Eksekusi H ukum an Po to n g Tan gan atas Tin dak Pidan a Ko rupsi

cclx tersebut sebagai m aslahah m ulghah yang harus dihindarkan, karena jelas-jelas ada nass yang menjelaskan larangan saling mewarisi ini. J adi maslahat yang muncul dari saling mewarisi antar beda agama ini adalah dapat meningkatkan hubungan yang harmonis, persaudaraan dan perdamaian antara mereka. J ustru dengan adanya saling mewarisi ini hubungan-hubungan yang harmonis di antara mereka dapat lebih terwujud. Dengan demikian, hukum WBA secara mutlak, baik Muslim terhadap nonMuslim, dan sebaliknya, maupun sesama nonMuslim, adalah boleh m ubâh halâl.

C. Bidan g H ukum Pidan a

1. Eksekusi H ukum an Po to n g Tan gan atas Tin dak Pidan a Ko rupsi

Korupsi merupakan salah satu masalah yang sangat serius. Secara harfiah istilah korupsi 50 7 berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Orang yang melakukan korupsi disebut koruptor. Di Indonesia telah ada empat UU, dan satu peraturan pemerintah PP tentang korupsi. 50 8 Pengertian korupsi yang dimaksud di sini, 507 Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut disalin menjadi corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie korruptie. Menurut Andi Hamzah, agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Dikutip dalam Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Form il Korupsi di Indonesia , Malang: Bayumedia Publishing, 20 0 5, h. 1. 508 UU tersebut adalah UU No. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disatukan dengan UU No. 20 20 0 1 tentang Perubahan Atas UU No. 31 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi; UU No. 28 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; dan UU No. 30 20 0 2 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun PP tersebut adalah PP No. 71 20 0 0 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak cclxi diambil dari UU tersebut. Adapun yang dimaksud tindak pidana perbuatan korupsi adalah suatu perbuatan pidana yang terjadi apabila si pembuat melakukan kejahatan atau pelanggaran yang 1 merugikan negara, atau 2 yang dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan, atau 3 tindak pidana lainnya yang merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, keuangan daerah, atau keuangan badan hukum yang memperoleh bantuan dari negara. 50 9 Dengan demikian, korupsi adalah perbuatan tindakan penya- lahgunaan kekuasaan wewenang yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan atau kelompok yang merugikan negara, orang banyak rakyat, dan pihak lain. 510 Dalam konteks fiqh, ada beberapa macam perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam bentuk korupsi, yaitu risy w ah suap, khiy ânah seperti m ark up, penyalahgunaan fasilitas negara, ghulûl penggelapan, dan m ukts perampasan. 511 al-Qur’ân maupun hadis tidak memberikan ketentuan hukuman terhadap tindak pidana korupsi. al-Qur’ân hanya memberikan ketentuan secara umum tentang perbuatan yang merusak kehidupan fasâd fî al- ard . Selain itu secara spesifik memberikan ketentuan hukuman potong tangan terhadap pelaku pencurian. Ayat yang terkait dengan perbuatan merusak kehidupan, dan ancaman hukumannya, antara lain, QS. al-Mâ’idah 5 ayat 32-33. 512 Ayat Pidana Korupsi. Tentang UU dan PP ini lihat pada bagian Lampiran yang terdiri dari 4 Lampiran, dalam Chazawi, Hukum Pidana, h. 1-144 . 509 Lihat Chazawi, Hukum Pidana, h. 2-5. 510 Achmad ` Aly MD, ”Membangun Fiqh Anti Korupsi Catatan dan Sosialisasi Hasil Bahtsul Masa’il Nasional”, dalam Harian Um um Pelita, 9 J uni 20 0 4. 511 ` Aly MD, ”Membangun Fiqh Anti Korupsi”. 512 Ayat dimaksud sebagai berikut: ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ cclxii yang pertama ini menerangkan tentang pelanggaran terhadap hak hidup seseorang merupakan perbuatan yang mengancam kemanusiaan, sehingga dikenai hukuman, seperti dalam ayat 32 di atas. Dalam ayat yang terakhir ini ayat 33 513 disebutkan hukuman terhadap orang yang ☺ ☺ ⌧ ⌧ ”Oleh karena itu Kami tetapkan suatu hukum bagi Bani Israil, bahwa: Siapapun yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Siapapun yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu yakni sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”. ”Sesungguhny a pem balasan terhadap orang-orang y ang m em erangi Allah dan Rasul- Ny a dan m em buat kerusakan di m uka bum i, hany alah m ereka dibunuh atau disalib , atau dipotong tangan dan kaki m ereka dengan bertim bal balik, atau dibuang dari negeri tem pat kediam anny a. Yang dem ikian itu sebagai suatu penghinaan untuk m ereka di dunia, dan di akhirat m ereka m endapatkan siksaan y ang besar”. QS. al-Mâ’idah [5]: 32-33. Yang dimaksud dengan ”bukan karena orang itu membunuh orang lain” ialah membunuh orang bukan karena qisas. Yang dimaksud dengan hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya. Yang dimaksud dengan dipotong tangan dan kaki m ereka dengan bertim bal balik, ialah dipotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan. Sedangkan yang dimaksud diasingkan di sini ada pendapat berbeda. Diasingkan berarti dipenjara. Ini adalah pendapat Abû Hanîfah dan Para Sahabatnya. Pendapat lainnya, adalah dikeluarkan dari negaranya ke negara lain lalu dipenjara. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnu J arîr. Lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr T.Tp.: Dâr Misr li al-Tibâ` ah, t.t., J uz II, h. 4, dan 53, Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, cet. ke-5 Beirut: Muassasat al- A` lâmî li al-Matbû` ât, 1403-1983, Jilid V, h. 326-328. 