34
4. Dampak dari Kematangan Emosi
Dari uraian di atas, emosi adalah suatu reaksi batin yang wajar dan manusiawi. Emosi adalah perasaan yang muncul secara spontan sebagai reaksi atas
adanya suatu hal yang menyentuh atau merangsang batin kita, hal itu bisa menimbulkan reaksi positif maupun negatif. Mengalami dua keadaan yang berbeda
ini Goleman mengatakan 1997: 78 penderitaan maupun kebahagiaan adalah bumbu kehidupan. Dalam perasaan, rasio antara emosi positif dan negatif yang
menentukan sebuah rasa sejahtera. Menderita atau bahagia semuanya menentukan nilai hidup manusia. Tanpa emosi kita tidak akan pernah memahami arti hidup yang
sesungguhnya. Emosi dengan segala kualitasnya memperkaya eksistensi manusia sebagai pribadi.
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi
yang positif syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll, maupun emosi negatif jengkel, marah, sedih, tersinggung, dll. Kematangan emosi menyebabkan
seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan dirinya secara optimal dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu seseorang memiliki
keberanian untuk mengalami dan menerima rasa perasaan yang muncul dalam dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau sikap batin untuk
mengakui keberadaan diri secara bebas. Sedangkan orang yang tidak matang dalam emosinya akan menjadi pribadi
yang senantiasa labil, pribadi yang sering bertindak seturut perasaan saja tanpa memakai akal budi, pribadi yang tertutup dan sulit untuk berelasi dengan sesama,
pribadi yang tidak mampu untuk menerima diri apa adanyapribadi yang “unik” sehingga sulit juga untuk menerima kelebihan orang lain serta sulit memaafkan
35
kesalahan orang lain. Dengan kata lain orang yang tidak mampu mengolah emosinya dengan baik akan menjadi pribadi yang sangat sulit untuk bekerja sama
baik dengan sesama maupun bersama rahmat Tuhan. Ia memiliki fisik yang lemah, mudah jatuh dalam kegagalan yang mengakibatkan frustasi yang berkepanjangan,
depresi yang berdampak pada gangguan jiwanya. Dengan demikian ia merugikan diri sendiri.
Bimbingan rohani dalam hidup religius pada zaman ini merupakan suatu tuntutan, karena setiap orang yang masuk dalam Lembaga Hidup Bakti tertentu
diharapkan memiliki kematangan emosi dan kematangan rohani. Tentunya ini merupakan proses seumur hidup. Untuk mencapai kematangan emosi dan
kematangan rohani, bimbingan rohani merupakan salah satu sarana untuk mencapai kematangan tersebut.
Bimbingan rohani membantu para yunior untuk mengenali emosi-emosi yang tidak teratur yang membuat orang tidak konsisten. Dengan bimbingan rohani
diharapkan orang bisa mengenali siapa dirinya dihadapan Allah dan sesama dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bimbingan rohani hendaknya dijadikan satu
kebutuhan bagi para yunior demi perkembangan pribadinya. Dengan demikian ia menjadi orang yang memiliki pribadi yang utuh dan integral.
5. Kedewasaan Pribadi
Kematangan emosi menghantar seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggung-jawab atas segala sesuatu yang dilakukan sebagai manusia. Seperti
yang diharapkan oleh Kongregasi SSpS dan ditegaskan dalam Konstitusi Kongregasi.
“…Perkembangan menuju kematangan terjadi, dengan belajar mengenal diri semakin baik, mengembangkan bakat-bakat pribadi secara harmonis,
36
menerima keterbatasan dan mampu mengatasi konflik dan penderitaan. Dengan demikian kita mencapai kebebasan hati yang memungkinkan kita
mengambil keputusan yang dapat dipertanggung-jawabkan”. Konst. SSpS. art. 503.
Menurut Mardi Prasetya 1992: 100-104 “pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam dimensi-dimensinya dan juga memiliki kebebasan
efektif lebih besar untuk membatinkan nilai-nilai panggilan, ia mempunyai disposisi untuk mengikuti panggilannya secara lebih baik”. Ciri-ciri kedewasaan
yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1 Kemampuan untuk menerima kenyataan yaitu ia terbuka untuk mengetahui dan
menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan kepastian untuk berpijak, mempunyai integritas pribadi yang dapat ditunjukkan
melalui perilakunya. 2 Menerima dan menghayati apa yang bernilai yaitu sebagai religius ia berani
menerima dan menghayati nilai-nilai Injili nilai hidup rohani dan menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang menguntungkan diri, membela
diri dan sekedar memamerkan kesalehan. Dengan kata lain ia berusaha mengatur dan menghayati hidup atas dorongan motivasi yang lurus dalam panggilan, yaitu
nilai-nilai hidup rohani, dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan untuk memeluk cinta dan afeksi rohani.
