cclx tersebut sebagai m aslahah m ulghah yang harus dihindarkan, karena
jelas-jelas ada nass yang menjelaskan larangan saling mewarisi ini. J adi maslahat yang muncul dari saling mewarisi antar beda agama
ini adalah dapat meningkatkan hubungan yang harmonis, persaudaraan dan perdamaian antara mereka. J ustru dengan adanya saling mewarisi ini
hubungan-hubungan yang harmonis di antara mereka dapat lebih terwujud. Dengan demikian, hukum WBA secara mutlak, baik Muslim
terhadap nonMuslim, dan sebaliknya, maupun sesama nonMuslim, adalah boleh m ubâh halâl.
C. Bidan g H ukum Pidan a
1. Eksekusi H ukum an Po to n g Tan gan atas Tin dak Pidan a Ko rupsi
Korupsi merupakan salah satu masalah yang sangat serius. Secara harfiah istilah korupsi
50 7
berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Orang yang melakukan korupsi disebut
koruptor. Di Indonesia telah ada empat UU, dan satu peraturan pemerintah
PP tentang korupsi.
50 8
Pengertian korupsi yang dimaksud di sini,
507
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus
yang disalin ke berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut disalin menjadi corruption
atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie korruptie. Menurut Andi Hamzah, agaknya dari bahasa Belanda
itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Dikutip dalam Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Form il Korupsi di Indonesia
, Malang: Bayumedia Publishing, 20 0 5, h. 1.
508
UU tersebut adalah UU No. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disatukan dengan UU No. 20 20 0 1 tentang Perubahan Atas UU No. 31 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi; UU No. 28 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU No. 30 20 0 2 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Adapun PP tersebut adalah PP No. 71 20 0 0 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
cclxi diambil dari UU tersebut. Adapun yang dimaksud tindak pidana
perbuatan korupsi adalah suatu perbuatan pidana yang terjadi apabila si pembuat melakukan kejahatan atau pelanggaran yang 1 merugikan
negara, atau 2 yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, atau 3 tindak pidana lainnya yang merupakan perbuatan melawan
hukum yang merugikan keuangan negara, keuangan daerah, atau keuangan badan hukum yang memperoleh bantuan dari negara.
50 9
Dengan demikian, korupsi adalah perbuatan tindakan penya- lahgunaan kekuasaan wewenang yang bertujuan untuk menguntungkan
diri sendiri dan atau kelompok yang merugikan negara, orang banyak rakyat, dan pihak lain.
510
Dalam konteks fiqh, ada beberapa macam perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam bentuk korupsi, yaitu risy w ah suap, khiy ânah
seperti m ark up, penyalahgunaan fasilitas negara, ghulûl penggelapan, dan m ukts perampasan.
511
al-Qur’ân maupun hadis tidak memberikan ketentuan hukuman terhadap tindak pidana korupsi. al-Qur’ân hanya memberikan ketentuan
secara umum tentang perbuatan yang merusak kehidupan fasâd fî al- ard
. Selain itu secara spesifik memberikan ketentuan hukuman potong tangan terhadap pelaku pencurian.
Ayat yang terkait dengan perbuatan merusak kehidupan, dan ancaman hukumannya, antara lain, QS. al-Mâ’idah 5 ayat 32-33.
512
Ayat
Pidana Korupsi. Tentang UU dan PP ini lihat pada bagian Lampiran yang terdiri dari 4 Lampiran, dalam Chazawi, Hukum Pidana, h. 1-144
.
509
Lihat Chazawi, Hukum Pidana, h. 2-5.
510
Achmad ` Aly MD, ”Membangun Fiqh Anti Korupsi Catatan dan Sosialisasi Hasil Bahtsul Masa’il Nasional”, dalam Harian Um um Pelita, 9 J uni 20 0 4.
511
` Aly MD, ”Membangun Fiqh Anti Korupsi”.
512
Ayat dimaksud sebagai berikut: ☺
⌧ ☺
⌧ ☺
⌧
cclxii yang pertama ini menerangkan tentang pelanggaran terhadap hak hidup
seseorang merupakan perbuatan yang mengancam kemanusiaan, sehingga dikenai hukuman, seperti dalam ayat 32 di atas. Dalam ayat
yang terakhir ini ayat 33
513
disebutkan hukuman terhadap orang yang
☺ ☺
⌧ ⌧
”Oleh karena itu Kami tetapkan suatu hukum bagi Bani Israil, bahwa: Siapapun yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Siapapun yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di
antara mereka sesudah itu yakni sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”.
”Sesungguhny a pem balasan terhadap orang-orang y ang m em erangi Allah dan Rasul- Ny a dan m em buat kerusakan di m uka bum i, hany alah m ereka dibunuh atau disalib
, atau dipotong tangan dan kaki m ereka dengan bertim bal balik,
atau dibuang dari negeri tem pat kediam anny a. Yang dem ikian itu sebagai suatu penghinaan untuk m ereka di dunia, dan di
akhirat m ereka m endapatkan siksaan y ang besar”. QS. al-Mâ’idah [5]: 32-33.
Yang dimaksud dengan ”bukan karena orang itu membunuh orang lain” ialah membunuh orang bukan karena qisas. Yang dimaksud dengan hukum ini bukanlah mengenai
Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah
anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
Yang dimaksud dengan dipotong tangan dan kaki m ereka dengan bertim bal balik, ialah dipotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
Sedangkan yang dimaksud diasingkan di sini ada pendapat berbeda. Diasingkan berarti dipenjara. Ini adalah pendapat Abû Hanîfah dan Para Sahabatnya. Pendapat lainnya, adalah dikeluarkan dari
negaranya ke negara lain lalu dipenjara. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnu J arîr. Lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr T.Tp.: Dâr Misr li al-Tibâ` ah, t.t., J uz II, h. 4, dan 53, Allâmah al-Sayyid
Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, cet. ke-5 Beirut: Muassasat al- A` lâmî li al-Matbû` ât, 1403-1983, Jilid V, h. 326-328.
513
Ada beberapa asbâb al-nuzul ayat 33 di atas. Ibnu Katsîr menyebutkan beberapa riwayat terkait asbâb al-nuzûl ayat ini, antara lain: pertam a, turun berkenaan dengan orang-
orang Musyrik. Ini merupakan riwayat Ibnu J arîr, dan riwayat Abû Dâwûd dan al-Nasâ’î dari jalan ` Ikrimah dari Ibnu ` Abbâs. Kedua, berkenaan dengan orang-orang al-Harûriyyah. Ini riwayat
Ibnu Mardawaih. Ketiga, berkenaan dengan golongan pertama rombongan al-` Urâniyyîn, yaitu dari Bajîlah. Ini perkataan Anas, yang diriwayatkan oleh Ibnu J arîr dari Yazîd bin Abî Habîb,
bahwa ` Abd Allâh bin Marwân menulis surat kepada Anas menanyakan tentang ayat ini, maka Anas membalasnya dengan memberitahukan bahwa ayat ini turun pada orang-orang al-
` Urâniyyîn yang murtad dari Islam, membunuh si penggembala dan membawa untanya --al- hadîts
. Menurut al-Suyûtî, hadis serupa juga ditakhrîj dari J arîr, dan ditakhrîj juga oleh ` Abd al- Razzâq dari Abû Hurairah. Ibnu Katsîr sendiri berpendapat bahwa ayat ini bersifat umum, bagi
cclxiii melakukan perbuatan memerangi Allah dan rasul-Nya, berbuat kerusakan
di muka bumi. Hukuman tersebut berupa hukuman mati, disalib, dipotong tangan, dan buang di suatu tempat atau dipenjara.
