ANALISA PARTISIPAN 1. Identitas Partisipan
SD karena mengidap penyakit diabetes. Penyakit diabetes yang diderita oleh ayah partisipan menjadi penyebab utama ketunaan pada partisipan. Ketika lahir, kaki
partisipan tidak sama besar, dan yang satu mengalami pembusukan, sehingga pada usia dua minggu kaki partisipan diamputasi. Selain itu, tangan sebelah kiri partisipan
hanya memiliki empat jari saja dan jempol kaki kiri juga tidak ada. Pada dasarnya perkembangan fisik partisipan hampir sama dengan anak
dengan fisik yang normal pada umumnya. Hanya saja ketika partisipan sudah bisa berjalan tentu memiliki perbedaan. Partisipan berjalan dan bermain hanya
menggunakan satu kak i saja atau yang juga sering disebut „mengengklek‟ hingga
pada akhirnya ayah partisipan membuatkannya tongkat pada usia 5 tahun. Selain menggunakan tongkat partisipan juga menggunakan sepeda untuk membantunya
berangkat ke sekolah. Partisipan menggunakan tongkat sampai duduk dibangku kelas III SMP, dan selebihnya menggunakan kaki palsu hingga kini.
A.2. Latarbelakang Partisipan
Aktivitas yang dilakukan partisipan tidak berbeda jauh dengan individu dengan fisik yang normal pada umumnya. Pergi ke sekolah, membantu orang tua
mengerjakan pekerjaan rumah ataupun bermain bukanlah hal yang sulit dia lakukan. Keterbatasan fisik yang dialami partisipan tidak menimbulkan kendala yang berarti,
baik dalam menjalani aktivitas fisik sehari-hari seperti bermain dengan teman sebaya ataupun dalam menjalani kehidupan sosialnya.
Memiliki keterbatasan fisik menimbulkan reaksi negatif lingkungan terhadap partisipan. Ketika partisipan duduk dibangku kelas I SD, partisipan diejek oleh teman
sekolahnya. Ketika mendapatkan reaksi negatif dari lingkungan, seperti seorang anak pada umumnya, partisipan seketika itu langsung menangis dan memberitahukan
kepada ibunya. Mendengar partisipan menceritakan apa yang dialaminya, ibu partisipan
langsung melakukan tindakan untuk mencari orang yang telah mengejek partisipan dan meminta orang tersebut meminta maaf kepada partisipan. Tidak hanya ketika
pengalaman negatif yang berkaitan dengan ketunaannya, namun ketika partisipan terlibat masalah disekolahnya dimana posisi partisipan tidak bersalah, maka ibu
partisipan akan membela partisipan. Orang tua partisipan memiliki cara tersendiri untuk membuat partisipan
memiliki reaksi yang positif terhadap kondisi fisiknya misalnya dengan membawa partisipan ke tempat-tempat dimana terdapat orang-orang yang memiliki kondisi fisik
yang sama atau bahkan lebih buruk dari kondisi diri partisipan. Hal ini tentunya memberikan pengaruh positif bagi partisipan sehingga partisipan tidak merasa sendiri
dalam mengalami keterbatasan fisik. Mendampingi ketika partisipan sedang berada dalam masalah serta memberikan semangat ketika partisipan mengalami pengalaman
yang tidak menyenangkan juga menjadi hal yang tidak pernah berhenti diberikan keluarga. Partisipan juga memiliki hubungan yang baik dengan saudara kandungnya.
Hal ini merupakan sesuatu yang sudah ditanamkan oleh orang tua partisipan sedari mereka kecil.
Selain memberikan proteksi ketika partisipan mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, keluarga dalam hal ini orang tua dan saudara kandung
partisipan menunjukkan kepedulian kepada partisipan dalam hal-hal seperti memberikan nasihat kepada partisipan terutama dalam hal pergaulan partisipan.
Selain itu keluarga juga peduli dengan kehidupan spiritual partisipan, dimana keluarga secara aktif mengajarkan serta mengingatkan partisipan untuk menjalankan
tugas keagamaannya. Dukungan secara emosional juga menjadi hal yang tidak pernah terlepas
diberikan keluarga kepada partisipan. Keluarga juga secara aktif memberikan semangat kepada partisipan untuk tetap kuat, tidak berkecil hati dengan keterbatasan
yang dimiliki serta motivasi untuk partisipan dapat meraih kesuksesan meskipun dengan keterbatasan fisik. Dukungan itu tidak hanya dari orang tua partisipan, namun
juga saudara kandung partisipan. Ketika partisipan mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, keluarga juga memberikan penghiburan kepada partisipan.
Tidak hanya sebatas pada dukungan emosional, dukungan materil juga diterima partisipan, dimana keluarga sedari kecil telah menyiapkan apa yang
dibutuhkan partisipan sesuai dengan minat dan cita-citanya, seperti menyediakan komputer. Dukungan materil terus diterima partisipan hingga saat ini melalui abang
partisipan yang hampir setiap hari menanyakan kabar partisipan sekaligus menanyakan hal-hal yang diperlukan partisipan.
Kehadiran partisipan ditengah-tengah keluarga dengan keterbatasan fisik yang ada tidak membuat keluarga membeda-bedakan partisipan dengan saudara
kandungnya. Sebaliknya, partisipan mendapatkan kasih sayang yang lebih dari orang
tuanya, dalam hal ini figur ayah partisipan, karena bagi keluarga sendiri, partisipan adalah anak yang spesial dan dinomorsatukan. Kasih sayang itu tercermin lewat
waktu yang sering dihabiskan partisipan dengan ayah partisipan bersama. Keterbatasan fisik yang dimiliki partisipan tidak membuat keluarga
membatasi ruang gerak partisipan, termasuk dalam pemilihan minat dan cita-cita partisipan. Dalam hal pergaulan keluarga juga tidak membatasi partisipan untuk
membangun kehidupan sosialnya Partisipan juga diberi tanggung jawab dalam keluarga seperti melakukan pekerjaan rumah. Dalam hal ini partisipan memilki
kemampuan dan tidak merasa kesulitan untuk melakukannya. Partisipan tampil sebagai individu yang pandai bergaul, percaya diri dan memiliki banyak teman.