3 Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang dipeluk dan diwartakannya dalam hidup yaitu ia mampu mengendalikan ketegangan yang
mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai tujuan dan cita-cita hidupnya,
mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya.
37
4 Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu pragmatisme yaitu ia memiliki fleksibilitas sekaligus sikap seorang hamba Tuhan yang setaraf dengan
kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik dalam membela diri dan kemudian menghindari
tanggung jawab. Ia lebih peka dan lebih terbuka terhadap perasaan orang lain. 5 Memiliki cinta yang tidak egois yaitu cinta yang tidak egois adalah cinta yang
melampaui ’personalisme’ dan tanpa pamrih. Maka orang yang memiliki cinta ini tidak akan mudah frustasi, dan menomorsatukan nilai cinta kasih Kristus.
6 Sikap realistis. Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan.Ia mampu membedakan mana
yang fakta dan mana yang prinsip, ia mampu membedakan antara kompromi fakta dan kompromi prinsip. Ia pun tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam.
7 Mampu mempercayai orang lain, ini adalah sikap dasar yang muncul dari kepercayaan terhadap diri sendiri. Ia tidak mendominasi dan tidak merendahkan
orang lain. 8 Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri, ia selalu siap dengan
pertobatan manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membaharui diri sejauh mungkin atas rahmat dan
kemampuan diri sendiri. 9 Relasi sosial yang berciri dependibility, mampu mengambil keputusan dan
tanggung jawab, mampu menyesuaikan diri, memiliki kepekaan, menghargai kebebasan orang lain dan diri sendiri.
10 Mampu membatinkan nilai panggilan, dapat menerima iman dan kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan tujuan hidupnya, ia
berusaha maju dan bertekun dalam panggilan dan hidup rohaninya.
38
D. Kerangka Pikir
Bimbingan rohani sebagai proses yang terjadi antara orang yang membimbing dan yang dibimbing. Proses tersebut terjadi karena ada hubungan yang dibina
antara orang yang membimbing dan yang dibimbing dengan tujuan pasti yaitu pertumbuhan, perkembangan rohani dan kematangan emosi. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan bimbingan secara intensif dan berkelanjutan. Melalui bimbingan rohani, seseorang mengalami bahwa Allah hadir dalam peristiwa hidup
sehari-hari sehingga ia dapat menghayati hidup panggilan dan membentuk emosinya baik dalam hidup bersama, kerasulan, maupun dalam hidup berkaul.
Dampak dari bimbingan rohani seseorang mampu membawa gerak perubahan hidup kearah yang lebih baik. Hidup yang dijiwai oleh semangat “Roh” tentu saja
berdampak pada sikap-sikap yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah. Dengan demikian hidupnya menjadi perpanjangan kasih Tuhan dan menjadi
kekuatan, sehingga mampu melaksanakan dalam hidup bersama dengan orang lain maupun dalam tugas yang dipercayakan kepadanya. Keadaan tersebut berbeda
dengan seseorang yang tidak pernah melakukan bimbingan rohani dalam hidupnya. Bila seseorang jarang melaksanakan bimbingan rohani, tindakan-tindakannya tidak
sesuai dengan kehendak Allah. Orang yang memiliki kematangan emosi akan trampil dalam mengelola
emosi-emosi sehingga mampu mengakui keberadaan dirinya secara bebas, mampu mengidentifikasi setiap rasa perasaan yang muncul dan mengantarnya pada
kedewasan pribadi yang bertanggungjawab akan segala sesuatu yang dilakukannya. Berdasarkan penjelasan dan uraian dari kajian teori di atas, bimbingan rohani
mempunyai peranan yang besar terhadap kematangan emosi para suster yunior SSpS. Kematangan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1 kondisi dan situasi
39
komunitas, 2 relasi dengan teman dan pimpinan komunitas, 3 demi pengabdian yang tulus, 4 demi Kerajaan Allah, 5 demi motivasi yang murni, 6
penghayatan iman yang tampak pada sikap-sikap positif yang sesuai dengan hidup kaulnya.