514
Pengertian memerangi Allah dan rasul-Nya m uhârabah adalah makna m ajâzî, yaitu memerangi manusia, mengacungkan atau
meodongkan senjata tajam, merampok, yang berakibat kemadaratan terhadap manusia. Bahkan menurut al-J assâs,
515
termasuk m uhârabah tersebut adalah melakukan perbuatan maksiat. Dalam arti luas, maksiat
adalah perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Al-Tabâtabâ’î menyatakan, bahwa pengertian luas m a` na w asî` ,
memuat penyimpangan terhadap hukum Syarî` ah dan setiap kezaliman, berbuat berlebih-lebihan isrâf, di samping juga meme-rangi Rasul
berarti membenci sebagian yang ada pada beliau.
516
Pengertian berbuat kerusakan di bumi itu fasâd au al-ifsâd fî al- ard
berwujud pada semua jenis kejelekan keburukan, bahkan banyak kalangan Salaf, di antaranya Sa` îd bin al-Musayyab, berkata: ”Bahwa
menahan menimbun dirham dan dinar itu termasuk berbuat kerusakan di muka bumi.
517
Ayat yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa berbuat kerusakan di muka bumi berakibat hukuman mati
ﻰ ضر ا دﺎ ا نأ
orang-orang Musyrik dan selainnya dari golongan orang yang melakukan sifat-sifat ini: memerangi Allah dan Rasul-Nya, berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan kata lain, ayat di atas,
turun menyangkut kasus al-` Urâniyyîn, tetapi karena redaksinya bersifat umum, maka tentu saja, --sesuai dengan kaidah tafsir—pemahaman teks ayat bukan berdasar sebab turunnya tetapi
berdasar redaksinya yang bersifat umum. Lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 49, al-Suyûtî, Lubâb al-Nuzûl
, J uz I, h. 371, al-J assâs, h. 573 dst., dan Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah J akarta: Lentera Hati, 20 0 4, J uz III, h. 79.
514
Menurut al-J assâs, ada sepuluh kandungan hukum dalam ayat tersebut, antara lain: pertam a
, ada hukum-hukum yang wajib dipegangi, pengertian hukum di sini dapat diqiyaskan; kedua
, boleh membunuh jiwa sebagai balasan pembunuhan terhadap jiwa qisas; ketiga, orang yang membunuh jiwa ia berhak mendapatkan hukuman bunuh. Lebih lanjut lihat al-Imâm Abû Bakr
Ahmad al-Râzî al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-Fikr, 1414-1993, J uz III, h. 569-571.
515
al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân, J uz III, h. 571.
516
al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân, J uz III, h. 326.
517
Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 49.
cclxiv ا
.
518
Ayat ini menunjukkan betapa melindungi jiwa itu sangat esensial HAM. Karenanya, membunuh satu jiwa saja, tanpa alasan yang
benar, sama dengan membunuh seluruh manusia.
519
Berbuat kerusakan di muka bumi itu dapat bersifat langsung dan terasa akibatnya, seperti pembunuhan, pembakaran pasar, dan perusakan
jembatan, maupun tidak langsung, seperti tindak pidana korupsi, dalam hal menyalahgunakan jabatan wewenang. Dengan demikian, perbuatan
korupsi dapat dikategorikan ke dalam perbuatan melakukan kerusakan di muka bumi.
Tentang problem hukuman terhadap koruptor ini, metode al- Maslahah al-Maqsûdah
dapat diterapkan. Berdasarkan tujuan memelihara harta hifz al-m âl, baik harta keuangan negara, daerah, dan
lembaga lain yang memperoleh bantuan dari negara, maka pelanggaran terhadap perlindungan harta ini merupakan korupsi yang dapat dikenai
hukuman pidana. Dengan kata lain, karena merugikan keuangan negara, keuangan daerah, atau keuangan badan hukum yang memperoleh
bantuan dari negara, maka hukuman dapat diterapkan. Hukuman yang dimaksud dapat berupa hukuman potong tangan.
520
Artinya, hukuman
518
Al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân, J ilid II, h. 569.
519
Demikian itu, tidak terlepas dari keberadaan seorang manusia itu sendiri. Seseorang selaku pribadi sangat mustahil dipisahkan dari masyarakatnya. Pemisahan ini hanya terjadi di
dalam teori, tetapi dalam kenyataan sosiologis, bahkan psikologis, seseorang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, walaupun ia hidup dalam gua sekalipun. Intinya seseorang
membutuhkan selainnya. Pada saat itu pula seorang anggota masyarakat itu mempunyai kedudukan yang sama. Semua harus dihargai, sehingga siapa pun yang membunuh seorang
manusia tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian juga sebaliknya, yakni seorang yang mejamin kehidupan seseorang, maka seakan-akan
ia telah menjamin kehidupan manusia seluruhnya.
Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam pandangan al-Qur’ân semua manusia, apapun ras, keturunan, dan agamanya, adalah sama dari segi kemanusiaan, dan ini sekaligus
membantah pandangan yang mengklaim keistimewaan satu ras atas ras yang lain, baik dengan mengatasnamakan agama, --sebagai anak-anak dan kekasih Tuhan, seperti orang-orang Yahudi--
maupun atas nama ilmu dan ”kenyataan”, seperti pandangan kelompok rasialis Nazi dan semacamnya. Shihab, Tafsîr al-Misbah, J uz III, h. 76-77.
520
Hukuman potong tangan juga secara jelas disebutkan dalam al-Qur’ân terkait dengan pencurian. Dalam konteks hukuman potong tangan bagi pencuri ini dapat ditafsirkan sebagai
salah satu alternatif hukuman Islam, tetapi bukan satu-satunya hukuman yang harus diterapkan. Artinya hukuman seperti ini bisa diterapkan sesuai dengan konteksnya, dan ketika telah terpenuhi
cclxv terhadap pelaku korupsi adalah hukuman setimpal, bisa diperberat
sampai hukuman potong tangan, bahkan eksekusi mati. Dasar filosofisnya, adalah bahwa hukuman ini dijatuhkan agar dapat membuat
koruptor jera, tidak mengulangi kejahatan tersebut, dan orang lain pun tidak melakukan perbuatan serupa.
Dalam konteks fiqh, hukuman tersebut termasuk ke dalam bentuk ta` zîr
,
521
yang keputusannya dijatuhkan oleh penguasa,
522
melalui keputusan hakim di peradilan. Hukuman itu dijatuhkan setelah melalui
verifikasi terhadap tanda-tanda, gejala-gejala dan bukti-bukti yang jelas al-qarâ’in al-bay y inah
.
