ed ua , a k a l; dan k et ig a , a l-` u r f 2 6 4 atau g ha ir u n a s s: te ks k a u n iy y a h, ijt im â ` iy y a h dan w u jd â n iy y a h. Se dan gkan re ko n struksi siste m atika m e to de Usû l a l-Fiq h ko n te m po re r dapat diurutkan m e n jadi: p er t a m a , a l- M a sla ha h a l-M a q sû d a h a l-m a s la ha h b i a l-m a n ha j a l-ja d îd , k ed u a , is t ihsâ n , k et ig a , q iy â s , dst. Pada in tin ya, m e to de -m e to de ko n ve n s io n al itu dapat dirin gkas dalam du a m e to de yan g prin s ipil. Pe r t a m a , m e to de yan g be ran jak dari pe n alaran ”pe n carian ` illa h ”, 263 Bandingkan dengan J amâl al-Bannâ, Nahw a Fiqh Jadîd Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmi, t.t., J uz III, h. 194 dst. 264 al-Bannâ, Nahw a Fiqh Jadîd, J uz III, h. 194. cxlviii dis e bu t m e to de q iy â s . Ijt ih â d yan g m e n ggu n akan m e to de in i dis e bu t ijt ih â d q iy â s î ijt ih â d t a ` lîlî. K e d u a , m e to de yan g be ran jak dari tu ju an -tu ju an Sy a r î` a h m a q â s id a l- Sy a r î` a h . Ijt ih â d yan g m e n ggu n akan m e to de in i dis e bu t ijt ih â d is t is lâ h î. 2 6 5 Bila diban din gkan an tara ke du a m e to de te rs e bu t, yakn i m e to de yan g be ran jak dari pe n alaran illat de n gan m e to de yan g be ran jak dari tu ju an h u ku m , te rdapat pe rbe daan yan g s ign ifikan . Su n ggu h pu n de m ikian , ke du a m e to de pe n alaran te rs e bu t te tap m e n galam i ke te rbatas an - ke te rbatas an . Me to de yan g pe rtam a, yakn i m e to de yan g m e n garah tajam ke pada s e tiap h u ku m de n gan m e n cari ` illa h yan g didu ga s e bagai das ar dari pe rtim ban gan Syâri` San g Pe m bu at Syariat dalam m e n ge lu arkan h u ku m te rs be u t, ke m u dian m e to de in i be ru s ah a m e n e ru s kan n ya, yaitu de n gan m e n gge n e ralis as i h u ku m te rs e bu t atas s e tiap ke adaan di m an a ` illa h itu dite m u kan . D e n gan de m ikian , m e to de in i m e m u at ke le bih an dan ke ku ran gan . Me to de in i le bih be rs ifat s e d e rh an a dan o pe ratif, yakn i be rm an faat dan m u dah dite rapkan , n am u n h an ya pada s aat pe rs o alan h u ku m te rs e bu t te rkait de n gan m as alah -m as alah kh u s u s yan g s e je n is , yan g s alah s atu dari m as alah itu ada h u ku m n ya. Se dan gkan ke tika be rh adapan de n gan m as alah -m as alah kh u s u s yan g tidak be rafilias i 2 6 5 Ijt ih â d q iy â s î t a ` lîlî d an is t is lâ h î di atas m e ru pakan bagian dari je n is ijt ih a d . Be rdas arkan pro s e du rn ya, ijt ih â d te rbagi m e n jadi e m pat je n is . Pe r t a m a , ijt ih â d yan g m e ru pakan be n tu k q iy â s yan g be rpijak pada ilat. K e d u a , ijt ih â d yan g be rpijak pada pe rkiraan z a n n tan pa adan ya ` ilat, s e pe rti prakte k pe n e n tu an w aktu s h alat d an arah kiblat. K e t ig a , ijt ih â d b a y â n î, yaitu yan g be ris i pe n afs iran te rh adap m ate ri s u m be r dan de d u ks i h u ku m dari s e bu ah dalil yan g m apan . K e e m p a t , ijt ih â d is t is lâ h î, yaitu ijt ih â d yan g didas arkan pad a m a s la ha h dan pen arikan hukum den gan berpegan g teguh pada spirit dan