A.3. Observasi
Peneliti mengenal partisipan dari seorang wanita tunadaksa yang menjadi ketua atau koordinator Persatuan Tunadaksa Indonesia. Peneliti langsung
menghubungi beliau setelah mendapat nomor ponsel dari salah seorang teman peneliti. Dan akhirnya peneliti dan wanita yang berusia pertengahan 30-an itu
mengadakan janji untuk bertemu. Pertemuan pertama peneliti dengan beliau terjadi pada pertengahan September 2013 dikantor yang juga sekaligus menjadi rumah
tinggal dari wanita keturunan Tionghoa ini. Pertemuan peneliti dengan beliau terjadi beberapa kali dan satu kali peneliti
mengikuti perkumpulan tunadaksa yang bernama “Immanuel” yang mereka adakan satu kali dalam satu bulan. Kehadiran peneliti dalam perkumpulan itu bertepatan
dengan hari ulang tahun perkumpulan mereka yakni tanggal 30 September 2013,
sehingga beliau menyarankan peneliti untuk hadir, dengan tujuan untuk membangun kedekatan dengan para tunadaksa yang akan hadir pada perkumulan itu, dan
kesempatan untuk mencari partisipan yang peneliti cari. Peserta yang hadir hari itu sekitar 60-70 orang. Namun peneliti tidak menemukan partisipan yang memenuhi
syarat dalam penelitian. Ibu yang juga menjadi koordinator sebuah yayasan sosial dalam pembuatan kaki palsu secara gratis ini kemudian memberikan data-data
penerima bantuan kaki palsu kepada penelti berupa berkas yang secara rapi disusun oleh beliau. Dari data itu peneliti mendapatkan beberapa nomor ponsel dari calon
partisipan. Pada saat itu juga setiap nomor ponsel yang kami dapatkan langung dihubungi oleh beliau, yang berperan sebagai perantara antara peneliti dengan calon
partisipan. Namun peneliti juga mendapatkan kesempatan untuk berbicara secara langsung dengan orang tua dari calon partisipan setelah beliau menerangkan maksud
dan tujuan peneliti kepada mereka. Dan salah satunya adalah partisipan pertama yang bernama LH. Setelah itu, peneliti berhubungan melalui ponsel dengan orang tua
partisipan untuk menanyakan alamat lengkap partisipan serta waktu pertemuan diadakan.
A.3.1. Hasil Observasi Tabel 2.2. Jadwal Pengambilan Data
Pertemuan HariTanggal
Waktu Tempat
Kegiatan
I Kamis,
10 Oktober 2013 11.00-12.00
Rumah Partisipan
Rapport dengan partisipan
II Senin, 21 Oktober
2013 12.00-12.45
Rumah Partisipan
Rapport, informed concern,
penjadwalan
III Rabu,
23 Oktober 2013 11.35-12.30
Rumah Partisipan
Pertanyaan utama IV
Kamis, 7 November 2013
10.35-11.50 Kios ponsel
partisipan Pertanyaan utama
V Jumat,
10 Januari 2014 11.10-13.05
Kios ponsel partisipan
Pertanyaan utama, probing,
kredibilitas data
Pertemuan pertama berlangsung di rumah partisipan. Partisipan muncul dan memberikan senyuman hangat sambil menyalam peneliti dan dengan gesit menaiki
kursi dan duduk disamping kanan peneliti. Saat itu partisipan tidak menggunakan kaki palsunya, karena hanya digunakan apabila mengikuti aktivitas di luar rumah,
misalnya ke sekolah. Saat itu partisipan menggunakan kaos biru tua dengan celana selutut. Laki-laki berusia 17 tahun dengan tinggi 170 cm ini terlihat santai dan rileks
dengan posisi duduknya. Perbincangan peneliti dengan partisipan ditemani oleh ibu partisipan. Dari proses perbincangan yang kami lakukan partisipan menaruh perhatian
terhadap apa yang peneliti sampaikan terkait dengan penelitian serta keterlibatan partisipan didalamnya. Selain perbincangan seputar penelitian, peneliti juga bertanya
mengenai kehidupan partisipan sehari-hari. Ketika bercerita mengenai kehidupannya, ibu partisipan memberikan perhatian sambil sesekali menambahkan apa yang
disampaikan partisipan. Partisipan tampak rileks dan terbuka dalam menjawab pertanyaan peneliti.
Pertemuan kedua ini berlangsung di rumah partisipan untuk penandatanganan informed concern dan juga penjadwalan wawancara. Partisipan keluar setelah
dipanggil oleh ibunya dan menyapa hangat peneliti sambil memberikan senyuman ramah yang seolah tak pernah lepas dari bibirnya. Siang itu peneliti dan partisipan
duduk dilantai yang telah dialasi karpet sehingga suasana lebih santai. Pada proses perbincangan kali ini juga partisipan memberikan perhatian terhadap apa yang
peneliti sampaikan. Setelah peneliti menyampaikan tujuan peneliti, partisipan langsung bergegas mempersiapkan diri untuk ke sekolah. Peneliti ditemani ibu
partisipan yang sesekali berinteraksi dengan partisipan terkait keperluan sekolah partisipan. Setiap hari partisipan diantar jemput ke sekolah oleh ibu partisipan.
Sambil menunggu partisipan berkemas, ibu partisipan mulai memamerkan foto- foto keluarga yang baru saja selesai dicetak. Dari foto-foto tersebut secara tidak langsung
tergambar suasana keakraban diantara anggota keluarga partisipan. Pertemuan ketiga merupakan wawancara pertama peneliti dengan partisipan.
Partisipan keluar dan menyapa peneliti. Siang itu peneliti juga bertemu dengan kakak partisipan yang merupakan seorang mahasiswi. Interaksi antara partisipan dengan
saudara perempuannya tersebut terlihat baik dan akrab seperti dalam hal menyapa partisipan. Siang itu pertemuan dan perbincangan berjalan dengan lancar. Selama
proses wawancara berlangsung partisipan dapat menjaga kontak mata dan fokus dalam menjawab pertanyaan peneliti. Ekspresi wajah serta reaksi yang dimunculkan
partisipan berubah-ubah sesuai dengan pertanyaan peneliti. Topik wawancara berkaitan dengan latar belakang terjadinya kecacatan, pengalaman masa kecil
partisipan, hubungan partisipan dengan keluarga serta komponen mattering, yakni awareness.