523
Menegakkan hukum pidana ini, menurut Ibnu Qayyim al-J auziyyah, hukumnya wajib atas para penguasa.
Hukuman pidana itu dijatuhkan terhadap perbuatan yang diharamkan atau pelanggaran terhadap kewajiban.
524
Ada beberapa ulama yang memperkenankan ta` zîr dengan eksekusi mati. Mereka adalah Abû Hanîfah, Mâlik, sebagian kolega
Ahmad Ashâb Ahmad, dan J amaah pengikut Ahmad dan al-Syâfi` î.
525
berbagai persyaratannya. Hukuman seperti ini bisa dikembangkan terhadap tindakan korupsi. Ayat yang dimaksud tersebut sebagai berikut:
☺ ☺
⌧ ⌧
”Laki-laki y ang m encuri dan perem puan y ang m encuri, potonglah tangan keduany a sebagai pem balasan bagi apa y ang m ereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS. al-Mâ’idah [5]: 38.
521
Lihat Ibn Qayyim al-J auziyyah, Al-Turuq al-Hukm iy y ah fî al-Siy âsah al-Sy ar` iy y ah au al-Firâsah al-Mardiy y ah fî Ahkâm al-Siy âsah al-Sy ar` iy y ah
, Sayyid ` Imrân, ed, Kairo: Dâr al-Hadîts, 20 0 2, h. 225-226.` Abd al-Qadir Audah, al-Tasy rî` al-Jinâ’î al-Islâm î Beirut:
Mu’assasat al-Risâlah, 1998, J ilid I, h. 677-678.
522
Ibn Qayyim al-J auziyyah, Al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225.
523
Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225.
524
Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225.
525
Menurut Abû Hanîfah, ta` zîr bisa berupa eksekusi mati, karena untuk kemaslahatan, seperti eksekusi mati terhadap orang yang banyak melakukan perbuatan homoseksual al-m uktsir
m in al-liw ât , dan terhadap pembunuh, yang eksekusinya tersebut dengan menggunakan alat
yang berat.
525
Imam Mâlik berpendapat eksekusi mati terhadap orang yang al-jâsûs al-m uslim . Pendapat ini diikuti oleh sebagian kolega Ahmad. Imam Mâlik, dan para J amaah pengikut Ahmad,
dan al-Syâfi` î, juga berpendapat eksekusi mati terhadap penyeru bid` ah. Ibn Qayyim al- J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 22.
cclxvi Tujuan diterapkannya hukum pidana adalah untuk memelihara
kemaslahatan umat, yang tidak akan tercapai tanpa hukum tersebut, bahkan kemaslahatan itu akan lenyap, dan tatanan kehidupan akan
rusak.
526
Hukum pidana ini termasuk ke dalam bidang siy âsah Sy ar` iy y ah
politik hukum Islam.
527
Kemaslahatan itulah yang merupakan tujuan hukum. Kemaslahatan tersebut terlihat dalam unsur
yang terkandung dalam penjatuhan hukuman, yaitu pencegahan al-radd w a al-zajr
, dan pengajaran serta pendidikan al-islâh w a al-tahdzîb.
528
Pengertian pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus
memperbuatnya, di samping pencegahan terhadap orang lain selain pelaku agar ia tidak memperbuat jarimah, sebab ia bisa mengetahui
bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melakukan perbuatan serupa adalah sama. Dengan demikian, manfaat pencegahan
ini adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak
memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh karena tujuan hukuman, secara spesifik, adalah
pencegahan,
529
maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih
dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, hukuman itu
526
Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225.
527
Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225.
528
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 191.
529
Hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan kejahatan tindak pidana dimaksudkan, selain sebagai bentuk pencegahan, maupun pendidikan dan pelajaran, untuk
membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling hormat-menghormati dan cinta- mencintai antar sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Suatu
jarîm ah kejahatan pada hakikatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak
keadilan serta mem-bangkitkan rasa kemarahan masyarakat terhadap pelakunya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap si korban. Atas dasar itulah, hukuman yang dijatuhkan
terhadap pelaku kejahatan tidak lain merupakan salah satu cara untuk menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang telah melanggar kehormatan
masyarakat, sekaligus merupakan usaha untuk memberikan penenangan terhadap diri korban. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 191-192.
cclxvii dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami si pelaku
kejahatan, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian terwujudlah rasa keadilan. J adi, kemaslahatan akan terwujud dengan diterapkannya
suatu hukuman. Dengan diterapkannya hukuman tersebut akan tercapai perlindungan kemaslahatan umum, kemaslahatan orang banyak. Dalam
konteks inilah, kemaslahatan umum lebih dikedepankan daripada kemaslahatan personal, sebagaimana kaidah populer yang berbunyi: al-
m aslahah al-` âm m ah m uqaddam ` alâ al-m aslahah al-fardiyy ah .
Kemaslahatan personal yang dimaksud, seperti pelaku korupsi itu tidak kehilangan tangannya, dengan tidak diterapkannya hukum potong tangan.
Hukuman potong tangan atas koruptor bisa menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan.
530
Hal ini didasarkan pertimbangan antara lain, bahwa hukuman penjara terhadap koruptor ternyata tidaklah
membuat dirinya menjadi jera.
531
Adapun penerapan hukuman potong tangan, yang merupakan hukuman alternatif, dapat dilakukan setelah terpenuhinya beberapa
persyaratan, misalnya, kadar atau ukuran korupsi, besarnya kerugian yang diakibatkan korupsi tersebut, dan kuantitas tindakan yang
dilakukan. Mengenai kuantitas atau jumlah tindakan yang dilakukan itu misalnya sudah mencapai dua kali, dan sudah pernah mengalami
530
Saat ini, di Indonesia, sudah ada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi RUU Tipikor yang dalam waktu dekat akan diserahkan ke DPR RI. Dalam RUU Tipikor ini
ternyata dipastikan tidak akan dicantumkan ancaman hukuman mati. Sebab, menurut Andi Hamzah, Ketua Tim Perumus RUU tersebut, jika ancaman hukuman mati dicantumkan, akan
membuka peluang bagi para koruptor yang melarikan ke luar negeri untuk menolak diekstradisi. Lihat
http: www.indonesia.go.id id index.php?option=com_ contenttask =viewid=6651 Itemid
=701 diakses pada 31 J anuari 20 0 8.