tujuan Syarî` ah, yan g bisa berben tuk ist is lâ h, is t ihsâ n , dan sa d d a l-d za r î` a h. Lihat Kam âli, Pr in cip le, h. 379 -38 0 . cxlix ke pada je n is yan g s am a, atau be rh adapan de n gan m as alah - m as alah ko n te m po re r, m aka ia tidak bis a m e n e m u kan h u ku m pada s alah s atu dari m as alah te rs e bu t, s e h in gga o pe ras in ya m e n jadi ru m it, dan ”pe n carian ` illa h ” m e n jadi dipaks akan dan le m ah . Se lain itu te rkadan g h al in i be ru ju n g pada s ikap be rh e n ti t a w a q q u f atau t a q lîd dari s an g m u jtah id, kare n a kaw as an di m an a ia be rge rak, yaitu kaw as an ”pe n carian ` illa h ”, an alo gi, dan pe n e lu s u ran m akn a-m akn a m e ru pakan kaw as an s e m pit yan g tidak m e m u n gkin kan bagi ko n tin u itas ijt ih â d tan pa te rpu tu s s e dikit pu n . Sedangkan metode kedua, yang beranjak dari tujuan-tujuan Syarî` ah m aqâsid al-Sy arî` ah dalam operasi pemberian dasar rasionalitas atas hukum-hukum, dan ia adalah operasi yang tanpanya tidak mungkin Syarî` ah diterapkan pada masalah-masalah baru aktual, kontemporer, tidak pula pada berbagai keadaan yang berbeda dan bertentangan. Kelebihan metode ini daat menjangkau persoalan-persoalan dalam kawasan yang tidak ada keterangan dalam nass secara tegas. Persoalan-persoalan kontemporer dapat diselesaikan melalui metode ini. 266 Sebab, metode ini akan terbebas dari cengkraman analogi dan kata-kata nass. 267 Meskipun demikian, penalaran metode kedua, dalam Usûl al-Fiqh konvensional, masih mengalami keterbatasan juga. Keterbatasan ini terletak pada penekanan tujuan hukum m aqâsid al-Sy arî` ah yang sangat ketat, dan belum diperluas. D e n gan de m ikian , pada das arn ya m e to de -m e to de U s û l a l-Fiq h ko n ve n s io n al te rs e bu t, m is aln ya q iy â s , m e n gh adapi be be rapa ke te rbatas an dan ke ku ran gan . 266 al-J âbirî, al-Dîn w a al-Tatbîq al-Sy arî` ah, h. 162-163, 166. 267 al-J âbirî, al-Dîn w a al-Tatbîq al-Sy arî` ah, h. 166. cl Ke te rbatas an m e to de q iy â s dapat dije las akan d alam tiga h al be riku t. Pe r t a m a , m e to de in i tidak le bih h an yalah be ru pa du gaan bu kan ke pas tian pe n carian illat h u ku m , yan g m u n gkin --m e n u ru t du gaan pe laku pe n de katan in i-- ` illat yan g dipe rtim ban gkan pe m bu at s yari` ah dalam h u ku m itu . H al in i dapat dilih at dari s u du t pan dan g bah w a pe rlu as an ke pu tu s an h u ku m itu dilaku kan di an tara du a o bje k partiku lar. Padah al, s e pe rti dis adari o le h al-Sakkâkî dalam M ift â h a l` U lû m , s e bagaim an a diku tip o le h Safi, 2 6 8 agar pe rlu as an itu pas ti, s e s e o ran g h aru s yakin bah w a s ifat yan g m e n u ru t pe m ah am an dim iliki o le h ke du a o bje k s e bagai alas an pe n e tapan h u ku m ` lla h h aru s be n ar, s u atu s yarat yan g m e n u ru t al-Sakkâkî, h am pir tidak dapat dicapai m e lalu i q iy â s . K e d u a , m e to de in i ju ga m e n gikat pe laku n ya ke pada bah as a atau kata yakn i te ks h u ku m , yan g akibatn ya bah as a m e m be rikan an dil dalam pe m bu atan h u ku m , dan in i ju ga be ru pa du gaan m aks u d te ks te rs e bu t. D an akibat dari s