Pertemuan keempat berlangsung dikios ponsel partisipan yang terletak tidak jauh dari rumah partisipan. Suasana hiruk-pikuk cukup terasa dilokasi tersebut. Ibu
partisipan segera menelepon partisipan yang masih berada dirumah. Sapaan „adek‟
selalu diucapkan ibu partisipan ketika berinteraksi dengan partisipan. Setelah beberapa waktu kemudian, peneliti pun melakukan wawancara dengan partisipan.
Karena di lokasi tersebut tidak kondusif untuk melakukan wawancara, disebabkan suara hiruk- pikuk kendaraan, akhirnya peneliti dan partisipan memilih untuk
melakukan wawancara disamping kios tersebut. Meskipun sesekali terdengar suara hiruk-pikuk kendaraan bermotor, partisipan tetap dapat fokus dengan proses
wawancara yang berlangsung. Topik wawancara berkaitan dengan komponen dari mattering yaitu importance dan reliance.
Pertemuan kelima berlangsung di kios ponsel partisipan. Karena partisipan sedang berada di rumah yang tak jauh dari kios ponsel tersebut, Ibu partisipan pun
langsung menelepon partisipan untuk memberitahukan kehadiran peneliti. Setengah jam kemudian partisipan hadir dengan mengendarai sepeda motor. Partisipan pun
memberikan senyuman hangat dan berjalan mendekati peneliti untuk bersalaman. Partisipan berjalan sedikit timpang, namun lebih terlihat dari pertemuan-pertemuan
sebelumnya. Hal ini disebabkan kaki palsu partisipan yang sudah kekecilan,
mengingat usia partisipan yang masih mengalami pertumbuhan. Proses wawancara berlangsung dengan baik. Partisipan terlihat nyaman dan rileks dalam proses
wawancara. Topik wawancara pada pertemuan ini adalah pertanyaan yang belum tergali dari wawancara sebelumnya serta kredibilitas data.
A.4. Hasil Wawancara A.4.1. Gambaran kehidupan masa kecil partisipan
Partisipan lahir dalam kondisi dimana salah satu kakinya, tepatnya dibawah lutut kaki kanan mengalami pembusukan yang disebabkan diabetes yang diturunkan
ayah partisipan ketika partisipan berada didalam kandungan.
“Ya itu kan akibat, eee kena gula dari bapak, turun ke Lanang yang menyebabkan dibawah lutut itu busuk,jadi gak bisa ya gimana ya, gak bisa
berfungsi lagi, gak bisa bergerak lagi, yaudah akhirnya diamputasi, dipotong, dan dibuang sebagian yang dibawah lutut itu.
” P1.W1.b.4-15.h.1
Hal tersebut kemudian membuat kaki kanan partisipan harus diamputasi ketika partisipan berusia dua minggu. Dampak penyakit yang diderita ayah partisipan
tidak hanya pada kaki kanan, namun juga berdampak pada tidak adanya jempol kaki kiri partisipan, dan tangan kanan hanya memiliki empat jari saja.
“Yang kena,eh ini sambil menunjuk tangan kiri, jari sebelah kiri,empat,selain itu jempol kaki kiri,dah itu aja kak.
” P1.W1.b.18-21.h.1
Perkembangan fisik partisipan ketika kecil tidak jauh berbeda dari perkembangan anak pada umumnya. Hanya ketika partisipan mulai belajar berjalan,
perbedaan tersebut menjadi terlihat, karena partisipan hanya menggunakan satu kakinya untuk berjalan.
“Itu sama kayak yang lain kak, cuman pas udah pinter berjalan itu udah berbeda
.” P1.W1.b.31-34.h.2
Partisipan menggunakan alat bantu berupa tongkat, sepeda dan kaki palsu
untuk membantunya menjalani kehidupannya sehari-hari. Ketika berusia sekitar tiga tahun ayah partisipan mengajari partisipan menggunakan tongkat yang dibuat oleh
ayah partisipan sendiri. Sehingga memasuki usia sekolah partisipan secara aktif menggunakan tongkat dan juga sepeda untuk membantunya pergi ke sekolah sampai
partisipan duduk dibangku kelas I SMP. Memasuki kelas II SMP partisipan kemudian menggunakan kaki palsu sampai sekarang ini.
“SD pake sepeda ke sekolahnya, kalo kayak biasa pake tongkat.” P1.W1.b.86-89.h.3
“Kalo SMP kelas tiganya baru pake kaki palsu, pas kelas satu dan dua masih pake tongkat dan sampek SMA sekarang lah kak.
” P1.W1.b.90-94.h.3
Partisipan menyadari kondisi fisik yang berbeda dari individu dengan fisik yang normal ketika berusia 6 tahun. Sebelum menyadari hal tersebut partisipan
menganggap dirinya sama seperti individu dengan fisik yang normal pada umumnya. “Dari usia enam tahun kak.”
P1.W1.b.50.h.2
“iya,anggap aja kayak orang sempurna gitu” P1.W1.b.75-76.h.3
Reaksi psikologis juga muncul dalam diri partisipan ketika mulai membandingkan kondisi fisiknya dengan orang lain.
“Ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini,ya udah apalagi mau dibilang
”
P1.W1.b.101-104.h.3 “Ya ada rasa gengsi gitu sama orang yang sempurna, ada rasa,ee apa iri gitu
lihat orang itu begitu,gitu lah kak. ”
P1.W1.b.53-57.h.2 Ketika menyadari kondisi fisik partisipan yang berbeda dari orang lain,
partisipan tidak pernah bertanya kepada keluarga mengenai kondisi fisik yang dialaminya,seperti penyebab terjadinya ketunaan ataupun mengeluh mengenai
kondisi fisiknya. Hal tersebut karena partisipan sudah mendengar perihal penyebab ketunaannya dari orang lain dan selain itu juga partisipan merasa khawatir apabila
pertanyaan itu menjadi bahan pemikiran orang tuanya. “Karena udah dinilai sama orang diluar sana, dan tahu dari orang itu juga”
P1.W1.b.62-64.h.2
“Ya ntar kalo nanya kan, „kenapa aku begini, orang lain gak ngalamin seperti itu‟ kan pasti itu yang ditanyakan. Takut kepikiran gitu kak orang tua.”