Bila suster yunior SSpS senantiasa setia menjalankan bimbingan rohani, dampaknya tampak pada sikap-sikap baik yang sesuai dengan hidup yang
dibaktikan kepada Allah. Sebaliknya suster yunior tidak setia menjalankan bimbingan rohani, dampaknya adalah tampak sikap-sikapnya tidak sesuai dengan
hidup yang dibaktikan kepada Allah. Dalam hal ini bimbingan rohani mempunyai peranan terhadap kematangan emosi para suster yunior. Oleh karena itu bimbingan
rohani berdampak pada kematangan emosi para suster yunior yaitu dapat memiliki sikap-sikap yang baik dalam hidup yang dibaktikan kepada Allah, peranan
bimbingan rohani sangat penting bagi kematangan emosi para suster yunior SSpS.
40
BAB III PERANAN BIMBINGAN ROHANI
TERHADAP KEMATANGAN EMOSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS SSpS
PROVINSI JAWA
Bab ini akan menguraikan dua bagian pokok. Pertama akan diuraikan mengenai gambaran umum sejarah Kongregasi SSpS yang meliputi: identitas SSpS,
Kharisma dan Spiritualitas SSpS. Kedua menguraikan penelitian peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior, hasil penelitian
dan pembahasan. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data tentang peranan bimbingan rohani terhadap kematangan emosi para suster yunior Kongregasi SSpS
Provinsi Jawa sehingga akan menemukan permasalahan yang akan dianalisa lebih lanjut.
A. Sejarah Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus 1. Identitas Kongregasi SSpS
Gereja dipanggil untuk mewartakan Kabar Gembira Keselamatan dan membawa seluruh kekayaan cinta penyelamatan dari Allah Tritunggal kepada
semua umat manusia. Santo Arnoldus Janssen dipanggil untuk mengambil bagian dalam rencana keselamatan Allah dengan mendirikan tiga Kongregasi yaitu: SVD,
SSpS, SSpS AP. Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus didirikan pada tanggal 8 Desember 1889 di Steyl Belanda. Nama Kongregasi ini biasa disingkat SSpS,
kependekan dari bahasa Latin Servae Spiritus Sancti Konstitusi SSpS, 1984. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut Suster-suster Misi Abdi Roh Kudus. Kata
41
“abdi” dalam nama Kongregasi SSpS berarti seorang yang siap sedia melaksanakan pekerjaan-Nya, pergi ke tempat Ia mengutusnya. Seorang Abdi Roh Kudus
dipanggil oleh Kristus untuk menghayati pengabdian kepada Roh Kudus McHug, 1978:8. Kongregasi ini menyerahkan diri hanya penyebaran kepada Kabar
Gembira di daerah-daerah misi lewat pelayanan yang dijalankan oleh para anggotanya dengan kerajinan yang besar dan kerelaan di bidang pendidikan, karya
amal, dan lewat bantuan rohani Konstitusi SSpS 1984: 9. Kongregasi SSpS adalah Kongregasi Internasional yang terdiri dari berbagai
suku, bahasa, bangsa, dan budaya. Dalam keanekaragaman tersebut tetap disatukan oleh Roh Kudus dan bersumber pada relasi cinta Allah Tritunggal. Pusat
Kongregasi SSpS berada di Roma, Italia. Kongregasi SSpS berkarya di 5 benua atau hampir di seluruh negara. Benua Afrika meliputi: Angola, Botswana, Bolivia,
Etiopia, Ghana, Mozambique, Togo, dan Zambia. Benua Amerika meliputi: Argentina, Bolivia, Brasil, Chile, Mexico dan Kuba, Paraguay, USA, Antiqua dan
Barbuba. Benua Asia meliputi: Cina, India, Indonesia, Jepang, Korea, Philipina, Vietnam, Taiwan, dan Timor Leste. Oceania meliputi: Australia dan Papua New
Guenia. Benua Eropa meliputi: Austria, Belanda, Czesco Slovakia, Italia, Inggris, Irlandia, Jerman, Polandia, Romania, Rusia, Spanyol, Switzerland, dan Ukraina.
Kongregasi SSpS di Indonesia terdiri dari 5 Provinsi. 5 Provinsi tersebut adalah: Provinsi Jawa berpusat di Surabaya, Provinsi Flores Barat yang berpusat di
Ruteng, Provinsi Flores Timur berpusat di Kewapantai Maumere, Provinsi Timor berpusat di Atambua Timor NTT dan kelima Provinsi Kalimantan yang berpusat di
Palangkaraya.