513 Ada beberapa asbâb al-nuzul ayat 33 di atas. Ibnu Katsîr menyebutkan beberapa riwayat terkait asbâb al-nuzûl ayat ini, antara lain: pertam a, turun berkenaan dengan orang- orang Musyrik. Ini merupakan riwayat Ibnu J arîr, dan riwayat Abû Dâwûd dan al-Nasâ’î dari jalan ` Ikrimah dari Ibnu ` Abbâs. Kedua, berkenaan dengan orang-orang al-Harûriyyah. Ini riwayat Ibnu Mardawaih. Ketiga, berkenaan dengan golongan pertama rombongan al-` Urâniyyîn, yaitu dari Bajîlah. Ini perkataan Anas, yang diriwayatkan oleh Ibnu J arîr dari Yazîd bin Abî Habîb, bahwa ` Abd Allâh bin Marwân menulis surat kepada Anas menanyakan tentang ayat ini, maka Anas membalasnya dengan memberitahukan bahwa ayat ini turun pada orang-orang al- ` Urâniyyîn yang murtad dari Islam, membunuh si penggembala dan membawa untanya --al- hadîts . Menurut al-Suyûtî, hadis serupa juga ditakhrîj dari J arîr, dan ditakhrîj juga oleh ` Abd al- Razzâq dari Abû Hurairah. Ibnu Katsîr sendiri berpendapat bahwa ayat ini bersifat umum, bagi cclxiii melakukan perbuatan memerangi Allah dan rasul-Nya, berbuat kerusakan di muka bumi. Hukuman tersebut berupa hukuman mati, disalib, dipotong tangan, dan buang di suatu tempat atau dipenjara. 514 Pengertian memerangi Allah dan rasul-Nya m uhârabah adalah makna m ajâzî, yaitu memerangi manusia, mengacungkan atau meodongkan senjata tajam, merampok, yang berakibat kemadaratan terhadap manusia. Bahkan menurut al-J assâs, 515 termasuk m uhârabah tersebut adalah melakukan perbuatan maksiat. Dalam arti luas, maksiat adalah perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Al-Tabâtabâ’î menyatakan, bahwa pengertian luas m a` na w asî` , memuat penyimpangan terhadap hukum Syarî` ah dan setiap kezaliman, berbuat berlebih-lebihan isrâf, di samping juga meme-rangi Rasul berarti membenci sebagian yang ada pada beliau. 516 Pengertian berbuat kerusakan di bumi itu fasâd au al-ifsâd fî al- ard berwujud pada semua jenis kejelekan keburukan, bahkan banyak kalangan Salaf, di antaranya Sa` îd bin al-Musayyab, berkata: ”Bahwa menahan menimbun dirham dan dinar itu termasuk berbuat kerusakan di muka bumi. 517 Ayat yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa berbuat kerusakan di muka bumi berakibat hukuman mati ﻰ ضر ا دﺎ ا نأ orang-orang Musyrik dan selainnya dari golongan orang yang melakukan sifat-sifat ini: memerangi Allah dan Rasul-Nya, berbuat kerusakan di muka bumi. Dengan kata lain, ayat di atas, turun menyangkut kasus al-` Urâniyyîn, tetapi karena redaksinya bersifat umum, maka tentu saja, --sesuai dengan kaidah tafsir—pemahaman teks ayat bukan berdasar sebab turunnya tetapi berdasar redaksinya yang bersifat umum. Lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 49, al-Suyûtî, Lubâb al-Nuzûl , J uz I, h. 371, al-J assâs, h. 573 dst., dan Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbah J akarta: Lentera Hati, 20 0 4, J uz III, h. 79. 514 Menurut al-J assâs, ada sepuluh kandungan hukum dalam ayat tersebut, antara lain: pertam a , ada hukum-hukum yang wajib dipegangi, pengertian hukum di sini dapat diqiyaskan; kedua , boleh membunuh jiwa sebagai balasan pembunuhan terhadap jiwa qisas; ketiga, orang yang membunuh jiwa ia berhak mendapatkan hukuman bunuh. Lebih lanjut lihat al-Imâm Abû Bakr Ahmad al-Râzî al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-Fikr, 1414-1993, J uz III, h. 569-571. 515 al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân, J uz III, h. 571. 516 al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân, J uz III, h. 326. 517 Ibnu Katsîr, Tafsîr Ibnu Katsîr, h. 49. cclxiv ا . 518 Ayat ini menunjukkan betapa melindungi jiwa itu sangat esensial HAM. Karenanya, membunuh satu jiwa saja, tanpa alasan yang benar, sama dengan membunuh seluruh manusia. 519 Berbuat kerusakan di muka bumi itu dapat bersifat langsung dan terasa akibatnya, seperti pembunuhan, pembakaran pasar, dan perusakan jembatan, maupun tidak langsung, seperti tindak pidana korupsi, dalam hal menyalahgunakan jabatan wewenang. Dengan demikian, perbuatan korupsi dapat dikategorikan ke dalam perbuatan melakukan kerusakan di muka bumi. Tentang problem hukuman terhadap koruptor ini, metode al- Maslahah al-Maqsûdah dapat diterapkan. Berdasarkan tujuan memelihara harta hifz al-m âl, baik harta keuangan negara, daerah, dan lembaga lain yang memperoleh bantuan dari negara, maka pelanggaran terhadap perlindungan harta ini merupakan korupsi yang dapat dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, karena merugikan keuangan negara, keuangan daerah, atau keuangan badan hukum yang memperoleh bantuan dari negara, maka hukuman dapat diterapkan. Hukuman yang dimaksud dapat berupa hukuman potong tangan. 520 Artinya, hukuman 518 Al-J assâs, Ahkâm al-Qur’ân, J ilid II, h. 569. 519 Demikian itu, tidak terlepas dari keberadaan seorang manusia itu sendiri. Seseorang selaku pribadi sangat mustahil dipisahkan dari masyarakatnya. Pemisahan ini hanya terjadi di dalam teori, tetapi dalam kenyataan sosiologis, bahkan psikologis, seseorang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, walaupun ia hidup dalam gua sekalipun. Intinya seseorang membutuhkan selainnya. Pada saat itu pula seorang anggota masyarakat itu mempunyai kedudukan yang sama. Semua harus dihargai, sehingga siapa pun yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian juga sebaliknya, yakni seorang yang mejamin kehidupan seseorang, maka seakan-akan ia telah menjamin kehidupan manusia seluruhnya. Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam pandangan al-Qur’ân semua manusia, apapun ras, keturunan, dan agamanya, adalah sama dari segi kemanusiaan, dan ini sekaligus membantah pandangan yang mengklaim keistimewaan satu ras atas ras yang lain, baik dengan mengatasnamakan agama, --sebagai anak-anak dan kekasih Tuhan, seperti orang-orang Yahudi-- maupun atas nama ilmu dan ”kenyataan”, seperti pandangan kelompok rasialis Nazi dan semacamnya. Shihab, Tafsîr al-Misbah, J uz III, h. 76-77. 