P1.W.3.b.53-61.h.20
Kehidupan masa kecil partisipan juga tidak terlepas dari pengalaman yang tidak menyenangkan dari lingkungan terkait ketunaannya. Ketika duduk dibangku
kelas I SD, partisipan dicela oleh salah seorang temannya dan tidak hanya itu, partisipan juga dimintai uang oleh orang tersebut.
“Ya, „Kau ngapain gabung-gabung sama kami, kau gak punya kaki, kakimu puntung‟ yaudah gitulah kak.”
P1.W1.b.337-343.h.8
“berpikir sejenak Kapan ya, Oh pas waktu SD sih kak, yang ada teman yang ngejekin Lanang karena kondisi kayak gini, ngompas Lanang, terus bilang
„kaki puntung‟ gitu sama Lanang.” P1.W3. b.146-152.h.22
A.4.2. Gambaran Family Matters Partisipan
1. Kesadaran Awareness Dalam setiap acara keluarga, orang tua partisipan tidak pernah lupa untuk
selalu melibatkan dan mengikutsertakan partisipan. Ketika partisipan berada ditengah-tengah keluarga inti ataupun keluarga besar, partisipan tidak pernah merasa
bahwa kehadirannya akan mendatangkan penolakan dari pihak keluarga, karena partisipan merasa bahwa semua keluarga telah menerima kondisi partisipan apa
adanya. Hal ini terlihat dari reaksi positif yang dimunculkan oleh keluarga terhadap kehadiran partisipan yang tidak membeda-bedakan partisipan dengan saudara
kandungnya, bahkan keluarga menomorsatukan partisipan. “Lanang nggak pernah merasa ditolak kalau dikeluarga kak, gak merasa
begitu .”
P1.W1.b.151-154.h.4 Menjalani kehidupan setiap hari ditengah-tengah keluarga tentunya akan
menimbulkan interaksi yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Interaksi yang setiap hari terjadi antara partisipan dengan orang tua ataupun saudara kandung
membuat partisipan menyadari atau menginterpretasikan hubungan yang dekat dengan orang tua ataupun dengan saudara kandung, misalnya bercanda bersama
dengan kakak partisipan, dan apabila partisipan memiliki masalah misalnya masalah uang sekolah, maka partisipan akan menceritakannya dengan abang partisipan.
Dalam beberapa hal partisipan menceritakan masalah yang dihadapinya kepada abang partisipan, namun partisipan menyatakan hubungan yang kurang dekat
dengan abang partisipan karena dipisahkan oleh jarak. Hubungan dengan figur ibu
dinyatakan dekat namun dalam hal komunikasi jarang dilakukan. Sedangkan hubungan dengan figur ayah dinyatakan sebagai hubungan yang dekat, sehingga
ketika ayah partisipan meninggal partisipan merasa tidak terima dan ingin selalu bersama dengan ayah partisipan.
“Ya sering bercanda-bercanda sering cerita apa gitu, pokoknya dekatlah.” P1.W1.b.272-276.h.7
“Iya bilangnya sama abang ajalah kak gak sama mamak.” P1.W1.b.266-268.h.7
“Sama abang kurang karena sering diluar gitu, jarang pulang gitu.” P1.W1.b.279-281.h.7
“Ya kalo dibilang deket, bisa, kalo dibilang tidak deket ya bisa juga..hahaha. […hmm apa ya dalam hal sering- sering cerita gitu, kurang komunikasi gitu
kak.[..iya memang kak, tapi jarang-jarang cerita aja gitu kak. ”
P1.W1.b.299-313.h.7-8 “Sama bapak deket kak dibandingin sama mamak”
P1.W1.b.325-326.h.8
“Ya kayak gak terima aja gitu kak, pengennya selalu sama.” P1.W1.b.330-332.h.8
Hubungan kedekatan dengan keluarga ditandai dengan komunikasi yang terjadi didalamnya, baik dengan orang tua maupun dengan saudara kandung.
Sebagaimana yang disampaikan oleh ibu partisipan, bahwa partisipan memiliki komunikasi yang baik dengan abang partisipan meskipun abang partisipan berada
diluar kota, yakni melalui telepon. Sedangkan komunikasi dengan ibu partisipan dinyatakan kurang oleh partisipan karena kesibukan dan takut menyusahkan orang
tua. Komunikasi yang dimaksud disini yaitu waktu untuk bercerita-cerita. Selain alasan diatas, partisipan juga merasa tidak ada hal-hal yang harus selalu dibicarakan.
“Sama mamak kurang juga, karena mamak jarang dirumah juga, kerja kan, jadi jarang komunikasi lah. Ya kalo ada kerjaan kan entah dari orang ada
apa-apakan keluar gitu, pulang sekolah mamak jemput kakak, paling malam ajalah.
” P1.W1.b.283-295.h.7
“Hmm, gimana ya..pokoknya kurang lah kak, karena kan dirumah Lanang tertutup, jarang cerita-cerita. Paling kalo ngumpul-ngumpul gitulah kak,
ketawa-ketawa .”
P1.W3.b.172-177.h.23 “[…hmm apa ya dalam hal sering- sering cerita gitu, kurang komunikasi gitu
kak.[..iya memang kak, tapi jarang-jarang cerita aja gitu kak. ”
P1.W1.b.305-313.h.7 “Sambil berpikir,ya, karena gak ada yang mau dibicarainlah kak..hehe”
P1.W1.b.220-223.h.6
Meskipun komunikasi terjalin didalam keluarga partisipan, namun dalam hal keterbukaan mengenai hal yang bersifat pribadi dalam diri partisipan, partisipan tidak
menceritakannya kepada keluarga dengan alasan takut menyusahkan orang tua. “Ya karena takut nyusain orang tua gitu kak.”
P1.W1.b.230-231.h.6 “Kalo misalnya ada masalah kan gak mau cerita gitu, misalnya ada ama
kawan-kawan masalah gak mau cerita..gitulah..yah karena takut nyusahin juga
” P1.W3.b.77-84.h.21
“Enggak kak.Tertutuplah” P1.W1.b.232-236.h.6
Dalam beberapa hal untuk permasalahan disekolah, misalnya masalah uang sekolah ataupun ketika mendapat celaan partisipan tidak memberitahukannya kepada
orang tua.