ifat ke te rku n gku n gan pe laku q iy â s pada t e k s , m e n im bu lkan ke s an dan an ggapan bah w a q iy â s adalah s e o lah -o lah s atu - s atu n ya be n tu k ijt ih â d , padah al ijt ih â d itu lu as dan tidak te rbatas pada te ks de n gan m o de l q iy a s . K e t ig a , le bih lan ju t de n gan tidak adan ya ke pas tian , yan g te ru tam a didas arkan pada pro s e du r q iy â s u n tu k m e n e rapkan ke te n tu an w ah yu ke dalam ko n dis i m as yarakat yan g be rke m ban g, akan m e n gakibatkan fragm e n tas i atu ran - atu ran Sy a r î` a h , kare n a tidak ada prin s ip yan g m e m adai. D e n gan de m ikian s in gkatn ya bah w a m e to de q iy â s be rpijak pada du gaan , bu kan ke pas tian , dan kare n an ya fiq h 268 Safi, The Foundation of Know ledge, h. 90 -91. cli yan g diban gu n de n gan m e to de in i s e m u an ya be rs ifat du gaan z a n n î yan g be rakibat pada fragm e n tas i dan ke kaku an atu ran h u ku m . Se h in gga u n tu k le pas dan be bas dari s itu as i ”m e n du ga” in i, dan agar tidak m e n ye m pitkan pe ran ijt ih â d dalam ran gka m e m ban gu n h u ku m -h u ku m be rdas arkan ”ke pas tian ”, dan u n tu k m e n gh idarkan fragm e n tas i dan ke kaku an h u ku m , tidak ada jalan lain ke cu ali de n gan m e n jadikan tu ju an -tu ju an s yari’at m a q â s id a l-Sy a r î` a h dan ke m as lah atan m a s la h a h s e bagai das ar pijakan titik s tar bagi pe m bu atan h u ku m is t in b â t a l-a h k â m . Untuk itulah, metode penalaran yang beranjak dari tujuan- tujuan syari’at m aqâsid al-Syarî` ah dan kemaslahatan m aslahah penting mendapatkan perhatian dan pengembangan lebih lanjut. Dalam konteks inilah, al-Maslahah al-Maqsûdah merupakan bentuk pengembangan model penalaran yang kedua di atas. al-Maslahah al- Maqsûdah merupakan bentuk reformulasi al-m aslahah konvensional, baik model klasik maupun model kontemporer. Oleh karena itulah al- Maslahah al-Maqsûdah adalah model al-m aslahah post kontemporer. Pengertian al-Maslahah al-Maqsûdah adalah m aslahah yang menggunakan paradigma baru, yaitu sesuatu apa saja, baik berupa pemikiran maupun aksi praksis yang selaras dengan m aqâsid al- Sy arî` ah the objective of Islam ic law , khususnya yang dilandaskan pada rasionalitas terlebih lagi kalau diback up oleh naql teks agama. J adi, tidak terbatas apakah itu m u` tabarah, m ulghah ataukah m ursalah . Dengan demikian, metode al- m aslahah dengan paradigma baru al-W ajhu al-jadîd li m anhaj al-m aslahah sebagai metode sentral usûl al-fiqh m anhajan asasiy y an li usûl al-fiqh adalah metode penggalian hukum yang menekankan pada m aqâsid al- Sy arî` ah --dengan tidak terikat pada kategori m u` tabarah, m ulghah maupun m ursalah. Artinya, bahwa bila terdapat m aslahah baik itu clii disebutkan oleh nass untuk diraih, maupun disebutkan oleh nass untuk dihindari, maupun sama sekali tidak ada keterangan nass baik yang memerintahkan untuk diraih maupun yang melarang untuk dijauhi, maka itulah m aqâsid al-Syarî` ah tujuan hukum yang harus dijadikan pertimbangan, pijakan dan diterapkan dalam suatu interpretasi terhadap nass maupun untuk memecahkan masalah apapun. Maqâsid al-Sy arî` ah itu tidaklah terbatas