520 Hukuman potong tangan juga secara jelas disebutkan dalam al-Qur’ân terkait dengan pencurian. Dalam konteks hukuman potong tangan bagi pencuri ini dapat ditafsirkan sebagai salah satu alternatif hukuman Islam, tetapi bukan satu-satunya hukuman yang harus diterapkan. Artinya hukuman seperti ini bisa diterapkan sesuai dengan konteksnya, dan ketika telah terpenuhi cclxv terhadap pelaku korupsi adalah hukuman setimpal, bisa diperberat sampai hukuman potong tangan, bahkan eksekusi mati. Dasar filosofisnya, adalah bahwa hukuman ini dijatuhkan agar dapat membuat koruptor jera, tidak mengulangi kejahatan tersebut, dan orang lain pun tidak melakukan perbuatan serupa. Dalam konteks fiqh, hukuman tersebut termasuk ke dalam bentuk ta` zîr , 521 yang keputusannya dijatuhkan oleh penguasa, 522 melalui keputusan hakim di peradilan. Hukuman itu dijatuhkan setelah melalui verifikasi terhadap tanda-tanda, gejala-gejala dan bukti-bukti yang jelas al-qarâ’in al-bay y inah . 523 Menegakkan hukum pidana ini, menurut Ibnu Qayyim al-J auziyyah, hukumnya wajib atas para penguasa. Hukuman pidana itu dijatuhkan terhadap perbuatan yang diharamkan atau pelanggaran terhadap kewajiban. 524 Ada beberapa ulama yang memperkenankan ta` zîr dengan eksekusi mati. Mereka adalah Abû Hanîfah, Mâlik, sebagian kolega Ahmad Ashâb Ahmad, dan J amaah pengikut Ahmad dan al-Syâfi` î. 525 berbagai persyaratannya. Hukuman seperti ini bisa dikembangkan terhadap tindakan korupsi. Ayat yang dimaksud tersebut sebagai berikut: ☺ ☺ ⌧ ⌧ ”Laki-laki y ang m encuri dan perem puan y ang m encuri, potonglah tangan keduany a sebagai pem balasan bagi apa y ang m ereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS. al-Mâ’idah [5]: 38. 521 Lihat Ibn Qayyim al-J auziyyah, Al-Turuq al-Hukm iy y ah fî al-Siy âsah al-Sy ar` iy y ah au al-Firâsah al-Mardiy y ah fî Ahkâm al-Siy âsah al-Sy ar` iy y ah , Sayyid ` Imrân, ed, Kairo: Dâr al-Hadîts, 20 0 2, h. 225-226.` Abd al-Qadir Audah, al-Tasy rî` al-Jinâ’î al-Islâm î Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1998, J ilid I, h. 677-678. 522 Ibn Qayyim al-J auziyyah, Al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225. 523 Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225. 524 Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225. 525 Menurut Abû Hanîfah, ta` zîr bisa berupa eksekusi mati, karena untuk kemaslahatan, seperti eksekusi mati terhadap orang yang banyak melakukan perbuatan homoseksual al-m uktsir m in al-liw ât , dan terhadap pembunuh, yang eksekusinya tersebut dengan menggunakan alat yang berat. 525 Imam Mâlik berpendapat eksekusi mati terhadap orang yang al-jâsûs al-m uslim . Pendapat ini diikuti oleh sebagian kolega Ahmad. Imam Mâlik, dan para J amaah pengikut Ahmad, dan al-Syâfi` î, juga berpendapat eksekusi mati terhadap penyeru bid` ah. Ibn Qayyim al- J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 22. cclxvi Tujuan diterapkannya hukum pidana adalah untuk memelihara kemaslahatan umat, yang tidak akan tercapai tanpa hukum tersebut, bahkan kemaslahatan itu akan lenyap, dan tatanan kehidupan akan rusak. 526 Hukum pidana ini termasuk ke dalam bidang siy âsah Sy ar` iy y ah politik hukum Islam. 527 Kemaslahatan itulah yang merupakan tujuan hukum. Kemaslahatan tersebut terlihat dalam unsur yang terkandung dalam penjatuhan hukuman, yaitu pencegahan al-radd w a al-zajr , dan pengajaran serta pendidikan al-islâh w a al-tahdzîb. 528 Pengertian pencegahan ialah menahan pelaku agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus memperbuatnya, di samping pencegahan terhadap orang lain selain pelaku agar ia tidak memperbuat jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang melakukan perbuatan serupa adalah sama. Dengan demikian, manfaat pencegahan ini adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh karena tujuan hukuman, secara spesifik, adalah pencegahan, 529 maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Dengan demikian, hukuman itu 526 Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225. 527 Ibn Qayyim al-J auziyyah, al-Turuq al-Hukm iy y ah, h. 225. 528 Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 191. 529 Hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan kejahatan tindak pidana dimaksudkan, selain sebagai bentuk pencegahan, maupun pendidikan dan pelajaran, untuk membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling hormat-menghormati dan cinta- mencintai antar sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Suatu jarîm ah kejahatan pada hakikatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta mem-bangkitkan rasa kemarahan masyarakat terhadap pelakunya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap si korban. Atas dasar itulah, hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tidak lain merupakan salah satu cara untuk menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang telah melanggar kehormatan masyarakat, sekaligus merupakan usaha untuk memberikan penenangan terhadap diri korban. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 191-192. cclxvii dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami si pelaku kejahatan, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian terwujudlah rasa keadilan. J adi, kemaslahatan akan terwujud dengan diterapkannya suatu hukuman. Dengan diterapkannya hukuman tersebut akan tercapai perlindungan kemaslahatan umum, kemaslahatan orang banyak. Dalam konteks inilah, kemaslahatan umum lebih dikedepankan daripada kemaslahatan personal, sebagaimana kaidah populer yang berbunyi: al- m aslahah al-` âm m ah m uqaddam ` alâ al-m aslahah al-fardiyy ah . Kemaslahatan personal yang dimaksud, seperti pelaku korupsi itu tidak kehilangan tangannya, dengan tidak diterapkannya hukum potong tangan. Hukuman potong tangan atas koruptor bisa menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan. 530 Hal ini didasarkan pertimbangan antara lain, bahwa hukuman penjara terhadap koruptor ternyata tidaklah membuat dirinya menjadi jera. 531 Adapun penerapan hukuman potong tangan, yang merupakan hukuman alternatif, dapat dilakukan setelah terpenuhinya beberapa persyaratan, misalnya, kadar atau ukuran korupsi, besarnya kerugian yang diakibatkan korupsi tersebut, dan kuantitas tindakan yang dilakukan. Mengenai kuantitas atau jumlah tindakan yang dilakukan itu misalnya sudah mencapai dua kali, dan sudah pernah mengalami 530 Saat ini, di Indonesia, sudah ada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi RUU Tipikor yang dalam waktu dekat akan diserahkan ke DPR RI. Dalam RUU Tipikor ini ternyata dipastikan tidak akan dicantumkan ancaman hukuman mati. Sebab, menurut Andi Hamzah, Ketua Tim Perumus RUU tersebut, jika ancaman hukuman mati dicantumkan, akan membuka peluang bagi para koruptor yang melarikan ke luar negeri untuk menolak diekstradisi. Lihat http: www.indonesia.go.id id index.php?option=com_ contenttask =viewid=6651 Itemid =701 diakses pada 31 J anuari 20 0 8. 