“Biasanya ya tentang uang sekolah gitu kak, ya dipanggil guru, disuruh panggil orang tua. Gak Lanang bilang tapi, Lanang selesain sendirilah
.” P1.W1.b.258-263.h.6-7
“Ya itu tadilah kak, yang cela-celaan itu,masalah sekolah” P1.W1.b.254-256.h.6
Partisipan sangat mengapresiasi kasih sayang diberikan oleh orang tua secara
khusus figur ibu yang telah membesarkan partisipan seorang diri semenjak ayah partisipan meninggal.
“Kasih sayang mamak. gak bisa diungkapin lah kak, benar-benar ibu yang terhebatlah kak
.” P1.W.3.b.180-182.h.23
2. Kepentingan importance Partisipan pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan terkait
ketunaannya, dimana ketika partisipan memasuki SD, partisipan diejek karena kondisi fisiknya. Hal ini menimbulkan reaksi orang tua yang kemudian mengambil
tindakan terhadap apa yang dialami oleh partisipan. “Ya mamak pasti marah sambil tertawa kecil.Ya, didatangin gitu orang itu,
ya dimarah-marahi lah. ”
P1.W2.b.20-24.h.10 Selain itu keluarga juga menaruh perhatian pada kehidupan spiritual dan
moral partisipan. Hal ini tercermin dimana keluarga selalu mengingatkan partisipan untuk shalat dan mengajarkan sopan santun serta sikap yang patuh terhadap orang tua
yang menjadi hal yang paling penting ditanamkan kepada partisipan. “Sopan santun, moral, patuh pada orang tua. Itu sih yang paling penting”
P1.W3.b.289-291.h.25
Mengingat keterbatasan fisik yang dialami partisipan, keluarga partisipan selalu memberikan dukungan berupa semangat kepada partisipan untuk maju dan
meraih kesuksesan meskipun dengan keterbatasan yang dimiliki. Bahkan ketika partisipan mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, orang tua partisipan
menghibur hati partisipan agar tidak larut dalam kesedihan. “Semangat dari orang tua, teman-teman semua..yang ngasih. Pokoknya yang
ngasih semangatlah, biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini. ”
P1.W1.b.110-116.h.3 “Semangat,motivasi kak. Emm,gimana yah, misalnya motivasi untuk maju,
dengan keadaan seperti ini bukan penghalang untuk menjadi sukses nada suara meninggi, gitulah kak.
P1.W2.b.35-43.h.11
Tidak hanya memberikan dukungan secara emosional, namun keluarga juga memberikan dukungan secara materil kepada partisipan. Dalam hal pendidikan,
sedari kecil keluarga mendukung partisipan untuk menjadi apa yang dia cita-citakan. Selain itu, ayah partisipan juga menyiapkan komputer ketika mulai melihat partisipan
memiliki minat kepada hal tersebut. “Kalo dukungan, dalam hal pendidikan gitu kak, cita-cita kan pengen jadi
ahli komputer, sejak kecil udah dibelikan komputer gitu kak. Dan semangat. Gitu sih kak.
” P1.W3.b.280-285.h.25
Bagi partisipan dukungan keluarga menjadi hal yang sangat penting dalam menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik yang dialami. Tidak hanya
memberikan dukungan secara materil ataupun emosional, tetapi juga ketika keluarga sepenuhnya memahami keadaan partisipan.
“Penting. Penting kali pun.Kalo gak ada keluarga ya mana mungkin Lanang bisa seperti sekarang ini kak
” P1.W3.b.121-125.h.22
“Ya mereka mengerti gitu kak. Eh dalam hal semuanya.” P1.W3.b.162-163.h.22
3. Kebergantungan reliance Memiliki keterbasan secara fisik tampaknya tidak menjadi hambatan bagi
partisipan untuk membantu orang tua dalam melakukan tugas – tugas rumah yang
sudah ditetapkan ibu partisipan sebelumnya, ataupun ketika keluarga meminta tolong partisipan untuk mengerjakan sesuatu.
“Disuruh gitu kak, keluar gitu, beli apa, disuruh ambilin apa gitu.” P1.W2.b.106-110.h.12
“Kerjain tugas dari sekolah, beres-beresin rumah, tempat tidur, itulah. Misalnya ada pakaian kotor nyuci.
” P1.W2.b.65-73.h.11
Partisipan tidak merasa kesulitan untuk melakukan setiap pekerjaan yang diberikan kepadanya. Partisipan mampu melakukannya dan menikmati setiap
pekerjaan yang ada. “Iya kak.Ya asik aja ngerjain itu kak, haha sambil tertawa.”
P1.W2.b.80-87.h.12 Keterlibatan partisipan didalam keluarga tidak hanya dalam hal pekerjaan
rumah yang harus dikerjakan, namun juga ketika keluarga melakukan diskusi terkait dengan kondisi ataupun permasalahan didalam keluarga, partisipan terlibat dalam
memberikan saran yang diperlukan. “Biasanya Lanang sendiri sih kak yang kasih saran, bukan mereka minta.”
P1.W2.b.139-141.h.13
Partisipan tidak hanya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan kepadanya, namun ketika partisipan menghadapi permasalahan yang tidak
diberitahukan kepada orang tua, seperti pembayaran uang sekolah partisipan bisa menyelesaikannya sendiri, misalnya dengan mengumpulkan uang jajan.
“sambil berpikir Sejauh ini bisa sih.Kalo misalnya masalah sekolah kalo bayar-bayar uang sekolah, jadi diambil dari uang jajan dikumpul-kumpulin.
Kadang-kadang juga minta uang jajan lebih sama mamak untuk menutupi itu.
” P1.W3.b.88-99.h.21
A.4.3. Kondisi Pendukung Family Matters Partisipan
1. Self Understanding - Reflected Appraisal Menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik yang ada tentunya
menimbulkan reaksi dari lingkungan, dalam hal ini diluar keluarga, dan juga reaksi dari diri partisipan sendiri ketika memasuki lingkungan sosial. Partisipan tidak
merasa minder apabila bergabung dengan teman-teman partisipan yang memiliki kondisi fisik yang normal.
“Gak minder lagi kak” P1.W1.b.123.h.4
“Percaya diri” P1.W1.b.377.h.9
Munculnya perasaan minder dalam diri partisipan hanya ketika bertemu
dengan orang – orang baru, ataupun ketika hendak mendekati lawan jenis, dengan
alasan takut apabila lingkungan tersebut tidak menerima kondisi partisipan. “Ya karena liat keadaan gini kak, takut ada yang gak nerima.”