pada al-kulliy y ah al-kham sah Panca prinsip universal, tetapi mencakup prinsip- prinsip Islam yang melandasi kelima prinsip tersebut, berupa keadilan, kesetaraan, hikmah, rahmat, dan kemaslahatan. Be rdas arkan pe m ikiran di atas , dari m a n h a j-m a n h a j te rs e bu t dapat dike m ban gkan re ko n s tru ks i lan ju tan bah w a ada m a n h a j s e n tral dan m a n h a j tu ru n an . Me to de s e n tral po ko k bagi U s û l a l-Fiq h ko n te m po re r adalah m e to de m a s la h a h yan g te lah dire ko n s tru ks i dire fo rm u las i m a s la h a h de n gan paradigm a baru , yan g din am akan a l- M a s la h a h a l-M a q s û d a h . De n gan de m ikian , a l-M a s la h a h a l- M a q s û d a h in i m e ru pakan لﻮ ﻷ ﺎ أ ﺎ ﻬ ﺔ ا ﻬ ﺪ ﺪ ا ﻮ ا ﺮ ﺎ ا ا a l-w a jh a l-ja d îd li a l-m a n ha j a l- m a sla ha h m a n h a j u s û l a l-fiq h a l-m u ` â s ir , yakn i m e to de m a s la h a h de n gan paradigm a baru s e bagai m e to de s e n tral U s û l a l-Fiq h ko n te m po re r. Paradigm a baru yan g dim aks u d, s e bagaim an a te lah dije las kan di atas , pe n ge rtian n ya adalah m e to de in i tidak te rikat de n gan tiga kate go ri m a s la h a h : m a s la h a h m u ` t a b a r a h , m a s la h a h m u lg h a h dan m a s la h a h m u r s a la h . 2 6 9 Se dan gkan m e to de -m e to de U s û l a l-Fiq h lain n ya adalah m e to de pars ial tu ru n an , yan g m e n galam i 269 Sebagaimana telah dikemukakan di bagian awal, m aslahah m u` tabarah adalah m aslahah yang disebutkan dan diperintahkan oleh nass secara ekplisit maupun implisit untuk diraih. Maslahah m ulghah adalah m aslahah yang disebutkan dan dilarang oleh nass secara ekplisit maupun implisit untuk dijauhi. Sedangkan m aslahah m ursalah adalah m aslahah yang tidak ada keterangan dari nass yang memerintahkan maupun melarangnya. cliii ke te rbatas an -ke te rbatas an , s e bagaim an a te lah dije las kan di atas . Sistematika Struktur al-Maslahah al-Maqsûdah MM sebagai bentuk reformulasi al-m aslahah konvensional menuju Metode Ijtihâd Alternatif Kontemporer dapat diilustrasikan dalam skema berikut. Klasik al-Maslahah al-Maslahah Konvensional Post Kontemporer MM Kontemporer Metode Ijtihâd Alternatif Kontemporer Skem a 2: Sistem atika Struktur al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai Metode Ijtihâd Alternatif Kontem porer Gagasan atau ide untuk membangun metode m aslahah dengan paradigma baru tersebut berawal dari perlunya upaya yang dilakukan secara terus-menerus untuk memformulasikan hukum memecahkan problematika yang dihadapi umat Islam. Upaya memecahkan suatu masalah tersebut tentunya, suatu cara yang mesti dilakukan adalah memperlebar ruang gerak ijtihâd, dan tidak ada jalan lain kecuali dengan memberikan porsi yang besar pada nalar kritis. Dengan demikian ijtihâd menjadi kebutuhan yang terus menerus berlangsung hâjah dâ’im ah, karena persoalan-persoalan baru terus berkembang, terjadinya perubahan sosial masyarakat, dan Sy arî` ah Islam itu relevan untuk setiap zaman, ruang, dan sebagai pemutus terhadap semua persoalan manusia. 