531 Salah satu contoh, kasus korupsi Dicky Iskandar Di Nata. Pada tahun 1991 ia dijatuhi hukuman pidana penjara, oleh Pengadilan Negeri J akarta Pusat, karena terbukti melakukan korupsi, membobol Bank Duta, yang merugikan negara Rp 750 miliar. Ia kemudian bebas pada tahun 1996 setelah diskon remisi karena kelakuan baik. Akan tetapi, setelah sepuluh tahun menghirup udara bebas, pada tahun 20 0 6 lalu, ia kembali terlempar ke kamar penjara karena disangka ikut korupsi, membobol dana Bank Negara Indonesia BNI hingga merugikan negara sebesar Rp 1,2 triliun. Ganti rugi Rp 80 0 miliar dalam kasus pertama pun belum dibayarnya, ia sudah tersandung kasus kedua. Hukuman yang dituntut J aksa tidaklah tanggung-tanggung, hukuman mati. Berdasarkan tuntutan J aksa itulah, Dicki menjadi tersangka koruptor pertama di negeri ini yang dituntut hukuman mati. Lihat Tem po, Majalah Berita Mingguan, Edisi 19-25 J uni 2006, h. 96-99, dan 23. cclxviii hukuman selain hukuman potong tangan. Dalam konteks ini, UU lah yang menjadi dasar hukumnya. Keputusan tentang hukuman terhadap tindak pidana korupsi ini dijatuhkan melalui peradilan dengan berdasarkan kepada perundang-undangan yang berlaku. Hukuman potong tangan itu tidaklah berarti hukuman tersebut tidak manusiawi a-humanis. Dalam kasus hukuman tersebut yang menjadi patokan adalah terpenuhinya rasa keadilan ataukah tidak. Dilihat dari berbagai sudut pandang, baik aspek filosofis, hukuman potong tangan tersebut tidaklah berarti mengabaikan kehormatan manusia atau melanggar HAM. J ustru keadilan dan kemaslahatan umumlah yang hendak ditegakkan. Akan tetapi dilihat dari aspek yuridis, dan sosiologis, perlu adanya UU yang mengaturnya, di samping juga harus telah menjadi tuntutan masyarakat luas. Kenapa koruptor dapat dikenai hukum potong tangan. Alasannya adalah bahwa hukum potong tangan itu dapat dijadikan sebagai alternatif hukuman yang dapat menjerakan pelaku korupsi, dan agar orang lain tidak melakukannya. Dalam konteks Indonesia, orang masih melihat bahwa hukuman potong tangan sebagai hukuman yang mengerikan. J ika dilihat dari sisi ini, maka maksud hukum untuk menjerakan yang mengantarkan pada social control dan social engineering akan lebih dapat tercapai, dibandingkan dengan hukuman penjara, yang telah dirasakan sebagai hukuman yang biasa saja, tidak menjerakan. Sungguhpun dalam satu sisi tampak bertentangan dengan HAM, dalam hal ini hak individu pelaku korupsi, tetapi haknya diabaikan untuk menjaga hak orang lain, masyarakat, bahkan negara. Dilihat dari sisi ini, hukuman potong tangan terhadap koruptor tidaklah melanggar HAM. Berbeda dengan seorang yang memotong tangan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan hukum. Perbuatan ini termasuk ke dalam tindak kejahatan, yang dalam Islam, dapat dikenai hukum qisas. cclxix 2 . Eksekusi Mati atas Tin dak Pidan a Tero rism e Sejak beberapa tahun belakangan, istilah terorisme mulai populer. Hal ini terkait dengan berbagai aksi terorisme yang terjadi di tanah air, dan di luar negeri. 532 Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahetraan masyarakat. 533 Lebih lanjut, dituliskan bahwa terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik w ell organized, bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa extra-ordinary crim e yang tidak membeda-bedakan sasaran indiskriminatif. 534 Bahkan menurut UU No. 15 Tahun 20 0 3 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ditegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. 535 Berdasarkan definisi di atas, dalam terorisme terdapat tiga unsur: sifat, tujuan, dan objek cara. Sifat terorisme adalah merusak ifsâd dan anarkhis chaos faudâ. Tujuan terorisme adalah untuk menciptakan rasa takut dan atau menghancurkan pihak lain. Objek terorisme adalah apa saja tanpa ada batasan aturan atau sasaran. Adapun pelaku terorisme dinamakan teroris. J adi, teroris adalah siapa saja yang melakukan kerusakan di muka bumi, termasuk mengancam stabilitas keamanan dengan tindakan atau cara apapun. Tindakan terorisme itu biasanya dilakukan dalam berbagai modusnya, 532 Di tanah air, misalnya, telah banyak aksi terorisme dalam bentuk bom yang menyebabkan banyak korban manusia meninggal dunia, seperti bom Bali, dan bom Kuningan. Istilah terorisme semakin populer lagi setelah peristiwa 11 September 20 0 1 di Amerika Serikat yang menghancurkan WTC World Trade Center, yang merenggut ribuan jiwa manusia. 533 Definisi ini misalnya, dikemukakan oleh Majlis Ulama Indonesia, Fatw a MUI tentang Terorism e T.Tp.: MUI, 20 0 5, h. 12. 534 Majlis Ulama Indonesia, Fatw a MUI tentang Terorism e, h. 12-13. 535 Lihat Undang Undang Nom or 15 Tahun 20 0 3 Tentang Pem berantasan Tindak Pidana Terorism e . cclxx seperti peledakan bom. Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah menjadi fenomena umum di beberapa negara. 536 Salah satu hukuman terhadap kejahatan terorisme adalah hukuman mati. Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. 537 Hingga tahun 20 0 6, di Indonesia tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, 538 UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara. 539 Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD ’45 , pasal 28 ayat 1, menyebutkan: ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”, tetapi peraturan perundang-undangan di bawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati. Hukuman mati tersebut ternyata masih kontroversial. Ada kelompok yang berpendapat bahwa hukuman mati itu melanggar HAM. 536 Lihat penjelasan UU No. 15 20 0 3 di atas. 537 Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati, yaitu: pancung kepala Saudi Arabia dan Iran ; sengatan listrik Amerika Serikat ; digantung Mesir , Irak , Iran , J epang , Yordania , Pakistan , Singapura ; suntik mati Tiongkok , Guatemala , Thailand , AS; tembak Tiongkok , Somalia , Taiwan , Indonesia , dan lain-lain; dan rajam Afganistan , dan Iran. Dalam sejarahnya, di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik. W ikipedia, diakses pada 10 J anuari 20 0 8. 