P1.W2.b.215-217.h.15
“Situasi kayak mendekati cewek gitu kak sambil tersenyum,gitu lah paling yang hambatannya kak
.” P1.W3.b.34-37.h.20
“Kalo sama temen-temen biasa-biasa sih percaya diri. Tapi kalo sama temen baru, kenalan gitu, itu rasanya kurang gitu, kayak gak diterima aja gitu
.” P1.W2.b.234-238.h.15
Pengalaman negatif tentunya pernah dialami oleh partisipan terkait dengan
kondisi fisiknya. Reaksi partisipan ketika mengalami hal tersebut bermacam –
macam. Disatu sisi partisipan merasa sakit hati, dan disisi lain partisipan menerima apa adanya tanpa melawan atau membela diri. Meskipun pernah mengalami
pengalaman negatif, partisipan tidak pernah mengatakan bahwa partisipan malu dilahirkan dalam ketidaksempurnaan fisik yang dimilikinya.
“Ya,diam sejenak,gak taulah bilangnya gimana kak,diam,bisa dibilang sakit hatilah kalo bisa dibilang,gitulah kak
.” P1.W1.b.358-362.h.9
“Menerima apa adanya lah kak.Terima aja apa yang dibilang.” P1.W2.b.14-16.h.10
Sebaliknya, penerimaan yang baik dari lingkungan partisipan, salah satunya
dari teman sebaya partisipan serta dukungan yang diberikan oleh lingkungan, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan diri partisipan. Selain
itu, penerimaan dari lingkungan juga berperan penting dalam proses penerimaan diri partisipan.
“Ya karena support-support dari kawan juga. Ya gitulah kak.” P1.W.3.b.66-68.h.20
“Baik sih kak, sejauh ini mereka bisa menerima. Baik sih. Hmm ngerti keadaan, gak saling ejek gitu kak. Itu sih
.” P1.W3.b.267-272.h.25
“Bisa percaya diri?Hmm apa ya,ya itu tadi kawan-kawan bisa nerima dengan keadaan seperti ini. Hmm,itu sih yang paling penting.
” P1.W3.b.113-117.h.21
Partisipan memiliki pandangan terhadap dirinya sendiri. Partisipan menilai
dirinya sebagai orang yang berguna bagi orang lain. Selain itu partisipan juga menilai karakteristik personal dirinya sebagai individu yang pemalu, sabar, pendiam, serta
sulit bersosialisasi. Prestasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi partisipan dalam memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri.
“Pernah, sering pun kak berpikir bahwa Lanang berguna bagi orang lain. Lanang bisa membantu keluarga meskipun dengan kondisi fisik seperti ini
.” P1.W2.b.145-149.h.13
“Saya ini orangnya pemalu, sabar, sejauh itu aja sih kak. Pendiam, susah bersosialisasi gitu sih kak.
” P1.W2.b.213-217.h.15
2. Self-Understanding - Social Comparison Menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik membuat partisipan
mengalami dimana partisipan membandingkan dirinya dengan individu yang memiliki fisik yang normal. Perbandingan ini menimbulkan reaksi psikologis dalam
diri partisipan yaitu iri, gengsi, pasrah ketika menyadari kondisi fisik diri yang berbeda dengan orang lain serta patah semangat ketika melihat kondisi diri yang
berbeda dari orang lain. “Ya ada rasa gengsi gitu sama orang yang sempurna, ada rasa,ee apa iri gitu
lihat orang itu begitu..gitu lah kak. ”
P1.W1.b.53-57.h.2 ”Ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini,ya udah apalagi mau
dibilang ”
P1.W1.b.101-104.h.3
“Sempat juga sih patah semangat nada suara rendah, ya kenapa aku berbeda dari orang itu, kenapa aku begini
.” P1.W2.b.29-32.h.11
Meskipun pernah mengalami reaksi psikologis didalam diri partisipan terkait
kondisi fisiknya, namun dilain sisi, partisipan menerima kondisi fisik yang dialaminya sebagai pemberian Tuhan. Penerimaan itu juga dipengaruhi ketika
partisipan membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki kondisi fisik yang sama atau kondisi fisik yang lebih buruk dari diri partisipan.
“Ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini,ya udah apalagi mau dibilang
.” P1.W1.b.101-104.h.3
“Yang membuat yakin, liat-liat orang disekitar juga lah kak, ada yang lebih dari Lanang gini, ada yang lebih kurang dari Lanang gitu
” P1.W2.b.283-292.h.16
Berkaitan dengan kehidupan sosialnya, partisipan menyatakan bahwa dirinya
tidak memiliki sahabat, hanya teman biasa saja. Ketika berada disekolah, partisipan lebih banyak menghabiskan waktu sendiri ketika jam istirahat sekolah.
“Enggak punya kak. Teman biasa-biasa ajalah kak.” P1.W2.b.327-332.h.17
“Ya gitu tadi kak susah bersosialisasi jadi disekolah itu paling tidur, dikelas itu diem, main handphone. Kadang-kadang sih gabung. Kumpul-kumpul gitu
aja sih kak. ”
P1.W2.b.346-356.h.17-18 Partisipan sebenarnya adalah orang yang memiliki kemampuan dalam
bersosialisasi. Meskipun tidak memiliki sahabat, namun partisipan memiliki sekelompok teman yang merupakan temannya ketika kecil. Partisipan dan teman-
temannya aktif untuk berkumpul setiap hari minggu. Secara umum, partisipan memiliki hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya.
“Tiap hari online dirumah, kadang ke Teladan nongkrong disana, kumpul- kumpul karena disitu rumah dulu kan,jadi main-main kesitu. Disitulah paling
banyak kawan, soalnya dari kecil disana ka, 3 SMP lah kak baru pindah kemari. Hari minggulah kak, kumpul-
kumpul. […]ya dirumah kawan gitu, nongkrong-nongkrong. Sebenarnya sih tiap minggu ada acara gitu dirumah
kawan, patungan buat manggang-manggang apa gitu. Gitu sih kak. ”
P1.W3.b.224-260.h.24-25 3. Self Understanding- Self Attribution
Partisipan adalah orang yang pandai untuk bersosialisasi, namun tidaklah demikian ketika bertemu dengan orang
– orang baru. Partisipan menyatakan kondisi fisik yang dimiliki menjadi hambatan untuk maksimal dalam bersosialisasi.