270 Sy arî` ah Islam agar relevan senantiasa memerlukan ijtihâd, karena adanya perkembangan dan perubahan situasi dan kondisi, akibat berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek, seperti yang terjadi dewasa ini. 270 Yûsûf al-Qarâdâwî, al-Ijtihâd al-Mu` âsir Bain al-Indibât w a al-Infirât, T.Tp.: Dâr al- Tauzî` wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1994, h. 6. cliv Terkait dengan ijtihâd tersebut, usaha-usaha kaum Muslimin dalam menjawab persoalan kontemporer tersebut ternyata belumlah memuaskan, karena metode yang umumnya dikembangkan oleh para pembaru Islam dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada takhay y ur mengkontruksi sebuah prinsip umum atau ketentuan spesifik dari beragam sumber atau memilih pendapat dari berbagai madzhab jurisprudensi Islam dan tidak mementingkan pada pendapat yang dominan di dalam suatu madzhab 271 dan talfîq mengambil dari berbagai pendapat yang berbeda mengenai sesuatu masalah amaliah. 272 Kritik ini misalnya dikemukakan oleh J . N. D. Anderson dan J ohn L. Esposito, 273 dalam penelitiannya mengenai pembaruan pengembangan hukum di dunia Islam-- masih bertumpu pada pendekatan parsial dengan mengekspolitasi takhay y ur dan talfîq. Penerapan dua pendekatan ini dikatakan tidak memuaskan karena justru akan mempersempit ruang gerak ijtihâd apabila dihadapkan pada masalah yang belum dipecahkan oleh m ujtahid manapun. Selain itu, pendapat seorang mujtahid tidak terlepas dari kondisi daerah dan zamannya, sehingga belum tentu sesuai untuk wilayah dan masa lain. Inilah yang dinamakan berm adzhab secara qaulî m adzhab qaulî yang akan mengalami kesukaran ketika pendapat itu belum ada atau sudah ada namun tidak relevan lagi dengan kondisi daerah dan zaman di mana pendapat m ujtahid tersebut akan diterapkan. Kondisi seperti ini akan berakibat kepada terjadinya kevakuman hukum yang dapat menimbulkan anarkhi hukum. Padahal anarkhi hukum haruslah dihindari sesuai dengan kaidah lâ darar w a lâ dirâr tidak boleh menimbulkan kemadaratan anarkhi baik pada diri sendiri maupun 271 Lihat al-Na` îm, Tow ard an Islam ic Reform ation, h. 45, dan 252. 272 Lihat al-Zuhailî, Usûl al-Fiqh al-Islâm î, J uz 2, h. 1142. 273 Dikutip dalam Yusdani, Peranan Kepentingan Um um dalam Reaktualisasi Hukum Islam : Kajian Konsep Hukum Islam Najm al-Din al-Tûfî , Yogyakarta: UII Press, 20 0 0 , h. 2. clv pada orang lain, dalam bentuk apapun, termasuk bentuk hukum atau ketiadaan hukum. 274 Memang talfîq qaulî seperti ini secara metodologis kurang tepat, seperti dikatakan oleh al-Na` îm, bahwa pendapat dan putusan ahli hukum individual, diambil keluar dari konteks dan digabung sesuai dengan preferensi personal penggunanya. Sehingga suatu otoritas kadang-kadang digunakan untuk mendukung kesimpulan yang tidak didasarkan pada posisi penulis aslinya. Selain itu talfîq semacam ini, menurutnya, tidak akan memadai sebagai basis atau teknik hukum Islam modern karena bahan mentah talfîq adalah Sy arî` ah yang sama yang terbatasi oleh keterbatasan-keterbatasannya. 