42
2. Spiritualitas dan Kharisma Kongregasi SSpS
Spiritualitas dan kharisma saling berkaitan, dan menjadi dasar dari keberadaan suatu tarekat. Spiritualitas dan kharisma suatu tarekat religius dapat
ditinjau dengan melihat kembali pendirinya, yang telah meletakkan dasar dan tujuan pendirian tarekat.
Spiritualitas pertama-tama merupakan “way of life”, suatu cara hidup kekristenan untuk menanggapi panggilan Allah dengan terang Sabda Allah di
bawah bimbingan Roh Kudus Abdon Bisei, 2004:5. Spiritualitas sebagai buah dari perjumpaan dengan Tuhan, Kristus, Sabda Allah, Gereja, dan realitas yang
membawa suatu tanggapan bagi setiap pribadi Abdon Bisei, 2004:6. Spiritualitas pada umumnya dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan
Allahnya dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatannya. Spiritualitas tampak dalam buah Roh Kudus, doa, kegembiraan rohani, pengorbanan dan
pelayanan kepada sesama Heuken, 2005: 106. Kharisma adalah karunia Roh Kudus yang dianugerahkan kepada orang-
orang tertentu supaya diabdikan kepada sesama dan Gereja KBBI, 2008: 627.
a. Spiritualitas Kongregasi SSpS
Spiritualitas SSpS bersumber dari warisan rohani Santo Arnoldus Janssen sebagai pendiri Kongregasi SSpS. Arnoldus Janssen mengembangkan hidup doanya
sejak dari keluarganya.Ia belajar dari bapanya yang sangat menghormati Allah Tritunggal Maha Kudus dan Roh Kudus. Arnoldus Janssen menimba spiritualitas
yang dihidupi dan diwariskan kepada tiga kongregasi yang telah ia dirikan. Kongregasi SSpS didirikan dengan maksud utama yaitu untuk mewartakan
Kabar Gembira, terbuka terhadap lingkungan dan kebutuhan zaman. Kongregasi
43
SSpS senantiasa terbuka terhadap cara baru dalam menjawab kebutuhan Gereja dalam dunia dewasa ini. Panggilan misioner SSpS berakar dalam iman kepada
Allah Tritunggal Maha Kudus yang hidup dalam hati manusia. Pengalaman akan cinta dan kebersamaan hidup Allah Tritunggal mendorong untuk membagi
pengalaman itu lebih lanjut. Dengan demikian Allah Tritunggal dimuliakan melalui kata dan cara hidup. Berbicara mengenai Allah Tritunggal, kita tidak bisa lepas dari
relasi ketiganya. Relasi cinta Allah Tritunggal Maha Kudus inilah yang dihidupi oleh para suster SSpS, hal ini terlihat jelas pada semboyan “VIVAT DEUS UNUS
ET TRINUS IN CORDIBUS NOSTRIS ” yang artinya adalah Hiduplah Allah
Tritunggal Dalam Hati Kita. Semboyan ini lahir dari kesadaran akan kehadiran Allah Tritunggal dalam hati Arnoldus Janssen dan kemudian diwariskan kepada
Kongregasi SSpS. Sebagai Suster SSpS para suster diutus untuk mewartakan Allah Tritunggal Maha Kudus agar dikenal, dicintai dan dimuliakan oleh segala bangsa
Konst. SSpS. art. 404. Para suster SSpS hendaknya selalu menempatkan diri dan kongregasinya di
bawah bimbingan Roh Kudus dan memberi penghormatan secara khusus kepada Roh Kudus. Seorang suster SSpS hendaknya menjalin relasi yang mendalam
dengan Allah Roh Kudus ini akan tampak dalam pelayanan dan kehadiran setiap suster Konst. SSpS, 1984: 19.
b. Kharisma Kongregasi SSpS
Kharisma Kongregasi SSpS bermula dari kharisma Arnoldus Janssen, sebagai pendiri Kongregasi SSpS. Kharisma yang diwariskan ini adalah Kharisma
Misioner. Kharisma Misioner sudah menandai Kongregasi SSpS sejak dari permulaan. Pada akar ideal misioner Arnoldus Janssen, akan ditemukan kemuliaan