“Suka bercanda orangnya kak. Suka bersosialisasi” P1.W2.b.385-390.h.18
“Karena keadaan. Karena malu juga dengan keadaan, jadi susah bersosialisasi kak.
” P1.W3.b.5-7.h.19
Keterbatasan fisik yang dialami partisipan tidak membuatnya patah semangat
untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. Sebaliknya, partisipan memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu untuk meraih kesuksesan bahkan lebih daripada
individu dengan fisik yang normal. Hal ini karena keyakinan dan sikap pantang menyerah yang dimiliki partisipan.
“Percaya kak. Karena apa ya berpikir,susah jelasinnya kak. Ya semangat itulah kak yang membuat yakin. Tidak pantang menyerah. Dari diri sendiri.
” P1.W2.b.296-318.h.16-17
“Ya karena Lanang yakin, Lanang bisa sukses dari mereka, dengan kekurangan seperti ini kenapa gak bisa sukses
.” P1.W1.b.369-373.h.9
Mencapai keberhasilan merupakan salah satu hal yang membuat partisipan bangga dengan dirinya. Karena dengan hal itu partipan dapat membuat orang tua
bangga akan dirinya. Partisipan belum merasa bangga dengan dirinya karena belum mencapai sesuatu dalam hidupnya dan secara khusus belum mampu menaikkan orang
tuanya haji serta dapat berguna bagi orang lain yang menjadi tujuan hidupnya. “diam sejenak. Sejauh ini belum sih, belum ada yang bisa dibanggain.
Diam sejenak belum ada yang bisa dicapai kak. Gitu sih kak. ”
P1.W2.b.256-261.h.15-16 “Terutama membahagiakan orang tua sih diam sejenak, itu sih yang utama.
Naikkan orang tua haji. Terus berguna buat orang, itu aja sih kak. ”
P1.W2.b.265-276.h.16 Suatu waktu partisipan juga pernah mengalami putus asa ketika gagal untuk
masuk jurusan yang partisipan karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan. “Sempat putus asa juga sih, soalnya dulu pernah kepikiran disitu. Itu aja sih.
Ya gimana ya, bisa dibilang,nyesal juga sih karena gak bisa, karena yang di cita-citain gak bisa dijalani, gak bisa untuk mencapainya
.” P1.W2.b.163-172.h.13-14
A.5. Analisa Intrasubjek I Aspek
Hasil Konfirmasi Teoritis
Riwayat Perkembangan Perkembangan fisik partisipan
hampir sama dengan individu normal, hanya berbeda ketika
sudah bisa berjalan. Partisipan tidak
mengalami kendala
melewati masa
kecilnya. Partisipan menggunakan alat
bantu tongkat ketika berusia 5 tahun, sepeda, serta kaki palsu
yang
digunakan ketika
partisipan duduk dibangku kelas III SMP sampai dengan hingga
kini Somantri
2006 menyatakan
bahwa perkembangan
individu tunadaksa
hampir sama
dengan individu
dengan fisik yang normal pada
umunya. Hanya saja potensi perkembangan fisik yang
dialami tidaklah utuh karena bagian tubuh yang mereka
miliki tidaklah sempurna
Kondisi Tunadaksa Partisipan
terlahir dengan
kondisi lutut kaki sebelah kanan mengalami
pembusukan, sehingga
harus diamputasi
ketika partisipan berusia dua minggu.
Penyebab dari
pembusukan kaki
kanan partisipan adalah diabetes yang
diturunkan ayah
partisipan ketika partisipan berada didalam
kandungan. Bagian
anggota tubuh
yang mengalami
ketidaksempurnaan tidak hanya pada kaki kanan, namun juga
berdampak pada tidak adanya jempol kaki kiri partisipan, dan
tangan kanan hanya memiliki empat jari saja.
Somantri 2006
mengklasifikasikan ketunaan
menjadi dua
klasifikasi yakni : 1.
Kerusakan yang dibawa sejak
lahir atau
merupakan keturunan.
Salah satunya adalah congenital amputation
2. Kerusakan pada waktu
kelahiran 3.
Infeksi 4.
Kondisi traumatik 5.
Tumor
Reaksi Lingkungan Keluarga sepenuhnya menerima
keberadaan partisipan. Tidak membedakan partisipan dengan
saudara kandungnya yang lain, menomor
satukan partisipan
didalam keluarga, memberikan pendampingan ketika partisipan
Reaksi yang dimunculkan lingkungan dapat menjadi
sumber distress tersendiri bagi
remaja yang
dampaknya terkadang lebih besar daripada ketunaan itu
sendiri Somantri, 2006
mengalami reaksi negatif dari lingkungan,
memotivasi partisipan
untuk meraih
kesuksesan serta
tidak membatasi
ruang gerak
partisipan
Reaksi Partisipan Partisipan
melewati proses
untuk dapat menerima kondisi fisiknya. Saat ini partisipan
sudah sepenuhnya menerima kondisi
fisik. Partisipan
memiliki kepercayaan
diri ketika menjalankan kehidupan
sosialnya, namun
masih memiliki rasa tidak percaya diri
sesaat ketika bertemu dengan orang-orang baru.