538 Ancaman hukuman mati misalnya terdapat dalam pasal 479o ayat 2 KUHP, tepatnya UU RI No. 4 tahun 1976 tentang Perubahan dan Penam bahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakuny a Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana Prasarana Penerbangan . 539 W ikipedia, diakses pada 10 J anuari 20 0 8. cclxxi Kelompok lainnya, mereka adalah pendukung hukuman mati, beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati. Problematika hukuman mati terhadap tindak pidana terorisme menarik dikaji. Hal ini, karena istilah terorisme, merupakan istilah modern, yang baru muncul dan populer pada abad XXI, khususnya pascatragedi WTC. Dalam perspektif Islam, terdapat beberapa ayat al- Qur’ân dan hadis Nabi s.a.w yang dapat dikaitkan dengan terorisme dan hukumannya. Ayat-ayat al-Qur’ân di antaranya QS. al-Mâ’idah 5 ayat 32-33, 540 al-Baqarah 2 ayat 195, 541 dan al-Nisâ’ 4 ayat 29-30. 542 Para ahli ta` w îl sepakat, bahwa maksud ayat 29 surat al-Nisâ di atas adalah larangan membunuh terhadap sesama manusia. Secara tekstual ayat tersebut melarang membunuh diri sendiri dalam mengejar dunia dan mencari kekayaan, misalnya yang mengakibatkan dirinya 540 Ayat dimaksud telah dikutip di atas terkait dengan ayat tentang tindak pidana korupsi. 541 Ayat dimaksud adalah: ... ☺ ...”…Dan janganlah kam u m enjatuhkan dirim u sendiri ke dalam kebinasaan…”. QS. al-Baqarah [2]: 195. 542 Ayat dimaksud adalah: ... ⌧ ☺ ☺ ”…Dan janganlah kam u m em bunuh dirim u; Sesungguhny a Allah adalah Maha Peny ay ang kepadam u. Dan Barangsiapa berbuat dem ikian dengan m elanggar hak dan aniay a, m aka Kam i kelak akan m em asukkanny a ke dalam neraka. Yang dem ikian itu adalah m udah bagi Allah”. QS. al-Nisâ’ [4]: 29-30 . Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan. Dalam konteks larangan membunuh diri sendiri inilah, al-Qurtûbî mengutip suatu riwayat, bahwa ayat tersebut dijadikan hujjah oleh ` Amr bin ` Âs untuk tidak mandi sewaktu berhadats besar ketika dalam peperangan di mana air sangat dingin, karena mengkhawatirkan atas dirinya. Alasannya tersebut mendapatkan taqrîr pembenaran Nabi s.a.w.; di mana beliau tertawa, dan tidak berkomentar apapun. HR. Abû Dâwûd dan selainnya. Lihat Abû ` Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Ansârî al-Qurtûbî, al-Jâm i` li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr al-Kutub al-` Ilmiyyah, t.t, J ilid III, J uz 5, h. 10 3. cclxxii kepada kerusakan. Demikian juga mencakup larangan dendam atau marah-marah. 543 Adapun hadis Nabi s.a.w yang terkait dengan tindakan terorisme ini, antara lain, hadis yang ditakhrîjkan oleh Abû Dâwûd: ﺎ ﺪ ﷲا ﺪ ا ﺮ ﺎ ﺪ ا نﺎ ﺪ ﻬ أ و ﷲا ﻰ ﺪ بﺎ أ ﺎ ﺪ لﺎ أ ﺮ ا ﺪ رﺎ ﻰ إ ﻬ ﺎ ﻬ ر مﺎ و ﷲا ﻰ ا نوﺮ اﻮ ﺎآ ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر لﺎ عﺰ ﺬ ﺄ عوﺮ نأ و ﺎ. 544 ”…Dari ` Abd al-Rahm ân bin Abî Lailâ ia berkata telah m enceritakan kepada kam i Sahabat-Sahabat Muham m ad s.a.w . bahw asany a m ereka berjalan bersam a Nabi s.a.w . lalu salah seorang di antara m ereka tertidur kem udian sebagian m ereka pergi ke gunung bersam any a, lalu ia terbangun dan terkejut, m aka Rasûlullâh bersabda: ”Tidak halal bagi seorang Muslim m enakut-nakuti orang Muslim lainny a”. HR. Abû Dâwûd Hadis di atas 545 secara jelas menyatakan hukum menakut-nakuti, mengancam atau melakukan teror tidak diperbolehkan. Meskipun 543 Lihat al-Qurtûbî, al-Jâm i` li Ahkâm al-Qur’ân, J ilid III, J uz 5, h. 10 3. 544 Hadis ini disebutkan dalam Abî Dâwûd, Sunan Abî Dâw ûd, J uz IV, h. 30 1, hadis No. 50 0 4; Abû al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad al-Tabrânî, al-Mu` jam al-Ausat, Kairo: Dâr al- Haramain, 1415 H., J uz II, h. 188, hadis No. 1673. Hadis serupa diriwayatkan oleh Ahmad dan al- Tabrânî dari ` Abd al-Rahm ân bin Abî Lailâ. Zain al-` Irâqî berkata: ”Ini adalah Hadis Hasan, dan al-Suyûtî mensahîhkannya”. Lihat Ibrâhîm bin Muhammad al-Husainî, al-Bay ân w a al-Ta` rîf, Saif al-Dîn al-Kâtib, ed., Beirut: Dâr al-Kitâb al-` Arabî, 140 1 H., J uz II, h. 292. 545 Hadis lainnya yang terkait dengan tema ini adalah, dua hadis berikut: نﺈ ةﺪ ﺪ أ ﻰ إ رﺎ أ و ﷲا ﻰ ﺎ ا ﻮ أ لﺎ لﻮ ةﺮ ﺮه ﺎ أ ﺮ أو ﺎ أ نﺎآ نإو ﻰ ﺔﻜ ا . ”… Dari ibn Sîrîn Say a m endengar Abû Hurairah berkata: ‘Abû al-Qasim s.a.w . bersabda: ”Siapasaja y ang m engacungkan senjata tajam kepada saudarany a Muslim , m aka sungguh Malaikat akan m elaknatny a bahkan w alaupun saudarany a itu adalah saudara sebapak dan seibuny a saudara kandung”. HR. Muslim dari Abû Hurairah r.a. و ﷲا ﻰ ا ﷲا ر ةﺮ ﺮه أ رﺎ ﻮﻬ ىدﺮ لﺎ ﺎ ﻰ و اﺪ أ ﺎﻬ اﺪ اﺪ ﺎ ىدﺮ ﻬ ﺎﻬ اﺪ اﺪ ﺎ ﻬ رﺎ ﺎ ﺪ اﺪ أ ﺎﻬ اﺪ اﺪ ﺎ ﻬ رﺎ ﺎﻬ ﺄ ﺪ ﺪ ﺪ ةﺪ ﺪ و اﺪ أ . cclxxiii demikian, apa yang dimaksud dengan kata-kata menakut-nakuti di atas dapat berarti luas. Dalam hal inilah hadis ini harus ditempatkan sebagai teks terbuka open texture terhadap penafsiran yang relevan dengan konteks kekinian. Dengan menggunakan metode al-Maslahah al-Maqsûdah, tindakan terorisme adalah bertentangan dengan m aqâsid al-Sy arî` ah, terutama hifz al-nafs. Demikian juga terorisme bertentangan dengan HAM. Atas dasar itulah, maka terorisme hukumnya haram. Berdasarkan ketentuan ini, maka hukuman terhadap tindak pidana terorisme sesuai dengan besar kecilnya akibat yang ditimbulkan dari tindakan kejahatan tersebut. Bila tindakan teorisme itu sampai menimbulkan jatuhnya jiwa manusia, maka pelaku teroris itu dapat dikenai eksekusi mati. Eksekusi mati ini ditinjau dari hak hidup individu pelaku kejahatan tersebut