531
Salah satu contoh, kasus korupsi Dicky Iskandar Di Nata. Pada tahun 1991 ia dijatuhi hukuman pidana penjara, oleh Pengadilan Negeri J akarta Pusat, karena terbukti melakukan
korupsi, membobol Bank Duta, yang merugikan negara Rp 750 miliar. Ia kemudian bebas pada tahun 1996 setelah diskon remisi karena kelakuan baik. Akan tetapi, setelah sepuluh tahun
menghirup udara bebas, pada tahun 20 0 6 lalu, ia kembali terlempar ke kamar penjara karena disangka ikut korupsi, membobol dana Bank Negara Indonesia BNI hingga merugikan negara
sebesar Rp 1,2 triliun. Ganti rugi Rp 80 0 miliar dalam kasus pertama pun belum dibayarnya, ia sudah tersandung kasus kedua. Hukuman yang dituntut J aksa tidaklah tanggung-tanggung,
hukuman mati. Berdasarkan tuntutan J aksa itulah, Dicki menjadi tersangka koruptor pertama di negeri ini yang dituntut hukuman mati. Lihat Tem po, Majalah Berita Mingguan, Edisi 19-25 J uni
2006, h. 96-99, dan 23.
cclxviii hukuman selain hukuman potong tangan. Dalam konteks ini, UU lah yang
menjadi dasar hukumnya. Keputusan tentang hukuman terhadap tindak pidana korupsi ini dijatuhkan melalui peradilan dengan berdasarkan
kepada perundang-undangan yang berlaku. Hukuman potong tangan itu tidaklah berarti hukuman tersebut
tidak manusiawi a-humanis. Dalam kasus hukuman tersebut yang menjadi patokan adalah terpenuhinya rasa keadilan ataukah tidak. Dilihat
dari berbagai sudut pandang, baik aspek filosofis, hukuman potong tangan tersebut tidaklah berarti mengabaikan kehormatan manusia atau
melanggar HAM. J ustru keadilan dan kemaslahatan umumlah yang hendak ditegakkan. Akan tetapi dilihat dari aspek yuridis, dan sosiologis,
perlu adanya UU yang mengaturnya, di samping juga harus telah menjadi tuntutan masyarakat luas.
Kenapa koruptor dapat dikenai hukum potong tangan. Alasannya adalah bahwa hukum potong tangan itu dapat dijadikan sebagai alternatif
hukuman yang dapat menjerakan pelaku korupsi, dan agar orang lain tidak melakukannya. Dalam konteks Indonesia, orang masih melihat
bahwa hukuman potong tangan sebagai hukuman yang mengerikan. J ika dilihat dari sisi ini, maka maksud hukum untuk menjerakan yang
mengantarkan pada social control dan social engineering akan lebih dapat tercapai, dibandingkan dengan hukuman penjara, yang telah
dirasakan sebagai hukuman yang biasa saja, tidak menjerakan. Sungguhpun dalam satu sisi tampak bertentangan dengan HAM, dalam
hal ini hak individu pelaku korupsi, tetapi haknya diabaikan untuk menjaga hak orang lain, masyarakat, bahkan negara. Dilihat dari sisi ini,
hukuman potong tangan terhadap koruptor tidaklah melanggar HAM. Berbeda dengan seorang yang memotong tangan orang lain tanpa alasan
yang dibenarkan hukum. Perbuatan ini termasuk ke dalam tindak kejahatan, yang dalam Islam, dapat dikenai hukum qisas.
cclxix
2 . Eksekusi Mati atas Tin dak Pidan a Tero rism e
Sejak beberapa tahun belakangan, istilah terorisme mulai populer. Hal ini terkait dengan berbagai aksi terorisme yang terjadi di tanah air,
dan di luar negeri.
532
Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius
terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahetraan masyarakat.
533
Lebih lanjut, dituliskan bahwa terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang
diorganisasi dengan baik w ell organized, bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa extra-ordinary crim e yang
tidak membeda-bedakan sasaran indiskriminatif.
534
Bahkan menurut UU No. 15 Tahun 20 0 3 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
ditegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam
perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
535
Berdasarkan definisi di atas, dalam terorisme terdapat tiga unsur: sifat, tujuan, dan objek cara. Sifat terorisme adalah merusak ifsâd dan
anarkhis chaos faudâ. Tujuan terorisme adalah untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Objek terorisme adalah apa
saja tanpa ada batasan aturan atau sasaran. Adapun pelaku terorisme dinamakan teroris. J adi, teroris adalah
siapa saja yang melakukan kerusakan di muka bumi, termasuk mengancam stabilitas keamanan dengan tindakan atau cara apapun.
Tindakan terorisme itu biasanya dilakukan dalam berbagai modusnya,
532
Di tanah air, misalnya, telah banyak aksi terorisme dalam bentuk bom yang menyebabkan banyak korban manusia meninggal dunia, seperti bom Bali, dan bom Kuningan.
Istilah terorisme semakin populer lagi setelah peristiwa 11 September 20 0 1 di Amerika Serikat yang menghancurkan WTC World Trade Center, yang merenggut ribuan jiwa manusia.
533
Definisi ini misalnya, dikemukakan oleh Majlis Ulama Indonesia, Fatw a MUI tentang Terorism e
T.Tp.: MUI, 20 0 5, h. 12.
534
Majlis Ulama Indonesia, Fatw a MUI tentang Terorism e, h. 12-13.
535
Lihat Undang Undang Nom or 15 Tahun 20 0 3 Tentang Pem berantasan Tindak Pidana Terorism e
.
cclxx seperti peledakan bom. Peledakan bom tersebut merupakan salah satu
modus pelaku terorisme yang telah menjadi fenomena umum di beberapa negara.
536
Salah satu hukuman terhadap kejahatan terorisme adalah hukuman mati. Hukuman mati ialah suatu hukuman atau
vonis yang
dijatuhkan pengadilan
atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
537
Hingga tahun 20 0 6, di Indonesia tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati,
seperti: Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP,
538
UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar
ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.
539
Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45
, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun”, tetapi peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.
Hukuman mati tersebut ternyata masih kontroversial. Ada kelompok yang berpendapat bahwa hukuman mati itu melanggar HAM.
536
Lihat penjelasan UU No. 15 20 0 3 di atas.
537
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati, yaitu: pancung
kepala Saudi Arabia
dan Iran
; sengatan listrik
Amerika Serikat ;
digantung Mesir
, Irak
, Iran
, J epang
, Yordania
, Pakistan
, Singapura
; suntik mati
Tiongkok ,
Guatemala ,
Thailand , AS;
tembak Tiongkok
, Somalia
, Taiwan
, Indonesia
, dan lain-lain; dan rajam
Afganistan , dan Iran.
Dalam sejarahnya, di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP
peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru
korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. W ikipedia, diakses pada 10 J anuari 20 0 8.
538
Ancaman hukuman mati misalnya terdapat dalam pasal 479o ayat 2 KUHP, tepatnya UU RI No. 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penam bahan Beberapa Pasal dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakuny a Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana
Prasarana Penerbangan .
539
W ikipedia, diakses pada 10 J anuari 20 0 8.
cclxxi Kelompok lainnya, mereka adalah pendukung hukuman mati,
beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan
tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.
Problematika hukuman mati terhadap tindak pidana terorisme menarik dikaji. Hal ini, karena istilah terorisme, merupakan istilah
modern, yang baru muncul dan populer pada abad XXI, khususnya pascatragedi WTC. Dalam perspektif Islam, terdapat beberapa ayat al-
Qur’ân dan hadis Nabi s.a.w yang dapat dikaitkan dengan terorisme dan hukumannya. Ayat-ayat al-Qur’ân di antaranya QS. al-Mâ’idah 5 ayat
32-33,
540
al-Baqarah 2 ayat 195,
541
dan al-Nisâ’ 4 ayat 29-30.