Fokus dengan body image merupakan kondisi yang
sering mulai terjadi pada pertengahan
kanak-kanak atau lebih awal dan semakin
intens pada masa remaja Papalia, 2007
Masalah emosi menjadi hal yang dialami oleh individu
tunadaksa Somantri,2006
Mattering: Keluarga
family matters
Awareness
Partisipan menyadari
bahwa keberadaannya diterima baik
oleh seluruh keluarga. Selain itu partisipan
juga menyadari
hubungan yang dekat dengan keluarga
berdasarkan komunikasi serta penyediaan
dukungan emosional ataupun materil yang diberikan
Elliot 2009
mengemukakan komponen awareness yang sepenuhnya
bersifat kognitif, dimana individu
akan merasa
menjadi bagian
yang penting apabila orang lain
merealisasikan keberadaan mereka
Importance Partisipan menyatakan bahwa
keluarga peduli dengan apapun yang terjadi pada diri partisipan,
misalnya dalam hal penyediaan kebutuhan
partisipan, penyediaan
dukungan emosional,
pendampingan keluarga
terhadap partisipan
serta peran keluarga dalam pertumbuhan personal partisipan
Komponen importance
menginsyaratkan sebuah
hubungan antara individu dengan orang lain lewat
adanya ketersediaan
dukungan secara emosional, dimana
orang lain
menginvestasikan waktu dan energi mereka bagi kita,
mau melakukan sesuatu agar apa yang kita perlukan dapat
terpenuhi serta turut bangga dengan prestasi yang kita
dapatkan Elliot, 2009
Reliance Partisipan memiliki keterlibatan Pada komponen reliance,
partisipan didalam keluarga serta lingkungan sosialnya
seorang individu
akan merasa bermakna apabila
dirinya dapat menjadi solusi atas
kebutuhan atau
keperluan orang lain Elliot, 2009.
Kondisi pendukung
family matters
Reflected Appraisal
Meskipun mengalami
reaksi psikologis
negatif terkait
pengalaman yang
tidak menyenangkan,
namun hal
tersebut tidak
memberikan pengaruh negatif terhadap cara
partisipan memandang dirinya. Partisipan
tidak pernah
menyatakan malu
dengan kondisi fisik yang dimilikinya.
Berkaitan dengan kualitas diri, partisipan memandang dirinya
sebagai seseorang yang berguna bagi
orang lain.
Hal ini
disebabkan kepercayaan yang diberikan oleh keluarga kepada
partisipan dalam
melakukan sebuah tanggung jawab
Reflected appraisal,
menegaskan bahwa konsep diri
secara mendalam
dipengaruhi oleh bagaimana orang lain bereaksi terhadap
individu Sullivan, 1947, dalam Elliot, 2009.
Orang
lain secara
berkesinambungan akan
mengkomunikasikan seperti apa dan bagaimana individu
tersebut dalam pandangan mereka, dan secara tidak
langsung pemahaman itu akan diinternalisasi sehingga
membentuk
konsep diri
individu.
Social comparison
Penerimaan diri partisipan tidak hanya
dipengaruhi oleh
dukungan dan
penerimaan lingkungan sosialnya, namun
juga dipengaruhi
ketika partisipan
membandingkan dirinya dengan orang lain yang
memiliki kondisi yang sama atau bahkan yang lebih buruk dari
dirinya. Selain itu partisipan memiliki
kualitas hubungan sosial yang baik
Proses ini
melibatkan bagaimana
individu membandingkan diri dengan
orang lain
dalam menentukan
kesesuaian dengan orang lain, apakah
sama atau berbeda, lebih baik
atau lebih
buruk Festinger,
1957, dalam
Elliot, 2009. Proses ini juga menjadi salah satu cara lain
dalam menilai
seberapa penting individu tersebut
bagi orang lain melalui bagaimana
individu memaknai
kualitas hubungan yang dibangun
oleh individu dengan orang lain
Self Atribution
Partisipan menyatakan bahwa dirinya adalah individu yang
suka bersosialisasi,
namun proses sosialisasi itu sendiri
tidak maksimal,
karena keterbatasan kondisi fisik yang
ada. Hal ini terutama terjadi ketika partisipan berada dalam
lingkungan yang baru. Disisi lain partisipan memiliki
keyakinan
didalam dirinya
bahwa partisipan
dapat mencapai kesuksesan meskipun
dengan keterbatasan fisik yang ada. Partisipan menyatakan hal
ini dikarenakan sikap pantang menyerah serta semangat yang
dimiliki didalam diri partisipan. Selain
itu karena
adanya kehidupan sosial yang positif
partisipan memiliki kesempatan untuk memberikan dukungan
terhadap teman sebayanya Proses ini lebih didasarkan
pada observasi
terhadap perilaku yang dimiliki oleh
seseorang dan situasi seperti apa yang mengakibatkan
perilaku tersebut muncul, yang disebut sebagai self-
attribution. Melalui proses ini individu mempelajari
sesuatu mengenai dirinya sendiri
dengan menaruh
perhatian pada apa yang dilakukan
Bem, 1972,
dalam Elliot, 2009. Proses
ini juga
dapat menjadi salah satu cara
dalam menilai mattering individu, misalnya dengan
sekedar mengingat berapa kali
individu tersebut
menanggapi permintaan
akan dukungan emosional yang diperlukan orang lain.
A.6. Skema Dinamika Partisipan I
Remaja Tunadaksa berusia 17 tahun
Memiliki keterbatasan fisik yakni kaki kanan diamputasi ketika berusia 2 minggu, tidak adanya jempol kaki kiri dan
tangan kanan hanya hanya memiliki 4 jari saja
Reaksi Lingkungan keluarga : Menerima
kondisi partisipan
seutuhnya, tidak
membedakan partisipan dengan saudara kandung,
memberikan pendampingan ketika partisipan mengalami pengalaman
negatif, menyediakan
dukungan emosional dan materil serta tidak
embatasi ruang gerak partisipan
Reaksi psikologis
individu tunadaksa: awalnya timbul rasa
tidak percaya
diri dan
tidak menerima kondisi fisik, namun
akhirnya menerima kondisi fisik seiring berjalannya waktu
Reaksi psikologis terkait reaksi - lingkungan:
Merasa sedih dan sakit hati Reaksi - lingkungan:
diejek oleh teman sekolah Membentuk persepsi kebermaknaan individu
:
FAMILY MATTERS
Dukungan emosional,materi
terhadap individu
importance : penyediaan dukungan emosional
oleh keluarga, seperti pendampingan terhadap partisipan dan motivasi yang diberikan keluarga
serta dukungan secara materil
Kebutuhankebergantungan org lain akan diri individu
reliance: partisipan
memiliki keterlibatan
dikeluarga, seperti: mengerjakan tugas sehari-hari dirumah , aktif dalam memberikan saran didalam
diskusi keluarga
Kesadaran akan ke-exist-an individu
awareness :
Partisipan menyadari penerimaan positif keluarga terhadap dirinya, seperti: keluarga menomor
satukan partisipan
Gambaran Family Matters
Pada Remaja Tunadaksa: Partisipan I memiliki
gambaran family matters yang positif