memang melanggar HAM. Akan tetapi hak hidup korban dan bahkan orang banyak masyarakat, juga merupakan HAM yang harus dijamin. Oleh karena itu, ketika terjadi pertentangan antara dua hak ini, maka hak hidup si korban dan orang banyak lebih diutamakan daripada hak hidup individu pelaku kejahatan dalam kasus demikian. ”… Dari Abû Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w . bersabda: ”Siapa saja y ang m enjatuhkan diri dari sebuah gunung lalu ia terbunuh m aka ia m asuk neraka, terhem pas di dalam ny a, kekal lagi dikekalkan di dalam ny a; Siapa saja y ang m em asukkan sesuatu racun y ang m em bunuhny a, m aka di neraka nanti ia akan m asuk ke neraka jahannam , kekal lagi dikekalkan di dalam ny a; Siapa saja y ang m em bunuh diriny a dengan senjata tajam , m aka nanti ia datang dengan senjata tajam y ang ada di tanganny a m enusukkan ke dalam perutny a di neraka Jahannam , ia kekal lagi dikekalkan di dalam ny a selam a-lam any a”. HR. al-Bukhârî, Muslim, Ahmad, al- Tirmîdzî, dll. Hadis yang pertama ditakhrîjkan oleh Muslim dalam ﻰ إ ح ﺎ ةرﺎ ا ﻬ ا بﺎ Bab Larangan Mengacungkan Pedang kepada orang Muslim, hadis No. 2616, dalam Sahîh al-Muslim , J ilid IV, h. 20 20 . Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Tirmîdzî dari Abû Hurairah dalam Sunan al- Tirm îdzî , J ilid IV, h. 463; Ahmad, hadis No. 7470 , 10 565, dalam Musnad Ahm ad, J ilid II, h. 256, 50 5; J ilid VI, h. 266; dan al-Tabrânî, hadis No. 6671, dalam al-Mu` jam al-Ausat, J ilid VI, h. 378. Redaksi hadis yang kedua di atas adalah milik al-Bukhârî, ditakhrîjkan dari Abû Hurairah, Sahîh al-Bukhârî, J uz 2, hadis No. 2179; al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirm îdzî, J uz IV, h. 386, hadis no. 10 9; Ahmad, Musnad Ahm ad, J uz II, hadis No. 7441, h. 254, No. 10 198, h. 478, No. 10 342, h. 488. Lihat al-Maktabah al-Alfiy y ah, 1,5, dalam al-Mausû` ah al-Dzahabiy y ah li al- Hadîts al-Nabaw î al-Sy arîf w a ` Ulûm uhu , 1997, CD Room. cclxxiv 3 . Eksekusi Mati atasTin dak Pidan a Narko tika Di Indonesia telah ada UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. 546 Dalam Pasal 1 UU ini disebutkan pengertian Narkotika. ”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergan- tungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini 547 atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan”. 548 Mahkamah Konstitusi MK 549 menyatakan bahwa kejahatan- kejahatan yang telah diatur dalam UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika tersebut, yaitu Pasal 80 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a; Pasal 81 ayat 3 huruf a; serta Pasal 82 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, dan ayat 3 huruf a, tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, menurut MK, kualifikasi 546 Lihat dalam Undang-undang Narkotika UU No. 22 Th. 1997, Psikotropika UU No. 5 Th. 1997 , J akarta: Sinar Grafika, 20 0 5. 547 Dalam bagian Penjelasan Pasal 2 UU Narkotika, golongan-golongan narkotika tersebut digolongkan ke dalam tiga macam, yaitu: ”Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan”. Dalam Lampiran UU tersebut, disebutkan yang termasuk ke dalam golongan I ada 26 macam; golongan II 87 macam; dan golongan III 14 macam. Lihat Undang-undang Narkotika UU No. 22 Th. 1997 , h. 74-80 . 548 UU No. 22 Th. 1997 Tentang Narkotika. 549 h ttp: www.indonesia.go.id id produk_ uu isi uu2000 index.php?option=com_ content task=viewid=5934Itemid=701 , diakses pada 17 Desember 20 0 7. cclxxv kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan ”the m ost serious crim e” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR. 550 Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang serius, karena sangat mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itulah, sudah sewajarnya jika tindak pidana narkotika itu dikenaki hukuman yang berat. Adapun pelanggaran narkotika yang dapat dikenai hukuman mati menurut UU Narkotika adalah pelanggaran golongan narkotika I. Hal ini, sebagaimana dikatakan J eane Mandagi, konsultan ahli Badan Narkotika Nasional BNN, bahwa berdasarkan Pasal 80 jo Pasal 81 jo Pasal 82 UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika, ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Sedangkan terhadap narkotika golongan II dan III, ancaman hukuman mati tidak diberlakukan. 551 Henry Yosodiningrat, Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkotika Granat, berpendapat ancaman hukuman mati hanya dikenakan kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar. Sedangkan pada pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut, ancaman hukumannya bukanlah hukuman mati. 552 Dalam konteks hukum Islam, hukuman tindak pidana narkotika tidak disebutkan secara jelas spesifik, baik dalam al-Qur’ân maupun Hadis. al-Qur’ân maupun hadis memang tidak memberikan ketentuan- ketentuan yang spesifik terkait dengan hukumam pidana terhadap pelanggaran narkotika, seperti eksekusi mati. Ayat al-Qur’ân yang terkait dengan hukuman pidana, seperti eksekusi mati, antara lain: QS. al- Maidah 5 ayat 32-33, al-Baqarah 2: 178, al-Isrâ’ :33. Dalam al-Qur’ân surat al-Mâ’idah, sebagaimana telah dikutip di atas, disebutkan tentang beberapa hukuman terhadap perbuatan merusak kehidupan. Berbuat 550 Lihat ICCPR dalam Baderin, International Hum an Rights, h. 66. 551 http: hukumonline.com detail.asp?id=16544cl=Berita diakses pada 26 November 2007. 552 h ttp: hukumonline.com detail.asp?id=16544cl=Berita cclxxvi kerusakan di bumi itu fasâd fî al-ard dapat berwujud perusakan secara tidak langsung terhadap kehidupan dan akal manusia. Perbuatan narkotika sangat mengancam kehidupan dan akal. Adapun Hadis-hadis Nabi saw. yang terkait dengan hukuman bunuh, antara lain, hadis riwayat ` Abd Allâh berikut: ةﺮ ﷲا ﺪ ا ﺎ ﺪ أ ﺎ ﺪ ﺮ ﺎ ﺪ و ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر لﺎ لﺎ ﷲا ﺪ قوﺮ : مد ئﺮ ا ﺪﻬ نأ إ ﷲا لﻮ ر أو ﷲا إ اﺰ ا او ﺎ ا ث ىﺪ ﺈ إ ﺔ ﺎ كرﺎ ا ﺪ قرﺎ او . 