542
Para ahli ta` w îl sepakat, bahwa maksud ayat 29 surat al-Nisâ di atas adalah larangan membunuh terhadap sesama manusia. Secara
tekstual ayat tersebut melarang membunuh diri sendiri dalam mengejar dunia dan mencari kekayaan, misalnya yang mengakibatkan dirinya
540
Ayat dimaksud telah dikutip di atas terkait dengan ayat tentang tindak pidana korupsi.
541
Ayat dimaksud adalah: ... ☺
...”…Dan janganlah kam u m enjatuhkan dirim u sendiri ke dalam kebinasaan…”.
QS. al-Baqarah [2]: 195.
542
Ayat dimaksud adalah: ...
⌧ ☺
☺ ”…Dan janganlah kam u m em bunuh dirim u; Sesungguhny a Allah adalah Maha
Peny ay ang kepadam u. Dan Barangsiapa berbuat dem ikian dengan m elanggar hak dan aniay a, m aka Kam i kelak akan m em asukkanny a ke dalam neraka. Yang dem ikian itu adalah m udah
bagi Allah”. QS. al-Nisâ’ [4]: 29-30 .
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
Dalam konteks larangan membunuh diri sendiri inilah, al-Qurtûbî mengutip suatu riwayat, bahwa ayat tersebut dijadikan hujjah oleh ` Amr bin ` Âs untuk tidak mandi sewaktu berhadats besar
ketika dalam peperangan di mana air sangat dingin, karena mengkhawatirkan atas dirinya. Alasannya tersebut mendapatkan taqrîr pembenaran Nabi s.a.w.; di mana beliau tertawa, dan
tidak berkomentar apapun. HR. Abû Dâwûd dan selainnya. Lihat Abû ` Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurtûbî, al-Jâm i` li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-Kutub al-` Ilmiyyah, t.t,
J ilid III, J uz 5, h. 10 3.
cclxxii kepada kerusakan. Demikian juga mencakup larangan dendam atau
marah-marah.
543
Adapun hadis Nabi s.a.w yang terkait dengan tindakan terorisme ini, antara lain, hadis yang ditakhrîjkan oleh Abû Dâwûd:
ﺎ ﺪ ﷲا ﺪ
ا ﺮ ﺎ ﺪ ا نﺎ ﺪ
ﻬ أ و ﷲا ﻰ ﺪ
بﺎ أ ﺎ ﺪ لﺎ أ
ﺮ ا ﺪ رﺎ ﻰ إ ﻬ
ﺎ ﻬ ر مﺎ و ﷲا ﻰ ا نوﺮ اﻮ ﺎآ
ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر لﺎ عﺰ ﺬ ﺄ عوﺮ نأ
و ﺎ.
544
”…Dari ` Abd al-Rahm ân bin Abî Lailâ ia berkata telah m enceritakan kepada kam i Sahabat-Sahabat Muham m ad s.a.w .
bahw asany a m ereka berjalan bersam a Nabi s.a.w . lalu salah seorang di antara m ereka tertidur kem udian sebagian m ereka
pergi ke gunung bersam any a, lalu ia terbangun dan terkejut, m aka Rasûlullâh bersabda: ”Tidak halal bagi seorang Muslim
m enakut-nakuti orang Muslim lainny a”.
HR. Abû Dâwûd Hadis di atas
545
secara jelas menyatakan hukum menakut-nakuti, mengancam atau melakukan teror tidak diperbolehkan. Meskipun
543
Lihat al-Qurtûbî, al-Jâm i` li Ahkâm al-Qur’ân, J ilid III, J uz 5, h. 10 3.
544
Hadis ini disebutkan dalam Abî Dâwûd, Sunan Abî Dâw ûd, J uz IV, h. 30 1, hadis No. 50 0 4; Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Tabrânî, al-Mu` jam al-Ausat, Kairo: Dâr al-
Haramain, 1415 H., J uz II, h. 188, hadis No. 1673. Hadis serupa diriwayatkan oleh Ahmad dan al- Tabrânî dari ` Abd al-Rahm ân bin Abî Lailâ. Zain al-` Irâqî berkata: ”Ini adalah Hadis Hasan, dan
al-Suyûtî mensahîhkannya”. Lihat Ibrâhîm bin Muhammad al-Husainî, al-Bay ân w a al-Ta` rîf, Saif al-Dîn al-Kâtib, ed., Beirut: Dâr al-Kitâb al-` Arabî, 140 1 H., J uz II, h. 292.
545
Hadis lainnya yang terkait dengan tema ini adalah, dua hadis berikut:
نﺈ ةﺪ ﺪ أ ﻰ إ رﺎ أ و ﷲا ﻰ ﺎ ا ﻮ أ لﺎ لﻮ ةﺮ ﺮه ﺎ أ
ﺮ أو
ﺎ أ نﺎآ نإو ﻰ ﺔﻜ
ا .
”… Dari ibn Sîrîn Say a m endengar Abû Hurairah berkata: ‘Abû al-Qasim s.a.w . bersabda: ”Siapasaja y ang m engacungkan senjata tajam kepada saudarany a Muslim , m aka
sungguh Malaikat akan m elaknatny a bahkan w alaupun saudarany a itu adalah saudara sebapak dan seibuny a saudara kandung”.
HR. Muslim dari Abû Hurairah r.a.
و ﷲا ﻰ ا ﷲا
ر ةﺮ ﺮه أ رﺎ ﻮﻬ
ىدﺮ لﺎ ﺎ ﻰ و اﺪ أ ﺎﻬ اﺪ اﺪ ﺎ ىدﺮ ﻬ
ﺎﻬ اﺪ اﺪ ﺎ ﻬ رﺎ ﺎ ﺪ
اﺪ أ ﺎﻬ اﺪ اﺪ ﺎ ﻬ رﺎ ﺎﻬ ﺄ ﺪ ﺪ ﺪ ةﺪ ﺪ
و اﺪ أ .
cclxxiii demikian, apa yang dimaksud dengan kata-kata menakut-nakuti di atas
dapat berarti luas. Dalam hal inilah hadis ini harus ditempatkan sebagai teks terbuka open texture terhadap penafsiran yang relevan dengan
konteks kekinian. Dengan menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah,
tindakan terorisme adalah bertentangan dengan m aqâsid al-Sy arî` ah, terutama hifz al-nafs. Demikian juga terorisme bertentangan dengan
HAM. Atas dasar itulah, maka terorisme hukumnya haram. Berdasarkan ketentuan ini, maka hukuman terhadap tindak pidana terorisme sesuai
dengan besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari tindakan kejahatan tersebut. Bila tindakan teorisme itu sampai menimbulkan jatuhnya jiwa
manusia, maka pelaku teroris itu dapat dikenai eksekusi mati. Eksekusi mati ini ditinjau dari hak hidup individu pelaku
kejahatan tersebut memang melanggar HAM. Akan tetapi hak hidup korban dan bahkan orang banyak masyarakat, juga merupakan HAM
yang harus dijamin. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan antara dua hak ini, maka hak hidup si korban dan orang banyak lebih
diutamakan daripada hak hidup individu pelaku kejahatan dalam kasus demikian.
”… Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w . bersabda: ”Siapa saja y ang m enjatuhkan diri dari sebuah gunung lalu ia terbunuh m aka ia m asuk neraka, terhem pas di dalam ny a, kekal
lagi dikekalkan di dalam ny a; Siapa saja y ang m em asukkan sesuatu racun y ang m em bunuhny a, m aka di neraka nanti ia akan m asuk ke neraka jahannam , kekal lagi dikekalkan di dalam ny a;
Siapa saja y ang m em bunuh diriny a dengan senjata tajam , m aka nanti ia datang dengan senjata tajam y ang ada di tanganny a m enusukkan ke dalam perutny a di neraka Jahannam , ia
kekal lagi dikekalkan di dalam ny a selam a-lam any a”.
HR. al-Bukhârî, Muslim, Ahmad, al- Tirmîdzî, dll.
Hadis yang pertama ditakhrîjkan oleh Muslim dalam ﻰ إ ح
ﺎ ةرﺎ ا ﻬ ا بﺎ Bab
Larangan Mengacungkan Pedang kepada orang Muslim, hadis No. 2616, dalam Sahîh al-Muslim , J ilid IV, h. 20 20 . Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmîdzî dari Abû Hurairah dalam Sunan al-
Tirm îdzî , J ilid IV, h. 463; Ahmad, hadis No. 7470 , 10 565, dalam Musnad Ahm ad, J ilid II, h. 256,
50 5; J ilid VI, h. 266; dan al-Tabrânî, hadis No. 6671, dalam al-Mu` jam al-Ausat, J ilid VI, h. 378. Redaksi hadis yang kedua di atas adalah milik al-Bukhârî, ditakhrîjkan dari Abû
Hurairah, Sahîh al-Bukhârî, J uz 2, hadis No. 2179; al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirm îdzî, J uz IV, h. 386, hadis no. 10 9; Ahmad, Musnad Ahm ad, J uz II, hadis No. 7441, h. 254, No. 10 198, h. 478, No.
10 342, h. 488. Lihat al-Maktabah al-Alfiy y ah, 1,5, dalam al-Mausû` ah al-Dzahabiy y ah li al- Hadîts al-Nabaw î al-Sy arîf w a ` Ulûm uhu
, 1997, CD Room.
cclxxiv
3 . Eksekusi Mati atasTin dak Pidan a Narko tika
Di Indonesia telah ada UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
546
Dalam Pasal 1 UU ini disebutkan pengertian Narkotika. ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergan- tungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam undang-undang ini
547
atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan”.
548
Mahkamah Konstitusi MK
549
menyatakan bahwa kejahatan- kejahatan yang telah diatur dalam UU No 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika tersebut, yaitu Pasal 80 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a; Pasal 81 ayat 3 huruf a; serta Pasal 82 ayat 1 huruf a,
ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a, tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun
menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, menurut MK, kualifikasi
546
Lihat dalam Undang-undang Narkotika UU No. 22 Th. 1997, Psikotropika UU No. 5 Th. 1997
, J akarta: Sinar Grafika, 20 0 5.
547
Dalam bagian Penjelasan Pasal 2 UU Narkotika, golongan-golongan narkotika tersebut digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu: ”Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya
dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika
Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan”.
Dalam Lampiran UU tersebut, disebutkan yang termasuk ke dalam golongan I ada 26 macam; golongan II 87 macam; dan golongan III 14 macam. Lihat Undang-undang Narkotika
UU No. 22 Th. 1997 , h. 74-80 .
548
UU No. 22 Th. 1997 Tentang Narkotika.
549
h ttp: www.indonesia.go.id id produk_ uu isi uu2000 index.php?option=com_ content
task=viewid=5934Itemid=701 , diakses pada 17 Desember 20 0 7.
cclxxv kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan
dengan ”the m ost serious crim e” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.
550
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang serius, karena sangat mengancam kehidupan
manusia. Oleh karena itulah, sudah sewajarnya jika tindak pidana narkotika itu dikenaki hukuman yang berat.
Adapun pelanggaran narkotika yang dapat dikenai hukuman mati menurut UU Narkotika adalah pelanggaran golongan narkotika I. Hal ini,
sebagaimana dikatakan J eane Mandagi, konsultan ahli Badan Narkotika Nasional BNN, bahwa berdasarkan Pasal 80 jo Pasal 81 jo Pasal 82 UU
No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual
narkotika golongan I saja. Sedangkan terhadap narkotika golongan II dan III, ancaman hukuman mati tidak diberlakukan.
551
Henry Yosodiningrat, Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkotika Granat, berpendapat
ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar. Sedangkan pada
pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut, ancaman hukumannya bukanlah hukuman mati.
552
Dalam konteks hukum Islam, hukuman tindak pidana narkotika tidak disebutkan secara jelas spesifik, baik dalam al-Qur’ân maupun
Hadis. al-Qur’ân maupun hadis memang tidak memberikan ketentuan- ketentuan yang spesifik terkait dengan hukumam pidana terhadap
pelanggaran narkotika, seperti eksekusi mati. Ayat al-Qur’ân yang terkait dengan hukuman pidana, seperti eksekusi mati, antara lain: QS. al-
Maidah 5 ayat 32-33, al-Baqarah 2: 178, al-Isrâ’ :33. Dalam al-Qur’ân surat al-Mâ’idah, sebagaimana telah dikutip di atas, disebutkan tentang
beberapa hukuman terhadap perbuatan merusak kehidupan. Berbuat
550
Lihat ICCPR dalam Baderin, International Hum an Rights, h. 66.
551
http: hukumonline.com detail.asp?id=16544cl=Berita diakses pada 26 November 2007.
552
h ttp: hukumonline.com detail.asp?id=16544cl=Berita
cclxxvi kerusakan di bumi itu fasâd fî al-ard dapat berwujud perusakan secara
tidak langsung terhadap kehidupan dan akal manusia. Perbuatan narkotika sangat mengancam kehidupan dan akal.
Adapun Hadis-hadis Nabi saw. yang terkait dengan hukuman bunuh, antara lain, hadis riwayat ` Abd Allâh berikut:
ةﺮ ﷲا ﺪ ا ﺎ ﺪ أ ﺎ ﺪ
ﺮ ﺎ ﺪ و
ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر لﺎ لﺎ ﷲا ﺪ قوﺮ :
مد ئﺮ ا
ﺪﻬ نأ
إ ﷲا لﻮ ر أو ﷲا إ
اﺰ ا او
ﺎ ا ث ىﺪ ﺈ إ
ﺔ ﺎ كرﺎ ا ﺪ قرﺎ او
.