275 Karena talfîq qaulî sudah tidak memadai lagi kemudian beralih pada talfîq m anhajî menggunakan berbagai metode Usûl al-Fiqh dalam istinbât au istidlâl al-hukm , 276 --dalam rumusan Munas Nahdhatul Ulama NU di Lampung dalam kerangka m adzhab m anhajî, 277 maka arah ini kemudian mendorong penulis untuk merumuskan metode al- m aslahah dengan paradigma baru di atas. Paradigma baru ini berupaya menjadikan metode al-m aslahah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer. Ijtihâd menjadi kata kunci untuk perkembangan dan kemajuan hukum Islam. Dalam konteks inilah, penalaran hukum melalui ijtihâd istislâhî menjadi relevan dan penting dikembangkan. Ijtihâd istislâhî dikatakan relevan karena ia berpijak pada penalaran yang menggunakan paradigma m aqâsid al-Syarî` ah . Maqâsid al-Syarî` ah menempati posisi yang sangat penting dalam ijtihâd untuk bisa mendapatkan hukum yang tepat 274 Ahmad Ali, ”Talfîq Manhajî Sebagai Epistemologi Jam a` î Usûl al-Fiqh untuk Pengembangan Hukum Islam”, Skripsi di Fakultas Syariah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari Tebuireng J ombang, 20 0 3, h. vii, 21. 275 Lihat al-Na’im, Tow ard an Islam ic Reform ation, h. 33, dan Schacht, An Introduction, h. 106. 276 Tentang talfîq m anhajî lihat Ali ”Talfîq Manhajî Sebagai Epistemologi Jam a` î Usûl al- Fiqh untuk Pengembangan Hukum Islam”. 277 NU dalam Munas tersebut menegaskan peralihan dari m adzhab qaulî ke m adzhab m anhajî . Lihat Qamar, NU ”Liberal”, h. 114. clvi terhadap suatu kasus yang diijtihadi al-m ujtahad fîh. Pemahaman terhadap m aqâsid al-Syarî` ah menjadi sesuatu yang mutlak. Ijtihâd istislâhî dengan paradigma m aqâsid al-Sy arî` ah sangat penting untuk dikembangkan lebih lanjut. Dalam disiplin usûl al-fiqh klasik, setidaknya penekanan ijtihâd pada paradigma m aqâsid al- Sy arî` ah sudah dirumuskan oleh al-Syâtibî. Dalam bukunya al- Muw âfaqât , dalam bahasan jenis-jenis ijtihâd, ia menegaskan bahwa paradigma itu sebagai ijtihâd bi tahqîq al-m anât, yang dalam prakteknya tidak memerlukan pemahaman pada lafal nass, tetapi pemahaman pada m aqâsid al-Syarî` ah. Menurutnya, ijtihâd ada beberapa macam, 278 yang terpenting adalah, takhrîj al-m anât, tanqîh al- m anât , dan tahqîq al-m anât. Takhrîj al-m anât , istilah yang populer adalah ijtihâd al- qiy âsî , 279 yaitu ijtihâd berdasarkan penalaran analogi, melalui penemuan ilat hukum. Dengan kata lain takhrîj al-m anât ialah penelitian dan pengkajian ` illah ratio legis, ilat hukum yang nass dan ijm â` menunjukkan hukum tanpa disertai dengan penunjukan ` illatnya. 280 Tanqîh al-m anât, bisa disebut sebagai ijtihâd ta` lîlî adalah pengkajian dan penelitian untuk menetapkan sifat-sifat yang ditunjukkan oleh nass secara tidak tegas sebagai ` illah ilat hukum dengan cara mengabaikan sifat-sifat yang tidak cocok. Sedangkan tahqîq al-m anât , 281 adalah ijtihâd untuk menetapkan hukum dengan berdasar pada sumber syar` î namun dengan pengkajian yang seksama. 278 al-Syâtibî, al-Muw âfaqât, J uz IV, h. 64-69. 279 al-Syâtibî, al-Muw âfaqât, J uz IV, h. 69. 280 al-Âmidî, al-Ihkâm , J uz III, h. 20 4. 