553 ”Dari ` Abd Allâh ia berkata: ’Rasulullâh s.a.w . bersabda: ”Tidak di halalkan darahny a seseorang m uslim y ang m engakui bahw asa-ny a tidak ada Tuhan selain Allah dan aku ini utusan- Ny a kecuali disebabkan salah satu dari tiga m acam : 1 Duda Janda y ang berzina, 2 Mem bunuh orang dengan sengaja, dan 3 Orang yang m eninggalkan agam any a serta m em isahkan diri, dari Jam a’ah m urtad” . Muttafaq ` Alaih Dalam hal ini, menurut penulis, hukuman mati, seperti dalam bentuk rajam terhadap orang yang melakukan zina m uhsan merupakan salah satu alternatif hukuman yang diberikan Tuhan kepada manusia, sesuai dengan konteks perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia ketika itu. Artinya, hukuman tersebut tidak bersifat qat` î tidak dapat berubah, permanen, namun bersifat zannî dan temporer. Dasar 553 Hadis di atas adalah redaksi milik al-Bukhârî. Hadis tersebut ditakhrîj oleh al-Bukhârî, hadis No. 6484 dalam Sahîh al-Bukhârî, J uz VI, h. 2521; dan Muslim, hadis No. 1676 dalam Sahîh Muslim , J uz III, h. 130 2. Selain hadis di atas, berikut juga hadis terkait dengan hukuman bunuh: ا ﺪ ﺎ ﺪ سﺎ ﺎ ﻮ قﺮ ﷲا ر ﺎ نأ ﺔ ﺮﻜ بﻮ أ نﺎ ﺎ ﺪ ﷲ ﷲا ﻰ ا لﺎ ﺎ آ ﻬ و ﷲا باﺬ اﻮ ﺬ لﺎ و ﷲا ﻰ ا ن ﻬ ﺮ أ ﺎ أ آ ﻮ لﺎ ﻮ ﺎ د لﺪ و . ”…Barang siapa yang m engubah agam anya kem udian m em usuhi kaum m uslim in, m aka bunuhlah dia”. HR. al-Bukhârî dari ibn ` Abbâs r.a.. Hadis semacam ini juga ditakhrîjkan oleh al-Tirmîdzî, Abû Dâwud, Ahmad, Ibnu Mâjah, al-Dârûqutnî, al-Baihâqî, semuanya dari Ibnu ` Abbâs r.a. cclxxvii yang dijadikan pembeda antara yang permanen dan yang temporer adalah al-m aqâsid al-Sy arî` ah . Apabila nass sejalan dengan al-m aqâsid al- Sy arî` ah maka ia tergolong bersifat permanen. Sedangkan bila tidak sejalan dengannya, maka ia tergolong bersifat temporer. Lebih jelasnya, suatu nass yang terkait dengan jenis sanksi hukum, maka sifatnya adalah temporer, sedangkan yang terkait dengan jenis perintah atau larangan yang sejalan dengan al-m aqâsid al-Sy arî` ah maka sifatnya permanen. Yang permanen itulah yang sebenarnya merupakan Sy arî` ah. Sedangkan yang temporer itu merupakan fiqh. Terkait dengan hukuman pidana tersebut, menurut Ahmad Hanafi, ada 3 unsur untuk menilik suatu tindakan sebagai jarîm ah. Pertam a, unsur formil rukun sy ar` î, yakni adanya nass yang melarang dan memberikan ancaman. Kedua, unsur material rukun m addî ialah tindakan. Dan ketiga, unsur moril rukun adabî, ialah pelakunya mukallaf. 554 Atas dasar inilah, terdapat nass yang melarang berbuat kerusakan di muka bumi, dan memberikan ancamannya, berupa dibunuh, dipotong tangan, disalib, dan diasingkan, dapat di-pahami sebagai dipenjara. Akan tetapi nass yang telah dikutip di atas tidak secara jelas dan spesifik melarang tindak pidana narkotika dan memberikan hukuman- nya. Nass di atas bersifat umum. Dalam menyoroti problem eksekusi mati terhadap tindak pidana narkotika tersebut, metode al-Maslahah al- Maqsûdah dapat diterapkan. Berangkat dari tujuan Sy arî` ah berupa hifz al-nafs, hifz al-` aql , segala yang merusak pemeliharaan tujuan tersebut maka harus dicegah. Upaya pencegahan ini dapat berbentuk hukuman preventif dan sanksi kuratif. Tindak pidana narkotika dapat digolongkan sebagai tindakan kejahatan yang sangat mengancam kehidupan dan aktivitas akal. Bahaya narkotika ini tidak hanya mengancam individu tapi juga masyarakat bahkan lebih besar lagi. Semakin besar mafsadat yang 554 Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam , h. 6. cclxxviii ditimbulkan dari tindakan pidana ini, maka semakin besar atau berat pula ancaman dan hukuman yang dikenakan kepada pelakunya. Larangan melakukan kejahatan narkotika yang didasarkan pada hifz al-nafs hifz al- ` aql sebagaimana larangan terhadap minuman keras. Mengonsumsi minuman keras dipandang dapat merusak akal, bahkan dapat menghantarkan diri ke dalam kematian, sehingga dilarang. Berdasarkan alur pemikiran di atas, hukuman mati terhadap terpidana narkotika dapat diberlakukan. Dalam hal ini, hukuman mati tersebut dikenakan terhadap mereka yang memproduksi, mengedarkan, menjual narkotika golongan I saja. Demikian juga kepada pengedar narkotika yang terkait dalam sindikat pengedar yang lebih besar, bukan pengedar biasa yang motifnya memang benar-benar sekedar untuk mengisi perut. Tujuan hukuman mati tersebut adalah untuk melindungi kehidupan yang lebih besar. Artinya agar tindakan kejahatan ini tidak semakin melebar. Dengan demikian, dilihat dari sisi filosofis, hukuman ini dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku maupun orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang serupa. Di samping itu, dilihat dari sisi sosiologis, hukuman mati ini dapat menjaga kemaslahatan, dan ketenteraman masyarakat. Hukuman mati tersebut memang masih diperlukan. Pendapat seperti ini, antara lain, dikemukakan Rudi Satriyo, ahli Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia UI, menilai pidana mati masih dibutuhkan dalam sistem hukum di Indonesia. Hukuman mati berfungsi untuk memberikan efek jera kepada anggota masyarakat yang lain. Selain itu, pidana mati memiliki manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan. 555 Kesimpulan hukuman mati terhadap terpidana narkotika tersebut yang dihasilkan melalui metode al-Maslahah al-Maqsûdah didasarkan kepada tujuan hukum, berupa kemaslahatan umum m aqâsid al- 555 http: hukumonline.com detail.asp?id=16544cl=Berita cclxxix Sy arî` ah , di samping juga didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan filosofis, yuridis legalitas, dan sosiologis. 