553
”Dari ` Abd Allâh ia berkata: ’Rasulullâh s.a.w . bersabda: ”Tidak di halalkan darahny a seseorang m uslim y ang m engakui
bahw asa-ny a tidak ada Tuhan selain Allah dan aku ini utusan- Ny a kecuali disebabkan salah satu dari tiga m acam : 1 Duda
Janda y ang berzina, 2 Mem bunuh orang dengan sengaja, dan 3 Orang yang m eninggalkan agam any a serta m em isahkan diri,
dari Jam a’ah m urtad”
. Muttafaq ` Alaih Dalam hal ini, menurut penulis, hukuman mati, seperti dalam
bentuk rajam terhadap orang yang melakukan zina m uhsan merupakan salah satu alternatif hukuman yang diberikan Tuhan kepada manusia,
sesuai dengan konteks perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia ketika itu. Artinya, hukuman tersebut tidak bersifat qat` î tidak
dapat berubah, permanen, namun bersifat zannî dan temporer. Dasar
553
Hadis di atas adalah redaksi milik al-Bukhârî. Hadis tersebut ditakhrîj oleh al-Bukhârî, hadis No. 6484 dalam Sahîh al-Bukhârî, J uz VI, h. 2521; dan Muslim, hadis No. 1676 dalam
Sahîh Muslim , J uz III, h. 130 2. Selain hadis di atas, berikut juga hadis terkait dengan hukuman
bunuh:
ا ﺪ ﺎ ﺪ
سﺎ ﺎ ﻮ قﺮ ﷲا ر ﺎ نأ ﺔ ﺮﻜ بﻮ أ نﺎ ﺎ ﺪ ﷲ
ﷲا ﻰ ا لﺎ ﺎ آ ﻬ و ﷲا باﺬ اﻮ ﺬ لﺎ و
ﷲا ﻰ ا ن ﻬ ﺮ أ ﺎ أ آ ﻮ لﺎ
ﻮ ﺎ د لﺪ و .
”…Barang siapa yang m engubah agam anya kem udian m em usuhi kaum m uslim in, m aka bunuhlah dia”.
HR. al-Bukhârî dari ibn ` Abbâs r.a.. Hadis semacam ini juga ditakhrîjkan oleh al-Tirmîdzî, Abû Dâwud, Ahmad, Ibnu Mâjah,
al-Dârûqutnî, al-Baihâqî, semuanya dari Ibnu ` Abbâs r.a.
cclxxvii yang dijadikan pembeda antara yang permanen dan yang temporer adalah
al-m aqâsid al-Sy arî` ah . Apabila nass sejalan dengan al-m aqâsid al-
Sy arî` ah maka ia tergolong bersifat permanen. Sedangkan bila tidak
sejalan dengannya, maka ia tergolong bersifat temporer. Lebih jelasnya, suatu nass yang terkait dengan jenis sanksi hukum, maka sifatnya adalah
temporer, sedangkan yang terkait dengan jenis perintah atau larangan yang sejalan dengan al-m aqâsid al-Sy arî` ah maka sifatnya permanen.
Yang permanen itulah yang sebenarnya merupakan Sy arî` ah. Sedangkan yang temporer itu merupakan fiqh.
Terkait dengan hukuman pidana tersebut, menurut Ahmad Hanafi, ada 3 unsur untuk menilik suatu tindakan sebagai jarîm ah. Pertam a,
unsur formil rukun sy ar` î, yakni adanya nass yang melarang dan memberikan ancaman. Kedua, unsur material rukun m addî ialah
tindakan. Dan ketiga, unsur moril rukun adabî, ialah pelakunya mukallaf.
554
Atas dasar inilah, terdapat nass yang melarang berbuat kerusakan di muka bumi, dan memberikan ancamannya, berupa dibunuh,
dipotong tangan, disalib, dan diasingkan, dapat di-pahami sebagai dipenjara.
Akan tetapi nass yang telah dikutip di atas tidak secara jelas dan spesifik melarang tindak pidana narkotika dan memberikan hukuman-
nya. Nass di atas bersifat umum. Dalam menyoroti problem eksekusi mati terhadap tindak pidana narkotika tersebut, metode al-Maslahah al-
Maqsûdah dapat diterapkan. Berangkat dari tujuan Sy arî` ah berupa hifz
al-nafs, hifz al-` aql , segala yang merusak pemeliharaan tujuan tersebut
maka harus dicegah. Upaya pencegahan ini dapat berbentuk hukuman preventif dan sanksi kuratif. Tindak pidana narkotika dapat digolongkan
sebagai tindakan kejahatan yang sangat mengancam kehidupan dan aktivitas akal. Bahaya narkotika ini tidak hanya mengancam individu tapi
juga masyarakat bahkan lebih besar lagi. Semakin besar mafsadat yang
554
Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam , h. 6.
cclxxviii ditimbulkan dari tindakan pidana ini, maka semakin besar atau berat pula
ancaman dan hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Larangan melakukan kejahatan narkotika yang didasarkan pada hifz al-nafs hifz al-
` aql sebagaimana larangan terhadap minuman keras. Mengonsumsi
minuman keras dipandang dapat merusak akal, bahkan dapat menghantarkan diri ke dalam kematian, sehingga dilarang.
Berdasarkan alur pemikiran di atas, hukuman mati terhadap terpidana narkotika dapat diberlakukan. Dalam hal ini, hukuman mati
tersebut dikenakan terhadap mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Demikian juga kepada pengedar
narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar, bukan pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk
mengisi perut. Tujuan hukuman mati tersebut adalah untuk melindungi kehidupan yang lebih besar. Artinya agar tindakan kejahatan ini tidak
semakin melebar. Dengan demikian, dilihat dari sisi filosofis, hukuman ini dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku maupun orang lain agar
tidak melakukan kejahatan yang serupa. Di samping itu, dilihat dari sisi sosiologis, hukuman mati ini dapat menjaga kemaslahatan, dan
ketenteraman masyarakat. Hukuman mati tersebut memang masih diperlukan. Pendapat
seperti ini, antara lain, dikemukakan Rudi Satriyo, ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia UI, menilai pidana mati masih
dibutuhkan dalam sistem hukum di Indonesia. Hukuman mati berfungsi untuk memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain. Selain
itu, pidana mati memiliki manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.
555
Kesimpulan hukuman mati terhadap terpidana narkotika tersebut yang dihasilkan melalui metode al-Maslahah al-Maqsûdah didasarkan
kepada tujuan hukum, berupa kemaslahatan umum m aqâsid al-
555
http: hukumonline.com detail.asp?id=16544cl=Berita
cclxxix Sy arî` ah
, di samping juga didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan filosofis, yuridis legalitas, dan sosiologis.
556
Pertimbangan ini merupakan salah satu acuan al-Maslahah al-Maqsûdah yang mempertimbangkan realitas empirik. Dalam konteks inilah, HAM
bagi seorang pelaku kejahatan narkotika harus dibatasi dengan HAM orang lain dan orang banyak.