281 Menurut penulis kitab al-Minhâj, tahqîq al-m anât adalah realisasi ilat yang telah disepakati pada suatu cabang, yakni mengejawantahkan dalil atas wujudnya ilat pada suatu kasus cabang tersebut. Menurut al-Âm idî, tahqîq al-m anât adalah penelitian untuk mengetahui dan memastikan adanya ilat pada furû` kasus yang akan diqiyaskan, baik ilat tersebut bersifat m ansûsah tercantum dalam nass maupun m ustanbatah tidak tercantum dalam nass, yakni dihasilkan melalui penelusuran maksud syara` atau m aqâsid al-Sy arî` ah. al-Syâtibî, al- Muw âfaqât , J uz IV, h. 64-68, al-Âmidî, al-Ihkâm , J uz III, h. 20 4, Hasan Hanafî, Min al-Nass ilâ al-W âqi` Kairo: Markaz al-Kitâb li al-Nasyr, 20 0 5, J ilid II, h. 445. clvii Istilah lain bagi tahqîq al-m anât adalah ijtihâd istislâhî. Model ijtihâd yang terakhir inilah, yang menurut al-Syâtibî, penting dengan pemahaman yang mendalam terhadap m aqâsid al-Sy arî` ah. Dalam hubungannya dengan model ijtihâd istislâhî inilah, istilah ijtihâd insy â’î ijtihâd kreatif menjadi relevan untuk melahirkan suatu ”produk hukum” yang baru. Ijtihâd insy â’î adalah penalaran hukum yang tidak didasarkan pada nass tetapi didasarkan pada paradigma m aqâsid al-Syarî` ah, di samping juga didukung berbagai pertimbangan, seperti pertimbangan aspek sosiologis, sosial budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Ijtihâd insy â’î ini relevan untuk zaman kontemporer. 282 Pengutamaan metode al-m aslahah dengan paradigma baru ini, sebagai pengembangan ijtihâd istislâhî lebih lanjut dapat dianalisa dengan argumentasi berikut. Pertam a, bahwa ia sangat dihajatkan pada masa kini. Kedua, apalagi status hukum belum ada atau sudah ada seperti tertulis dalam kitab-kitab klasik, namun tidak relevan lagi dengan konteks saat ini. Ketiga, umat Islam tidak boleh ragu untuk menciptakan dan menggunakan suatu produk, asal tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang selaras dengan m aqâsid al-Sy arî` ah. Keem pat, hukum harus ditempatkan sebagai pedoman, penuntun dan pemberi norma, terutama ketika menghadapi perubahan sosial dan 282 Menurut al-Qarâdâwî, ijtihad kontemporer al-ijtihâd al-m u` âsir mengambil bentuk ijtihâd intiqâ` î ijtihâd selektif, dan ijtihâd insy â’î di atas. Ijtihâd intiqâ` î dalam arti memilih secara selekif pendapat-pendapat fiqh, baik fatwa ulama, maupun baik jurisprudensi atau keputusan hukum pengadilan qadâ’, --yang dianggap tepat untuk dijadikan jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul. Lih. al-Qarâdâwî, al-Ijtihâd al-Mu` âsir, h. 19 dst. Ijtihâd jenis ini mengalami keterbatasan, karena tidak semua masalah hukum kontemporer ada pendapat atau jurisprudensinya, di samping itu belum tentu cocok diterapkan pada suatu kasus yang dihadapi. Istilah lain untuk jenis ijihâd ini adalah penalaran takhyîr atau talfîq, yang karena keterbatasannya, dikritik oleh para pemikir kontemporer, seperti Anderson, Esposito, dan al-Na` im. clviii penemuan-penemuan baru yang dihasilkan melalui perkembangan dan kemajuan saintek sains dan teknologi. 283 Penggunaan metode al-m aslahah lebih diperioritaskan dalam membuat legislasi dan menjadi pijakannya, ketika seorang m ujtahid tidak menemukan aturan secara eksplisit dalam nass-nass, sebab ia harus segera menangani kebutuhan itu sehingga kebutuhan itu dapat terealisasi. Ini telah diteguhkan bahwa tujuan Tuhan God’s purpose dalam membentuk syari’at adalah untuk mengangkat kesejahteraan manusia m an’s w elfare dan untuk mencegah terjadinya korupsi atau penindasan di muka bumi. 284

b. D e fin is i a l-M a s la h a h a l-M a q s û d a h