556 Pertimbangan ini merupakan salah satu acuan al-Maslahah al-Maqsûdah yang mempertimbangkan realitas empirik. Dalam konteks inilah, HAM bagi seorang pelaku kejahatan narkotika harus dibatasi dengan HAM orang lain dan orang banyak. Sebagai penjelas seluruh uraian di atas, perlu ditegaskan beberapa hal berikut terkait hak-hak yang terdapat dalam HAM Internasional, dan syarat-syarat penggunaan metode al-Maslahah al-Maqsûdah. Pertam a, bahwa dalam keseluruhan hak-hak yang terdapat dalam HAM Internasional tersebut, haruslah ditempatkan dalam kerangka hubungan antara satu hak dengan hak yang lain. Dengan kata lain, hak individu tidak mutlak berdiri sendiri, namun terkait dengan hak orang lain, bahkan hak orang banyak. Misalnya, hak hidup individu terkait dengan hak hidup orang lain, bahkan orang banyak. Ketika seorang individu menuntut hak hidup, tetapi mengabaikan hak hidup orang lain, karena perbuatan yang dilakukannya merugikan orang lain itu, maka hak hidupnya dapat diabaikan, demi menjaga hak hidup orang lain tersebut. Kedua , penerapan HAM Internasional berhubungan dengan perundang-undangan lokal negara. Sepanjang hukum lokal masih 556 Pertam a, pertimbangan aspek filosofis, mengenai untuk apa dan kepada siapa hukum itu dimaksudkan. Hukum itu ditujukan kepada manusia untuk menciptakan kemaslahatan, yang berupa ketenteraman, ketertiban, dan kedamaian masyarakat. Artinya hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk tujuan yang mulia, kemanusiaan, keadilan sosial, kemaslahatan individu dan publik. Keadilan, dan kemaslahatan individu dan publik merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam m aqâsid al-Sy arî` ah. Kedua, hukuman pidana diterapkan agar pelaku pelanggaran menjadi jera, tidak mengulanginya lagi, dan orang lain pun tidak meniru melakukan pelanggaran yang serupa. Ketiga, dalam melihat suatu bentuk hukuman, yang mesti diperhatikan adalah apakah hukuman tersebut efektif dan bagaimana pula implikasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keem pat, pertimbangan aspek sosiologis menjadi penting ketika suatu hukuman hendak diterapkan. Artinya masyarakat telah siap dan sepakat dengan suatu peraturan. Selain aspek sosiologis, penerapan hukuman pun harus mempertimbangkan berbagai aspek lain: aspek psikologis, aspek ekonomis, politis, dsb. Kelim a, pertimbangan aspek legalitas yuridis. Artinya suatu hukuman punya dasar pijakan berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini, telah ada UU tentang Narkotika yang menentukan hukuman pidana atas pelaku tindak pidana tersebut. Tentang pertimbangan- pertimbangan lihat Achmad ` Aly MD, ”Hukum Cambuk, Humanis dan Adilkah?”, Republika, 15 J uli 20 0 5. cclxxx sejalan dengan HAM Internasional, maka dapat dilaksanakan. Sebaliknya, ketika hukum lokal secara nyata bertentangan dengan HAM Internasional, maka hukum lokal itu harus disesuaikan. Adapun penerapan metode al-Maslahah al-Maqsûdah haruslah memperhatikan beberapa syarat berikut: Pertam a, bertujuan untuk merealisasikan m aqâsid al-Syarî` ah, pada satu sisi, dan HAM Internasional pada sisi yang lain. Kedua, di samping untuk merealisasikan tujuan itu, dalam penerapannya terhadap kasus-kasus hukum harus dengan mempertimbangan berbagai aspek terkait, yaitu pertimbangan psikologis, sosial, ekonomis, dan aspek politik, dalam arti perundang- udangan yang masih berlaku. Ketiga, dipergunakan sebagai metode ijtihâd alternatif. Artinya, bukan sebagai satu-satunya metode ijtihâd. Demikianlah implementasi metode al-Maslahah al-Maqsûdah sebagai metode ijtihâd alternatif kontemporer, berikut penjelasan syarat- syarat implementasinya. Berdasarkan uraian tersebut, metode al- Maslahah al-Maqsûdah dapat digunakan untuk pengembangkan hukum Islam yang lebih kontekstual, baik dalam konteks hukum personal maupun konteks publik hukum negara. Dengan kata lain, bahwa dengan mengoptimalkan aplikasi atau implementasi metode al-Maslahah al- Maqsûdah sebagai metode usûl al-fiqh kontemporer, hukum Islam akan mampu berkembang, dapat mampu menjawab problematika zaman secara lebih memuaskan. Hal ini dikarenakan, aplikasi metode al- Maslahah al-Maqsûdah memperhatikan spirit hukum m aqâsid al- Sy arî` ah dan realitas sosial, yang terwujud dalam HAM. Hukum yang ditarik melalui metode al-Maslahah al-Maqsûdah tersebut menjamin keberadaan manusia sebagai seorang individu, dan sebagai anggota masyarakat atau bagian dari kolektifitas manusia, sehingga keseimbangan akan terwujud antara hak individu dan hak masyarakat. Dengan demikian, dengan menerapkan metode al-Maslahah al- Maqsûdah sebagai salah satu wujud optimalisasi tradem arke usûl al-fiqh, cclxxxi bisa diharapkan hukum yang dirumuskan akan reasonable dan aplicable, relevan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Lebih lanjut, hukum yang diterapkan tersebut dapat menjadi social control kontrol masyarakat, warga negara dan as a tool of social engineering menjadi perangkat perubahan positif bagi masyarakat. cclxxxii

BAB V PEN U TUP

A. Kesim pulan

Berdasarkan pembahasan terdahulu diambil kesimpulan, bahwa metode al-Maslahah al-Maqsûdah ةدﻮ ا ﺔ ا adalah metode ijtihâd alternatif kontemporer دﺎﻬ ا ﻬ يرﺎ ا ﺮ ﺎ ا , m anhaj al-ijtihâd al-ikhtiy ârî al- m u` âsir , karena relevansinya dengan m aqâsid al-Sy arî` ah dan HAM Internasional. Relevansi ini berwujud dalam bentuk penggunaan m aqâsid al- Sy arî` ah dan HAM sebagai paradigma al-Maslahah al-Maqsûdah dalam menarik hukum ijtihâd. Pada satu sisi, al-Maslahah al-Maqsûdah menekankan m aqâsid al-Sy arî` ah yang telah diformulasikan secara lebih luas. Pada sisi yang lain, al-Maslahah al-Maqsûdah bersinergi dengan HAM. Hubungan antara keduanya m aqâsid al-Syarî` ah dengan HAM sangatlah erat dan integral. Maqâsid al-Sy arî` ah lebih berdimensi teosentris ketuhanan, ilâhiy y ah atau moral-transendental, karena diformulasikan dari wahyu al-Qur’ân oleh m ujtahid, sebagai hasil dari kreatifitas manusia. Dalam Maqâsid al-Syarî` ah kemaslahatan umum m aslahah al-` âm m ah, public interests lebih dijamin daripada kemaslahatan pribadi m aslahah al- fard , individual interests. Sedangkan HAM lebih berdimensi antroposentris kemanusiaan, insâniy y ah, sebagai produk dan realitas kemanusiaan tajribat al-insâniy y ah . Dalam HAM kemaslahatan individu individual interests lebih dijamin daripada kemaslahatan umum public interests. Ijtihâd dengan berpijak pada paradigma m aqâsid al-Sy arî` ah, sebagai spirit hukum yang berdimensi ilâhiy y ah, dan HAM, sebagai sebuah realitas