Sebagai penjelas seluruh uraian di atas, perlu ditegaskan beberapa hal berikut terkait hak-hak yang terdapat dalam HAM Internasional, dan
syarat-syarat penggunaan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Pertam a, bahwa dalam keseluruhan hak-hak yang terdapat dalam HAM
Internasional tersebut, haruslah ditempatkan dalam kerangka hubungan antara satu hak dengan hak yang lain. Dengan kata lain, hak individu
tidak mutlak berdiri sendiri, namun terkait dengan hak orang lain, bahkan hak orang banyak. Misalnya, hak hidup individu terkait dengan
hak hidup orang lain, bahkan orang banyak. Ketika seorang individu menuntut hak hidup, tetapi mengabaikan hak hidup orang lain, karena
perbuatan yang dilakukannya merugikan orang lain itu, maka hak hidupnya dapat diabaikan, demi menjaga hak hidup orang lain tersebut.
Kedua , penerapan HAM Internasional berhubungan dengan
perundang-undangan lokal negara. Sepanjang hukum lokal masih
556
Pertam a, pertimbangan aspek filosofis, mengenai untuk apa dan kepada siapa hukum itu dimaksudkan. Hukum itu ditujukan kepada manusia untuk menciptakan kemaslahatan, yang
berupa ketenteraman, ketertiban, dan kedamaian masyarakat. Artinya hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk tujuan yang mulia, kemanusiaan, keadilan sosial, kemaslahatan
individu dan publik. Keadilan, dan kemaslahatan individu dan publik merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam m aqâsid al-Sy arî` ah. Kedua, hukuman pidana diterapkan agar pelaku
pelanggaran menjadi jera, tidak mengulanginya lagi, dan orang lain pun tidak meniru melakukan pelanggaran yang serupa. Ketiga, dalam melihat suatu bentuk hukuman, yang mesti diperhatikan
adalah apakah hukuman tersebut efektif dan bagaimana pula implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keem pat, pertimbangan aspek sosiologis menjadi
penting ketika suatu hukuman hendak diterapkan. Artinya masyarakat telah siap dan sepakat dengan suatu peraturan. Selain aspek sosiologis, penerapan hukuman pun harus
mempertimbangkan berbagai aspek lain: aspek psikologis, aspek ekonomis, politis, dsb. Kelim a, pertimbangan aspek legalitas yuridis. Artinya suatu hukuman punya dasar pijakan berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini, telah ada UU tentang Narkotika yang menentukan hukuman pidana atas pelaku tindak pidana tersebut. Tentang pertimbangan-
pertimbangan lihat Achmad ` Aly MD, ”Hukum Cambuk, Humanis dan Adilkah?”, Republika, 15 J uli 20 0 5.
cclxxx sejalan dengan HAM Internasional, maka dapat dilaksanakan. Sebaliknya,
ketika hukum lokal secara nyata bertentangan dengan HAM Internasional, maka hukum lokal itu harus disesuaikan.
Adapun penerapan metode al-Maslahah al-Maqsûdah haruslah memperhatikan beberapa syarat berikut: Pertam a, bertujuan untuk
merealisasikan m aqâsid al-Syarî` ah, pada satu sisi, dan HAM Internasional pada sisi yang lain. Kedua, di samping untuk merealisasikan
tujuan itu, dalam penerapannya terhadap kasus-kasus hukum harus dengan mempertimbangan berbagai aspek terkait, yaitu pertimbangan
psikologis, sosial, ekonomis, dan aspek politik, dalam arti perundang- udangan yang masih berlaku. Ketiga, dipergunakan sebagai metode
ijtihâd alternatif. Artinya, bukan sebagai satu-satunya metode ijtihâd.
Demikianlah implementasi metode al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, berikut penjelasan syarat-
syarat implementasinya. Berdasarkan uraian tersebut, metode al- Maslahah al-Maqsûdah
dapat digunakan untuk pengembangkan hukum Islam yang lebih kontekstual, baik dalam konteks hukum personal
maupun konteks publik hukum negara. Dengan kata lain, bahwa dengan mengoptimalkan aplikasi atau implementasi metode al-Maslahah al-
Maqsûdah sebagai metode usûl al-fiqh kontemporer, hukum Islam akan
mampu berkembang, dapat mampu menjawab problematika zaman secara lebih memuaskan. Hal ini dikarenakan, aplikasi metode al-
Maslahah al-Maqsûdah memperhatikan spirit hukum m aqâsid al-
Sy arî` ah dan realitas sosial, yang terwujud dalam HAM. Hukum yang
ditarik melalui metode al-Maslahah al-Maqsûdah tersebut menjamin keberadaan manusia sebagai seorang individu, dan sebagai anggota
masyarakat atau bagian dari kolektifitas manusia, sehingga keseimbangan akan terwujud antara hak individu dan hak masyarakat.
Dengan demikian, dengan menerapkan metode al-Maslahah al- Maqsûdah
sebagai salah satu wujud optimalisasi tradem arke usûl al-fiqh,
cclxxxi bisa diharapkan hukum yang dirumuskan akan reasonable dan aplicable,
relevan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Lebih lanjut, hukum yang diterapkan tersebut dapat menjadi social control kontrol masyarakat,
warga negara dan as a tool of social engineering menjadi perangkat perubahan positif bagi masyarakat.
cclxxxii
BAB V PEN U TUP
A. Kesim pulan
Berdasarkan pembahasan terdahulu diambil kesimpulan, bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah
ةدﻮ ا ﺔ
ا adalah metode ijtihâd alternatif kontemporer
دﺎﻬ ا ﻬ
يرﺎ ا
ﺮ ﺎ ا , m anhaj al-ijtihâd al-ikhtiy ârî al-
m u` âsir , karena relevansinya dengan m aqâsid al-Sy arî` ah dan HAM
Internasional. Relevansi ini berwujud dalam bentuk penggunaan m aqâsid al- Sy arî` ah
dan HAM sebagai paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah dalam menarik hukum ijtihâd. Pada satu sisi, al-Maslahah al-Maqsûdah
menekankan m aqâsid al-Sy arî` ah yang telah diformulasikan secara lebih luas. Pada sisi yang lain, al-Maslahah al-Maqsûdah bersinergi dengan HAM.
Hubungan antara keduanya m aqâsid al-Syarî` ah dengan HAM sangatlah erat dan integral. Maqâsid al-Sy arî` ah lebih berdimensi teosentris
ketuhanan, ilâhiy y ah atau moral-transendental, karena diformulasikan dari wahyu al-Qur’ân oleh m ujtahid, sebagai hasil dari kreatifitas manusia.
Dalam Maqâsid al-Syarî` ah kemaslahatan umum m aslahah al-` âm m ah, public interests
lebih dijamin daripada kemaslahatan pribadi m aslahah al- fard
, individual interests. Sedangkan HAM lebih berdimensi antroposentris kemanusiaan, insâniy y ah, sebagai produk dan realitas kemanusiaan
tajribat al-insâniy y ah . Dalam HAM kemaslahatan individu individual
interests lebih dijamin daripada kemaslahatan umum public interests.
Ijtihâd dengan berpijak pada paradigma m aqâsid al-Sy arî` ah, sebagai spirit
hukum yang berdimensi ilâhiy y ah, dan HAM, sebagai sebuah realitas